bahwa semua kelompok mencit memiliki pH lingkungan kolon yang bukan merupakan pH optimum bagi β-glucoronidase ini. Oleh karena itu, penurunan
aktivitas enzim ini diduga terjadi karena penurunan jumlah enzim yang diproduksi akibat meningkatnya proporsi bakteria asam laktat.
4.5 Evaluasi Keberadaan Penanda Permukaan Sel T Helper CD4 dan En- zim Kaspase-3 pada Kolon Mencit Balbc dengan Pewarnaan Imuno-
histokimia IHK
Inumohistokimia IHK merupakan salah satu metode kuantitatif untuk mendeteksi reaksi antigen-antibodi sebagai manifestasi interaksi antigen-
antibodi primer Bellanti 1993. Istilah imunohistokimia lebih disukai sebagai teknik pemeriksaan imunologis pada potongan jaringan. Imunohistokimia
adalah suatu metode pewarnaan antigen misalnya protein dan karbohidrat pada sel dari jaringan menggunakan prinsip dasar imunologi yaitu pengikatan
antigen pada sisi aktif yang spesifik dengan antibodi Brandtzaeg et al. 1997. Pereaksi yang digunakan adalah antibodi poliklonal atau monoklonal
yang harus diujikan pada potongan jaringan. Hasil reaksi antigen dan antibodi ini dapat diidentifikasi pada spesimen karena antibodi diikat oleh suatu
penanda yang dapat divisualisasikan, sehingga dapat menandai kerberadaan antigen di dalam jaringan Nurhidayat 2002. Adapun cara yang paling sering
digunakan untuk memvisualisasikan hasil interaksi antigen dan antibodi adalah dengan konjugasi antibodi dengan enzim seperti peroksidase Rantam
2003. Teknik imunohistokimia polimer peroksidase merupakan teknik yang
yang banyak digunakan. Teknik ini mengunakan dua macam antibodi, yaitu antibodi primer dan antibodi sekunder yang yang telah dikonjugasikan
dengan peroksidase. Reaksi yang ditimbulkan dapat diamati dengan mikroskop cahaya yang dapat memberikan gambaran kualitatif dari intensitas
produk warna yang terbentuk. Antibodi primer akan berikatan dengan antigen pada jaringan yang dideteksi. Antibodi primer selanjutnya akan berikatan
dengan antibodi sekunder yang telah dilabel dengan peroksidase, sehingga keberadaan enzim peroksidase ini melambangkan adanya kompleks antigen-
antibodi. Untuk dapat mendeteksi peroksidase ditambahkan suatu kromogen yang dapat menghasilkan warna pada suatu reaksi sehingga produk dapat
tervisualisasi Lehr et al. 1999. Kromogen yang digunakan adalah DAB 3,3-diaminobenzidine sehingga menghasilkan produk berwarna coklat.
Pewarnaan IHK yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan dua jenis antibodi primer, yaitu antibodi anti CD4 dan antibodi anti kaspase-3.
CD4 merupakan protein penanda permukaan sel T helper dan kaspase-3 merupakan penanda apoptosis.
4.5.1 Evaluasi Keberadaan Penanda Permukaan Sel Th CD4
Limfosit pada mukosa usus pertama kali berinteraksi dengan antigen dalam jaringan limfoid yang terorganisasi
Peyer’s patch dan folikel limfoid pada kolon, kemudian berdiferensiasi dan matang di pusat germinal pada
folikel limfoid. Setelah itu, limfosit akan dengan cepat meninggalkan mukosa dan bermigrasi melalui mesenteric lymphoid nodes MLN dan duktus toraks
thoracic duct untuk mencapai sirkulasi sistemik Stephen dan Martin 1994. Serat pangan dapat memodifikasi proporsi sel limfosit T CD4 dan CD8
pada MLN. Sel Tc CD8 meregulasi perkembangan sel Th CD4 dengan memproduksi IFN- atau sitokin lainnya yang menekan perkembangan sel
Th2 dan mendukung perkembangan sel Th2. Sel Th1 memproduksi IL-2, IFN-
, dan limfotoksin, sedangkan sel Th2 memproduksi IL-4 dan Il-5. Pada tikus yang diberikan ransum mengandung pektin, proporsi CD4 yang tinggi
dan proporsi CD8 yang lebih rendah terlihat dari jumlah IFN- yang
terbentuk dibandingkan pada tikus yang diberi serat selulosa, chitosan, dan konjak mannan. Hal ini menunjukkan bahwa pektin mampu memediasi
terjadinya diferensiasi sel T menjadi sel Th CD4 Lim et al. 1997. Hipotesis mengenai kemampuan serat pangan dalam meningkatkan
proliferasi sel limfosit dilaporkan berkaitan dengan produksi asam-asam lemak rantai pendek ALRP, asetat, propionat, dan butirat, sebagai hasil
fermentasi serat pangan Schley dan Field 2002. Produksi ALRP, terutama butirat, di dalam kolon mampu menurunkan kebutuhan sel-sel epitel akan
gluthamine, sehingga glutamin yang ada dapat digunakan oleh sel-sel lainnya,
misalnya sel imun Jenkins et al. 1999. Produksi ALRP dikatakan mampu meningkatkan level glutamin dalam serum, yang mana glutamin merupakan
sumber energi penting untuk sel limfosit Wu et al. 1991. Adanya komponen fenolik juga dapat berperan sebagai antioksidan
yang mampu melindungi sel limfosit dari stress oksidatif, yang diduga melalui kemampuannya dalam mendonorkan elektron atau mekanisme
menangkap scavanger radikal bebas menjadi produk non reaktif dan kemampuan sebagai pengkelat logam quencher sehingga tidak memicu
terbentuknya radikal bebas hidroksil OH yang bersifat sangat reaktif merusak sel. Menurut Haliwell dan Gutteridge 2000 radikal bebas dapat
dihasilkan selama proses pembentukan ATP atau transport elektron, namun jumlah radikal yang dihasilkan dapat diseimbangkan oleh jumlah komponen
fenolik ata sistem antioksidan yang ada dalam tubuh sehingga tidak terjadi stress oksidatif pada sel limfosit.
