Model Walter-Hilborn Penelitian Terdahulu yang Terkait

21 pengelOAan MSY ini banyak dikritik sebagai pendekatan yang terlalu sederhana dan tidak mencukupi. Kritik yang paling mendasar adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan aspek sosial ekonomi sumberdaya alam. Menurut Tinungki 2005, model awal dan paling sederhana dalam dinamika populasi perikanan adalah model produksi surplus atau model Schaefer. Model produksi surplus adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk pendugaan stok ikan, yaitu melalui penggunaaan data hasil tangkapan dan data effort . Sehingga akan diperoleh tiga parameter biologi, yaitu tingkat pertumbuhan alami r, daya dukung lingkungan K, dan koefisien kemampuan penangkapan q. Menurut Gulland 1961, diacu dalam Tinungki 2005, model produksi surplus terdiri dari dua model dasar yaitu Model Schaefer hubungan linier dan Model Gompertz yang dikembangkan oleh Fox hubungan eksponensial. Beberapa tipe model produksi surplus menggambarkan hubungan antara stok dan produksi. Masing-masing model memiliki keuntungan dan kerugian yang bergantung pada situasi dimana model tersebut digunakan. Model produksi surplus menurut Tinungki 2005 yang dapat digunakan untuk mengetahui parameter biologi perikanan adalah Schaefer 1954, Fox 1970, Gulland 1961, Pella-Tomlinson 1969, Walter-Hilborn 1976, Schnute 1977, Clarke- Yoshimoto-Pooley 1992, dan Cushing 2001.

2.6 Model Walter-Hilborn

Menurut Tinungki 2005, model surplus produksi Walter-Hilborn merupakan model surplus produksi yang dikembangkan oleh Walter dan Hilborn 1976 yang dapat memberikan dugaan masing-masing parameter biologi r, q, dan K. Persamaan dalam model Walter-Hilborn adalah sebagai berikut : 22 +1 − 1 = − � − � 2.1 Persamaan di atas akan diperoleh dari hasil regresi liner dengan laju perubahan biomassa sebagai peubah tidak bebas dan peubah bebas adalah Ut tangkapan per unit upayaCPUE dan upaya penangkapan. Secara umum bentuk persamaan regresi dituliskan sebagi berikut : = + 1 + 2 + � 2.2 Dimana : = +1 − 1 ; 1 = ; 2 = � ; = ; = � ; = ; � = �

