Analisis bioekonomi dampak keberadaan rumpon terhadap kelestarian sumberdaya perikanan tuna kecil

(1)

ANALISIS BIOEKONOMI DAMPAK KEBERADAAN RUMPON

TERHADAP KELESTARIAN SUMBERDAYA

PERIKANAN TUNA KECIL

(Studi Kasus di Perairan Teluk Palabuhanratu

Kabupaten Sukabumi)

IRMADI NAHIB

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ANALISIS BIOEKONOMI DAMPAK KEBERADAAN RUMPON TERHADAP KELESTARIAN SUMBERDAYA PERIKANAN TUNA KECIL (Studi Kasus di Perairan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2008

Ir. Irmadi Nahib NIM C451050051


(3)

RINGKASAN

IRMADI NAHIB. Analisis Bioekonomi Dampak Keberadaan Rumpon Terhadap Kelestarian Sumberdaya Perikanan Tuna Kecil (Studi Kasus di Perairan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi). Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan SUZY ANNA.

Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak keberadaan (pemanfaatan) rumpon di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Penelitian dilakukan dengan pendekatan model bioekonomi dan analisis simulasi. Analisis dinamik dilakukan dengan sistem persamaan ODE (Ordinary Differential Equation) yang dipecahkan dengan teknik numerik dengan menggunakan software Maple 9.5 dan MS Excell. Sumberdaya perikanan tuna kecil perairan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi mengalami tangkap berlebih (biological overfishing) dan juga input yang berlebih (economic overfishing). Hasil penghitungan koefisien laju degradasi sumberdaya perikanan tuna kecil relatif kecil (0,2596 per tahun). Dampak keberadaan rumpon menyebabkan : peningkatan produksi hasil tangkapan sebesar 11,79 % , peningkatan efisiensi penggunaan effort 10,54 %, akan memperlambat waktu pencapaian carrying capacity, meningkatkan rente sumberdaya dan kesejahteraan nelayan. Hasil analisis dinamik menunjukkan bahwa : (a) sistem pengelolaan perikanan tuna kecil di perairan Teluk Palabuhanratu termasuk dalam sistem kuadran 3 (peningkatan effort, akan menyebabkan penurunan biomass ikan), (b) penerapan rumpon pada pengelolaan perikanan tuna kecil di perairan Teluk Palabuhanratu merupakan bentuk pengurangan jumlah effort. (c) trajektori (perilaku) biomass ikan dan effort pada kondisi sebelum dan setelah adanya rumpon memiliki pola yang sama. Pengaruh kenaikan harga ikan pada kondisi keberadaan rumpon akan menyebabkan rente sumberdaya menjadi negatif yang berarti kesejahteraan nelayan menurun.

Kata kunci : Bioekonomi, Analisis Dinamik, Rumpon, Dampak, Analisis Phase Plane, Perilaku Hubungan


(4)

ABSTRACT

IRMADI NAHIB. Bioekonomic Analysis on the Impact of Fish Aggregation Device for the Sustainable of Tuna Kecil Fisheries (Case Study at the Palabuhanratu Bay Area, Sukabumi Regency). Under the supervision of AKHMAD FAUZI and SUZY ANNA

The research aims to determine the impact of using fish aggregation device in the Palabuharatu bay. The study uses a bioeconomic approach and simulation. Using Ordinary Differential Equation (ODE) teqchnique, the dynamic trajectory of resources as well as the phase plane between input and output calculated with the computer programs, Maple 9.5 and Excell. The result of the study showed that little tuna and skipjack tuna fisheries in the Palabuhanratu bay area has been experiencing both severe biological and economic over fishings. Calculation of degradation rate coefficient of the fishery that the resource at average 0,2596 per year. The existence of fish aggregation device increases yield around 11,79 % and decrease the effort level to 10,54 %. Dynamic analysis shows the relation between stock and effort on the exploitation of little tuna and skipjack tuna fisheries in Pelabuhanratu bay, showed in third quadrant exploitation (increasing effort causing decreasing stock), stock trajectory and effort have the same pattern on the condition of before and after implemented of fish aggregation device. Increasing stock will be reached if there is decreasing on effort, the catagories of effort rate nowdays is excessive. The impact of increasing price of fish aggregation device causes the resource rent to be negative, its mean that the welfare of fishermen will be declining.

Keywords : Bioeconomic, Dynamic Analysis, Fish Aggreation Device, Impact, Phase Plane, Trajectory


(5)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a). Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritis atau tinjauan suatu masalah b). Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, microfilm, dan sebagainya tanpa ijin IPB


(6)

ANALISIS BIOEKONOMI DAMPAK KEBERADAAN RUMPON

TERHADAP KELESTARIAN SUMBERDAYA

PERIKANAN TUNA KECIL

(Studi Kasus di Perairan Teluk Palabuhanratu

Kabupaten Sukabumi)

IRMADI NAHIB

Tesis

sebagai salah satu persyaratan untuk untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2007 ialah evaluasi dampak keberadaan rumpon dengan judul : “Analisis Bioekonomi Dampak Keberadaan Rumpon Terhadap Kelestarian Sumberdaya Perikanan Tuna Kecil (Studi Kasus di Perairan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi)”.

Analisis sumberdaya alam pada dasarnya disyaratkan untuk dilakukan secara secara dinamik. Hal ini disebabkan karena bagaimanapun juga sumberdaya alam (terutama sumberdaya alam yang dapat diperbaharui) adalah merupakan sumberdaya yang dinamis. Penelitian dilakukan dengan pendekatan model bioekonomi dan analisis simulasi. Analisis dinamik dilakukan dengan sistem persamaan ODE (Ordinary Differential Equation) yang dipecahkan dengan teknik numerik dengan menggunakan software Maple 9.5 dan MS Excell. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak keberadaan rumpon akan mampu menjaga kelestarian sumberdaya perikanan tuna kecil dan juga meningkatkan rente ekonomi.

Kritik dan saran penulis harapkan untuk penyempurnaan dan perbaikan dalam penulisan karya ilmiah. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2008


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Setelah mengucapkan : puji syukur yang sebesar-besarnya kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang dilimpahkan-Nya kepada penulis, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua penulis yang telah banyak berkorban dalam mendidik dan membimbing penulis sampai saat ini. Terima kasih penulis ucapkan juga kepada keluarga penulis : istri tercinta (Roseta Sri Supadmi, S.Pd), anak-anak ku : M. Aziz Aljabbar, Intan Nurhaliza dan M Rizqi Alghaniiyyu serta seluruh keluarga, atas segala doa, pengorbanan dan kasih sayangnya.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc dan Ibu Dr. Suzy Anna, M.Si selaku komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis, juga kepada Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.

Dalam kesempatan ini pula penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS yang telah memperjuangkan dan memberi kepercayaan penulis untuk dapat melanjutkan studi di PS ESK. Ucapan terikasih juga penulis sampai kepada Bapak Ir. Sahat M. Simanjuntak, M.Sc yang telah banyak mengorbankan waktu untuk berdiskusi dan

memberi tambahan ilmu pengetahuan kepada penulis. Juga kepada kepada seluruh staf pengajar PS ESK dan rekan seangkatan PS ESK 2005, penulis sampaikan terima kasih atas kebersamaan, kerjasama dan pengorbanan yang kita jalani selama menempuh studi.

Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Aris Poniman, Bapak Drs. Suwahyuono, M.Sc dan Ibu Dr. Dewayany Sutrisno, M.App.Sc selaku pimpinan instansi tempat penulis bekerja atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi dan juga bantuan ijin penggunaan data dalam penulisan tesis ini.

Akhirnya penulis berdoa semoga semua pengorbanan dan bantuan bapak, ibu dan saudara dapat menjadi amal ibadah. Amiiin. Semoga tesis ini dapat bermanfaat dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjungkarang, 13 Maret 1967, dari pasangan Bapak Drs. H. Bahiki dan Ibu Hj. Uni Herna. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Penulis beristerikan Roseta Sri Supadmi, S.Pd dengan dikarunia tiga orang anak : M. Aziz Aljabbar (12 thn), Intan Nurhaliza (6 thn) dan M Rizqi Alghaniiyyu (4,5 thn).

Pada tahun 1986, penulis lulus dari SMAN 5 Bandar Lampung dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB melalui jalur PMDK. Penulis lulus pada tahun 1991. Setelah lulus, penulis bekerja sebagai tenaga ahli kehutanan di konsultan bidang kehutanan.

Pada tahun 1992, penulis bekerja di Pusat Survei Sumberdaya Alam BAKOSURTANAL. Seiring dengan adanya reorganisasi di BAKOSURTANAL pada tahun 2001 penulis bertugas di Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut (PSSDAL) BAKOSURTANAL sampai sekarang. Penulis bertugas sebagai peneliti dengan jabatan peneliti madya bidang sistem informasi spasial. Selama bekerja di BAKOSURTANAL, penulis aktif dalam kegiatan penelitian. Disamping itu, penulis juga aktif sebagai anggota redaksi majalah ilmiah : Geomatika dan Globe. Pada Tahun 2004 sampai 2005, penulis ditugaskan sebagai anggota tim penilai jabatan peneliti instansi BAKOSURTANAL.