LH
+
LOO
ArOH + LOO
LOOH +ArOH a
ArO + LO
LOO – ArO
ArOH + M
AOH – M
b
Gambar 17 Reaksi scavanger a dan reaksi quencher b dari komponen fenolik Hall dan Cuppet 1997
Mekanisme scavanger senyawa antioksidan fenolik ArOH melalui pemberian elektron pada radikal peroksil LOO sehingga radikal peroksil
tidak bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh LH dan terbentuk radikal yang lebih stabil seperti hidroperoksida LOOH dan radikal fenoksil ArO
reaksi a. Radikal fenoksil bereaksi dengan radikal alkoksil LO membentuk produk non radikal atau non reaktif LOO-ArO dan mekanisme
pengkelat logam reaksi b Hall dan Cuppet 1997. Dugaan mekanisme
komponen fenolik dalam melindungi sel limfosit dari stress oksidatif dapat dilihat pada Gambar 17.
Selain itu, peningkatan respon proliferasi sel limfosit juga diduga karena komponen fenolik seperti asam ferulat, p-caumarin, dan flavonoid,
yang sangat mudah berikatan protein Rooney 2005. Terikatnya senyawa fenol pada protein reseptor membran limfosit akan mengaktivasi sistem
enzim membran yang berperan dalam proliferasi. Pengikatan komponen bioaktif sorgum pada reseptor permukaan sel T mengaktivasi protein G yang
selanjutnya mengaktivasi fosfolipase C. Enzim ini menghidrolisis fosfatidil inositol bifosfat PIP2 menjadi produk reaktif diasilgliserol DAG dan
inositol trifosfat IP3, dua molekul yang berperan dalam penandaan membran sel. Inositol trifosfat berdifusi dari membran plasma ke sitosol dan
berikatan dengan protein reseptor pada permukaan sitoplasmik Calcium- sequestering Compartement. Pengikatan tersebut menyebabkan terbukanya
pintu saluran Ca
2+
dan berakibat pada peningkatan konsentrasi Ca
2+
sitosol. Peningkatan Ca
2+
ini berperan penting dalam menstimulasi kerja enzim protein kinase C. Protein kinase C teraktivasi memfosforilasi atau
memindahkan gugus fosfat ke residu serin atau treonin spesifik pada protein membran sehingga mengaktivasi pertukaran Na
+
-H
+
dan berakibat pada peningkatan pH. Peningkatan pH tersebut memberi tanda pada sel untuk
melakukan proliferasi. Pengikatan ion Ca
2+
pada kalmodulin menyebabkan perubahan konformasi protein dan mengaktivasi enzim protein kinase C yang
berperan dalam produksi interleukin-2 IL-2 yang selanjutnya mengaktivasi sel limfosit B dan T untuk berproliferasi Alberts et al. 1994, Tejasari 2007.
Adapun ekspresi CD4 dari hasil penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 18. Adanya protein penanda permukaan ini menunjukkan adanya sel
limfosit Th pada kolon mencit. Meskipun sel Th tidak bersifat sitotoksik bagi sel kanker, tetapi dapat berperan dalam respon antikanker dengan
memproduksi berbagai sitokin yang diperlukan oleh sel Tc menjadi sel efektor. Sel yang mengandung kanker akan mengekspresikan antigennya
bersama molekul MHC I yang kemudian membentuk kompleks melalui TCR T-cell Receptor dari sel Tc dan mengaktivasi sel Tc untuk menghancurkan
sel kanker tersebut. Namun, sebagian kecil dari sel kanker akan mengekspresikan antigen kanker bersama MHC kelas II, sehingga dapat
dikenali dan membentuk kompleks dengan limfosit T helper. Hal ini menyebabkan sel Th teraktivasi, terutama subset Th1, untuk mensekresi
limfokin IFN- dan TNF- α yang mana keduanya akan merangsang antigen
kanker untuk lebih banyak lagi mengekspresikan molekul MHC kelas I dan sensitivitas sel kanker terhadap lisis oleh sel Tc. Hal ini akan lebih
mengoptimalkan sitotoksisitas dari sel Tc terhadap sel-sel kanker Delves dan Roitt 2000a.
