Tipologi Kelembagaan Komunitas Lokal Partisipasi

serta multi stakeholder merupakan basis dan instrumen penguatan kapasitas kelembagaan desa Nasdian, 2006. Menurut Israel 1990 pengembangan atau penguatan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada. Proses ini dapat secara internal digerakan oleh manajer sebuah lembaga atau dicampurtangani dan dipromosikan oleh pemerintah atau oleh badan-badan pembangunan. Khasnya pengembangan kelembagaan menyangkut sistem manajemen perencanaan, penyusunan anggaran, akunting, auditing, perawatan dan pengadaan termasuk pemantauan dan evaluasi. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan tim PSP3-IPB di lima provinsi, yaitu: Nangroe Aceh Darusalam, Sumatera Barat, Jawa Barat, Bali, dan Papua. Upaya peningkatan kapasitas kelembagaan desa tidak cukup hanya dengan sekedar melaksanakan program-program pendidikan, pelatihan, penataran, penyuluhan, sosialisasi dan lain-lain. Akan tetapi peningkatan kapasitas kelembagaan desa sebagai wujud pemberdayaan komunitas desa merujuk kepada reformasi kelembagaan desa, sehingga dapat terpenuhinya tuntutan dan kebutuhan otonomi desa, sebagai suatu cara pendekatan ke arah pemerintahan pengaturan, administrasi, dan pengembangan mekanisme-mekanisme partisipatif yang tepat guna dan lebih demokratis. Dalam upaya pemberdayaan komunitas desa dan pengembangan kelembagaan yang berkelanjutan maka dikemukakan tiga alternatif yang dapat dilakukan yaitu: 1 Membangun dan mengembangkan kelembagaan kooperatif dan produktif di tingkat komunitas berbasis kemitraan; 2 Membangun dan mengembangkan manajemen pembangunan pedesaan kawasan di tingkat kabupaten sebagai wujud dari local goverment policies, dan 3 Membangun dan mengembangkan jejaring kelembagaan yang berbasis komunitas.

2.1.3 Tipologi Kelembagaan Komunitas Lokal

Menurut Nasdian 2005 tipologi kelembagaan komunitas lokal „dikonstruksi‟ berdasarkan dua variabel pokok, yaitu: t inggi rendahnya “keseimbangan pelayanan-peranserta ” dalam suatu kelembagaan dan 2 berfungsi-tidaknya good governance dalam suatu kelembagaan. Berdasarkan kedua variabel tersebut dapat diidentifikasi empat tipe kelembagaan yakni: 1 Tipe-1, kelembagaan yang sustain; 2 Tipe-2, kelembagaan yang semi sustain dengan kendala manajemen; 3 Tipe-3, kelembagaan yang tidak sustain; dan 4 Tipe-4, kelembagaan semi- sustain dengan kendala good governance. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah: Gambar 1. Tipologi kelembagaan komunitas lokal Faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal, yaitu: 1 jejaring kerjasama; 2 intervensi positif pemerintah; 3 kecukupan anggaran; dan 4 aturan-aturan tertulis. Dengan demikian melalui program-program pengembangan jejaring kerjasama, intervensi pemerintah, kecukupan pangan, dan aturan-aturan tertulis akan dapat meningkatkan keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal.