Tahun 2005, penulis memperoleh kesempatan tugas belajar dari BAKOSURTANAL. Penulis melanjutkan studi pada program studi ekonomi sumberdaya kelautan tropika IPB (ESK –IPB) sesuai dengan bidang tugas yang penulis tekuni di PSSDAL-BAKOSURTANAL.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….. ix

DAFTAR GAMBAR ………. xi

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xiii

I. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang ………... 1

1.2 Perumusan Masalah ………... 3

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………... 4

1.5 Ruang Lingkup ………... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut …...………... 6

2.2 Sumberdaya Ikan Pelagis ... 7

2.3 Migrasi dan Penyebaran Ikan Cakalang dan Tongkol ... 9

2.4 Deskripsi Ikan Cakalang dan Tongkol ... 11

2.5 Rumpon ... 14

2.6 Pendugaan Produksi Perikanan ... 16

2.7 Model Statik Bioekonomi Gordon-Schaefer... 19

2.8 Model Dinamis Ekonomi Perikanan ………. 21

2.9 Analisis Dinamik Pengelolaan Perikanan ……… 23

III. METODE PENELITIAN 25 3.1 Kerangka Pendekatan Studi ... 25

3.2 Metode Pengumpalan Data ... 26

3.3 Metode Analisis Data ………...…………... 28

3.3.1 Standarisasi Alat Tangkap ………... 29

3.3.2 Analisis Bioekonomi ...…………... 30

3.3.3 Pengelolaan Sumberdaya Secara Optimal...…………... 34

3.3.4 Analisis Dinamik Pengelolaan Perikanan ... 34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 38 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian ………... 38

4.1.1 Letak Geografis ………... 38

4.1.2 Topografi dan Kondisi Perairan ………... 39

4.2 Keadaan Umum Perikanan Laut ………... 40

4.2.1 Aktifitas Nelayan ………... 40

4.2.2 Perahu/Kapal Penangkap Ikan ………... 41

4.2.3 Alat Penangkap Ikan ………... 42

4.2.4 Daerah Penangkapan Ikan (Fishing Ground) ……….. 43


(11)

4.3 Aspek Biologi Upaya Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Tuna Kecil ... 45

4.3.1 Produksi Ikan Tuna Kecil ………... 45

4.3.2 Upaya Penangkapan Ikan Tuna Kecil ………... 48

4.3.3 Hasil Tangkapan Per Unit Upaya Penangkapan Ikan Tuna Kecil ... 50

4.4 Pendugaan Parameter Biologi ...………... 51

4.4.1 Standarisasi Unit Effort ………... 51

4.4.2 Pendugaan Parameter Biologi ………... 51

4.5 Pendugaan Parameter Ekonomi………... 53

4.5.1 Pendugaan Biaya Operasional ……….. 53

4.5.2 Pendugaan Harga ...……….. 54

4.5.3 Pendugaaan Discount Rate ………... 56

4.6 Analisis Bioekonomi ... 57

4.7 Analisis Dinamik Pengelolaan Perikanan Tuna Kecil... 62

4.7.1 Model Standar Willen’s Open Access Dynamic ... 63

4.7.2 Model Dampak Rumpon Implisit melalui Fungsi Effort... 68

4.7.3 Model Dampak Rumpon Mengalami Dinamika ... 71

4.8 Analisis Sensitivitas ... 76

4.9 Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tuna Kecil ... 81

V. KESIMPULAN DAN SARAN ……….………... 85

5.1 Kesimpulan ...…….………... 85

5.2 Saran ………... 87

DAFTAR PUSTAKA ………... 87 LAMPIRAN 92


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Jenis dan Sumber Data yang Digunakan ... 27 2 Perkembangan Jumlah Nelayan yang Beraktifitas di PPN

Palabuhanratu, Tahun 1993 – 2006 ... 41 3 Perkembangan Jumlah Perahu Motor Tempel (PTM) dan Kapal

Motor (KM) yang Berbasis di PPN Pabuhanratu, Tahun 1993 – 2006 ... 42 4 Perkembangan Jumlah Alat Penangkap Ikan yang Berbasis di

PPN Palabuhanratu, Tahun 1993 – 2006 ... 43 5 Perkembangan Volume dan Nilai Produksi Ikan yang didaratkan di

PPN Palabuhanratu, Tahun 1993 – 2006 ... 44 6 Produksi dan Nilai Produksi Ikan Dominan yang didaratkan di PPN

Palabuhanratu, Tahun 2006 ... 45 7 Perkembangan Produksi Ikan Cakalang Berdasarkan Alat Tangkap

di PPN Palabuhanratu, Tahun 1993 – 2006 ... 46 8 Perkembangan Produksi Ikan Tongkol Berdasarkan Alat Tangkap

di PPN Palabuhanratu, Tahun 1993 – 2006 ... 47 9 Jumlah Effort Tahunan (Hari Melaut per Tahun) Jaring Insang dan

Payang dalam Upaya Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tuna Kecil Tahun 1993 – 2006 ... 49 10 Perkembangan Produksi, Effort dan CPUE Ikan Tuna Kecil

berdasarkan Jenis Alat Tangkap, Tahun 1993-2006 ... 50 11 Standarisasi Effort dari Alat Tangkap Yang Digunakan Untuk

Menangkap Ikan Tuna Kecil di PPN Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi ... 52 12 Produksi dan Effort Perikanan Tuna Kecil di Perairan Teluk

Palabuhanratu, Tahun 1993-2006 ... 52 13 Parameter Biologi Ikan Tuna Kecil di Perairan Teluk

Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi ... 53 14 Rekapitulisasi Rata-Rata Biaya Operasional Penangkapan Ikan

Tuna Kecil per Effort di Perairan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Tahun 2007 ... 53


(13)

15 Perkembangan Harga Ikan Tuna Kecil di Perairan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Tahun 1993-2006... 54 16 Produksi dan Nilai Produksi Ikan Tuna Kecil di Perairan Teluk

Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Tahun 1993-2006... 55 17 Hasil Analisis Social Discount Rate Berdasarkan Interest Rate dan

Inflasi Tahun 1993-2006 ………. 56 18 Jumlah Effort, Produksi Letari dan Produksi Aktual Ikan Tuna Kecil

di Perairan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Tahun 1993-2006... 57 19 Hasil Analisis Laju Degradasi Perikanan Tuna Kecil di Teluk

Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Tahun 1993-2006... 58 20 Perbandingan Tingkat Biomass, Produksi, Upaya Optimal dan

Rente Perikanan Tuna Kecil di Perairan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi ... 59 21 Parameter Biologi dan Ekonomi Dalam Analisis Dinamik

Pengelolaan Perikanan Tuna Kecil di Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi ... ... 63


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Ikan Cakalang ... 12

2 Ikan Tongkol ... 13

3 Biomass yang diplotkan terhadap waktu (Gulland, 1983 dalam Tinungki, 2005)………... 17

4 Model Bioeconomis Gordon Schaefer ………... 21

5 Kerangka Pendekatan Studi ……… 25

6 Langkah-Langkah Pemodelan Bioekonomi ... 28

7 Peta Lokasi Penelitian ... 38

8 Produksi, Nilai Produksi dan Depresisasi Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Tahun 1993-2006... 55

9 Perbandingan Produksi Aktual Terhadap Produksi Lestari Ikan Tuna Kecil di Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Tahun 1993-2006 ………... 57

10 Trajektori Koefisien Laju Degradasi Perikanan Tuna Kecil di Perairan Teluk Palabuhanratu Tahun 1993-2006..………... 59

11 Perbandingan Solusi Bioekonomi dari Ketiga Rezim Pengelolaan 61 12 Trajektori Dinamis antara Effort dan Biomass (Model Standar) ... 64

13 Analisis Phase Plane Stok Ikan dan Effort ...... 65

14 Analisis Phase Plane Perikanan Tuna Kecil di Perairan Teluk Palabuhanratu (Model Standar) ... 66

15 Trajektori Effort, Produksi dan Rente di Perairan Teluk Palabuhanratu (Model Standar) ... 66

16 Kurva suplai dan Demand Pada perikanan Tangkap (Copes, 1972).. 67

17 Trajektori Dinamis antara Effort dan Biomass (Dampak Rumpon Implisit Fungsi Effort) ... 69


(15)

18 Analisis Phase Plane Perikanan Tuna Kecil di Perairan Teluk

Palabuhanratu (Dampak Rumpon Implisit Fungsi Effort) ... 69

19 Trajektori Effort, Produksi dan Rente di Perairan Teluk Palabuhanratu (Dampak Rumpon Implisit Fungsi Effort) ... 70

20 Trajektori Dinamis antara Effort dan Biomass (Dinamika Dampak Rumpon)... 72

21 Analisis Phase Plane Perikanan Tuna Kecil di Perairan Teluk Palabuhanratu (Dinamika Dampak Rumpon) ... 72

22 Trajektori Effort, Produksi dan Rente di Perairan Teluk Palabuhanratu (Dinamika Dampak Rumpon) ... 75

23 Dampak Perubahan Harga dan Biaya Terhadap Effort ... 77

24 Dampak Perubahan Harga dan Biaya Terhadap Produksi ... 77

25 Dampak Perubahan Harga dan Biaya Terhadap Rente ... 79

26 Dampak Perubahan Harga dan Biaya Terhadap Biomass ... 79

27 Pengaruh Pajak per unit Upaya Terhadap Keseimbangan Akses Terbuka ... 82

28 Pengaruh pajak per ton Ikan Tangkap terhadap Keseimbangan Akses Terbuka ... 83


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Perhitungan Jumlah Contoh (Responden) ……… 93 2 Jumlah Hari Melaut Per Bulan ( Effort per Bulan) Nelayan

Responden Jaring Insang dan Nelayan Responden Payang …….. 95 3 Produksi Ikan Tuna Kecil (kg) di Pelabuhan Perikanan

Nusantara Palabuhanratu Tahun 1993-2006 ... 96 4 Analisis Standaridisasi Unit Upaya (Effort) Penangkapan Ikan

Tuna Kecil di PPN Tahun 1993-2006 …………..……….. 97 5 Analisis Regresi Pendugaan Parameter Biologi (r, q & K) Ikan

Tuna Kecil di PPN Tahun 1993-2006 Model CYP………. . 99 6a Rekapitulisasi Biaya Operasional Penangkapan Ikan di Perairan

Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi dengan Alat Tangkap

Gill Net ………... 101

6b Rekapitulisasi Biaya Operasional Penangkapan Ikan di Perairan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi dengan Alat Tangkap

Payang ……….………... 102

6c Rekapitulisasi Biaya Operasional Penangkapan Ikan di Perairan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi dengan Alat Tangkap

Pancing Tonda ………. 103

7 Penghitungan Koefisien Laju Degradasi Perikanan Tuna Kecil di Perairan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Tahun

1993-2006 ………. 104

8 Maple Output Untuk Solusi Optimal Sumberdaya Ikan Tuna Kecil di Perairan Teluk Palabuhanratu ………. 105

9a Analisis Regresi Pendugaan Parameter Dampak Rumpon Ikan Tuna Kecil di PPN Palabuhanratu Tahun 1993-2006 ……….….. 111 9b Analisis Regresi Pendugaan Parameter Dampak Rumpon Ikan

Tuna Kecil di PPN Palabuhanratu Tahun 1993-2006 …………... 113 10 Analisis Bioekonomi Perikanan Tuna Kecil di Perairan Teluk

Palabuhanratu dengan Kebijakan Pajak Terhadap Input dan Output... 115 11 Foto-Foto Lapangan Dalam Rangka Kegiatan Pengumpulan


(17)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumberdaya alam memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi (resource based economy) dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan (life support system). Sampai saat ini, sumberdaya alam sangat berperan sebagai tulang punggung perekonomian nasional, dan masih akan diandalkan dalam jangka menengah. Hasil hutan, hasil laut, perikanan, pertambangan, dan pertanian memberikan kontribusi 24,8 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional pada tahun 2002, dan menyerap 45 persen tenaga kerja dari total angkatan kerja yang ada (Anonimous, 2005).