Gambar 18 Fotomikrograf kolon mencit dengan histopatologi IHK menggunakan antibodi anti-CD4. K- Kelompok kontrol nega-
tif, K+ Kelompok tanpa sorgum + AOM-DSS, S50 Kelom- pok sorgum 50 + AOM-DSS, S100 Kelompok sorgum 100
+ AOM-DSS. = positif CD4 ditandai warna coklat.
Hasil pengujian atau skoring penanda CD4 pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian tepung sorgum sebanyak 50 dan 100
K- K+
S50 S100
sebagai pengganti sumber karbohidrat maizena tidak mampu meningkatkan ekspresi CD4 pada mencit yang diinduksi kanker kolon. Hal ini ditunjukkan
oleh skor penanda CD4 kelompok S50 dan S100 yang tidak berbeda nyata dengan kelompok K+ Tabel 15, Lampiran 9.
Tabel 15 Pengujian penanda CD4 pada kolon mencit dengan pewarnaan IHK menggunakan antibodi anti-CD4
Kelompok Skor penanda CD4
K- 1,20
± 0,45
a
K+ 1,67
± 1,63
ab
S50 2,33
± 1,03
ab
S100 2,67
± 0,82
b
Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 p0,05
B eberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa β-glukan, yang
merupakan salah satu komponen serat pada sorgum, diketahui bermanfaat bagi kesehatan karena dapat meningkatkan fungsi imun dan memiliki efek
antitumor Knudsen et al. 1993 . Suplementasi β-glukan dari ekstrak
Saccharomyces cerivisiae pada babi , menunjukkan bahwa β-glukan mampu
berperan sebagai imunomodulator dengan menumbuhkan reaksi imun spesifik dan meningkatkan imunitas nonspesifik serta toleransi terhadap
antigen oral. Babi yang disuplementasi 0,02 β-glukan terlihat memiliki
jumlah MHC II Major Histocompatibility Complex, CD4, dan CD8 yang lebih tinggi dibandingkan pada kelompok babi yang diberi antibiotik,
antibiotik dan 0,02 β-glukan, serta kelompok tanpa antibiotik atau β-glukan
Hahn et al. 2006. Penelitian Suzuki et al. 1989 menunjukkan bahwa mencit yang
disuplementasi 40 dan 80 mgkg β-glukan dari filtrat kultur jamur Sclerotina
sclerotiorum memiliki respon proliferatif sel-sel limfosit yang lebih tinggi dibandingkan pada mencit yang diberikan ransum standar. Adminitrasi 80
mgkg β-glukan secara oral juga mampu meningkatkan aktivitas sel natural
killer dan aktivitas enzim lisosomal dari makrofag peritoneal. Puspawati 2009 juga melaporkan bahwa pemberian tepung sorgum
yang disosoh selama 20 detik sebanyak 50 dan 100 pada tikus percobaan
mampu meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit sebesar 70 dan 63. Secara in vitro, ekstrak sorgum menggunakan pelarut etil asetat, etanol, dan
heksana juga dilaporkan mampu menstimulasi proliferasi sel-sel limfosit Salimi 2012.
4.5.2 Evaluasi Keberadaan Penanda Enzim Kaspase-3
Selain keberadaan penanda permukaan CD4, keberadaan enzim apoptosis juga penting diamati untuk melihat kemampuan suatu bahan
pangan sebagai pencegah kanker kolon. Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram, yang merupakan proses fisiologis penting dalam
perkembangan normal untuk menjaga homeostasis sel. Peningkatan apoptosis dari sel-sel kanker dapat digunakan sebagai salah satu metode representatif
untuk mencari potensi antikanker dari suatu bahan. Adapun β-glukan dilaporkan memiliki efek apoptosis terhadap sel kanker kolon melalui jalur
kaspase-3 Kim et al. 2009. Oleh karena itu, keberadaan β-glukan pada
sorgum menjadi sangat menarik untuk diteliti dalam kaitannya dengan keberadaan enzim ini.
Kaspase-3 merupakan salah satu jenis kaspase efektor yang berperan dalam aktivasi proteolitik selama apoptosis, dengan sasaran morfologis
berupa perubahan ukuran inti sel Foitzik et al. 2009. Adanya ekspresi kaspase-3 pada jaringan kolon dapat diamati pada Gambar 19. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemberian sorgum mampu meningkatkan ekspresi kaspase-3 pada kolon mencit. Hal ini dapat dilihat dari skor penanda
kaspase-3 pada kelompok S50 dan S100 yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok K+ Tabel 16, Lampiran 10.
Tabel 16 Skor penanda kaspase-3 pada kolon dengan pewarnaan IHK Kelompok
Skor penanda Kaspase-3
K- 1,00
± 0,71
a
K+ 1,20
± 0,45
a
S50 2,80
± 0,84
b
S100 2,80
± 1,10
b
Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5