Fixed Effect Model FEM

perdagangan manufaktur menyebabkan neraca perdagangan ekonomi Indonesia secara keseluruhan pada beberapa tahun terakhir menjadi menurun. Walaupun pada tahun 2009 mengalami sedikit peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu sebesar US 19.740,80 juta Tabel 9. Tabel 9. Neraca Perdagangan Indonesia Juta US , Tahun 2005 – 2009 Tahun Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 Neraca Perdagangan Manufaktur 10.274,00 14.503,80 12.174,00 -24.572,50 -13.812,00 Neraca Perdagangan Non Manufaktur 17.757,90 25.315,10 27.536,70 32.523,00 33.606,80 Neraca Perdagangan Trade Balance 28.031,90 39.818,90 39.710,70 7.950,50 19.794,80 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Wie 2006 mengungkapkan bahwa kinerja ekspor hasil-hasil industri Indonesia sejak krisis ekonomi masih belum menggembirakan dan hal ini lebih banyak disebabkan oleh faktor internal masalah dalam negeri dibandingkan perkembangan faktor eksternal pertumbuhan perdagangan dunia yang kurang menguntungkan. 20 40 60 80 100 120 140 N A D S u m u t S u m b a r R ia u Ja m b i S u m se l B e n g k u lu L a m p u n g D K I Ja b a r Ja te n g D IY Ja tim B a li N T B N T T K a lb a r K a lte n g K a ls e l K a lti m S u lu t S u lte n g S u ls e l S u ltr a M a lu k u P a p u a -15 -10 -5 5 10 15 20 Im por Ekspor Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Gambar 6. Rata-rata Pertumbuhan Ekspor – Impor menurut Provinsi, Tahun 2001 – 2009 Selama periode 2001-2009, rata-rata pertumbuhan ekspor maupun impor di tingkat provinsi mengalami kecenderungan menurun. Rata-rata pertumbuhan ekspor selama periode tersebut sebesar 5,12 persen turun menjadi -1,17 persen. Sedangkan rata-rata pertumbuhan impor selama periode tersebut, mengalami penurunan dari 7,01 persen menjadi 2,86 persen. Apabila dilihat rata-rata pertumbuhan masing-masing provinsi, provinsi Sulawesi Barat mempunyai rata- rata pertumbuhan ekspor tertinggi 17,29 persen dan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai rata-rata pertumbuhan ekspor yang terendah -9,99 persen. Selain itu provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai rata-rata pertumbuhan impor tertinggi yaitu sebesar 126,64 persen. Adapun provinsi Jawa Barat merupakan wilayah dengan rata-rata pertumbuhan impor terendah Gambar 6. Tabel 10. Impor Menurut Golongan Penggunaan Barang, Tahun 2000 – 2009 TAHUN Konsumsi Bahan Baku Barang Modal 2000 8,11 77,63 14,25 2001 7,27 77,12 15,60 2002 8,47 77,43 14,10 2003 8,79 78,33 12,88 2004 8,14 77,82 14,04 2005 8,01 77,63 14,36 2006 7,76 77,25 14,99 2007 8,78 75,85 15,37 2008 6,43 77,01 16,56 2009 6,97 71,92 21,11 Sumber : Badan Pusat Statistik , diolah Apabila dilihat dari struktur impor non migas, Indonesia masih sangat tergantung pada impor barang-barang konsumsi dan industri khususnya barang- barang modal dan bahan baku serta penolong. Hal ini mencerminkan bahwa selama ini usaha pemerintah dalam industrialisasi belum berhasil mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor atas produk-produk tersebut. Terlihat pada Tabel 10, bahwa impor bahan baku dan penolong serta barang modal mempunyai porsi yang terbesar dibandingkan impor barang konsumsi. Selama periode 2000-2009, rata-rata impor bahan baku sebesar 76,80 persen, impor barang modal sebesar 15,33 persen, dan impor barang konsumsi sebesar 7,87 persen. Sedangkan rata-rata pertumbuhan impor bahan baku sebesar 15,04 persen, impor barang modal sebesar 20,90 persen, dan impor barang konsumsi sebesar 12,41 persen selama periode 2001-2009. Ketergantungan Indonesia terhadap impor barang modal dan bahan baku mencerminkan bahwa industri pendukung middlestream di Indonesia belum berkembang. Semakin ironis ketika bahan baku yang di impor Indonesia dalam bentuk sudah diolah setengah jadi merupakan bahan baku utama industri dalam negeri Tambunan, 2006. Disisi lain dengan masih besarnya ketergantungan industri di Indonesia terhadap input impor, pada saat impor bahan baku dan barang modal menurun merupakan indikasi bahwa sektor industri di Indonesia sedang mengalami penurunan kinerja. Sektor manufaktur Indonesia mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap input impor. Hal ini mengindikasikan lemahnya keterkaitan industri dalam negeri. Selain itu, industri manufaktur terkonsentrasi di kota-kota besar terutama wilayah Jawa. Keadaan ini akan berdampak pada ketimpangan pendapatan regional dan menyebabkan urbanisasi. Selama ini pemerintah telah banyak melakukan usaha untuk meningkatkan daya saing ekspor Indonesia dengan membentuk Badan Ekspor Impor Indonesia. Akan tetapi, efektivitas langkah yang dilakukan pemerintah selama ini dalam upaya meningkatkan ekspor ternyata belum menyentuh akar permasalahan yang dihadapi oleh para eksportir Indonesia. Menurut Word Bank 2004, penyebab utama lambannnya pertumbuhan ekspor adalah: 1. Daya saing biaya cost competitiveness yang merosot akibat apresiasi rupiah dan inflasi yang lebih tinggi dibanding inflasi mitra dagangnya. Menurut International Moneter Fund IMF, biaya satuan pekerja di Indonesia saat ini 35 persen lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis. Daya saing biaya dari industri-industri manufaktur Indonesia disebabkan oleh biaya transaksi domestik yang besar di Indonesia. 2. Investasi yang menurun. Iklim usaha Indonesia yang buruk menghambat pertumbuhan ekspor karena tidak bisa menarik investasi asing yang sebelum krisis justru merupakan pelaku utama dalam mendorong ekspor non migas, termasuk hasil-hasil industri. Langkanya investasi asing mengakibatkan tidak adanya penambahan kapasitas produksi, peremajaan mesin-mesin, perluasan jenis produk diversifikasi dan peningkatan mutu barang. Pengalaman pemerintahan orde baru menunjukkan betapa pentingnya investasi asing, yaitu PMA dalam peningkatan ekspor non-migas, khususnya ekspor hasil-hasil industri. Lonjakan ekspor yang menakjubkan dari China dalam 10 tahun terakhir sebagian besar disebabkan oleh kegiatan yang berorientasi ekspor dari PMA di negara tersebut. 3. Persaingan internasional semakin tajam. China dan Vietnam merupakan pesaing yang kuat bagi Indonesia karena kedua negara tersebut bersaing dalam ekspor hasil-hasil industri padat karya yang sama dengan Indonesia. Misalnya industri tekstil, garmen, dan alas kaki, yang pada kenyataannya tumbuh lebih pesat dibanding ekspor Indonesia Pangestu, 2005. 4. Fasilitasi perdagangan yang lemah. Berbagai hambatan di pelabuhan dan prasarana fisik merupakan salah satu faktor utama yang menambah biaya ekspor. Meskipun tarif penggunaan pelabuhan Indonesia relatif rendah, namun hampir semua ekspor Indonesia dalam kontainer disalurkan transshippedi melalui Singapura atau Malaysia. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak mempunyai pelabuhan pendukung dan rendahnya efisiensi pelabuhan Indonesia.