Laporan FAO (2000) diacu dalam Fauzi (2005) menunjukkan hasil tangkapan perikanan secara global telah mengalami penurunan, dimana sebesar 47 % stok mengalami eksploitasi penuh, 15-18 % stok telah mengalami over-eksploitasi, dan 9 % stok telah terdeplesi. Hal yang sama diutarakan juga oleh Gomes (1999). Hasil penelitian Gomes menunjukkan bahwa di Asia Tenggara, seluruh perairan pesisir sampai 15 km dari darat telah mengalami over fishing.

Penangkapan ikan secara besar-besaran juga terjadi di Indonesia. Kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada pertumbuhan jangka pendek telah memicu pola produksi dan konsumsi yang agresif, eksploitatif dan ekspansif sehingga daya dukung dan fungsi lingkungan hidup semakin menurun, bahkan mengarah pada kondisi yang mengkhawatirkan (Anonimous 2005). Menurut Fauzi (2006) setiap program pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan selalu membawa konsekwensi yang tidak saja bersifat positif, namun juga menimbulkan biaya yang cukup mahal.

Berdasarkan hasil pengkajian stok ikan nasional tahun 2001, potensi lestari ikan yang terdapat di perairan Indonesia mencapai 6,4 juta ton per tahun dan baru sekitar 60 persen saja dapat dimanfaatkan (Anonimous, 2001). Salah satu WPP yang masih dapat dikembangkan untuk penangkapan ikan pelagis (besar dan kecil) adalah di pantai selatan Jawa yang termasuk dalam WPP Samudera Hindia. Pemanfaatan ikan pelagis


(18)

besar di WPP Samudera Hindia baru sekitar 48,74 %, sedangkan untuk ikan pelagis kecil tingkat pemanfaatan mencapai 50,21 % (Anonimous, 2001; Dahuri, 2004).

Implementasi dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi dengan No. 32 Tahun 2004, yang memberikan kewenangan pengelolaan sumberdaya alam kepada pemerintah daerah, telah memicu kegiatan eksploitasi sumberdaya (termasuk juga sumberdaya perikanan) yang berlebih dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dalam jangka pendek. Salah satu kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat dalam era otonomi untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, adalah pemasangan dan pemanfaatan rumpon sebanyak sebanyak 22 buah di selatan Pulau Jawa (Teluk Palabuharatu dan sekitarnya).

Penerapan teknologi rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan akan memberikan keuntungan dan juga kerugian. Dalam jangka pendek adanya rumpon akan meningkatkan kesejahteraan nelayan. Sedangkan dampak pada jangka panjang dikhawatirkan akan berdampak terhadap kelestarian stok ikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada awal keberadaan (pemanfaatan) rumpon, mampu meningkatkan hasil tangkapan total sebesar 105 %, hasil tangkapan per satuan upaya sebesar 142 %, meningkatkan pendapat pemilik rumpon sebesar 367 %, mengurangi pemakaian bahan bakar sebesar 64,3 % serta mengurangi pemakaian umpan hidup sebesar 50 %. Namun dengan semakin padatnya pemasangan rumpon, maka akan menyebabkan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya, yang dimulai dengan tanda-tanda ukuran rata-rata ikan yang tertangkap memperlihatkan kecendrungan mengecil dibandingkan tahun sebelumnya (Monintja dan Zulkarnain, 1995; Diniah et. al. 2006).

Munculnya ketidakoptimalan hasil tangkapan nelayan dan beberapa fenomena kerugian ekonomi yang terjadi akibat dari keberadaan (pemanfaatan) rumpon, memberikan stimulan untuk mengetahui berapa besar manfaat ekonomi yang dapat diperoleh, agar sumberdaya perikanan tersebut dapat memberikan manfaat optimal bagi kesejahteraan nelayan.


(19)

1.2 Perumusan Masalah

Sifat dasar dari dari sumberdaya perikanan adalah hak milik bersama (common property), dimana pemanfaatan dapat digunakan dalam waktu yang bersamaan oleh lebih dari satu individu atau satuan ekonomi (open acces). Sifat dasar inilah yang memudahkan keluar masuknya individu/pelaku usaha dalam usaha pemanfaatan sumberdaya ikan (Chirty dan Schoot 1986). Pada jenis usaha yang memberikan tingkat keuntungan yang relatif lebih baik, maka tekanan pemanfaatan akan semakin kuat, sehingga apabila tidak diatur dengan baik, maka akan cendrung ke arah pemanfaatan yang berlebih dan akan menimbulkan umpan balik yang dapat mengancam kelangsung usaha itu sendiri.

Menurut Fauzi dan Anna (2005) untuk mencapai hasil yang optimal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, kita tidak lepas dari pendekatan sistem dinamis, karena bagaimanapun, sumberdaya perikanan adalah sumberdaya yang dinamis. Sumberdaya perikanan adalah aset (kapital) yang dapat bertambah atau berkurang secara alami maupun karena intervensi manusia. Keputusan eksploitasi di masa lalu akan mempengaruhi kondisi sumberdaya perikanan di masa datang, demikian juga keputusan pengelolaan (eksploitasi) dimasa sekarang akan mempengaruhi kondisi sumberdaya perikanan dimasa depan.

Keberadaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan akan memberikan keuntungan dan juga kerugian. Dalam jangka pendek keberadaan rumpon akan meningkatkan hasil tangkapan, sehingga kesejahteraan nelayan juga meningkat. Sedangkan dalam jangka panjang, keberadaan rumpon dikhawatirkan akan berdampak terhadap kelestarian stok/biomass ikan. Pertanyaan yang kemudian timbul dengan mencermati fenomena keberadaan rumpon, adalah sebagai berikut :

1) Bagaimana pengaruh keberadaan rumpon terhadap kelestarian sumberdaya perikanan tuna kecil di perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi ?.

2) Bagaimana pengaruh keberadaan rumpon terhadap rente sumberdaya dan kesejahteraan nelayan di perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi?.


(20)

3) Kebijakan apa yang harus diambil untuk menjaga kelestarian sumberdaya perikanan tuna kecil di Teluk Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi ?.

1.3 Hipotesis

Adapun hipotesis dari permasalah diatas adalah :

1) Diduga pengaruh keberadaan (pemanfaatan) rumpon akan mempercepat waktu pencapaian carrying capacity perikanan tuna kecil di perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.

2) Diduga pengaruh keberadaan (pemanfaatan) rumpon akan meningkatkan rente sumberdaya dan kesejahteraan nelayan di perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.

1.4 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1 Mengetahui pengaruh aktivitas produksi sebelum dan sesudah adanya (pemanfaatan) rumpon terhadap kelestarian sumberdaya perikanan tuna kecil di perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi

2 Mengetahui pengaruh keberadaan (pemanfaatan) rumpon terhadap rente sumberdaya dan kesejahteraan nelayan di perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.

Kegunakan penelitian, yaitu :

1 Dengan penelitian ini, maka diharapkan akan diperoleh data dan informasi mengenai kondisi sumberdaya perikanan tuna kecil di perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.

2 Sebagai bahan acuan bagi pengambil kebijakan dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan tuna kecil yang berkelanjutan di perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.


(21)

Penelitian ini dibatasi pada perikanan tuna kecil (yang terdiri atas jenis ikan cakalang dan tongkol) yang berada di perairan Teluk Palabuhanratu. Ikan tuna kecil yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi berasal dari perairan Teluk Palabuhanratu. Sedangkan lokasi pemasangan rumpon sebagian besar berada di luar perairan Teluk Palabuhanratu.

Analisis bioekonomi ini, bersumber pada data statistik perikanan PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Data yang digunakan merupakan data tahun 1993-2006.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut

Menurut Aziz et.al., (1998), sumberdaya ikan laut Indonesia pada dasarnya dikelompokkan berdasarkan taksonomi, yaitu ikan (pisces) dan non-ikan (moluska, krustasea, holoturaeda, reptilia dan mamalia). Kelompok ikan berdasarkan habitatnya dibagi menjadi 3 kelompok, yakni;

a) Ikan pelagis, yaitu ikan yang sebagian besar masa hidupnya berada di kolom air terutama dekat permukaan;

b) Ikan demersal, yaitu ikan yang sebagian besar masa hidupnya berada pada atau di dekat dasar perairan;

c) Ikan karang, yaitu ikan kehidupannya terikat dengan perairan karang.

Menurut Undang Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang dimaksud dengan :

a) Ikan merupakan segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.

b) Sumberdaya ikan adalah semua jenis ikan.

c) Perikanan merupakan semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilakukan dalam suatu bisnis perikanan.

d) Penangkapan ikan adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah atau mengawetkan.

e) Usaha penangkapan adalah semua usaha perorangan atau berbadan hukum untuk menangkap ikan atau membudidayakan ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial.


(23)

Menurut lokasi kegiatannya, perikanan tangkap di Indonesia dikelompokkan

dalam 3 kelompok, yaitu (1) perikanan lepas pantai (offshore fisheries); (2) perikanan pantai (coastal fisheries) dan (3) perikanan darat (inland fisheries).

Kegiatan perikanan pantai dan perikanan darat sangat erat kaitannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir. Perikanan pantai (coastal fisheries) ialah kegiatan menangkap populasi hewan air (ikan, udang, kerang-kerangan) dan memanen tumbuhan air (ganggang, rumput laut) yang hidup liar di perairan sekitar pantai. Masalah utama yang dihadapi perikanan tangkap pada umumnya adalah menurunnya hasil tangkap yang disebabkan oleh : 1) eksploitasi berlebihan (overfishing) terhadap sumberdaya perikanan; dan 2) degradasi kualitas fisik, kimia dan biologi lingkungan perairan. (Dahuri et.al., 2002).

