Implikasi Kebijakan KESIMPULAN DAN SARAN

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 TRADABLE NON TRADABLE PDB TANPA MIGAS membuat investor menarik investasinya dari sektor manufaktur ke sektor lain atau bahkan ke negara lain. Penyebab lain deindustrialisasi adalah terjadinya perubahan pola spesialisasi internasional. Apabila suatu negara menemukan sumber alam baru dan relatif besar cadangannya, maka kegiatan eksploitasi sumber alam tersebut akan meningkat pesat, dan sektor manufaktur akan menurun Kuncoro, 2007. Deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia diikuti dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang rendah, penurunan nilai tambah sektor manufaktur, penurunan tingkat investasi, proporsi nilai tambah sektor pertanian terhadap PDB semakin menurun, dan juga lemahnya hubungan antara sektor pertambangan dan penggalian dengan industri pengolahannya. Deindustrialisasi seperti ini memberikan dampak yang buruk terhadap perekonomian Ruky, 2008. Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi, Sektor Tradeable dan Non-Tradeable Indonesia, Tahun 2001-2009 Memacu pertumbuhan ekonomi merupakan persoalan yang tidak mudah bagi negara seperti Indonesia, karena ada persoalan struktural yang terlewatkan beberapa tahun terakhir. Pada saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang tidak seimbang dimana pertumbuhan hanya bertumpu pada perkembangan sektor jasa-jasa yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional dengan leluasa sektor non-tradeable. Sedangkan sektor barang yang erat kaitannya dengan produksi dan perdagangan sektor tradeable mengalami pertumbuhan yang cenderung menurun dan jauh dibawah pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan sektor non-tradeable. Selama periode 2000-2009, rata-rata pertumbuhan sektor non-tradeable sebesar 6,92 persen dan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,87 persen. Sedangkan rata-rata pertumbuhan sektor tradeable sebesar 3,46 persen jauh dibawah rata-rata pertumbuhan sektor non tradeable dan pertumbuhan ekonomi Gambar 1. Kontrasnya gambaran yang terjadi selama periode 2001-2009 sangatlah mengkhawatirkan, karena pada umumnya pertumbuhan ekonomi yang terlalu bertumpu pada sektor non-tradeable sangat berisiko. Secara umum sektor non- tradeable pada umumnya padat modal, padat teknologi serta sangat sedikit menyerap tenaga kerja. Sebaliknya sektor tradeable pada umumnya mampu menyerap banyak tenaga kerja. Dalam mengatasi pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang, bukan berarti dengan menghalangi pertumbuhan sektor non- tradeable, melainkan dengan mengupayakan sektor tradeable dapat tumbuh lebih baik dan cepat agar tidak tertinggal dari sektor non-tradeable Basri, 2009. Tabel 1. Dinamika Sektor Manufaktur di Indonesia Tahun 2003 –2009 persen Tahun a Indikator 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 1. Proporsi pekerja sektor manu- faktur terhadap total pekerja 12.40 11.81 12.27 12.46 12.38 12.24 12.07 2. Pertumbuhan pekerja sektor manufaktur -6.06 -4.76 3.90 1.55 -0.64 -1.13 0.53 3. Proporsi output sektor manu- faktur terhadap PDB b 28.25 28.07 27.41 27.54 27.06 27.87 26.38 4. Pertumbuhan output sektor manufaktur c 5.33 6.38 4.60 4.59 4.67 3.66 2.11 - Migas 0.82 -1.95 -5.67 -1.66 -0.06 -0.33 -2.21 - Bukan Migas 5.97 7.51 5.86 5.27 5.15 4.05 2.52 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Keterangan Tabel: a Tahun 2008 dan 2009 merupakan angka sementara dan sangat sementara b Berdasarkan PDB atas dasar harga berlaku c Berdasarkann PDB atas dasar harga konstan 2000 Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini lebih banyak dipacu dari dalam sehingga sulit tumbuh di atas tingkat potensialnya. Pangsa output sektor manufaktur beberapa tahun terakhir mengalami penurunan dari sekitar 28,72 persen pada tahun 2002 menjadi 26,38 persen pada tahun 2009. Selain itu pertumbuhan output sektor manufaktur sejak tahun 2005 mengalami perlambatan. Pada tahun 2005, sektor manufaktur tumbuh sebesar 4,60 persen dan terus menurun hingga mencapai pertumbuhan 2,11 persen pada tahun 2009. Sedangkan proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja beberapa tahun terakhir juga mengalami perlambatan. Pada tahun 2003, proporsi pekerja sektor manufaktur sebesar 12,40 persen menurun menjadi 12,07 persen. Keadaan ini merupakan salah satu gejala terjadinya deindustrialisasi Tabel 1. Gejala deindustrialisasi yang mencuat dalam perekonomian Indonesia sejak beberapa tahun terakhir sesungguhnya telah sampai pada perwujudannya secara konkret. Pada tahun 2004, Bank Dunia melansir berita bahwa sejak tahun 2003, daya saing komoditi Indonesia memperlihatkan adanya paradoks dalam persaingan industri antar-bangsa. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya daya saing komoditas Indonesia di pasar dunia, akan tetapi di sisi lain banyak industri di Indonesia yang gulung tikar. Terutama industri padat karya, yang menyerap banyak tenaga kerja yaitu industri tekstil dan sepatu. Padahal, kedua industri tersebut merupakan salah satu sub sektor yang mampu menembus pasar ekspor. Berdasarkan fakta ini, kenyataan bahwa Indonesia menghadapi masalah pergeseran orientasi ekspor, yang pada awalnya bertumpu pada manufaktur menjadi terfokus pada komoditas primer LP3ES, 2008.

