Prosedur Triming Pembuatan Preparat Histologi

karsinogen dan berbanding lurus dengan jumlah tepung sorgum yang digunakan dalam komposisi ransum. Hal ini terlihat dari konsumsi rata-rata mencit kelompok S100 lebih tinggi dibandingkan kelompok S50. Hanya saja adanya induksi karsinogen tetap menyebabkan konsumsi ransum rata-rata pada kelompok S50 dan S100 masih lebih rendah dibandingkan kelompok K- Tabel 9. Tabel 9 Konsumsi ransum rata-rata dan selisih berat badan pada setiap kelompok mencit selama perlakuan Kelompok Konsumsi ransum rata-rata gekorhr Selisih berat badan selama perlakuan gekor K- K+ S50 S100 3,61 ± 0,21 d 2,51 ±0,31 a 3,19 ± 0,24 b 3,41 ± 0,28 c 4,50 ± 1,22 b 3,14 ± 0,56 a 3,63 ± 0,74 ab 3,44 ± 0,78 a Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 p0,05. Pemberian tepung sorgum pada mencit S50 dan S100 tidak menunjukkan kemampuannya dalam meningkatkan selisih berat badan secara signifikan pada mencit yang diinduksi kanker kolon Lampiran 4, meskipun memiliki konsumsi ransum rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan kelompok K+ Tabel 9. Hal ini diduga selain adanya pengaruh dari induksi karsinogen, adanya komponen flavonoid pada sorgum, yaitu tanin, diduga mampu mengikat protein dan polisakarida sehingga daya absorbsi nutrisi tersebut berkurang dan dapat menurunkan berat badan Nyachoti et al. 1997. Hal ini didukung hasil penelitian Kaviarasan et al. 2008 yang melakukan penelitian dengan memberikan fraksi flavonoid pada tikus percobaan. Pada kelompok kontrol mengalami kenaikan berat badan sebesar 117,5±8,09 g dengan konsumsi rata-rata sebesar 25,83±1,09 gekorhari, sedangkan pada kelompok perlakuan pemberian flavonoid mengalami kenaikan berat badan sebesar 63,33±6,06 g dengan konsumsi rata- rata sebesar 27,1±1,41 gekorhari. Kecenderungan ini terjadi diduga akibat adanya perbedaan aktivitas dan tingkat penyerapan nutrisi. Konsumsi ransum yang mengandung sumber karbohidrat berupa tepung sorgum sebanyak 50 dan 100 pada mencit kelompok S50 dan S100 tampak tidak memberikan efek negatif terhadap selera makan mencit Tabel 9. Adanya tanin pada sorgum dikatakan mampu mempengaruhi sifat sensori karena menyebabkan rasa sepat atau astringen sehingga mempengaruhi selera makan Rooney dan Dykes 2007. Sorgum varietas Kawali memiliki kandungan tanin sebesar 0,7 Singgih et al. 2006, yang mana menurut Rooney 2005 tanin dengan jumlah di bawah 5-10 memiliki kemungkinan pembentukan kompleks dengan makromolekul yang rendah serta belum mempengaruhi nilai sensori. Puspawati 2009 melaporkan bahwa pemberian tepung sorgum 50 dan 100 sebagai sumber karbohidrat pada tikus percobaan yang tidak diberikan stress, tampak belum mempengaruhi berat badan dan selera makan tikus. Hal ini diduga karena tanin masih berada dalam jumlah normal atau tidak melebihi kebutuhan, sehingga belum menurunkan nilai sensori yang mengurangi selera makan. Selain mengamati konsumsi ransum dan berat badan, dilakukan pula pengamatan mengenai penampakan fisik dan tingkah laku selama perlakuan serta berat organ mencit setelah perlakuan. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui adanya perubahan yang terjadi akibat pemberian ransum serta induksi karsinogen berupa azoksimetana AOM dan desktran sodium sulfat DSS. Penampakan fisik dan tingkah laku kelompok mencit K- selama percobaan terlihat normal, warna bulu bersih dan mengkilat, mata cerah, serta bergerak lincah, dan memiliki pernafasan normal. Kondisi serupa juga terlihat pada kelompok mencit perlakuan S50 dan S100. Hal ini memperkuat dugaan sebelumnya bahwa adanya pemberian tepung sorgum mampu menurunkan kondisi distress, sehingga mencit pada dua kelompok ini dapat tumbuh dengan normal. Perbedaan yang sangat nyata terlihat kondisi fisik serta tingkah laku pada kelompok mencit K-. Mencit pada kelompok ini memiliki warna bulu yang kusam, mata sayu, serta postur tubuh yang lebih membungkuk. Selain itu, tingkah laku mencit pada kelompok ini juga terlihat lesu, kurang aktif, serta pernafasan yang tidak normal. Hal ini menunjukkan adanya kondisi kaheksia pada mencit K+. Bruera 2002 menyebutkan bahwa kaheksia terjadi karena gangguan psikologis pada susunan syaraf pusat menyebaban keengganan makan, gangguan persepsi rasa kecap, dan stress psikologis, serta gangguan proses metabolisme, produksi makrofag, dan disfungsi autonomik. Gambar 10 Organ setiap kelompok mencit Gambar 10 menunjukkan gambaran keadaan organ tiap kelompok mencit. Keadaan mencit percobaan juga didukung dengan data berat relatif organ hati, ginjal, dan kolon. Berat relatif organ merupakan berat organ dibagi berat badan dari mencit yang bersangkutan. Berat relatif organ hati dan ginjal diketahui tidak berbeda nyata p 0,05. Perbedaan yang nyata terlihat pada berat relatif kolon kelompok K+ yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok mencit S50 dan S100 Tabel 10, Lampiran 5. Berat relatif kolon pada kelompok K+ diduga disebabkan karena adanya pertumbuhan tumor. Hanya saja data berat relatif kolon tidak cukup untuk membuktikan adanya pertumbuhan tumor pada organ ini. Hal ini dikarenakan terdapat faktor lain yang mampu menyebabkan bertambahnya berat kolon. Inflamasi merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan K- K+ S50 S100