merupakan wilayah dengan openness terendah yaitu sebesar 0,27 persen. Provinsi Kalimantan Timur merupakan provinsi yang relatif terbuka dibandingkan dengan
provinsi lainnya, diikuti oleh provinsi Papua, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah Gambar 8.
0.00 0.20
0.40 0.60
0.80 1.00
1.20 1.40
1.60 1.80
S u
lT e
n g
S u
m b
a r
M a
lu k
u B
e n
g k
u lu
S u
lT ra
S u
lS e
l N
T B
N A
D K
a lB
a r
S u
lU t
S u
m se
l L
a m
p u
n g
N T
T S
u m
u t
K a
lT e
n g
K a
lS e
l B
a li
D IY
Ja ti
m Ja
m b
i R
ia u
Ja b
a r
Ja te
n g
D K
I P
a p
u a
K a
lT im
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 8. Rata-rata Tingkat Keterbukaan Ekonomi Openness menurut Provinsi, Tahun 2000
– 2009
Tingkat keterbukaan regional daerah sangat berkorelasi dengan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, tingkat keterbukaan ekonomi
memberikan ruang terbuka bagi pemerintah daerah untuk tidak melakukan proteksi terhadap daerahnya yang ditandai dengan perdagangan tertutup. Sebab
semakin tinggi tingkat keterbukaan suatu daerah maka investasi yang masuk semakin meningkat dan masyarakat semakin sejahtera, dengan ditandai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan meningkatkan keterbukaan ekonomi, setiap daerah harus dapat menentukan potensi ekonomi yang dapat memberikan
keuntungan kompetitif bagi daerahnya sehingga mampu menyerap banyak tenaga kerja.
China merupakan salah satu negara yang cukup berhasil dalam mendorong kegiatan perdagangan dan investasi berkat komitmennya untuk melakukan
modernisasi dan membuka perekonomian yang mulai dilakukan sejak tahun 1970- an Drysdale, 2002. Begitu juga dengan Vietnam, merupakan salah satu negara
yang berhasil dalam memanfaatkan keterbukaan ekonomi dan saat ini berada dalam tahap transisi menuju ekonomi pasar market economy. Sejak reformasi
ekonomi yang dilakukan pada tahun 1980-an, Vietnam secara bertahap
mengambil manfaat dari kegiatan perdagangan dan investasi.
4.4 Peranan Investasi Asing Foreign Direct Investment di Indonesia
Investasi baik domestik maupun asing disinyalir mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang dapat mengurangi pengangguran. Fakta yang terjadi
saat ini, rasio investasi Pembentukan Modal Tetap Bruto terhadap PDB di Indonesia masih sangat kecil. Selama periode 2005-2009, rata-rata rasio investasi
terhadap PDB sebesar 24,38 persen. Sedangkan rata-rata rasio konsumsi terhadap PDb sebesar 66,13 persen. Oleh karenanya investasi harus didorong, sebab
pemerintah tidak dapat lagi mengandalkan pertumbuhan ekonomi pada konsumsi, melainkan harus ditopang investasi Gambar 9.
1 0 2 0
3 0 4 0
5 0 6 0
7 0 8 0
9 0 1 0 0
2 0 0 5 2 0 0 6
2 0 0 7 2 0 0 8
2 0 0 9 K o n s u m s i
P M T B E s k p o r
Im p o r
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 9. Struktur Pembentuk PDB Indonesia persentase, Tahun 2005 –
2009
Dalam konteks pembangunan ekonomi, investasi mempunyai peran penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Pada dasarnya investasi baik domestik
maupun asing membutuhkan iklim bisnis yang kondusif. Secara umum, masuknya aliran investasi sangat tergantung pada investment attractiveness dan iklim
investasi serta iklim bisnis yang mendukung. Investasi asing foreign direct investmentFDI mempunyai peran penting
dalam suatu pembangunan ekonomi, selain membawa unsur teknologi dan modal ekstra juga karena dalam banyak hal dapat membuka pasar baru bagi suatu
perekonomian. Hal ini berarti kebijakan pemanfaatan pasar global dari pasar lokal sebagai suatu sumber investasi menjadi sangat strategis dalam menentukan
peningkatan pendapatan. Suatu investasi asing FDI tergantung banyak pada tiga
hal agar berjalan efektif. Ketiga hal tersebut adalah 1 iklim ekonomi makro yang stabil baik harga, nilai tukar dan organisasi buruh, 2 kondisi fisik infrastruktur
jalan, listrik, air bersih, jembatan, dan 3 human research development, pendidikan, ketrampilan, dan kesehatan. Kualitas dari ketiga hal tersebut akan
menentukan produktivitas investasi termasuk investasi asing FDI. Basri dan Patunru 2008 menyimpulkan bahwa rendahnya tingkat investasi
dan lambatnya pertumbuhan ekspor Indonesia disebabkan oleh kendala-kendala di sisi penawaran yang pada akhirnya bermuara pada apresiasi nilai tukar, ekonomi
biaya tinggi termasuk kondisi infrastruktur yang buruk, pungutan liar, biaya logistik, serta perubahan pola investasi dari sektor tradeable umumnya sektor
komoditi ekstraktif ke sektor non-tradeable umumnya sektor konstruksi, transportasi, dan komunikasi Tambunan, 2010.