2.2Sumberdaya Ikan Pelagis

Menurut Nybakken (1988), ikan pelagis merupakan organisme yang mempunyai kemampuan untuk bergerak sehingga mereka tidak tergantung pada arus laut atau gerakan air yang disebabkan oleh angin. Menurut Gunarso dan Bahar (1990) ikan pelagis merupakan ikan yang tidak terikat pada pantai atau perairan pantai sebagai persyaratan hidupnya, dapat menyebar luas pada daerah-daerah dengan kondisi lingkungan yang sesuai dalam usaha pencarian dan penemuan makanan. Ikan pelagis merupakan ikan yang hidup atau menghuni perairan lapisan permukaan sampai lapisan tengah (mid layer). Pada daerah-daerah dimana terjadi proses penaikan massa air (upwelling) sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar. Ikan pelagis umumnya senang bergerombol, baik dengan kelompoknya maupun dengan jenis ikan lainnya namum terdapat kecenderungan ikan pelagis bergerombol besarkan kelompok ukurannya.

Daerah yang paling banyak diminati ikan pelagis yaitu daerah yang masih mendapatkan cahaya matahari yang dikenal dengan daerah fotik, yaitu bagian dari kawasan pelagik yang masih mendapatkan cahaya matahari. Suhu optimal bagi ikan pelagis berkisar antara 28-30 °C. Perbatasan bawahnya adalah batas tembusnya cahaya matahari dan kedalamannya bervariasi tergantung kejernihan air. Pada umumnya perbatasan bawah terletak pada kedalaman 100-150 m (Nybakken, 1988).


(24)

Ikan pelagis pada umumnya mempunyai kebiasaan makan pada waktu matahari terbit dan pada saat matahari terbenam. Secara umum kebanyakan ikan-ikan pelagis ke permukaan sebelum matahari terbenam biasanya di perairan dangkal. Setelah matahari terbenam mereka menyebar kedalam kolom air dan menuju lapisan yang lebih dalam saat matahari terbit. Letak kedalaman dari kelompok ikan pelagis sangat tergantung dari struktur suhu vertikal dengan pengertian ikan pelagis akan berenang sedikit lebih kedalam pada waktu suhu permukaan meningkat dari biasanya (Laevastu dan Hayes, 1981). Lebih lanjut Laevastu dan Hayes (1981), menjelaskan bahwa migrasi vertical diurnal dari ikan yang hidup di laut dibagi dalam 5 kelompok yaitu :

1. Spesies pelagis yang berada pada atas lapisan termoklin; mengadakan migrasi ke lapisan permukaan pada saat matahari terbenam; tersebar pada layer diantara permukaan dengan termoklin pada waktu malam hari; menyelam dan berada di atas termoklin bersamaan dengan terbitnya matahari.

2. Spesies pelagis yang ada pada siang hari berada pada lapisan di bawah termoklin; mengadakan migrasi dengan menembus lapisan termoklin ke lapisan permukaan selama matahari terbenam; tersebar diantara permukaan dengan dasar pada waktu malam hari, dengan jumlah waktu terbanyak pada malam hari di atas lapisan termoklin; menembus lapisan termoklin menuju ke lapisan yang lebih dalam bila matahari terbit.

3. Spesies pelagis yang pada siang hari berada pada lapisan di bawah termoklin; mengadakan migrasi di bawah lapisan termoklin selama matahari terbenam; tersebar diantara termoklin dengan dasar pada waktu malam hari; turun ke lapisan yang lebih dalam selama matahri terbit.

4. Spesies demersal pada waktu siang hari berada di atas atau pada dasar perairan; mengadakan migrasi dan tersebar di dalam massa air di bawah (dan kadang-kadang di atas) termoklin pada saat matahari terbenam; menuju ke dasar pada saat matahari terbenam; menuju ke dasar perairan pada saat matahari terbit.

5. Spesies yang tersebar di seluruh kolom perairan pada waktu siang hari tetapi akan turun ke dasar selama malam hari.

Yami, B (1987) dalam Hermadi (2001) berpendapat bahwa kondisi perairan dapat membantu gerombolan ikan untuk berkumpul terutama gerombolan ikan pelagis yang


(25)

terbentuk pada permukaan air, mungkin terdapat pada daerah yang kondisi perairannya sebagai berikut:

1. Terjadi pertemuan massa air yang berbeda suhunya, kemudian bercampur dan bersama-sama membentuk suhu permukaan dengan lapisan permukaan yang dangkal.

2. Perairannya kaya akan sumber hara yang terbawa dari ke dalam air ke atas permukaan melalui proses upwelling.

3. Perairan lokalnya mengalami proses peradukan yang terjadi di sekitar kepulauan, semenanjung, lereng curam, dan bentuk topografi lainnya.

Penyebaran ikan pelagis secara horizontal banyak dipengaruhi oleh daratan, sehingga ikan-ikan ditemukan pada daerah neritik yaitu daerah yang mencakup massa air yang terletak di paparan benua. Daerah ini banyak mendapatkan makanan dari daratan yang disukai oleh ikan-ikan pelagis, selain itu juga daerah ini tidak terlalu dalam sehingga perairannya cenderung selalu hangat.

2.3Migrasi dan Penyebaran Ikan Cakalang dan Tongkol

Ikan pelagis termasuk dalam kelompok ikan perenang cepat, beruaya cukup jauh dan sifatnya bergerombol/mengelompok. Salah satu sifat ikan pelagis yaitu suka bergerombol merupakan faktor penting bagi pemanfaatan usaha perikanan komersial. Adanya sifat suka bergerombol ini, menyebabkan ikan dapat ditangkap dalam jumlah besar (Gunarso, 1985). Tingkah laku berkelompok pada ikan pelagis juga didasarkan atas jenis dan ukuran yang berbeda pula, dimana hal ini akan mempengaruhi pola tingkah laku mengelompok pada suatu gerombolan ikan (Laevastu dan Hayes, 1981).

Gunarso (1985) menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan ikan pelagis membentuk kelompok/bergerombol, yaitu : a) sebagai perlindungan diri dari pemangsa (predator), b) mencari dan menangkap mangsa untuk tujuan pemijahan, c) bertahan pada musim dingin dan d) untuk melakukan ruaya dan pergerakan serta karena adanya pengaruh faktor yang ada disekitarnya. Menurut Efendie (2002) ruaya merupakan satu mata rantai daur hidup yang tidak dapat dipisahkan dengan mata rantai sebelum dan sesudahnya. Ikan melakukan ruaya ke daerah-daerah dimana mereka menemukan kondisi yang diperlukan oleh fase tertentu dari daur hidupnya. Ikan beruaya ada dalam habitat tadi


(26)

untuk tujuan tertentu seperti berpijah, mencari makan dan lain-lain.

Secara global penyebaran ikan cakalang dibagi menjadi dua batas area, yaitu : utara dan selatan. Kedua batas area berubah secara musiman dan tahunan sebagai akibat dari respon ikan cakalang terhadap perubahan musiman lingkungan. Batas-batas tersebut biasanya bergerak menuju arah kutub pada saat musim panas (summer) dan musim gugur (fall) pada saat perairan lintang tinggi mengalami pemanasan. Pada saat musim lainnya, batas-batas area tersebut bergerak menuju arah khatulistiwa. Meskipun demikian, batas utara dan selatan tidak mengalami pergeseran secara uniform satu sama lainnya dan pergeseran batas-batas tersebut terjadi tidak secara bersamaan di seluruh samudera, karena berbagai pengaruh arus-arus dingin dan panas diberbagai samudera (Matsumoto et.al., 1984).

Selanjutnya Sumadiharga (1985) menyatakan bahwa sifat migrasi ikan cakalang ada dua macam, yaitu migrasi pasif dan migrasi aktif. Migrasi pasif adalah migrasi yang dilakukan ikan cakalang dalam suatu habitat tertentu sebagai akibat perubahan kondisi lingkungan dalam habitat itu. Migrasi aktif adalah perpindahan dari suatu habitat ke habitat lainnya karena perubahan fisiologi dan ekologis yang diperlukan ikan cakalang tersebut. Sedangkan menurut FAO (1994) bahwa migrasi ikan cakalang berbeda untuk suatu perairan dengan perairan lainnya. Di perairan Pasifik Barat, ikan cakalang akan bermigrasi pada musim semi dan musim panas ke perairan yang terdapat arus ekuatorial utara. Ada juga yang bermigrasi ke utara dan ke selatan dalam sistem arus Kuroshio yaitu arus panas dengan arah ke utara Jepang. Menurut Karney (1978) penyebaran cakalang di Samudera Pasifik terdapat di seluruh daerah tropis, sub tropis dengan batas garis lintang 40o tetapi kepadatan yang memungkinkan diadakan penangkapan dibatasi oleh isoterm 20 o C. Waldron (1963) yang diacu dalam Nursalam (1982) menyatakan bahwa ikan cakalang masih terdapat pada 40o LS dengan suhu 15 o C, sedangkan penyebaran tropikal terletak antara 30 o LU sampai 20 o LS, akan tetapi fishing ground terbesar berada sepanjang katulistiwa 10 o LS dan 10 o LS.

Jenis tuna dan cakalang menyebar luas di seluruh perairan tropis dan subtropis. Penyebaran jenis-jenis tuna dan cakalang tidak dipengaruhi oleh perbedaan garis bujur (longitude) tetapi dipengaruhi oleh perbedaan garis lintang (latitude). Di Samudera Hindia dan Samudera Atlantik menyebar di antara 40ºLU dan 40ºLS (Collete dan Nauen, 1983).


(27)

Yami, B (1987) menjelaskan bahwa ikan cakalang mulai memijah pada saat berumur diperkirakan 1 tahun dengan menghasilkan kurang lebih 100.000 telur setiap tahunnya dan bertambah sampai 2 juta telur setiap memijah. Telur-telur tersebut menetas diperkirakan 4 hari setelah fertilisasi. Larvanya dapat ditemukan di seluruh wilayah Samudra Hindia, Pasifik dan Atlantik. Setelah berumur 4 tahun atau lebih cakalang kembali ke katulistiwa untuk memijah.