2.7 Penelitian Terdahulu yang Terkait

Penelitian yang berkaitan dengan subsidi perikanan, penilaian degradasi, dan analisis bioekonomi sudah pernah dilakukan sebelumnya. Studi mengenai penelitian terdahulu bertujuan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan yang ada dalam penelitian sebelumnya agar dapat diterapkan dalam penelitian. Pengambilan studi penelitian terdahulu didasarkan pada topik yang sama, yaitu mengenai perikanan tangkap dan analisisnya. Ekawati 2010 melakukan penelitian dengan judul “Penilaian Depresiasi Sumberdaya Ikan Kembung dengan Pendekatan Penurunan Produktivitas di 23 Kabupaten Pandeglang ”. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung nilai depresiasi akibat aktivitas penangkapan, mengkaji pengelolaan secara optimal, dan mengidentifikasi kebijakan yang tepat. Dalam penelitian ini digunakan analisis bioekonomi dan penilaian laju degradasi sumberdaya perikanan yang akan diterapkan pada penelitian. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan sumberdaya ikan kembung di Kabupaten Pandeglang pada periode 2000-2009 belum mengalami degradasi dan deplesi dengan nilai rata-rata koefisien masing-masing sebesar 0,28 dan 0,29. Namun, pada tahun 2009 sumberdaya ikan kembung terindikasi mengalami degradasi dengan koefisien sebesar 0,66 dan depresiasi dengan koefisien 0,70. Bersadarkan penelitian Ekawati 2010, juga disimpulkan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan kembung pada kondisi MEY terjadi pada tingkat produksi sebesar 2.662 ton dengan jumlah effort sebanyak 13.971 trip per tahun, sedangkan pengelolaan ikan kembung dapat dilakukan pada kondisi MSY Maximum Sustainable Yield yaitu pada tingkat produksi sebesar 2.663 ton dengan jumlah effort sebanyak 14.259 trip per tahun. Sehingga pengelolaan sumberdaya ikan kembung menghasilkan tingkat keuntungan maksimal terjadi pada kondisi MEY, sedangkan untuk memperolah tingkat produksi maksimal yang lestari untuk kesejahteraan nelayan terjadi pada kondisi MSY. Pohan 2010 melakukan penelitian tentang “Pengaruh Subsidi Perikanan Pembangunan SPDN Terhadap Kelestarian Sumberdaya Ikan Cakalang dan Nelayan Kecil 0-20 GT di Teluk Pelabuhanratu ”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh kebijakan pembangunan SPDN terhadap kelestarian dan peningkatan pendapatan nelayan. Hasil penelitian menunjukkan 24 bahwa perbandingan nilai effort, hasil produksi, dan rente ekonomi pada rezim pengelolaan MEY, MSY, dan OA. Pada penelitian dapat disimpulkan bahwa pembangunan SPDN di PPN Pelabuhanratu yang berdampak langsung pada penurunan biaya operasional nelayan akan menyebabkan peningkatan effort pada rezim OA dan MEY, sedangkan pada rezim MSY cenderung tetap. Pada rezim OA juga dapat dilihat bahwa peningkatan effort secara tidak langsung menyebabkan peningkatan pada harvest . Pengaruh kebijakan pembangunan SPDN juga akan berdampak langsung pada peningkatan keuntungan yang dapat dilihat pada rezim MSY dan OA. Pengaruh kebijakan pembangunan SPDN terhadap kelestarian sumberdaya ikan cakalang dianalisis dengan membandingkan produksi aktual dan produksi lestari. Berdasarkan penelitian disimpulkan kebijakan pembangunan SPDN di PPN Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi secara umum tidak menyebabkan produksi aktual melebihi produksi lestari. Hal ini terlihat pada analisis kontras antara produksi aktual dan produksi lestari setelah adanya SPDN tahun 2002- 2008, menunjukkan produksi lestari masih di atas laju pengambilan aktual. Nilai produksi aktual yang melebihi produksi lestari dalam periode ini hanya terjadi antara tahun 2002-2003. Artinya, secara umum kebijakan pembangunan SPDN tidak menyebabkan kelestarian sumberdaya ikan cakalang terganggu dilihat pada kondisi lestari MSY. Hasil simulasi kebijakan pembangunan SPDN menyebabkan pengurangan biaya operasional nelayan sebesar Rp 100.000,- yang menyebabkan peningkatan effort, harvest, dan rente pada rezim MEY. Sedangkan pada rezim OA peningkatan hanya terjadi pada effort, untuk hasil tangkapan pada rezim ini mengalami 25 penurunan, dengan rente dalam jangka panjang adalah sama dengan kondisi awal, yaitu nol. Pada rezim MSY adanya SPDN hanya berpengaruh pada peningkatan rente ekonomi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan adalah biaya operasional dan keberadaan SPDN dummy. Jadi, kebijakan pembangunan SPDN berpengaruh positif pada peningkatan pendapatan nelayan. Semakin besar nelayan menerima manfaat dari keberadaan SPDN akan menyebabkan pendapatan nelayan meningkat. Salmah 2010 juga melakukan penelitian yang menggunakan analisis bioekonomi dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Bioekonomi Penangkapan Ikan Pelagis Kecil di Perairan Kabupaten Subang ”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hasil tangkapan, effort, dan rente ekonomi aktual serta optimal secara biologi dan ekonomi. Dalam penelitian ini juga menganalisis implikasi kebijakan, dalam hal ini adalah pajak dan pengaturan jadwal terhadap pemanfaatan ikan tembang. Hasil penelitian menyimpulkan kondisi tangkapan ikan tembang di perairan Kabupaten Subang secara aktual telah mengalami overcapacity, karena tingkat effort aktual telah melebihi jumlah effort pada pengelolaan MSY dan MEY. Pada pengelolaan MSY jumlah tangkapan sebesar 2.337,62 ton per tahun, effort sebesar 2.729 trip per tahun dan rente ekonomi sebesar Rp 3.206.066.795 per tahun. Sedangkan pada pengelolaan MEY jumlah tangkapan sebesar 2.134,24 ton per tahun, effort sebesar 1.924 trip per tahun, dan rente sebesar Rp 3.886.324.795 per tahun. Regulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pajak. Regulasi ini tidak dapat diterapkan pada nelayan karena nilainya terlalu tinggi, yaitu sebesar 54,44 pada pajak output dan 119,51 pada pajak input. Namun, 26 regulasi ini dapat diterapkan ketika terjadi dampak negatif dari kebijakan alternatif berupa penjadwalan hari melaut yang dikombinasikan dengan agroindustri. 27

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Sektor perikanan merupakan sektor andalan mengingat sumberdaya perikanan Indonesia yang besar. Dengan sumberdaya yang besar seharusnya perikanan mampu memberikan kontribusi yang besar bagi pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan. Namun, ironisnya nelayan yang dekat dengan sumberdaya tersebut masih terbilang miskin, padahal jika mengingat besarnya potensi sumberdaya perikanan Indonesia seharusnya nelayan dapat hidup sejahtera. Hal ini dikarenakan skala perikanan Indonesia yang dominan adalah skala kecil sehingga modal yang digunakan kecil, teknologi rendah, dan pada akhirnya menghasilkan rente ekonomi yang rendah pula. Sehingga diperlukan kebijakan atau intervensi dari pemerintah yang dapat meningkatkan kontribusi sektor perikanan bagi pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan nelayan, khususnya nelayan kecil. Subsidi perikanan merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah untuk membantu nelayan, khususnya nelayan kecil dalam memperoleh bahan bakar. Subsidi perikanan yang diberikan pemerintah antara lain subsidi BBM, alat tangkap, dan dalam modal perikanan. Subsidi BBM dalam hal ini adalah solar menjadi hal yang sangat penting bagi nelayan. Subsidi BBM ini membantu nelayan untuk memperoleh BBM dengan mudah dan dengan harga yang rendah sehingga biaya produksi perikanan dapat ditekan. Hal ini dikarenakan biaya produksi untuk BBM sangat besar dibandingkan dengan input produksi lainnya, dimana dapat mencapai 60 dari total biaya produksi. Ketersediaan BBM menjadi penting karena BBM merupakan faktor input perikanan yang vital, selain ketersediaan alat tangkap dan teknologi, dimana nelayan tidak akan dapat melaut