Diniro-Oksida N Diurnal Change

30 bakteri metanogenik Archaea yang bersifat anaerob. Aktivitas dari bakteri metanogen tersebut sangat dipengaruhi oleh temperatur. Peningkatan temperatur dapat meningkatkan produksi CH 4 sampai pada temperatur optimum. Setelah itu, peningkatan temperatur di atas temperatur optimum dapat menyebabkan penurunan produksi CH 4 . Hasil penelitian Juottonen 2008 menunjukkan produksi CH 4 rendah pada temperatur 5°C dan 14°C, lebih tinggi pada 25-35°C dengan nilai optimum pada ~30°C dan menurun pada suhu di atas 35°C. Dalam penelitian ini, konsentrasi CH 4 yang dihasilkan lebih tinggi pada temperatur tanah 26-27°C dengan rata-rata CH 4 sebesar 5.2 ppm sedangkan pada temperatur antara 28-32°C rata-rata CH 4 yang terukur adalah 4.7 ppm. Konsentrasi CH 4 pada malam hari yang cenderung lebih tinggi juga dapat disebabkan oleh menurunnya aktivitas oksidasi metan. Emisi metan ke atmosfer merupakan hasil interaksi antara tiga proses yaitu produksi metan methanogenesis di dalam tanah oleh metanogen, oksidasi metan oleh metanotrop dan distribusi metan melalui transpor tanaman, difusi atau ebullition Dubey, 2005. Aktivitas oksidasi metan membutuhkan supply oksigen. Sementara itu menurut Raskin dan Kende 1985 diacu dalam Batjes dan Bridges 1992, pada malam hari hanya sebagian kecil dari O 2 yang di transportasikan ke sistem perakaran tanaman sehingga oksidasi metan berkurang. Kondisi tersebut menghasilkan net emisi CH 4 yang lebih besar pada malam hari. Rata-rata konsentrasi CH 4 yang terukur dalam penelitian ini adalah 4.9 ppm 4.6 mgCm 2 jam atau 111 mgCm 2 hari. Sementara itu, hasil penelitian Isminingsih 2009 di lahan sawah menunjukkan lahan yang diberi perlakuan pengairan berselang dan diberi tambahan pupuk anorganik mempunyai fluks CH 4 sebesar 268 mgCm 2 hari. Fluks CH 4 di lahan sawah lebih besar disebabkan oleh kondisi lahan sawah yang selalu tergenang air sehingga lebih bersifat anaerob. Kondisi tersebut dapat meningkatkan aktivitas metanogen dalam menghasilkan metan sehingga emisi CH 4 di lahan sawah menjadi lebih besar.

4.1.2 Diniro-Oksida N

2 O Lahan pertanian merupakan salah satu sumber emisi N 2 O terbesar. Perubahan diurnal untuk gas N 2 O pada kebun jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 10. Bila dibandingkan dengan CO 2 dan CH 4 , konsentrasi dinitro-oksida N 2 O yang terukur selama 24 jam lebih fluktuatif, berkisar antara 1.9-5.5 ppm dengan rata-rata 3.9 ppm 4.3 mgNm 2 jam dan total emisi selama 24 jam sebesar 565 ppm 104 mgNm 2 . Konsentrasi N 2 O mencapai nilai tertinggi pada pukul 16.00 5.5 ppm, 6.1 mgNm 2 jam dan terendah pada pukul 06.00 1.9 ppm, 2.1 mgNm 2 jam. Rata-rata konsentrasi N 2 O pada siang hari 4.0 ppm 4.4 mgNm 2 jam sedangkan pada malam hari 3.9 ppm 4.3 mgNm 2 jam. Gambar 10. Pola perubahan diurnal emisi N 2 O selama 24 jam 1 2 3 4 5 6 7 8 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 1 2 3 4 5 N 2 O p p m waktu pukul Rata-rata N 2 O = 3.9 ppm 4.3 mgNm 2 jam Total emisi N 2 O = 565 ppm 104 mgNm 2 31 Pola perubahan diurnal N 2 O yang lebih fluktuatif menunjukkan emisi N 2 O lebih responsif terhadap perubahan kondisi lingkungan. Sementara itu, menurut Batjes dan Bridges 1992, iklim dan kondisi tanah sangat bervariasi berdasarkan waktu dan tempat. Variasi dari faktor lingkungan tersebut kemudian mempengaruhi aktivitas mikroorganisme penghasil N 2 O dan menyebabkan tingginya variasi N 2 O yang dihasilkan. Analisis ragam menunjukkan konsentrasi N 2 O tidak berkorelasi nyata dengan temperatur tanah, temperatur udara, radiasi matahari, kadar air tanah, maupun curah hujan Lampiran 11. Selain itu, jam pengambilan gas juga tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi N 2 O yang dihasilkan p=0.14, R 2 = 0.44 Lampiran 9. Pola perubahan diurnal gas N 2 O menunjukkan konsentrasi N 2 O meningkat saat siang hari, maksimum pada sore hari, kemudian menurun saat malam hari hingga mencapai nilai minimum pada pagi hari dengan rata-rata konsentrasi N 2 O pada siang hari lebih tinggi dibandingkan malam hari. Pola perubahan diurnal tersebut mengindikasikan N 2 O lebih banyak dihasilkan pada kondisi aerob melalui proses nitrifikasi. Selain itu, peningkatan aktivitas mikroorganisme penghasil N 2 O dengan adanya peningkatan temperatur juga dapat menjadi penyebab emisi N 2 O lebih tinggi pada siang hari. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Yunshe et al. 2000 yang menunjukkan emisi N 2 O lebih tinggi pada siang hari dibandingkan malam hari dengan adanya korelasi positif antara emisi N 2 O yang dihasilkan dengan temperatur tanah dan udara. Dengan demikian, temperatur merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi perubahan diurnal fluks N 2 O dari tanah. Pemberian pupuk urea pada penelitian pendahuluan menyebabkan tingginya konsentrasi N 2 O yang terukur. Urea merupakan salah satu pupuk nitrogen dengan sifat higroskopis yang tinggi sehingga mudah terdegradasi ketika diaplikasikan ke tanah. Menurut Jones et al. 2007, urea berpotensi besar mengalami kehilangan N melalui penguapan ammonia NH 4 + . Ammonia merupakan substrat awal yang digunakan dalam proses nitrifikasi yang menghasilkan N 2 O sebagai produk sampingnya. Hasil penelitian Isminingsih 2009 juga menunjukkan aplikasi pupuk urea menyebabkan fluks kumulatif N 2 O meningkat. Sama halnya dengan clearing, hasil pengukuran emisi dari setiap jenis gas pada saat diurnal change kemudian dikonversi ke CO 2 CO 2 equivalent untuk mengetahui nilai GWP. Nilai GWP kgCO 2 eqhajam pada saat diurnal change dapat dilihat pada Gambar 11 dan Lampiran 3. Nilai GWP tertinggi terjadi pada pukul 15.00 WIB sebesar 54 kgCO 2 eqhajam sedangkan terendah pada pukul 06.00 WIB sebesar 19 kgCO 2 eqhajam dengan total GWP selama 24 jam sebesar 957 kgCO 2 eqha. Hasil analisis ragam menujukkan nilai GWP tidak berbeda nyata berdasarkan jam pengambilan sampel gas p=0.1 R 2 =0.43. Gambar 11. Nilai GWP pada saat diurnal change 20 40 60 80 100 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 1 2 3 4 5 G W P k g C O 2 e q h a ja m waktu pukul Total GWP = 957 kgCO 2 eqhahari 32

4.5 Emisi CH