2.4Deskripsi Ikan Cakalang dan Tongkol

Menurut Matsumoto et.al., (1981) secara taksonomi ikan cakalang termasuk dalam kekerabatan sebagai berikut :

Phylum : Vertebrata Subphylum : Chraniata

Series : Pisces

Superclass : Gnathostomata Subclass : Actinopterygii

Ordo : Perciformes Sub Ordo : Scombroidei Family : Scombridae

Sub Famili : Scombrinae Tribe : Thunnini

Genus : Katsuwonus Species : pelamis

Menurut Collette dan Nauen (1983) ikan cakalang termasuk kedalam family Scobridae, bergenus Katsuwonus dan spesiesnya Katsuwonus pelamis. Ikan cakalang biasa disebut juga skipjack tuna dan memilki ciri-ciri morfologi sebagai berikut :

1) Bentuk tubuh memanjang seperti bentuk cerutu dan agak membulat simetris, gigi kecil-kecil runcing yang tersusun secara seri.

2) Pada helai insang pertama gill rackers sebanyak 53-63 helai.

3) Mempunyai dua sirip dorsal yang terpisah, sirip yang pertama mempunyai 14-16 jari-jari keras sedangkan sirip kedua diikuti dengan 7-9 finlets dan 7 finlets di belakang sirip dubur.

4) Pada bagaian ekor terdapat 2 keel yang keras.

5) Badan tidak bersisik pada bagian dada dan garis sisi (Lateral line).

6) Bagian punggung berwarna biru kehitaman, bagian perut abu-abu dengan 4-6 garis hitam yang membujur.


(28)

Menurut Wade diacu dalam Widana (1991) panjang ikan cakalang pada umur satu tahun kurang lebih 37 cm, pada tahun kedua dapat mencapai 46 cm, pada tahun ketiga

55 cm, tahun keempat 64 cm, tahun kelima 72 cm, bahkan cakalang dapat mencapai 1 meter pada umur lebih 7 tahun dengan berat diperkirakan 25 kg. Pada umumnya ikan

cakalang yang tertangkap berukuran panjang 40-60 cm. Barkley e.t al., (FAO, 1994) mengemukakan bahwa ikan cakalang yang berada pada permukaan perairan tropis adalah cakalang yang kecil (kurang dari 4 kg). Sedangkan cakalang besar (lebih dari 6,5 kg) berhabitat di perbatasan termoklin dan beradaptasi dengan perairan sejuk.

Katsuwonus pelamis Gambar 1. Ikan Cakalang

Hasil wawancara dengan petugas statistik perikanan PPN Palabuhanratu, ikan tongkol yang tercatat pada data hasil produksi adalah merupakan campuran dari species Auxis thazard dan Euthyunnus affinis, dimana masyarakat nelayan setempat lebih mengenal dengan nama tongkol abu-abu dan tongkol komo. Dengan mempertimbangkan belum tersedianya data produksi yang disajikan secara terpisah berdasarkan masing-masing species tongkol tersebut, maka pengertian ikan tongkol dalam analisis selanjutnya adalah merupakan campuran dari keduanya.

Menurut Saanin (1984), taksonomi ikan tongkol diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum : Chordata

Subphylum: Vertebrata Kelas: Pisces

Sub Kelas: Teleostei Ordo: Percomorphi

Sub Ordo: Scombroidea Famili: Scombridae


(29)

Species: Auxis thazard; Genus : Euthynus

Species : Euthynnus affinis

Ciri-ciri morfologis ikan tongkol (Auxis thazard) adalah : badan memanjang, kaku, bulat seperti cerutu. Ikan ini memiliki dua sirip pungggung, yaitu sirip punggung pertama berjari-jari keras 10 dan sirip punggung kedua berjari-jari keras 11, diikuti 6-9 jari-jari sirip tambahan. Sirip dubur berjari-,jari lemah 14, diikuti 6-8 jari-jari tambahan dan terdapat satu lidah/cuping (interpelvic process) diantara sirip perutnya. Badan tanpa sisik,kecuali pada bagian korselet yang tumbuh sempurna dan mengecil di bagian belakangnya. Pada dasar sirip ekornya, terdapat satu lunas kual yang diapit dua lunas kecil. Ukuran dapat mencapai panjang 50 cm, tetapi umumnya antara 25-40 cm. Tubuh bagian atas berwarna hitam kebiruan serta berwarna putih dan perak dibagian bawahnya. Selain itu pada jenis ini, terdapat ban-ban hitam yang menyerong dan bergelombang, pada bagian atas garis rusuk. Tongkol ini tergolong ikan pelagis besar dan perenang cepat dengan daerah penyebaran hampir terdapat di seluruh daerah pantai, lepas pantai perairan Indonesia dan seluruh perairan Indo-Pasifik (Direktorat Jenderal Perikanan 1979).

Auxis thazard

Euthynnus affinis Gambar 2. Ikan Tongkol


(30)

Ciri-ciri morfologis ikan tongkol (Euthynnus affinis) adalah : badan memanjang, seperti cerutu atau terpedo. Ikan ini memiliki dua sirip punggung, yaitu sirip punggung pertama berjari-jari keras 15 dan sirip punggung kedua berjari-jari lemah 13, diikuti 8-10 jari-jari sirip tambahan. Sirip dubur berjari-,jari lemah 14, diikuti 6-8 jari-jari tambahan dan terdapat dua lidah/cuping (interpelvic process) diantara sirip perutnya. Badan tanpa sisik, kecuali pada bagian korselet dan bagian rusuknya. Pada batang ekornya, terdapat satu lunas kuat yang diapit dua lunas kecil. Ukuran dapat mencapai panjang 100 cm, tetapi umumnya antara 50-60 cm. Tubuh bagian atas berwarna biru kehitaman serta berwarna putih dan perak dibagian bawahnya. Selain itu pada jenis ini, terdapat ban-ban hitam yang menyerong dan bergelombang, pada bagian atas garis rusuknya, serta noktah-noktah hitam diantara sirip dada dan perut.

2.5 Rumpon

Rumpon adalah suatu kontruksi bangunan yang dipasang di dalam air dengan tujuan untuk memikat ikan agar berasosiasi dengannya sehingga memudahkan penangkapan ikan tersebut (Monintja dan Zulkarnain, 1995). Sedangkan menurut Diniah, et.al., (2006) rumpon merupakan bangunan atau benda yang menyerupai pepohonan yang dipasang atau ditanam di tengah laut yang berfungsi untuk mendapatkan dan mengumpulkan kawanan ikan sebelum operasi penangkapan ikan dilakukan. Lebih lanjut dijelaskan oleh Sudirman dan Mallawa,A (2000) rumpon biasa juga disebut dengan fish agregation device (FAD) yaitu suatu alat bantu penangkapan yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu catchable area. Ada beberapa prediksi mengapa ikan senang berada disekitar rumpon : a) rumpon tempat berkumpulnya planton dan ikan-ikan kecil lainnya sehingga mengundang ikan-ikan yang lebih besar untuk tujuan feeding dan b) merupakan suatu tingkah laku dari berbagai jenis ikan untuk berkelompok di sekitar kayu terapung (seperti jenis-jenis tuna dan cakalang). Dengan demikian, tingkah laku ikan ini dimanfaatkan untuk tujuan penangkapan.

Rumpon telah lama dikenal di Indonesia maupun di negara-negara seperti Philipina dan negara-negara Pasifik Barat. Penggunaan rumpon secara tradisional di Indonesia telah lama dilakukan terutama oleh para nelayan di Mamuju, Sulawesi Barat dan Jawa Timur, sedangkan penggunaan rumpon secara modern baru dimulai pada


(31)

tahun 1980 oleh Lembaga Penelitian Perikanan Laut (Monintja dan Zulkarnain, 1995 diacu dalam Sudirman dan Mallawa, A 2000).

Di Indonesia ada dua jenis rumpon, yaitu : a) rumpon laut dangkal, yang dipasang pada kedalaman kurang dari 100 meter dan biasanya untuk perikanan pelagis kecil, dan b) rumpon laut dalam, yang dipasang pada kedalaman lebih dari 600 meter (Monintja dan Zulkarnain, 1995; Baskoro, M.S dan Effendy, A, 2005). Sedangkan menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 51/Pkts/IK.250/I/1997, rumpon didefinisikan sebagai alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut. Berdasarkan tempat pemasangan dan pemanfaatan rumpon, dikatagorikan ada 3 jenis rumpon, yaitu : a) rumpon perairan dasar adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada dasar perairan laut, b) rumpon perairan dangkal adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalam sampai 200 meter dan c) rumpon perairan dalam adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut lebih dari 200 meter.

Menurut Simbolon, D (2006) rumpon berfungsi sebagai attraktor untuk menarik perhatian ikan agar datang berkumpul dan lebih terkosentrasi di sekitar pemasangan rumpon. Dengan keberadaan rumpon tersebut, maka dengan sendirinya telah terbentuk daerah peangkapan ikan potensial. Lebih lanjut dijelaskan oleh Baskoro, M.S dan Effendy, A (2005) atraktor merupakan salah satu komponen utama pada rumpon. Atraktor berfungsi sebagai alat pemikat atau pengumpul ikan sesungguhnya. Ikan-ikan yang terdapat di atraktor yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia jenis ikan pelagis. Adapun persyaratan umum dari atraktor, adalah :a) mempunyai daya pemikat yang baik terhadap ikan, b) tahan lama, c) mempunyai bentuk seperti posisi potongan vertikal, d) melindungi ikan-ikan kecil, e) bentuknya silinder dengan posisi arah ke bawah, f) terbuat dari bahan yang kuat, tahan lama dan murah.

Penggunaan rumpon yang tepat, akan mempersingkat waktu operasi, dapat meningkatkan hasil tangkapan, penghematan bahan bakar minyak dan penghematan umpan pada perikanan huhate (Monintja dan Zulkarnain, 1995). Namun dengan semakin padatnya pemasangan rumpon, maka akan menyebabkan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya, yang dimulai dengan tanda-tanda ukuran rata-rata ikan yang tertangkap memperlihatkan kecendrungan mengecil di bandingkan tahun


(32)

sebelumnya (Monintja dan Zulkarnain, 1995; Diniah et. al. 2006).

Ikan–ikan yang berkumpul disekitar rumpon menggunakan rumpon sebagai tempat berlindung juga untuk makan dalam arti luas, tetapi tidak memakan daun-daun rumpon tersebut. Ikan-ikan tertentu yang berada disekitar rumpon berenang pada sisi depan atau belakang atraktor di lihat dari arah arus. Kadang-kadang mereka bergerak ke kiri dan ke kanan tetapi selalu kembali ke tempat semula demikian juga terhadap arus (sifat ikan umumnya berenang menentang arus) ( Subani 1986, diacu dalam Baskoro, M.S dan Effendy, A, 2005).