1.2. Perumusan Masalah

Pembangunan ekonomi jangka panjang dengan pertumbuhan PDB akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor non primer, khususnya sektor manufaktur dengan increasing return to scale relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas yang dinamis sebagai motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi Weiss, 1988. Pembangunan di Indonesia telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu ditandai dengan terjadinya perubahan struktur perekonomian. Proses perubahan struktur perekonomian itu sendiri ditandai dengan: 1 merosotnya pangsa sektor primer yaitu sektor pertanian, 2 meningkatnya pangsa sektor sekunder yaitu sektor industri, dan 3 pangsa sektor tersier yaitu sektor jasa-jasa kurang lebih konstan, namun kontribusinya akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Proses perubahan struktur perekonomian di Indonesia dapat dilihat dari semakin menurunnya peran sektor pertanian dalam menyumbang PDB. Sedangkan peran sektor manufaktur dan sektor jasa-jasa mempunyai peran yang cukup besar dalam PDB. Akan tetapi selama terjadinya proses perubahan struktur perekonomian Indonesia, pada kenyataannya beberapa tahun terakhir sektor manufaktur mulai mengalami penurunan peranan dalam menyumbang PDB. Keadaan ini merupakan gejala terjadinya deindustrialisasi di Indonesia. Ada beberapa alasan mengapa sektor manufaktur yang merupakan sektor tradeable perlu dipacu. Pertama, dengan pengalaman Indonesia pada tahun 1980- an menunjukkan bahwa sektor manufaktur dapat tumbuh dua digit, sehingga mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Pada saat itu, Indonesia memacu manufaktur padat karya sehingga mendorong pertumbuhan yang berkualitas. Artinya, jika ingin melaksanakan triple track strategy secara alamiah, maka sektor yang didorong untuk tumbuh lebih cepat adalah sektor manufaktur yang padat tenaga kerja. Kedua, sektor manufaktur merupakan sektor yang fleksibel dalam merespons perubahan permintaan. Pada saat permintaan dalam negeri dan ekspor meningkat, produksi mudah untuk ditingkatkan tanpa harus menambah investasi baru. Produksi dapat ditingkatkan melalui utilisasi kapasitas dan jika kapasitas terpasangnya sudah terpakai semua, produksi dapat ditingkatkan dengan lembur. Investasi baru dilakukan jika pengusaha yakin akan terjadinya peningkatan permintaan secara permanen. Apabila permintaan menurun, lembur dan utilisasi dapat dikurangi. Oleh karenanya, sektor manufaktur merupakan sektor yang fleksibel dan responsif dalam struktur perekonomian 1 . Thee Kian Wie mengatakan bahwa perekonomian Indonesia saat ini sangat tergantung pada ekspor barang mentah yang berasal dari sumber daya alam yaitu batu bara dan minyak sawit mentah CPO. Dengan kata lain sumber utama penghasilan ekspor Indonesia adalah ekspor komoditas primer ekspor non manufaktur. Pada tahun 2008, ekpsor non manufaktur tumbuh sebesar 29 persen. 1 Kompas, ”Memacu Pertumbuhan?”, 11 Januari 2011 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Gambar 2. Perkembangan Ekspor dan Impor Juta US, Tahun 2006-2008 Ekspor manufaktur hanya tumbuh sebesar 9 persen pada tahun 2008. Ketergantungan tersebut membuat pemerintah Indonesia terlena sehingga kurang cepat dalam mengembangkan industri manufaktur yang berdaya saing internasional. Selain itu, Indonesia juga tergantung pada sektor non-tradeable goods seperti telekomunikasi dan jasa-jasa. Keadaan ini merupakan salah satu gejala deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia Gambar 2 2 . Tabel 2. Peringkat Daya Saing Perekonomian Tahun Negara 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Singapura 4 2 3 3 2 2 3 1 Cina 27 22 29 18 15 17 20 18 Taiwan 17 12 11 17 18 13 23 8 Malaysia 21 16 26 22 23 19 18 10 India 42 30 33 27 27 29 30 31 Korea Selatan 32 31 27 32 29 31 27 23 Thailand 28 26 25 29 33 27 26 26 Filipina 41 43 40 42 45 40 43 39 Indonesia 49 49 50 52 54 51 42 35 Venezuela 51 51 51 53 55 55 57 58 Sumber : International Institute for Management Development, World Competitiveness Yearbook, berbagai edisi. Keterangan : mulai tahun 2009 jumlah responden ada 57 negara, sedangkan tahun-tahun sebelumnya jumlah responden ada 55 negara. 