Adapun fermentasi CMC cenderung lebih menghasilkan asam asetat dan propionat Metzler-Zebeli et al. 2010.
Kelompok S50 dan S100 memiliki jumlah asam butirat yang lebih tinggi dibandingkan kelompok K- dan K+ Tabel 13. Jumlah asam butirat
juga meningkat seiring semakin banyaknya tepung sorgum yang ditambahkan pada ransum. Hal ini sesuai dengan pendapat Casterline et al. 1997 yang
menyatakan bahwa fermentasi β-glukan akan menghasilkan jumlah asam
butirat yang tinggi. Pemberian β-glukan yang berasal dari oat dan barley pada
tikus percobaan menunjukkan distribusi molar asam butirat sebanyak 15 dan sebanyak 26 pada penelitian in vitro Henningsson et al. 2001.
Selain jenis serat, waktu juga berperan terhadap adaptasi mikroflora yang selanjutnya akan menentukan pola ALRP yang akan terbentuk selama
fermentasi. Pemberian pati kentang mentah pada tikus selama 4 minggu menunjukkan peningkatan proporsi asam butirat yang signifikan pada sekum.
Namun, penambahan lama waktu adaptasi menjadi 6 minggu ternyata tidak memberikan efek terhadap proporsi asam butirat Henningson et al. 2001.
Asam butirat merupakan substrat energi utama bagi sel-sel kolon dan dimetabolisme menjadi glukosa dan glutamin, yang memenuhi 70
kebutuhan mukosa kolon. Asam butirat dilaporkan berperan penting dalam pencegahan dan perawatan dari penyakit mukosa kolon, misalnya peradangan
kolon bagian distal serta kanker kolon Scheppach et al. 1995. Hal ini didukung oleh penelitian mengenai pemberian diet kaya
β-glukan dari oat mampu menurunkan sakit abdominal dan refluks gastroesofageal pada pasien
ulcerative colitis radang usus. Hal ini dikarenakan diet kaya β-glukan dari
dedak oat diketahui dapat meningkatkan konsentrasi asam butirat pada feses Henningsson et al. 2001.
Meskipun asam butirat berperan sebagai sumber energi utama untuk epitel kolon normal dan menstimulasi pertumbuhan mukosa kolon, namun
pertumbuhan sel tumor pada kolon justru terhambat. Asam butirat juga mampu meningkatkan diferensiasi sel dan menstimulasi apoptosis pada sel
tumor. Pada hewan model, konsentrasi asam butirat yang tinggi pada kolon yang dihasilkan dari fermentasi dedak gandum, pati resisten, dan
fruktooligosakarida diketahui mampu menjadi agen protektif terhadap karsinogenesis kolon akibat induksi karsinogen Perrin et al. 2001b.
Karena asam butirat diketahui bermanfaat bagi kesehatan kolon, maka terdapat beberapa penelitian mengenai usaha pemberian butirat dalam bentuk
tunggal secara oral kepada hewan percobaan. Deschner et al. 1990 mencoba memberikan 5 tributirin dalam diet mencit yang diinduksi azoksimetana
AOM, namun tidak terlihat adanya efek protektif terhadap pembentukan tumor kolon. Caderni et al. 1998 memberikan 1,5 bb sodium butirat
150 mg butirat per hari yang akan terlepas secara lambat hingga mencapai kolon tikus F344 yang diinduksi AOM, namun tidak terlihat manfaatnya
terhadap pencegahan pembentukan kripta aberan prekursor kanker kolon, meskipun jumlah butirat yang tersedia pada kolon lebih tinggi dibandingkan
kontrol. Hal yang sama juga terlihat bahwa pemberian pellet 1,5 bb sodium butirat tidak menunjukkan adanya efek butirat terhadap apoptosis sel-
sel tumor Caderni et al. 2001. Akan tetapi, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami perbedaan peranan butirat yang diberikan dalam
bentuk tunggal maupun yang dihasilkan dari fermentasi serat pangan dalam perkembangan karsinogenesis kolon.