2.1.4 Partisipasi

Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif yang diambil warga sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses lembaga dan mekanisme dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: pertama, warga komunitas SUSTAINABLE UNSUSTAINABLE 4 “Keseimbangan Pelayanan-Peranserta” 1 3 2 Berfungsi “good governance” “bad governance” “Keseimbangan Pelayanan-Peranserta” dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subjek yang sadar Nasdian, 2006. Partisipasi didefinisikan sebagai keterlibatan mentalpikiran dan emosiperasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. Dengan kata lain,batasan dari partisipasi adalah keterlibatan komunitas setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan atau pelaksanaannya terhadap proyek- proyekpembangunan Keith Davis, dalam Sastropoetro 1988 Dalam makalahnya yang berjudul ” A Ladder of Citizen Participation” dalam Journal of the American Planning Association 1969, Sherry Arstein mengemukakan delapan tangga atau tingkatan partisipasi. Kedelapan tingkatan tersebut adalah sebagai berikut: 1 Manipulation Dengan mengatasnamakan partisipasi, masyarakat diikutkan sebagai ‟stempel karet‟ dalam badan penasihat. Tujuannya adalah untuk dipakai sebagai formalitas semata dan untuk dimanfaatkan dukungannya. Tingkat ini bukanlah tingkat partisipasi masyarakat yang murni, karena telah diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi oleh pihak penguasa. 2 Therapy Pada tingkat therapy atau pengobatan ini, pemegang kekuasaan sama dengan ahli kesehatan jiwa. Mereka menganggap ketidakberdayaan sebagai penyakit mental. Dengan berpura-pura mengikutsertakan masyarakat dalam suatu perencanaan, mereka sebenarnya menganggap masyarakat sebagai sekelompok orang yang memerlukan pengobatan. Meskipun masyarakat dilibatkan dalam berbagai kegiatan namun pada dasarnya kegiatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan lukanya dan bukannya menemukan penyebab lukanya. 3 Informing Dengan memberi informasi kepada masyarakat akan hak, tanggung jawab, dan pilihan mereka merupakan langkah awal yang sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat. Namun acapkali pemberian informasi dari penguasa kepada masyarakat tersebut bersifat satu arah. Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk memberikan umpan balik dan tidak memiliki kekuatan untuk negosiasi. Apalagi ketika informasi disampaikan pada akhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi program. Komunikasi satu arah ini biasanya dengan menggunakan media pemberitaan, pamflet,dan poster. 4 Consultation Meminta pendapat masyarakat merupakan suatu langkah logis menuju partisipasi penuh. Namun konsultasi ini masih merupakan partisipasi semu karena tidak ada jaminan bahwa pendapat mereka akan diperhatikan. Cara yang sering digunakan dalam tingkat ini adalah jejak pendapat, pertemuan warga, dan dengar pendapat. Jika pemegang kekuasaan membatasi usulan masyarakat, maka kegiatan tersebut hanyalah merupakan suatu partisipasi palsu. Masyarakat pada dasarnya hanya dianggap sebagai abstraksi statistik, karena partisipasi hanya diukur dari frekuensi kehadiran dalam pertemuan, seberapa banyak brosur yang dibawa pulang dan juga dari seberapa banyak kuesioner dijawab. Dengan demikian, pemegang kekuasaan telah merasa memiliki bukti bahwa mereka telah mengikuti rangkaian pelibatan masyarakat. 5 Placation Pada tingkat ini masyarakat sudah memiliki beberapa pengaruh meskipun dalam beberapa hal pengaruh tersebut tidak memiliki jaminan akan diperhatikan. Masyarakat memang diperbolehkan untuk memberikan masukan atau mengusulkan rencana akan tetapi pemegang kekuasaanlah yang berwenang untuk menentukan. Salah satu strateginya adalah dengan memilih masyarakat miskin yang layak untuk dimasukkan ke dalam suatu lembaga. Jika mereka tidak bertanggung jawab dan jika pemegang kekuasaan memiliki mayoritas kursi, maka mereka akan dengan mudah dikalahkan dan diakali. 6 Partnership Pada tingkat ini, kekuasaan disalurkan melalui negosiasi antara pemegang kekuasaan dan masyarakat. Mereka sepakat untuk sama-sama memikul tanggung jawab dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Aturan ditentukan dengan melalui mekanisme take and give, sehingga diharapkan tidak mengalami perubahan secara sepihak. Partnership dapat berjalan efektif bila dalam masyarakat ada kekuasaan yang terorganisir, pemimpinnya bertanggung jawab, masyarakat mampu membayar honor yang cukup bagi pemimpinnya serta adanya sumber dana untuk menyewa teknisi, pengacara dan organisator masyarakat. Dengan demikian, masyarakat benar-benar memiliki posisi tawar-menawar yang tinggi, sehingga akan mampu mempengaruhi suatu perencanaan. 7 Delegated Power Negosiasi antara masyarakat dengan pejabat pemerintah bisa mengakibatkan terjadinya dominasi kewenangan pada masyarakat terhadap rencana atau program tertentu. Pada tingkat ini masyarakat menduduki mayoritas kursi, sehingga memiliki kekuasaan dalam menentukan suatu keputusan. Selain itu, masyarakat juga memegang peranan penting dalam menjamin akuntabilitas program tersebut. Untuk mengatasi perbedaan, pemegang kekuasaan tidak perlu meresponnya akan tetapi dengan mengadakan proses tawar-menawar. 8 Citizen Control Pada tingkat ini, masyarakat menginginkan adanya jaminan bahwa kewenangan untuk mengatur program atau kelembagaan diberikan kepada mereka, bertanggung jawab penuh terhadap kebijakan dan aspek-aspek manajerial dan bisa mengadakan negosiasi apabila ada pihak ketiga akan mengadakan perubahan. Dengan demikian, masyarakat dapat berhubungan langsung dengan sumber-sumber dana untuk memperoleh bantuan atau pinjaman tanpa melewati pihak ketiga. Manipulasi dan terapi termasuk kedalam level non-participation, inisiatif pembangunan tidak bermaksud untuk memberdayakan masyarakat akan tetapi membuat pemegang kekuasaan untuk “menyembuhkan” atau “ mendidik” komunitas. Informasi dan konsultasi tokenism, komunitas bisa mendapatkan informasi dan menyuarakan pendapat akan tetapi tidak ada jaminan kalau pendapat komunitas akan diakomodasi. Placation level tertinggi tokenism, komunitas bisa memberikan saran kepada pemegang kekuasaan, akan tetapi kewenangan menentukan tetap ada pada pemegang kekuasaan. Partnership, membuat komunitas dapat bernegosiasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendelegasian kewenangan dan kontrol, komunitas memegang mayoritas pengambilan keputusan dan kekuasaan pengelolaan. Secara jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 berikut: Sumber : Arstein, 1969 Gambar 2. Delapan Tangga Tingkat Partsipasi Masyarakat