2 Kompas, ”Daya Saing: Industri Manufaktur seperti di Masa Kolonial”, 24 Januari 2011 0.00 10000.00 20000.00 30000.00 40000.00 50000.00 60000.00 70000.00 80000.00 90000.00 2006 2007 2008 Eks Manf Eks Non Manf Im Manf Im Non Manf Gejala lain terjadinya deindustrialisasi adalah semakin melemahnya daya saing perekonomian Indonesia di kancah perekonomian dunia. Berdasarkan survei yang diadakan oleh International Institute for Management Development, dari tahun ke tahun peringkat daya saing Indonesia mengalami kemerosotan. Walaupun pada tahun 2010, peringkat daya saing perekonomian Indonesia membaik, akan tetapi masih jauh tertinggal dibandingkan negara Malaysia, Taiwan, dan China yang memulai industrialisasinya baru-baru saja Tabel 2. Tabel 3. Peranan Sektor Manufaktur Terhadap Produk Domestik Regional Bruto Tahun 2004 – 2008 persen Tahun Provinsi 2004 2005 2006 2007 2008 Nanggroe Aceh Darussalam 19.46 18.01 12.30 11.16 11.14 Sumatera Utara 25.36 25.47 25.68 25.04 24.14 Sumatera Barat 12.25 11.38 11.42 12.01 12.11 Riau 20.83 20.06 19.34 18.65 18.15 Jambi 12.41 12.02 11.94 11.86 11.13 Sumatera Selatan 21.32 21.91 23.23 23.03 23.07 Bengkulu 4.02 3.96 4.00 3.96 3.93 Lampung 12.48 12.86 12.51 13.65 13.06 Kepulauan Bangka Belitung 22.77 22.38 22.28 22.51 22.44 Kepulauan Riau 46.63 46.32 47.36 46.70 45.56 DKI Jakarta 15.95 15.97 15.94 15.97 15.73 Jawa Barat 42.11 44.46 45.28 44.97 44.92 Jawa Tengah 32.64 33.71 32.85 32.14 33.08 DI. Yogyakarta 15.18 14.16 13.86 13.60 13.30 Jawa Timur 29.61 29.99 29.26 28.75 28.49 Banten 50.16 49.75 49.70 47.80 45.25 Bali 9.00 8.69 8.70 8.99 9.34 Kalimantan Barat 3.45 3.38 3.32 3.23 3.63 Kalimantan Tengah 1.63 1.80 1.76 1.70 1.59 Kalimantan Selatan 19.92 19.03 18.53 18.17 18.33 Kalimantan Timur 8.90 9.32 8.50 8.42 8.39 Sulawesi Utara 13.76 12.83 11.68 11.07 10.31 Sulawesi Tengah 36.68 36.60 35.98 34.80 34.25 Sulawesi Selatan 9.08 8.44 8.76 8.57 8.08 Sulawesi Tenggara 7.77 7.47 7.26 7.03 7.49 Gorontalo 13.97 13.78 13.54 13.22 12.99 Sulawesi Barat 6.20 5.79 6.85 7.90 7.63 Nusa Tenggara Barat 8.31 7.18 5.90 5.55 4.92 Nusa Tenggara Timur 7.27 7.35 7.57 7.74 7.53 Maluku 4.59 4.50 4.47 4.72 4.71 Maluku Utara 14.14 13.75 13.77 13.40 12.11 Papua Barat 18.90 19.97 19.47 20.10 22.74 Papua 2.51 1.62 1.78 1.62 1.82 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Indonesia yang terdiri dari 33 provinsi dan tercakup dalam lima pulau besar memiliki sumber daya alam dan karakteristik yang berbeda, tentunya juga memberikan peran yang berbeda terhadap pendapatan domestik bruto PDB yang pada akhirnya mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang berbeda pula. Provinsi yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dapat digolongkan sebagai provinsi yang maju. Apabila kemajuan tersebut dihubungkan dengan fenomena deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia, maka dapat diduga telah terjadi pula fenomena deindustrialisasi pada provinsi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari peran sektor manufaktur yang mulai mengalami penurunan dalam produk domestik regional bruto PDRB beberapa tahun terakhir Tabel 3. Berdasarkan fakta yang terjadi, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Berdasarkan terjadinya gejala deindustrialisasi, ingin diketahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya deindustrialisasi di Indonesia ? 2. Apakah globalisasi ekonomi mempengaruhi terjadinya deindustrialisasi baik secara langsung maupun tidak langsung?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Secara umum tujuan dari penelitian ini sesuai dengan perumusan masalahnya, yaitu : 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya deindustrialisasi di Indonesia. 2. Mengkaji apakah globalisasi ekonomi mempengaruhi terjadinya deindustrialisasi di Indonesia. Adapun kegunaan penelitian ini adalah: 1. Memberikan gambaran tentang terjadinya gejala deindustrialisasi di Indonesia. 