4.4 Aktivitas Enzim β-glucoronidase pada Mencit Balbc
Penelitian mengenai kemampuan bakteria kolon dalam pembentukan berbagai mutagen, karsinogen, dan promotor tumor, baik dari makanan yang
dikonsumsi maupun prekursor yang diproduksi secara endogenus telah banyak dilakukan Rowland 1995. Bakteria ini mampu berperan dalam
berbagai aktivitas metabolik, termasuk pembentukan metabolit yang bersifat toksik, transformasi asam empedu, serta hidrolisis dari obat-obatan. Reaksi-
reaksi tersebut dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteria kolon, sehingga pengukuran mengenai enzim tersebut akan memberikan indikasi
mengenai kemampuan bakteri dalam mendukung terjadinya transformasi Shiau dan Chang 1983.
Salah satu enzim bakteria kolon yang memiliki aktivitas penting adalah β-glucoronidase. Enzim ini menghidrolisis MAM-GlcUA metilazoksi-
metanol-glukoronida, yang merupakan hasil konjugasi MAM metilazoksi- metanol dengan asam glukoronat ketika mencapai kolon. MAM dihasilkan
dari reaksi detoksifikasi fase I dari AOM azoksimetana oleh Cytochrome P450 di hati. MAM-GlcUA yang dihasilkan dari reaksi detoksifikasi fase II
tersebut bersifat non karsinogen, namun adanya β-glucoronidase akan
menghidrolisis konjugat tersebut melepaskan MAM bebas yang merupakan karsinogen aktif. Konsentrasi MAM bebas yang tinggi pada mukosa kolon
akan meningkatkan oksidasi MAM oleh ADH Alcohol Dehidrogenase melalui reaksi alkilasi menghasilkan ion methyl carbonium. Ion tersebut
bersifat hidrofilik dan mampu berkonjugasi dengan DNA. Terjadinya mutasi DNA tersebut merupakan awal dari karsinogenesis kolon Takada et al. 1982,
Rosenberg et al. 2009 Humblot et al. 2007 menyatakan bahwa
β-glucoronidase mampu menjadi biomarker pembentukan kanker kolon karena enzim ini berpotensi
mengaktifkan toksin glukoronida hati dan mutagen. Kadar β-glucoronidase
pada kolon dapat menggambarkan resiko karsinogenesis kolon. Kadar enzim ini dilaporkan meningkat seiring meningkatnya konsumsi protein dan lemak
hewani, serta menurun seiring meningkatnya konsumsi serat pangan Shiau dan Chang 1983.
Aktivitas enzim β-glucoronidase berhubungan dengan sekresi asam empedu. Asam empedu tersebut disekresikan pada duodenum dalam bentuk
konjugat, yang kemudian didegradasi oleh enzim yang dihasilkan bakteri usus menjadi produk dekonjugasi atau asam empedu sekunder. Ekskresi konjugat
asam empedu mampu meningkatkan ekskresi β-glucoronidase oleh Eschericia coli dan Clostridium perfringens. Ekskresi asam empedu pada
feses dilaporkan meningkat seiring tingginya konsumsi lemak Fujisawa dan Mori 1997.
β-glucoronidase diproduksi oleh bakteria kolon, terutama oleh Eschericia coli dan Clostridium perfringens Jenab dan Lilian 1996. Secara
umum, adanya spesies Bifidobacterium dan Lactobacillus berkaitan dengan penurunan aktivitas enzim yang berperan dalam pembentukan karsinogen.
Hal ini dikarenakan bakteri asam laktat hanya sedikit sekali menghasilkan β-
glucoronidase. Oleh karena itu, peningkatan proporsi bakteri asam laktat di dalam usus dapat menurunkan aktivitas enzim tersebut Saito et al. 1992.
Tempat utama terjadinya fermentasi serat pangan pada usus besar terjadi pada bagian sekum
Zdúczyk et al. 2006. Sekum merupakan bagian awal usus besar, setelah akhir usus halus. Oleh karena itu karena itu
pengukuran aktivitas enzim mikroba dapat dilakukan pada bagian sekum. Penelitian ini mengukur aktivitas
β-glucoronidase pada dinding sekum. Hal ini dilakukan karena enzim ini selain terdapat pada isi sekum juga bisa
ditemukan pada dinding sekum Gadelle et al. 1985. Pengukuran
aktivitas β-glucoronidase dilakukan menggunakan
phenolphtalein glucoronida. Adanya enzim β-glucoronidase di dalam sampel
akan melepaskan phenolphtalein dari glukoronida, sehingga dapat digunakan sebagai prinsip pengukuran aktivitas enzim ini. Aktivitas
β-glucoronidase sebanding dengan jumlah phenolphtalein yang dilepaskan, yang mana
diperkirakan menggunakan kurva standar phenolphtalein. Aktivitas spesifik dihitung sebagai nmol phenolphthalein yang dilepaskanmg protein
sekummenit, sedangkan aktivitas total β-glucuronidase ditentukan sebagai
nmol phenolphthalein yang dilepaskan mg sekummenit Jenab dan Lilian 1996.