4.3 Tingkat Keterbukaan Ekonomi Openness di Indonesia

Pada akhir abad 19, aliran barang, modal, dan informasi lintas batas negara telah menciptakan suatu dinamika yang sangat kuat bagi terjalinnya integrasi global. Namun meletusnya perang dunia pertama yang diikuti dengan terjadinya depresi hebat great depression telah memperlambat proses integrasi dunia. Proses ini kembali berlanjut secara menyakinkan sejak 25 tahun yang lalu sebagaimana ditandai oleh kegairahan kegiatan perdagangan, keuangan internasional serta mobilitas manusia antar negara yang semakin tinggi. Kegiatan perdagangan merupakan pencetus awal terjadinya proses integrasi global dan kegiatan perdagangan antar negara telah memperlihatkan transformasi yang jelas, baik dari sisi komoditas yang diperdagangkan maupun dari sisi negara tujuan ekspor UNDP, 2005. Keterbukaan ekonomi openness dapat dipandang sebagai kesempatan atau peluang untuk mengoptimalkan keuntungan yaitu keuntungan statis maupun dinamis dari perdagangan luar negeri serta dampak eksternal yang positif dari penanaman modal asing Wie, 2002. Menurut UNDP 2005, ada tiga alasan yang mendorong semakin meningkatnya kegiatan perdagangan antar negara yaitu