Ada beberapa pendapat tentang keberadaan ikan di sekitar rumpon seperti yang dikemukan oleh Samples dan Sproul (1985) sebagai berikut :

a) Rumpon sebagai tempat berteduh (shading place) bagi beberapa jenis ikan tertentu; b) Rumpon sebagai tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan-ikan tertentu; c) Rumpon sebagai tempat berlindung dari predator bagi ikan-ikan tertentu;

d) Rumpon sebagai titik acuan navigasi (reference point) bagi ikan-ikan tertentu yang beruaya.

2.6 Pendugaan Produksi Perikanan

Menurut Gulland (1961) yang diacu dalam Tinungki (2005), pengelolaan sumberdaya perikanan banyak didasarkan pada faktor biologi yaitu tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield /MSY) yang mengasumsikan setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi melebihi kapasitas produksinya (surplus). Sehingga apabila surplus tersebut dipanen, maka stok akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable).

Menurut Gulland (1983) dalam Tinungki (2005), masalah dasar diilustrasikan pada prinsip-prinsip yang disajikan pada Gambar 3, yang memperlihatkan perubahan biomass menurut waktu, dalam suatu populasi ikan hipotetik pada berbagai sistem pengaturan panen. Setelah panen diambil pada waktu A, dengan berjalannya waktu biomass tumbuh kembali hingga tingkat equilibrium sepanjang kurva berbentuk S dengan tipe yang dikenal para ahli biologi populasi. Bentuk yang tepat, dari kurva yang berbentuk S tidaklah penting pada tahap ini, meskipun kurva logistik yang biasa dipertimbangkan sering dianggap sesuai. Pada tingkat stok


(33)

rendah, tingkat pertumbuhan biomass meningkat dengan ukuran stok, namun setelah mencapai maksimum, tingkat tersebut mulai berkurang lagi ketika daya dukung yang digambarkan oleh batas atas biomass K (daya dukung lingkungan) secara perlahan dicapai. Pada prakteknya baik tingkat pertumbuhan maupun daya dukung lingkungan akan bervariasi dengan waktu.

Gambar 3. Biomass yang diplotkan terhadap waktu (Gulland, 1983 dalam Tinungki, 2005)

Gambar 3 memperlihatkan regenerasi biomass yang terjadi pada tingkat yang lebih lamban di sepanjang bagian atas kurva S setelah dipanen dalam jumlah yang lebih sedikit diambil pada waktu B. Pada waktu C, diperlihatkan suatu contoh serangkaian panen reguler biomass yang bergerak di antara tingkat-tingkat yang ditunjukkan dengan garis titik-titik. Perlu dicatat bahwa system pengaturan panen C mengeksploitasi bagian dari kurva S yang memberikan tingkat maksimum dari regenerasi biomass. Setelah waktu D, panen terlalu sering diambil untuk pergantian biomass dan akhirnya populasi berkurang hingga ke tingkat yang tidak dapat hidup terus.

Gulland (1983) dalam Tinungki (2005) menyatakan K mewakili daya dukung lingkungan dari sudut pandang ahli biologi. Strategi penangkapan ikan yang benar


(34)

adalah strategi yang memberikan tangkapan maksimum lestari (MSY) dari ikan, sehingga sebagai pilihan adalah kurva C pada Gambar 3. Namun, kemudian para pengelola perikanan kini harus mempertimbangkan lebih banyak faktor biologi, ekonomi, dan sosial dalam menduga strategi penangkapan optimal untuk industri perikanan. Bagaimanapun bila para ahli perikanan di masa lalu memang terlalu naif dalam mempertimbangkan MSY tetap merupakan konsep yang bermanfaat. Hal ini dikarenakan ada dua alasan:

a) Pengelolaan perikanan yang bertujuan terutama pada MSY memang masih terdapat ketidakcukupan pada para pembuat keputusan, namun memaksimumkan hasil tangkapan lestari jangka panjang masih menjadi tujuan pengelolaan bagi sejumlah perikanan.

b) MSY harus merupakan satu faktor dalam setiap rencana pengelolaan, meskipun ada kelemahanya. Setidaknya MSY menetapkan batas ukuran hasil tangkapan.

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menduga potensi sumberdaya perikanan (Gulland, 1983 dalam Tinungki, 2005, Laevastu dan Favourite, 1988 dalam Suyedi, 2001) yaitu :

1. Pendugaan secara langsung, pendugaan yang didasarkan pada penangkapan ikan secara langsung dengan menggunakan alat tertentu seperti trawl survey, longline, dan trap surveys, telur dan larva serta young fish survey.

2. Accoustic survey, survei yang menggunakan peralatan akustik. Dengan metode ini dapat dilakukan pengamatan terhadap potensi ikan dalam areal yang lebih luas namun terbatas.

3. Virtual population analysis (VPA), analisis yang didasarkan pada perhitungan pendugaan fishing mortality. Metode ini digunakan bersama dengan cara kelimpahan dari hasil analisis trawl survey atau survei akustik dan rangkaian CPUE. 4. Ecosystem simulation and multispecies models, metode yang digunakan melalui

pembentukan model yang dapat menirukan situasi ikan yang sebenarnya ketika hidup di alam.

5. Surplus production model, metode yang didasarkan atas data produksi tahunan dan penangkapan.


(35)

Model awal dan paling sederhana dalam dinamika populasi perikanan adalah model surplus produksi (Fauzi, 2004). Model surplus produksi tergolong mudah dimengerti dan didasari oleh pengertian matematika yang sederhana. Model surplus produksi melalui penggunaan hasil tangkapan yang mengandung satu variabel data sederhana (Yt dalam ton/tahun) sebagai peubah tak bebas dan upaya

penangkapan (Et, dalam trip/tahun) sebagai peubah bebas. Dari kedua data time

series ini dapat diperoleh tiga parameter melalui salah satu model suplus produksi yaitu tingkat pertumbuhan intrinsik (r), daya dukung lingkungan (K), dan koefisien penangkapan (q). Model surplus produksi memungkinkan dilakukan suatu analisis bilamana hanya sedikit informasi, terutama mengenai hasil, kelimpahan stok, dan upaya penangkapan ikan yang tersedia.

Syarat yang harus dipenuhi dalam menganalisis model surplus produksi adalah (Gulland, 1983 dan Spare, 1989 diacu dalam Tinungki, 2005) :

1. Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap relatif;

2. Distribusi ikan menyebar rata;

3. Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap yang seragam.

Beberapa model surplus produksi diacu dalam Tinungki (2005) untuk mengetahui parameter-parameter dari fungsi produksi antara lain : Schaefer (1954), Gulland (1961), Pella-Tomlinson (1969), Fox (1970), Walter-Hilborn ;1976), Schnute (1977), Clark-Yoshimoto-Polley (1992), dan Cushing (2001).

2.7. Model Statik Bioekonomi Gordon-Schaefer

Pengelolaan atau pengusahaan sumberdaya ikan, pada mulanya didasarkan pada faktor biologis, dengan pendekatan tangkapan maksimum yang lestari Maximum Sustainable Yield (MSY). Pengembangan model pengelolaan perikanan selanjutnya dilakukan oleh Gordon (1954) yang kemudian membuat model bionomics Gordon-Schaefer (1954). Model ini mengintroduksi parameter harga (p) dan biaya per unit upaya (c) ke dalam model yang telah dikembangkan Schaefer (1954). Model Gordon-Schaefer ini dikembangkan dengan beberapa asumsi (Fauzi, 2004) :


(36)

a) Harga per satuan output (p), diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastis sempurna.

b) Biaya per satuan upaya (c) diangggap konstan.

c) Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal (single species). d) Struktur pasar bersifat kompetitif.

e) Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak termasuk faktor pasca panen dan lain sebagainya).

Pada dasarnya, model biologi-ekonomi (bionomics model) dikembangkan dari hasil pemikiran Schaefer (1954) yang menyebutkan bahwa stok biomass antar waktu secara alami sama dengan fungsi pertumbuhan ikan itu sendiri :

( )

x f t x x = ∂ ∂ = .

... (1)

Pertumbuhan alami tersebut akan terganggu jika dilakukan pemanfaatan yang secara matematis ditunjukkan oleh persamaan berikut:

( )

x ht f t x

x = −

∂ ∂ = .

... (2)

dimana htmerupakan fungsi harvest yang dipengaruhi oleh q (koefisien alat tangkap), tingkat upaya (E) dan biomass itu sendiri (x). Fungsi pertumbuhan yang biasanya digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik yang dikembangkan Schaefer, sehingga persamaan (2) di atas dapat dinotasikan sebagai:

qEx K x rx t x ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = ∂ ∂

1 ... (3)

Persamaan (3) tersebut juga menunjukkan bahwa jika tidak ada upaya penangkapan, maka stok ikan di alam akan sebanding dengan fungsi pertumbuhan dari ikan tersebut.

Fungsi manfaat ekonomi dari model bioekonomi ini dirumuskan melalui persamaan berikut: cE pqEx cE ph TC

TR− = − = − =

π ... (4) Pada kondisi open access, keuntungan yang dapat diterima sama dengan nol atau dengan kata lain bahwa penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC). Sedangkan pada kondisi pemilik tunggal (sole owner) dapat diperoleh keuntungan


(37)

maksimal hanya jika ∂ =0. x

π Keseimbangan statik model Gordon Schaefer dapat

ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Model Bioeconomis Gordon Schaefer

2.8 Model Dinamis Ekonomi Perikanan

Fauzi (2004) menyebutkan bahwa pengembangan model dinamis dari pengelolaan sumberdaya ikan sudah dimulai sejak awal tahun 1970-an dan baru berkembang sepenuhnya setelah publikasi artikel Clark dan Munro (1975). Clark dan Munro (1975) dalam Fauzi (2004) menggunakan pendekatan kapital untuk memahami aspek intertemporal dari pengelolaan sumberdaya ikan, dimana sumberdaya ikan dianggap sebagai stok kapital dengan fitur tambahan bahwa stok ikan dapat tumbuh melalui proses reproduksi alamiah .