Tabel 14 Aktivitas enzim β-glucoronidase pada kelompok mencit
Kelompok Aktivitas
β-glucuronidase
Aktivitas spesifik nmol PP mg protein sekum menit
Aktivitas total nmol PP sekum menit
K- 6,16 ± 2,46
a
241,80 ± 103,71
a
K+ 21,45 ± 6,36
c
504,48 ± 128,64
c
S50 11,32 ± 2,55
b
343,29 ± 62,05
b
S100 10,79 ± 3,72
b
247,46 ± 76,49
ab
Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 p0,05.
Tabel 14 menunjukkan hasil pengukuran aktivitas enzim β-
glucuronidase pada kelompok mencit. Adanya induksi AOM-DSS tanpa pemberian tepung sorgum pada kelompok K+ menyebabkan mencit pada
kelompok ini memiliki aktivitas spesifik dan aktivitas total β-glucuronidase
yang secara signifikan lebih tinggi diantara kelompok yang lain. Pemberian
tepung sorgum pada mencit percobaan yang diinduksi AOM-DSS kelompok S50 dan S100 menunjukkan bahwa serat pada tepung sorgum secara
signifikan mampu menurunkan aktivitas spesifik dan aktivitas total β-
glucoronidase dibandingkan pada kelompok K+ Lampiran 8. Penurunan aktivitas enzim
β-glucoronidase menunjukkan bahwa pemberian tepung sorgum mampu menurunkan resiko kanker kolon. Adapun penurunan
aktivitas enzim tersebut diduga adanya pengaruh dari jenis serat yang digunakan dalam komposisi ransum.
Kelompok kontrol menggunakan sumber serat berupa CMC, sedangkan kelompok perlakuan menggunakan campuran serat CMC dan serat
yang berasal dari sorgum. Serat pangan yang terdapat sorgum adalah selulosa, hemiselulosa, lignin, dan
β-glukan. Serat tidak larut seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin umumnya tahan terhadap degradasi mikrobial
sehingga hanya sebagian kecil yang terfermentasi. Sebaliknya hampir semua serat larut
β-glukan dapat dengan cepat difermentasi secara sempurna. β- glukan diketahui berpotensi mencegah terjadinya penyakit degeneratif seperti
hiperglikemia, hiperkolesterolemia, obesitas, penyakit kardiovaskular, kanker, dan membantu meningkatkan pertumbuhan probiotik Laroche dan
Michaud 2006. Karena
β-glukan lebih difermentasi secara sempurna, maka β-glukan akan lebih disukai untuk pertumbuhan bakteri asam laktat dibandingkan
selulosa. Dengan adanya kandungan serat β-glukan, pemberian sorgum
diduga akan lebih meningkatkan jumlah bakteri asam laktat, yang mana bakteri ini sedikit sekali memproduksi enzim
β-glucoronidase, sehingga akan menurunkan aktivitas enzim tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, CMC memiliki kemampuan terfermentasi yang rendah sehingga lebih sedikit menghasilkan asam-asam
lemak rantai pendek yang dapat mengasamkan lingkungan kolon. Hal ini dapat menyebabkan kelompok kontrol K- dan K+ memiliki jumlah bakteri
asam laktat yang lebih sedikit dibandingkan kelompok sorgum S50 dan S100. Hanya saja penelitian mengenai jumlah bakteri asam laktat pada isi
sekum tidak dilakukan pada penelitian ini.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Metzler-Zebeli et al. 2010 yang menyatakan bahwa babi yang displementasi CMC memiliki jumlah
Lactobacilli yang lebih rendah dibandingkan pada babi yang disuplementasi β-glukan. Meskipun kelompok K- memiliki sumber serat yang sama dengan
kelompok K+ yakni berupa CMC, namun aktivitas β-glucoronidasenya
terlihat lebih rendah dibandingkan pada kelompok yang diberikan sorgum. Hal ini dikarenakan kelompok K- tidak diberikan induksi karsinogen,
sehingga aktivitas hidrolisis produk konjugasi hasil detoksifikasi karsinogen juga lebih rendah.