Tabel 11. Nilai Realisasi Investasi Asing Menurut Sektor, Tahun 2000 - 2009
Nilai Realisasi Investasi Asing Tahun
Primer Sekunder
Tersier
2000 1,17
48,19 50,64
2001 4,49
62,40 33,12
2002 3,32
50,87 45,80
2003 4,65
34,50 60,85
2004 6,70
60,93 32,37
2005 4,47
38,22 57,31
2006 8,89
60,41 30,70
2007 5,80
45,42 48,79
2008 2,26
30,36 67,38
2009 4,28
35,42 60,30
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal BKPM, diolah
Selama periode 2000-2009, nilai realisasi investasi asing PMA mengalami perkembangan yang fluktuatif. Selain itu, sebagian besar investasi asing
ditanamkan pada sektor tersier sektor konstruksi, transportasi, dan komunikasi. Hal ini merupakan salah satu penyebab mengapa sektor sekunder sektor industri
cenderung menurun kinerjanya. Selama periode 2000-2009, investasi asing di sektor tersier sebesar 48,73 persen sedangkan di sektor sekunder sebesar 46,67
persen. Pada tahun 2009, proporsi investasi asing PMA di sektor sekunder sebesar 35,42 persen dan menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2008
yaitu sebesar 30,36 persen. Sedangkan proporsi investasi asing PMA di sektor
tersier pada tahun 2009 sebesar 60,29 persen dan mengalami penurunan dibandingkan tahun 2008 yaitu sebesar 67,38 persen. Walaupun peranan investasi
asing PMA di sektor sekunder lebih kecil dibandingkan dengan peranan investasi asing PMA di sektor tersier, tetapi investasi asing PMA di sektor
sekunder mengalami peningkatan. Selama periode 2000-2009, laju pertumbuhan investasi asing PMA di sektor sekunder sebesar -54,32 persen meningkat
menjadi 15,15 persen. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa sektor sekunder mempunyai kinerja yang membaik Tabel 11.
Kalimantan 4.03
Sulawes i 1.22
Malpapua 0.68
Bali Nus a 1.08
Jawa 81.17
Sumatera 11.83
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal BKPM, diolah
Gambar 10. Nilai Realisasi Penanaman Modal Asing PMA Menurut Pulau, Tahun 2000
– 2009
Pada Gambar 10, terlihat bahwa investor asing lebih senang menanamkan modalnya di pulau Jawa dibandingkan pulau-pulau lain yang ada di Indonesia.
Pulau Sumatera merupakan pulau kedua yang dilirik oleh investor asing dalam menanamkan modalnya. Rata-rata proporsi nilai investasi asing selama tahun
2000-2009 di pulau Jawa sebesar 81,17 persen, sedangkan pulau Sumatera sebesar 11,83 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pulau-pulau lain masih kurang atraktif
dalam menarik minat investor asing. Apabila dilihat dari rata-rata nilai investasi asing yang masuk di tingkat provinsi selama periode 2000-2009, investor asing
lebih banyak menanamkan modalnya di provinsi DKI Jakarta US 3.233,04 juta, Jawa Barat US 2.270,42 juta dan Jawa Timur US 811,73 juta. Sedangkan
wilayah yang kurang menarik bagi investor asing adalah provinsi Sulawesi Tenggara US 0,66 juta dan Sulawesi Tengah US 1,72 juta.