Dalam model dinamis, sumberdaya ikan diasumsikan dikelola secara privat (pemerintah maupun komunal atau individu) yang bertujuan memaksimumkan manfaat ekonomi dari sumberdaya ikan tersebut. Secara matematis, menurut Fauzi (2004)


(38)

pengelolaan sumberdaya ikan dalam kontek dinamis, dalam bentuk fungsi diskrit dapat ditulis sebagai: ) , ( ) 1 ( max 0 0 t t t t t t t

t ρπ x h

δ π

π

= ∞

=

= +

= , ...(5)

dengan kendala:

( )

t t t

t x F x h

x+1− = − ………...……….(6) Sedangkan dalam bentuk fungsi kontinyu ditulis sebagai :

( )

(

)

∞ = − = 0 ), ( max t t dt e t h t x δ π

π , ... (7) dengan kendala:

( ) ( )

) 9 ..( ... ... ... ... ... ... ... ... ) ( 0 , 0 ) ( ) 8 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... ) ( max . h t h t x t h t x F x t x ≤ ≤ ≥ − = = ∂ ∂

Pemecahan model diskrit dapat dilakukan dengan teknik Lagrangian, sementara model kontinyu dilakukan dengan teknik Hamiltonian. Menurut Fauzi (2004), pada prinsipnya pemecahan kedua versi dinamik di atas akan menghasilkan golden rule untuk pengelolaan sumberdaya ikan dalam bentuk :

δ π π = ∂ ∂ ∂ ∂ + ∂ ∂ h x x F / /

... ... ……… (10)

( )

x h

F = ... ... (11) dimana :

δadalah tingkat diskon yang diberikan untuk mengekstraksi sumberdaya ikan.

Solusi analisis dalam persamaan (10) tersebut di atas dapat menghasilkan tingkat biomass optimum (x*), tingkat harvest optimum (h*) dan tingkat upaya optimum (E*) sebagai berkut :

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − − − = K x r x pqx x c

h* 1 ( )(δ 1 2


(39)

⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + = pqKr c r pqK c r pqK c K

x 1 δ 1 δ 8 δ

4

2

* ... (13)

* * *

qx h

E = ... ... (14)

2.9. Analisis Dinamik Pengelolaan Perikanan

Menurut Fauzi (2002) dalam Fauzi dan Anna (2005), masuk dan keluarnya effort pada industri perikanan tidak bersifat statis, ia akan bergerak dinamis mengikuti perubahan-perubahan yang tejadi pada sumberdaya dan faktor eksternal lainnya. Disinilah urgensi dari aspek analisa dinamik dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu bagaimana kita mencoba menggambarkan dan memodelkan perilaku dari populasi alamiah sumberdaya perikanan untuk mencapai pengelolaan yang optimal.

Holling (1973) dalam dalam Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa hampir semua sistem alam mempunyai karakteristik berubah sepanjang waktu dan bahwa jika manusai mencoba menstabilkan alam untuk kepentingannya, akan menyebabkan kondisi stabil pada jangka pendek dan malapetaka pada jangka panjang. Menurut Hilborn dan Walters (1992) beberapa konsep dasar dari analisis dinamik dan perikanan adalah menyangkut stabilitas, siklus (ryclicity) dan ketahanan (resicience). Sistem dikatakan stabil jika perturbasinya akan sampai pada ekulibrium. Hampir semua model populasi dianggap stabil (jika ikan ditangkap, biomass akan menurun, namun jika penangkapan berhenti maka stok akan kembali pada kondisi semula). Sistem siklik tidak pernah berada dalam kondisi steady state yang benar, tetapi selalu berubah. Ketahanan (resilience) adalah kemampuan dari sistem untuk menggunakan, mendapatkan keuntungan dari mengekstraksi dan mengabsorpsi variasi alam.

Menurut Fauzi dan Anna (2005), secara matematis, ciri dasar dari model dinamik adalah persamaan ODE (Ordinary Differential Equation) yang memiliki karakteristik :

• Variabel yang tak diketahui merupakan sebuah fungsi • Persamaan ini menyangkut satu atau lebih turunan derivatif.

Bentuk paling sederhana dari persamaan ODE seperti tertulis pada persamaan berikut :


(40)

( )

t f x t x= =

∂ .

………(15)

yang kemudian dapat dipecahkan melalui integral biasa, dengan menggunakan manipulasi aljabar

( )

t dt f x=

∂ ...(16) sehingga dari persamaan tersebut diperoleh solusi dalam x yang merupakan solusi dari persamaanx=

f

( )

t dt+C ……….………... (17)

dimana C adalah konstanta integral

Secara umum, menurut Fauzi dan Anna (2005) persamaan differensial biasa dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu :

• Persamaan differensial dengan koefisien konstan (autonomous)

• Persamaan differensial dengan koefisien non konstan (non autonomous)

Konsep dinamik yang dijelaskan di atas melalui persamaan ODE adalah konsep dinamis yang disebut single ODE, dimana variabel yang bergerak dinamis hanya satu variabel (dalam contoh diatas adalah variabel x). Didalam analisis sumberdaya alam, seperti halnya perikanan, variabel yang bergerak dinamis sering tidak hanya menyangkut satu variabel, namun dapat saja beberapa variabel, misalnya saja effort, penduduk, biomass bergerak dinamik. Contoh dari sistem dinamik seperti itu adalah seperti persamaan dibawah ini :

dy cx y t y

by ax x t x

+ = = ∂ ∂

+ = = ∂ ∂

. .

………...(18)

Persamaan di atas adalah tipikal persamaan sistem dinamik yang menggambarkan keterkaitan antara variabel x dan y. Sistem dinamik diatas adalah juga merupakan sistem dinamik yang linier yang ditunjukkan dengan konstanta a,b,c, dan d yang berinteraksi secara linier terhadap x dan y. Solusi dari sistem dinamik diatas, baik persamaan autonomus maupun non autonomous akan menghasilkan berbagai perilaku yang mengarah pada equilibrium maupun ketidak seimbangan, tergantung dari characteristic roots (λ1 dan λ2) dari persamaan diatas (eigenvalues). Besaran dari


(41)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pendekatan Studi

Penerapan kebijakan pemasangan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan yang dilaksanakan pada tahun 2002, telah merubah pola sebgian nelayan dalam melakukan penangkapan ikan. Untuk mengevaluasi kebijakan tersebut, maka perlu dilakukan kajian pengaruh penggunaan rumpon terhadap kelestarian stok/biomass ikan dan kesejahteraan nelayan. Kerangka pendekatan studi disajikan pada Gambar 5.

Imigrasi (I) Mortalitas

(M)

Stok

+

-

ANALISA PEMANFAATAN

Ekstraksi Tangkapan

(h)

Kondisi Saat Ini

ANALISA BIOEKONOMI

MODEL DINAMIK PENGELOLAAN IKAN TUNA KECIL

Pertumbuhan ( r )

Carrying Capacity (K)

Emigrasi (E) Natalitas

(N)

Sumberdaya Ikan Pelagis Besar

Bio-Ekologi Sosio-

Ekonomi

Koefisien Tangkapan

(q)

Upaya Tangkapan

(E)

Harga & Biaya Discount Rate

(δ)

KEBIJAKAN (Rumpon)

Gambar 5. Kerangka Pendekatan Studi

Tidak dianalisis Keterangan :


(42)

Penelitian ini dilakukan di wilayah Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi selama satu bulan Juli – Agustus 2007. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study) dengan menggunakan data sekunder. Tujuan studi kasus untuk memberikan gambaran tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus, tipe pendekatan dan penelahannya terhadap satu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif (Faisal, 2001). Satuan kasusnya adalah wilayah perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.

Menurut Singarimbun et. al. (2000) analisis data sekunder adalah penelitian yang bertujuan menganalisis lebih lanjut data yang sudah tersedia agar diperoleh sesuatu yang berguna. Dalam analisis ini data dikumpulkan dan dikelompokkan dari berbagai sumber, kemudian dianalisis dengan metode diskriptif. Metode dikriptif meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan informasi relevan yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk lebih ringkas dan sederhana dan pada akhirnya mengarah kepada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas dua sumber data, yaitu : a) data primer, yaitu data yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan, dan b) data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari pengamatan pihak lain, yaitu dengan mengumpulkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, Bappeda Kabupaten Sukabumi, Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu dan BPS Kabupaten Sukabumi.

Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner (daftar pertanyaan) yang telah disusun sebelumnya, yang meliputi :

1. Karakteristik masyarakat, seperti : umur, pendidikan, pekerjaan dan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya perikanan di perairan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi.

2. Data perikanan, seperti : produksi, biaya produksi, harga, investasi dan sebagainya.


(43)

Kebutuhan data dan sumber data yang dianalisis dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis dan Sumber Data yang Digunakan

No Jenis Data Sumber Data Output Data Primer

1. Biaya operasional dan harga ikan

Survei Lapangan Wawancara nelayan

Besaran biaya dan harga ikan

Data Sekunder

1. Data produksi (landing) Produksi tahunan

2. Input produksi yang digunakan (effort)

Statistik Perikanan PPN

Pelabuhanratu Effort tahunan

3. Indeks Harga Konsumen

Kab Dalam Angka/Indikator Ekonomi Kab. Sukabumi

Biaya riil Harga riil

4. Jumlah RTP, alat tangkap, musim penangkapan, dan daerah penangkapan

Statistik Perikanan Kab. Sukabumi / Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu

Karakteristik nelayan dan usaha perikanan

Sedangkan data sekunder berupa data literatur yang diperoleh dari lembaga-lembaga terkait, yaitu :

1. Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sukabumi mengenai data-data statistik seperti jumlah penduduk, luas wilayah, batas wilayah, produksi perikanan laut dan sebagainya.

2. Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi mengenai data: jumlah nelayan, jumlah alat tangkap, potensi perikanan, produksi perikanan dan sebagainya. 3. Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu mengenai : jumlah nelayan, jumlah

alat tangkap, potensi perikanan, produksi perikanan, harga dan sebagainya.