Shiau dan Chang 1983 melakukan penelitian mengenai peranan beberapa jenis serat pangan terhadap aktivitas spesifik enzim
β- glucoronidase. Penelitian ini menggunakan jenis serat berupa guar gum,
pektin, karagenan, dan selulosa masing-masing sebanyak 15 dalam diet yang dibandingkan dengan pemberian diet bebas serat pada kelompok tikus
percobaan. Kelompok tikus bebas serat memiliki aktivitas spesifik β-
glucoronidase yang paling tinggi dibandingkan kelompok tikus yang lain, yakni 5,8±0,7 µmol phenolphtalein menitmg N, diikuti karagenan
1,8±0,6 mol phenolphtalein menitmg N, selulosa 1,2±0,4 µmol phenolphtalein menitmg N, guar gum 1,0±0,3 µmol phenolphtalein
menitmg N, dan pektin 0,8±0,1 µmol phenolphtalein menitmg N. Hal yang sedikit berbeda terlihat pada hasil pengukuran aktivitas total.
Kelompok tikus bebas serat masih memiliki aktivitas total yang paling tinggi, yakni 894±207 µmol phenolphtalein menithari, kemudian diikuti selulosa
303±110 µmol phenolphtalein menithari, karagenan 243±108 µmol phenolphtalein menithari, guar gum 208±55 µmol phenolphtalein
menithari, dan pektin 112±32 µmol phenolphtalein menithari. Pada penelitian ini, p
enurunan aktivitas β-glucoronidase pada kelompok sorgum diduga hanya terjadi karena adanya peningkatan jumlah bakteria
asam laktat yang hanya sedikit sekali memproduksi enzim tersebut. Hal ini dikarenakan enzim β-glucoronidase memiliki pH optimum sekitar 6,5 – 7,0
Gadelle et al. 1984. Hasil pengukuran pH feses menunjukkan bahwa semua kelompok mencit memiliki pH feses di atas 7,0. Hasil tersebut menandakan
bahwa semua kelompok mencit memiliki pH lingkungan kolon yang bukan merupakan pH optimum bagi β-glucoronidase ini. Oleh karena itu, penurunan
aktivitas enzim ini diduga terjadi karena penurunan jumlah enzim yang diproduksi akibat meningkatnya proporsi bakteria asam laktat.
4.5 Evaluasi Keberadaan Penanda Permukaan Sel T Helper CD4 dan En- zim Kaspase-3 pada Kolon Mencit Balbc dengan Pewarnaan Imuno-
histokimia IHK
Inumohistokimia IHK merupakan salah satu metode kuantitatif untuk mendeteksi reaksi antigen-antibodi sebagai manifestasi interaksi antigen-
antibodi primer Bellanti 1993. Istilah imunohistokimia lebih disukai sebagai teknik pemeriksaan imunologis pada potongan jaringan. Imunohistokimia
adalah suatu metode pewarnaan antigen misalnya protein dan karbohidrat pada sel dari jaringan menggunakan prinsip dasar imunologi yaitu pengikatan
antigen pada sisi aktif yang spesifik dengan antibodi Brandtzaeg et al. 1997. Pereaksi yang digunakan adalah antibodi poliklonal atau monoklonal
yang harus diujikan pada potongan jaringan. Hasil reaksi antigen dan antibodi ini dapat diidentifikasi pada spesimen karena antibodi diikat oleh suatu
penanda yang dapat divisualisasikan, sehingga dapat menandai kerberadaan antigen di dalam jaringan Nurhidayat 2002. Adapun cara yang paling sering
digunakan untuk memvisualisasikan hasil interaksi antigen dan antibodi adalah dengan konjugasi antibodi dengan enzim seperti peroksidase Rantam
2003. Teknik imunohistokimia polimer peroksidase merupakan teknik yang
yang banyak digunakan. Teknik ini mengunakan dua macam antibodi, yaitu antibodi primer dan antibodi sekunder yang yang telah dikonjugasikan
dengan peroksidase. Reaksi yang ditimbulkan dapat diamati dengan mikroskop cahaya yang dapat memberikan gambaran kualitatif dari intensitas
produk warna yang terbentuk. Antibodi primer akan berikatan dengan antigen pada jaringan yang dideteksi. Antibodi primer selanjutnya akan berikatan
dengan antibodi sekunder yang telah dilabel dengan peroksidase, sehingga keberadaan enzim peroksidase ini melambangkan adanya kompleks antigen-