1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berbagai teori pembangunan ekonomi, mulai dari teori ekonomi klasik Adam Smith, Robert Malthus dan David Ricardo sampai dengan teori ekonomi
modern W.W. Rostow dan Simon Kuznets, pada dasarnya menyatakan bahwa pembangunan ekonomi senantiasa terjadi dalam beberapa tahapan pergeseran
peranan stages of development dari sektor primer ke sektor sekunder bahkan sektor tersier. Selain itu, munculnya teori pertumbuhan wilayah yang
dikemukakan oleh Kaldor 1966 yang menyebutkan bahwa sektor manufaktur sebagai sektor sekunder merupakan mesin pertumbuhan engine of growth dalam
sistem perekonomian bagi suatu negara atau wilayah Dasgupta dan Singh, 2006. Oleh karena itu, perkembangan sektor manufaktur dari suatu negara dapat
digunakan menjadi salah satu indikator dari tahap perkembangan perekonomian negara tersebut.
Munculnya teori pertumbuhan wilayah memicu banyak negara untuk melakukan industrialisasi untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Akan tetapi ternyata pada beberapa tahun terakhir terjadi gejala deindustrialisasi deindustrialization pada negara-negara maju. Rowthorn dan Wells 1987
melihat gejala deindustrialisasi dari sisi proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja yang semakin menurun Rowthorn dan Ramaswamy, 1997.
Selain dilihat dari sisi pekerja, Blackaby 1979 melihat gejala deindustrialisasi dari penurunan proporsi nilai tambah riil sektor manufaktur terhadap pendapatan
domestik bruto PDB Jalilian dan Weiss, 2000. Deindustrialisasi bagi suatu negara merupakan suatu masalah daripada
sesuatu yang diharapkan. Menurunnya peran industri dalam perekonomian dapat dilihat dari berbagai sisi, misalnya turunnya pekerja di sektor manufaktur,
turunnya produk manufaktur, serta turunnya sektor manufaktur dibanding sektor lain. Salah satu penyebab deindustrialisasi adalah hilangnya keunggulan
kompetitif dari sektor manufaktur suatu negara. Apabila keunggulan kompetitif produk manufaktur suatu negara hilang, maka produk tersebut akan kalah di pasar
internasional. Implikasinya, sektor manufaktur akan menurun dan pada akhirnya
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00 7.00
8.00 9.00
10.00
2001 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009 TRADABLE
NON TRADABLE PDB TANPA MIGAS
membuat investor menarik investasinya dari sektor manufaktur ke sektor lain atau bahkan ke negara lain. Penyebab lain deindustrialisasi adalah terjadinya
perubahan pola spesialisasi internasional. Apabila suatu negara menemukan sumber alam baru dan relatif besar cadangannya, maka kegiatan eksploitasi
sumber alam tersebut akan meningkat pesat, dan sektor manufaktur akan menurun Kuncoro, 2007.
Deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia diikuti dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang rendah, penurunan nilai tambah sektor manufaktur,
penurunan tingkat investasi, proporsi nilai tambah sektor pertanian terhadap PDB semakin menurun, dan juga lemahnya hubungan antara sektor pertambangan dan
penggalian dengan industri pengolahannya. Deindustrialisasi seperti ini memberikan dampak yang buruk terhadap perekonomian Ruky, 2008.
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi, Sektor Tradeable dan Non-Tradeable Indonesia, Tahun 2001-2009
Memacu pertumbuhan ekonomi merupakan persoalan yang tidak mudah bagi negara seperti Indonesia, karena ada persoalan struktural yang terlewatkan
beberapa tahun terakhir. Pada saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang tidak seimbang dimana pertumbuhan hanya
bertumpu pada perkembangan sektor jasa-jasa yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional dengan leluasa sektor non-tradeable. Sedangkan sektor
barang yang erat kaitannya dengan produksi dan perdagangan sektor tradeable mengalami pertumbuhan yang cenderung menurun dan jauh dibawah