2. Memberikan saran kepada pembuat kebijakan yang berhubungan dengan pengembangan industri di masa mendatang.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup wilayah penelitian ini adalah seluruh provinsi yang ada di Indonesia dengan tahun analisis selama periode 2000-2009. Beberapa keterbatasan penelitian ini adalah menggunakan indikator Pendapatan Domestik Regional Bruto PDRB untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, tetapi PDRB tidak dapat untuk melihat tingkat kesejahteraan suatu wilayah. Maksudnya adalah pada beberapa wilayah terjadi pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk miskin dan pengangguran. Halaman ini sengaja dikosongkan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Definisi Industri Manufaktur

Industri pengolahan manufacture adalah suatu unit kesatuan produksi yang terletak pada suatu tempat tertentu yang melakukan kegiatan ekonomi, bertujuan untuk mengubah suatu barang secara mekanis, kimia, atau dengan tangan, sehingga menjadi bendabarangproduk baru yang nilainya lebih tinggi, dan sifatnya lebih dekat kepada konsumen akhir. Termasuk dalam kegiatan ini adalah perusahaan yang melakukan kegiatan jasa industri dan pekerjaan perakitan BPS, 2009.

2.1.2 Konsep Deindustrialisasi

Secara umum deindustrialisasi dapat diartikan sebagai penurunan kontribusi output sektor manufaktur dalam pendapatan nasional maupun penurunan pangsa share pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja. Dalam penelitian ini, deindustrialisasi mengacu pada penurunan pangsa share pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja seluruh sektor. Apabila produktivitas tenaga kerja meningkat dengan cepat, deindustrialisasi dapat terjadi meskipun output sektor manufaktur meningkat atau konstan. Definisi deindustrialisasi itu sendiri mempunyai banyak interpretasi Tabel 4. Teori-teori yang menjelaskan tentang deindustrialisasi telah berkembang sejak lama. Rowthorn dan Wells 1987, membedakan deindustrialisasi menjadi dua macam yaitu deindustrialisasi positif dan deindustrialisasi negatif. Deindustrialisasi positif merupakan dampak yang terjadi karena perekonomian telah mengalami kedewasaan maturity dalam pembangunan ekonomi. Dengan pembangunan ekonomi yang meningkatkan pendapatan per kapita, peran pekerja sektor pertanian mengalami penurunan dan peran pekerja sektor manufaktur meningkat sampai pada tingkat tertinggi dalam pembangunan yang dicapai. Namun, di sisi lain terjadi peningkatan pendapatan per kapita dari peningkatan peran sektor jasa seiring dengan peningkatan biaya dalam sektor manufaktur akibat kenaikan upah pekerja. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari tingkat pertumbuhan produktivitas di sektor manufaktur relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sektor jasa dan adanya perubahan dalam pola konsumsi yang terjadi selama pembangunan ekonomi. Perubahan pola konsumsi ini lebih disebabkan oleh perbedaan elastisitas pendapatan dari permintaan antar sektor. Tabel 4. Ringkasan Definisi Deindustrialisasi Sumber Definisi Deindustrialisasi a. Blackaby 1979 diacu dalam Jalilian dan Weiss 2000 Penurunan nilai tambah riil sektor manufaktur atau penurunan kontribusi sektor manufaktur dalam pendapatan nasional. b. Singh 1982 diacu dalam Jalilian dan Weiss 2000 Ketidakmampuan sektor manufaktur menghasilkan nilai ekspor yang mencukupi dalam membiayai impor untuk mencapai kondisi full-employment dalam perekonomian c. Rowthorn dan Wells 1987 diacu dalam IMF 1997 Penurunan proporsi jumlah pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja d. Bazen dan Thirwall 1989 diacu dalam Jalilian dan Weiss 2000 Penurunan jumlah pekerja sektor manufaktur baik secara absolut maupun relatif terhadap total pekerja. e. World Bank 1994 diacu dalam Jalilian dan Weiss 2000 Penurunan tidak sementara kontribusi sektor manufaktur yang dapat menurunkan efisiensi ekonomi dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi berjalan lebih lambat. f. Rowthorn dan Coutts 2004 