2.1.5 Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat

Dokumen yang terkait

Partisipasi Petani dalam Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi non Hibrida

1 80 95

EFEKTIVITAS PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI DI DESA KEDALEMAN KECAMATAN ROGOJAMPI KABUPATEN BANYUWANGI

0 4 198

MOTIVASI PETANI DALAM MENGIKUTI PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN DAN SUMBERDAYA TERPADU (SL-PTT) PADI HIBRIDA DI DESA WATES KECAMATAN GADING REJO KABUPATEN TANGGAMUS

0 5 6

MOTIVASI PETANI DALAM MENGIKUTI PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN DAN SUMBERDAYA TERPADU (SL-PTT) PADI HIBRIDA DI DESA WATES KECAMATAN GADING REJO KABUPATEN TANGGAMUS

3 18 144

Adopsi Inovasi PTT pada Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.

0 1 19

JARINGAN KOMUNIKASI DALAM DIFUSI ADOPSI INOVASI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (Studi Perbandingan Jaringan Komunikasi Sosial terhadap Difusi Adopsi Program Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada Kelompok Tani Pulo Makmur dan Kelompok Tani Pulo Mulyo di Desa

0 1 20

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Partisipasi petani dalam kegiatan sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (sl-ptt) di Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen

0 0 73

Partisipasi Petani dalam Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi non Hibrida

0 0 20

Partisipasi Petani dalam Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi non Hibrida

0 0 11

PENDAMPINGAN PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) JAGUNG DI PROVINSI ACEH

0 0 9