Iklim usaha dan investasi yang selalu mengedepankan isu efisiensi dan
efektifitas kinerja daerah dipercaya menjadi faktor utama yang menentukan tinggirendahnya kinerja sektor industri Tambunan, 2010. Studi World Bank
mengenai persepsi iklim investasi di Indonesia tahun 2007 menemukan bahwa sampai saat ini sudah terjadi banyak perkembangan positif iklim investasi di
Indonesia. Dari 22 indikator permasalahan investasi yang ditemukan para pelaku usaha di lapangan, 19 indikator menunjukkan perbaikan dan hanya 3 indikator
ketersediaan sarana pendukunginfrastruktur, akses keuangan, dan pertanahan yang mengalami ”perburukan” kinerja. Hasil tersebut menunjukkan masih banyak
persoalan yang harus dibenahi untuk dapat menarik investor melakukan investasi di Indonesia.
4.5 Faktor – faktor yang Memengaruhi Deindustrialisasi di Indonesia
Analisis data panel untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia menggunakan data 26 provinsi selama periode
2000-2009. Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan model yang independen satu sama lain, sehingga untuk meyakinkan bahwa masing-masing
persamaan dapat diestimasi secara terpisah maka perlu dilakukan uji
independence. Uji independence yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji
Breusch-Pagan dan correlation matrix.
Hasil uji Breusch-Pagan memperlihatkan bahwa hipotesis nol tidak ditolak, yang artinya bahwa persamaan 3.19 – 3.21 mempunyai disturbance terms yang
independen χ
2 3
= 3,874; P = 0,275. Matriks korelasi correlation matrix memperlihatkan hasil bahwa persamaan 3.19 dan 3.20 yang melihat efek tidak
langsung indirect effect model, mempunyai korelasi yang cukup kuat r = 0,1287. Akan tetapi persamaan utama 3.21 tidak berkorelasi independen
dengan persamaan lainnya r = -0,000 dengan persamaan 3.19 dan r = -0,000 dengan persamaan 3.20. Gabungan hasil dari uji Breusch-Pagan dan matriks
korelasi disturbance terms memperlihatkan bahwa setiap persamaan dapat dilakukan estimasi secara terpisah.
Pemilihan metode regresi perlu dilakukan sebelum menentukan model estimasi yang terbaik. Uji hausman dilakukan untuk mengetahui metode regresi
yang terbaik antara metode fixed effects model dan random effects model dalam
model estimasi data panel. Statistik uji hausman yang mengikuti distribusi chi square χ
2
dengan derajat bebas sebanyak jumlah variabel bebas dalam model digunakan untuk mengetahui metode yang tepat antara fixed effects model dan
random effecst model . Berdasarkan hasil uji hausman diperlihatkan bahwa
random effects model ditolak P χ
2
= 0.000 . Hal ini menunjukkan bahwa fixed effects model
lebih konsisten untuk mengestimasi model yang mempengaruhi faktor-faktor deindustrialisasi.
Regresi data panel juga harus memenuhi asumsi dasar bahwa estimasi parameter dalam model regresi harus bersifat BLUE Best Linier Unbiased
Estimate , yaitu bebas dari heteroskedastisitas dan autokorelasi. Uji wald
digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas, dimana hasilnya menunjukkan ada heteroskedastisitas dalam data yang digunakan P χ
2
= 0,000. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi, maka dilakukan uji Wooldridge. Hasil dari
Wooldridge test menunjukkan bahwa ada autokorelasi dalam data panel P F =
0,1373. Berdasarkan hasil uji pemilihan metode regresi memberikan kesimpulan
bahwa metode Fixed Effects Model lebih konsisten dan efisien untuk model estimasi faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia. Akan
tetapi dalam data panel yang digunakan ternyata terdapat heteroskedastisitas dan autokorelasi sehingga keadaan ini perlu diatasi agar diperoleh model yang efisien
tetapi bersifat unbiased dan konsisten. Adanya heteroskedatisitas dan autokorelasi dalam data panel dapat diatasi dengan menggunakan metode General Least
Square dalam melakukan estimasi. Secara keseluruhan estimasi model yang
digunakan setelah melakukan pemilihan metode regresi dan melihat keberadaan heteroskedastisitas serta autokorelasi maka metode Fixed Effecst Generalized
Least Square FE-GLS.
Keakuratan dari estimasi model dapat ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan akan keberadaan outlier dari data panel. Hasil dari pemeriksaan
ternyata terdapat outlier yang berasal dari variabel pendapatan perkapita untuk tiga provinsi yaitu provinsi Riau, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur, sehingga
semua data ketiga provinsi tersebut dikeluarkan. Model yang digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia pada