Penurunan kontribusi sektor manufaktur pada perekonomian nasional Sumber : Dewi 2010 Sedangkan deindustrialisasi negatif merupakan fenomena patologis pathological phenomenon yaitu terjadi ketidakseimbangan struktural dalam perekonomian yang mencegah suatu bangsa mencapai pertumbuhan yang full employment . Keadaan ini terjadi karena memburuknya kinerja sektor manufaktur dan melambatnya pertumbuhan output dan produktivitas sektor manufaktur yang mengakibatkan menurunnya daya saing sehingga perekonomian semakin memburuk. Pengangguran dari sektor manufaktur yang dihasilkan dari adanya deindustrialisasi negatif tidak dapat terserap di sektor jasa akibat situasi perekonomian yang melambat. Dengan demikian, deindustrialisasi positif dikaitkan dengan meningkatnya pendapatan riil dan lapangan kerja penuh full employment , sementara deindustrialisasi negatif dikaitkan dengan stagnasi pendapatan riil dan meningkatnya pengangguran Alderson, 1999. Rowthorn dan Wells 1987 berpendapat bahwa adanya perdagangan dalam perekonomian internasional terkait dengan deindustrialisasi. Perdagangan mempengaruhi peran pekerja manufaktur baik secara makro maupun mikro ekonomi melalui pengaruhnya pada spesialisasi. Pertama, dalam economic maturity deindustrialisasi terkait dengan kinerja perdagangan yang kuat atau lemah. Pada saat neraca perdagangan manufaktur positif dan besar, kekuatan sektor manufaktur memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Keadaan ini tercapai pada saat sektor manufaktur mulai melimpahkan tenaga kerjanya yang dapat diserap oleh sektor jasa melalui deindustrialisasi positif. Sebaliknya, ketika perdagangan manufaktur memburuk dan investasi di bidang manufaktur menurun, sektor manufaktur mulai melimpahkan tenaga kerjanya dan tidak dapat terserap oleh sektor jasa sehingga perekonomian stagnan atau semakin memburuk melalui deindustrialisasi negatif. Teori Marx tentang penurunan keuntungan profit suatu industri dianggap sebagai awal mula dari munculnya teori deindustrialisasi Rowthorn, 1992. Teori tersebut menyebutkan bahwa inovasi teknologi dapat membuat proses produksi menjadi lebih efisien sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Pada saat yang bersamaan, inovasi teknologi dapat menyebabkan pengurangan jumlah pekerja karena pekerja digantikan dengan mesin sehingga kapasitas penggunaan kapital meningkat. Apabila pekerja diasumsikan dapat memberikan nilai tambah baru, maka semakin besar penggunaan kapital akan menghasilkan nilai tambah dan surplus yang lebih kecil dibandingkan penambahan pekerja. Penambahan pekerja menyebabkan rata-rata profit industri akan menurun dalam jangka panjang. Oleh karenanya, sebuah industri perlu melakukan inovasi teknologi sebagai investasi kapital serta mengembangkan kemampuan pekerjanya sebagai investasi human kapital untuk mengantisipasi terjadinya deindustrialisasi negatif. Peningkatan produktivitas sektor manufaktur apabila diasumsikan ceteris paribus akan menyebabkan penurunan biaya relatif dalam memproduksi barang, sehingga harga barang manufaktur semakin murah. Hal ini menyebabkan proporsi nilai tambah sektor manufaktur menurun, dengan asumsi demand terhadap barang manufaktur dan jasa bersifat inelastis. Implikasinya adalah pengurangan aktivitas sektor manufaktur dengan cara melakukan outsourcing atau dikontrakkan untuk sebagian proses produksinya sehingga turunnya proporsi nilai tambah sektor manufaktur tanpa memperburuk kondisi perekonomian. Deindustrialisasi ini memberikan dampak positif bagi sektor manufaktur karena produktivitasnya yang tinggi Pitelis dan Antonakis, 2003. Deindustrialisasi juga dapat dilihat dari sisi pekerja. Bazen dan Thirlwall 1989 menyebutkan bahwa fokus terhadap pekerja sektor manufaktur ini dilakukan karena sangat berguna untuk melihat peningkatan pendapatan pada level produktivitas pekerja tertentu dan hubungan antara industrialisasi dan penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan pengertian deindustrialisasi yang dikemukakan lihat Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa deindustrialisasi positif tidak menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran dan sebaliknya deindustrialisasi negatif dapat menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran Jalilian dan Weiss, 2000. Reisman 2002 menemukan bahwa inflasi turut berkontribusi dalam terjadinya deindustrialisasi. Inflasi menyebabkan investasi menjadi lebih mahal dan profit yang diharapkan menjadi berkurang. Selain itu, perubahan struktur perekonomian oleh peraturan pemerintah juga bisa menyebabkan terjadinya deindustrialisasi. Menurut Bluestone dan Harrison 1982 serta Logan dan Swanstrom 1990, terobosan di bidang transportasi, komunikasi dan teknologi informasi menyebabkan perusahaan manufaktur akan berpindah ke lokasi yang lebih murah dan lokasi sebelumnya pusat kota ditempati oleh sektor jasa dan aglomerasi finansial. Untuk menganalisis adanya industrialisasi dan deindustrialisasi dalam kasus perekonomian terbuka, tidak cukup hanya dengan menganalisis karakteristik perekonomian domestik saja melainkan harus menganalisis juga interaksi dengan negara lainnya. Pada negara berkembang diawal tahap pertumbuhannya, kontribusi sektor pertanian pada balance of payment sama atau lebih besar daripada kontribusi sektor manufaktur. Pada saat pendapatan perkapita meningkat pada level middle-income countries, peranan sektor manufaktur menjadi sangat penting. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya demand terhadap produk manufaktur, dimana jika tidak dapat dipenuhi dari pasar domestik maka akan dipenuhi melalui impor sehingga akan mengubah kondisi neraca perdagangan. Sedangkan pada negara maju, kontribusi sektor manufaktur saat ini sangat kecil baik terhadap GDP maupun terhadap total pekerja dan sektor ekspor utama adalah knowladge-based services Singh, 1977.

2.1.3 Pertumbuhan Produktivitas Productivity Growth

Pertumbuhan produktivitas yang meningkat dengan cepat diidentifikasi sebagai salah satu penyebab utama deindustrialisasi. Clark 1957 berpendapat bahwa produktivitas sektor manufaktur yang melebihi produktivitas sektor jasa merupakan fenomena adanya pelambatan share pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja nasional. Dasar dari argumen ini adalah bahwa pertumbuhan produktivitas yang didefinisikan sebagai peningkatan output per pekerja pada dasarnya menurunkan permintaan tenaga kerja. Hal ini terjadi karena perusahaan yang sangat produktif, menggunakan teknologi yang hemat tenaga kerja labor-saving technologies sehingga menghasilkan produksi yang tinggi dengan sedikit penggunaan tenaga kerja setiap tahunnya Kollmeyer, 2009. Pada tingkat ekonomi makro, ini berarti bahwa jika salah satu sektor konsisten meningkatkan produktivitasnya dibandingkan sektor lain, dan jika pola permintaan diantara kedua sektor tersebut tetap konstan, maka pertumbuhan pekerja di sektor yang dinamis mengalami konstraksi. Hal ini menyebabkan permintaan pekerja di sektor yang dinamis mengalami penurunan sehingga terjadi peningkatan permintaan pekerja pada sektor yang kurang dinamis dimana permintaannya tetap tinggi. Perusahaan manufaktur seringkali meningkatkan produktivitasnya melalui penggunaan otomatisasi automation, mekanisasi mechanization, dan teknologi yang hemat tenaga kerja labor-savings technologies Kollmeyer, 2009. Argumen Clark 1957 tersebut banyak didukung oleh sejumlah penelitian empiris seperti Rowthorn dan Wells 1987, Krugman dan Lawrence 1993, Rowthorn dan Ramaswamy 1997, 1999 dan Rowthorn dan Coutts 2004. Mereka menggunakan data panel dari negara-negara OECD dalam menguji unbalaced productivity growth atau pola neraca perdagangan yang berperan besar terhadap penurunan share pekerja sektor manufaktur Kollmeyer, 2009. Rowthorn dan Ramaswamy 1997 menyimpulkan bahwa faktor yang paling berperan dalam deindustrialisasi adalah kecenderungan produktivitas sektor manufaktur tumbuh lebih cepat dibandingkan produktivitas sektor jasa. Sedangkan faktor perdagangan North-South sangat berperan kecil terhadap deindustrialisasi.

2.1.4 Globalisasi Ekonomi

Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin teintegrasi tanpa melihat batas wilayah suatu negara. Pada saat globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara perekonomian nasional dan internasional akan semakin erat hubungannya. Di satu pihak globalisasi membuka peluang produk dalam negeri bersaing dalam pasar internasional secara kompetitif. Sebaliknya, globalisasi juga membuka peluang masuknya produk-produk luar negeri ke dalam pasar domestik. Sejak tahun 1980-an, banyak ahli meneliti implikasi dari globalisasi dalam mempromosikan deindustrialisasi di negara-negara maju Wood, 1995; Saeger 1997; Alderson 1997. Dalam awal analisis topik ini, Frobel, et.al dalam Kollmeyer 2009 mengemukakan suatu kerangka terkemuka untuk memahami hubungan antara globalisasi dan perubahan pola kerja yang terjadi di seluruh dunia. Frobel et.al menyatakan bahwa pola perdagangan dunia mengikuti suatu pola ”Classic International Division Labor” dimana negara-negara berkembang spesialisasi memproduksi dan ekstraksi bahan mentah sedangkan negara-negara maju spesialisasi dalam mengubah bahan mentah atau setengah jadi menjadi barang jadi. Adanya pola pembagian kerja tersebut, perekonomian dunia tercipta dan berkembang di negara-negara maju. Pada akhir tahun 1960-an, pola lama dalam perdagangan dunia mulai berubah dan menciptakan suatu pola baru yang disebut sebagai ”New International Division of Labor”. Selama waktu tersebut, banyak perusahaan multinasional mengurangi biaya produksi dengan memindahkan kegiatan produksi ke daerahwilayah dengan upah rendah. Efek gabungan dari tren ini, Forbel et.al berpendapat tentang menyelaraskan pembagian kerja internasional, yaitu dengan mempercepat negara-negara berkembang melakukan industrialisasi padat karya dan pekerjaan manufaktur dengan ketrampilan rendah serta menyebabkan deindustrialisasi di negara-negara maju dan mengkhususkan negara-negara maju dengan kegiatan yang memerlukan ketrampilan tinggi seperti manajemen strategis, pengembangan produk, pemasaran dan keuangan Kollmeyer, 2009. Wood 1995, dengan menggunakan factor content analysis memperkirakan bahwa banyaknya pekerja terampil dan tidak terampil yang digunakan suatu negara untuk memproduksi ekspor, sama dengan yang digunakan untuk memproduksi impor. Pendapat tersebut mengasumsikan bahwa perdagangan global mengurangi permintaan tenaga kerja tidak terampil di negara- negara maju, akibat dari pekerjaan rutin manufaktur, yang sebelumnya dikerjakan pekerja domestik, sekarang dilakukan di luar negeri. Akan tetapi, penelitian lain dengan menggunakan metode regresi data panel Alderson 1997, 1999; Rowthorn dan Ramaswamy 1997, 1999; Saeger 1997; Rowthorn dan Coutts 2004 menyimpulkan bahwa secara umum globalisasi hanya berkontribusi sedikit sekali dalam menyebabkan terjadinya deindustrialisasi di negara-negara maju.

2.1.5 Pertumbuhan Kesejahteraan Konsumen Growing Affluence of Consumers

Meningkatnya kesejahteraan konsumen merupakan faktor penjelasan lain yang dapat menyebabkan terjadinya deindustrialisasi. Kesejahteraan konsumen dapat menggambarkan kesejahteraan suatu wilayah atau negara. Dalam Engel’s Law yang dikemukan oleh Engel 1857 berdasarkan penemuan empirisnya, menyatakan bahwa proporsi pengeluaran total yang ditujukan untuk makanan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan Nicholson, 1995. Clark 1957 memperluas pendapat tersebut dan menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan suatu negara mempengaruhi permintaan relatif produk pertanian, barang-barang manufaktur dan jasa-jasa. Berdasarkan analisis cross- national data , diperoleh kesimpulan bahwa seiring dengan peningkatan pendapatan riil per kapita, permintaan relatif produk pertanian menurun sepanjang waktu dan permintaan relatif barang-barang manufaktur pada awalnya meningkat dan kemudian menurun seiring dengan permintaan akan jasa-jasa Kollmeyer, 2009. Beberapa tahun terakhir, banyak peneliti mendukung argument Clark 1957 dengan data empiris. Dalam penelitian-penelitian tersebut diperoleh bentuk kurva U-terbalik inverted U-shape, dimana untuk negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita, akan meningkatkan share relatif pekerja manufaktur, tetapi selanjutnya pada batas kemakmuran tertentu penambahan peningkatan pendapatan per kapita menurunkan share pekerja manufaktur. Sedangkan untuk negara-negara maju, peningkatan kesejahteraan mendorong konsumen menghabiskan porsi yang lebih besar untuk jasa-jasa yang pada gilirannya akan menyebabkan deindustrialisasi Rowthorn dan Wells, 1987; Rowthorn dan Ramaswany, 1997,1999; Alderson, 1999; Rowthorn dan Coutts, 2004.

2.2 Tinjauan Empiris

Studi empiris tentang deindustrialisasi baik di negara-negara maju maupun berkembang sudah banyak dilakukan oleh para peneliti. Sub bab 2.2 akan membahas penelitian-penelitian tentang deindustrialisasi baik di negara-negara berkembang dan negara-negara maju negara-negara OECD Tabel 4. Suwarman 2006 dalam penelitiannya tentang proses deindustrialisasi di Indonesia bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kontribusi sektor manufaktur dalam perekonomian Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut mencakup data triwulanan pada level nasional selama periode 1989-2005. Metode ekonometrik yang digunakan adalah analisis kointegrasi dengan metode Bounds Testing Cointegration pendekatan ARDL Autoregressive Distributed Lag . Spesifikasi model yang digunakan untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi kontribusi sektor manufaktur dalam perekonomian Indonesia terdiri dari dua model yaitu t t MM t XM t I t LYK t LY t LPNT               5 4 3 2 1 2.1 t t MBM t MBB t NPM t I t LHR t LY t LPNT                 6 5 4 3 2 1 2.2 Variabel dependen yang digunakan adalah pangsa nilai tambah sektor manufaktur dalam PDB. Sedangkan variabel-variabel independennya adalah pendapatan per kapita, harga riil produk-produk manufaktur, pangsa pembentukan modal tetap domestik bruto PMTDB dalam PDB, pangsa nilai ekspor produk- produk manufaktur dalam PDB, pangsa nilai impor produk-produk manufaktur dalam PDB, pangsa neraca perdagangan produk-produk manufaktur dalam PDB, pangsa nilai impor bahan baku dalam PDB, dan pangsa nilai impor barang modal dalam PDB. Hasil estimasi dari kedua model memperlihatkan bahwa dalam jangka panjang pendapatan per kapita, pangsa PMTDB dalam PDB, pangsa nilai ekspor produk manufaktur dalam PDB, pangsa neraca perdagangan produk manufaktur dalam PDB, dan pangsa nilai impor barang modal dalam PDB, berdampak positif terhadap kontibusi sektor manufaktur dalam PDB. Sedangkan harga riil produk manufaktur dan pangsa nilai impor produk manufaktur dalam PDB mempunyai dampak negatif terhadap kontibusi sektor manufaktur dalam PDB. Sementara itu, pangsa nilai impor bahan baku dalam PDB tidak mempunyai hubungan jangka panjang dengan kontribusi sektor manufaktur dalam PDB. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia belum mencapai tahap perekonomian sangat maju, yang dicirikan dengan belum tercapainya suatu tingkat pendapatan per kapita titik balik turning point yang menyebabkan peningkatan pendapatan per kapita selanjutnya justru akan menurunkan kontribusi sektor manufaktur dalam PDB. Berdasarkan temuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa proses deindustrialisasi di Indonesia beberapa tahun terakhir bukanlah dampak alamiah dari keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia, melainkan lebih disebabkan oleh berbagai goncangan shock terhadap sistem perekonomian. Dewi 2010 dalam penelitiannya, bertujuan mengkaji peran sektor manufaktur dalam perekonomian Indonesia selama tahap industrialisasi berdasarkan analisis dengan pendekatan Kaldorian, mengidentifikasi apakah Indonesia mengalami proses deindustrialisasi positif atau negatif, dan mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut mencakup data triwulanan