Data biaya operasional penangkapan ikan, harga ikan dan jumlah hari melaut penangkapan ikan diperoleh dengan wawancara kepada nelayan. Jumlah nelayan yang dijadikan sebagai respon dihitungkan berdasarkan rumus Fauzi (2001) sebagai berikut :

⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ + − = ) 25 . 0 ( )} 1 ( { 25 . 0 2 2 2 x Z N x d x NZ n ...(19) n= jumlah contoh

N=jumlah populasi d=tingkat kesalahan

Z=standar deviasi (Z=1,4395, untuk tingkat kepercayaan 85 % atau tingkat kesalahan 15 %)


(44)

Dengan menggunakan formula diatas, dipilih contoh (responden) untuk nelayan payang sebanyak 20 orang (13,25 %), nelayan gill net (jaring insang ) sebanyak 18 orang (23,07 %) dan nelayan pancing tonda sebanyak 9 orang (70 %). Adapun hasil perhitungan seperti disajikan pada Lampiran 1.

3.3 Metode Analisis Data

Menurut Fauzi dan Anna (2005), ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam pemodelan bioekonomi Gordon-Schaefer seperti pada Gambar 6.

Gambar 6. Langkah-Langkah Pemodelan Bioekonomi

1. Menyusun data produksi dan upaya (input atau effort) dalam bentuk series (urut waktu). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data produksi perikanan tahun 1993-2006


(45)

variasi atau keragaman dari kekuatan alat tangkap. Alat tangkap yang dijadi basis dalam penelitian ini adalah payang.

3. Melakukan uji stationary data. Langkah ini khusus diperlukan bagi mereka yang sudah berpengalaman di bidang pemodelan. Dalam penelitian ini, langkah uji stationary data tidak dilakukan, hal ini dikarenakan kompleksitas prosedur pengujian. Diasumsikan data bersifat stationary.

4. Jika dilakukan uji stationary namun tidak ditemukan data yang stasioner maka dapat dilakukan differencing data.

5. Melakukan pendugaan terhadap parameter biologi dengan teknik Ordinary Least Square (OLS).

6. Melakukan estimasi parameter ekonomi berupa harga per kg atau per ton dan biaya memanen per trip atau per hari melaut.

7. Melakukan perhitungan nilai optimal berdasarkan formula yang sudah ditetapkan. Langkah ini dilakukan dengan software excell maupun MAPLE 9.5 yang memudahkan repetisi (untuk analisis sensitivitas) maupun untuk keperluan membuat grafik.

8. Melakukan analisis kontras dengan data riil untuk melihat sejauh mana hasil pemodelan dapat diterima sesuai dengan data riil yang ada.

3.3.1 Standarisasi Alat Tangkap

Alat tangkap yang digunakan untuk melakukan usaha penangkapan ikan tuna kecil di perairan Teluk Palabuhanratu terdiri atas : payang, jaring insang (gillnet) dan pancing tonda (trolling). Untuk itu, guna mengukur dengan satuan yang setara, dilakukan standarisasi effort antar alat tangkap. Alat yang dijadikan basis adalah payang. Standarisasi effort dilakukan dengan teknik standarisasi yang dikembang oleh King (1995) diacu dalam Anna (2003) dimana :

Ejt = ψjt Djt ...(20)

dengan :

ψjt = Ujt /Ust ... (21)

dimana :

Ejt = effort dari alat tangkap j pada waktu t yang distandardisasi


(46)

ψjt = nilai fishing power dari alat tangkap j pada periode t

Ujt = cath per unit effort (CPUE) dari alat tangkap j pada waktu t

Ust = cath per unit effort (CPUE) dari alat tangkap yang dijadikan basis standardisasi

(payang).

3.3.2 Analisis Bioekonomi

3.3.2.1. Pendugaan Parameter Biologi

Berdasarkan data urut waktu produksi total dan total standar effort, maka diperoleh CPUE standar (CPUE = cath per unit effort atau produksi per unit upaya standar). Karena fungsi merupakan fungsi kuadratik, maka untuk dapat dilakukan pendugaan dengan model regesi, maka data CPUE dikonversi menjadi data logaritma. Model bioekonomi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model surplus produksi.

Estimasi parameter biologi r, q dan K dilakukan dengan teknik non-linier. Estimasi parameter biologi merujuk metode yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley (1992) diacu dalam Fauzi dan Anna (2005). Dengan menggunakan teknik weighted least square (WLS), yaitu dengan membagi fungsi h (q,K,E) tersebut dengan E (Ut=ht/Et), maka persamaaan dapat ditranformasikan menjadi persamaan linier, sehingga metode regresi biasa (ordinary least square, OLS) dapat digunakan untuk mengestimasi parameter biologi fungsi diatas. Adapun fungsi persamaan Clarke, Yoshimoto dan Pooley (1992) sebagai berikut :

( ) ( )

1 1 2 ) ln( 2 2 ) ln( ) 2 ( 2 )

ln( + ⎟ + +

⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + − + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ +

= t t t

t E E

r q U r r qK r r

U ...(22)

Y = B1 + B2 X2 - B3 X3 ... (23)

Berdasarkan nilai koefisien persamaan (23) diatas, maka diperoleh nilai r, q dan K estimasi model estimasi Clarke, Yoshimoto dan Pooley dengan rumus :

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + − = 2 2 1 1 2 B B

r ...(24)

) 2 ( 3 r

B

q= + ...(25)

q K r r B ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + = 2 2 1 exp ...(26)


(47)

Dengan diperolehnya nilai parameter biologi, maka dapat diketahui kondisi pengelolaan perikanan, yaitu :

a) Kondisi Maximum Economic Yield (MEY)

Pengelolaan perikanan pada kondisi MEY juga dikenal dengan rezim pengelolaan Sole Owner (Fauzi, 2004). Manfaat ekonomi dari ekstraksi sumberdaya ikan pada kondisi MEY adalah :

cE E

r q qKE

p ⎟⎟

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = 1

π ...(27)

Dengan menggunakan parameter biologi yang diperoleh, terhadap effort (E) menghasilkan : ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = pqK c q r E 1 2 * ...(28)

Dengan tingkat panen optimal sebesar :

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + = pqK c pqK c rK

h 1 1

4 *

...(29)

Dengan tingkat biomass optimal ;

* * *

qE h

x = ...(30) Selanjutnya dengan mensubstitusikan nilai E* (persamaan 28) dan h* (persamaan 29) kedalam persamaan akan (27) akan diperoleh manfaat (rente) ekonomi yang optimal.

b) Kondisi Maximum Sustainable Yield (MSY)

Manfaat ekonomi dari ekstraksi sumberdaya ikan pada kondisi Maximum Sustainable Yield (MSY) adalah :

MSY

MSY cE

ph − =

π ...(31)

Dengan menggunakan parameter biologi yang diperoleh, terhadap effort (E) menghasilkan :

q r EMSY

2

= ...(32) Dengan tingkat panen lestari sebesar :

4 rK


(48)

Dengan tingkat biomass lestari : MSY MSY MSY qE h

x = ...(34) Dengan mensubstitusikan nilai EMSY (persamaan 32) dan hMSY (persamaan 33) kedalam

persamaan (31) akan diperoleh manfaat (rente) ekonomi yang lestari.

c) Kondisi Open Access (OA)

Manfaat ekonomi dari ekstraksi sumberdaya ikan pada kondisi open access sebesar :

OA

OA cE

ph − =

π ...(35) Dengan memakai parameter biologi yang diperoleh, terhadap effort (E) menghasilkan :

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = pqK c q r

EOA 1 ...(36)

Dengan tingkat panen maksimal sebesar :

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = pqK c pq rc

hOA 1 ...(37)

Dengan tingkat biomass maksimal :

q p

c xOA

.

= ...(38) Dengan mensubstitusikan nilai EOA (persamaan 36) dan hOA (persamaan 37) kedalam

persamaan (35) akan diperoleh manfaat (rente) ekonomi yang maksimal.

3.3.2.2. Analisis Laju Degradasi Sumberdaya Ikan

Selanjutnya parameter r, q dan K digunakan untuk menduga kurva tangkapan atau produksi lestari (yield effort curve) sebagai berikut:

Fungsi Logistik

( )

2

2 E r K q qKE h ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ −

= ...(39)

Fungsi Gompertz ⎥⎦

⎤ ⎢⎣ ⎡ − = r qE qKE

h exp ...(40) Keterangan :

h = produksi lestari, E = effort, K = Carrying capacity r = pertumbuhan alami, q = koefisien daya tangkap


(49)

Dengan diketahui produksi lestari dan produksi aktual, maka dapat diketahui besaran degradasi sumberdaya yang terjadi. Penghitungan laju degradasi sumberdaya ikan mengacu metode yang dikembang oleh Amman dan Duraiappah (2001) yang diacu dalam Anna (2003) sebagai berikut :

s a s

h h h

D%= − ...(41) Dimana: D = Prosentasi degradasi

hs = produksi lestari ha= produksi aktual

Sementara koefisien degradasi dihitung berdasarkan persamaan berikut:

a s h h D

e

+ =

1 1

φ

...(42) dimana : φD= koefisien atau laju degradasi

hs = produksi lestari ha= produksi aktual

3.3.2.3 Pendugaan Discount Rate

Penghitungan discount rate untuk ekstraksi sumberdaya perikanan dengan mengacu kepada metode yang dikemukan Clark (1990). Perhitungan discount rate diperoleh dari persamaan :

(

riil

)

riil =ln1+i

δ ...(43) inf

− = nom

riil i

i ...(44) dimana : δriil=discount rate riil

iriil = interest rate riil inom= interest rate nominal


(50)

3.3.2.4 Pendugaan Parameter Dampak Rumpon

Sedangkan untuk menduga parameter dampak keberadaan rumpon, mengikuti metode yang dikembangkan oleh Handerson –Tugweil sebagai berikut :

t t

t E R

U =α−β +γ ...(45) t

t t t

t R

E E E

U α β β ⎟+γ

⎠ ⎞ ⎜

⎛ +

− −

= +

2 1 2

1 ... (46) Keterangan :

Ut = Cath Per Unit Effort (Produksi / Effort ) Et = effort tahun ke-t

Rt= produksi dari rumpon tahun ke-t

(bersifat dummy, ada produksi =1, tidak ada produksi = 0)

3.3.3 Pengelolaan Sumberdaya Secara Optimal

Eksploitasi optimal dari sumberdaya perikanan sepanjang waktu diketahui dengan pendekatan teori kapital ekonomi sumberdaya yang dikembangkan oleh Clark dan Munro (1975) dalam Fauzi (2004). Parameter ekonomi ditentukan oleh besaran c (biaya per unit effort), p (harga ikan), dan δ (discounted rate) adalah tingkat diskon yang diberikan untuk mengekstraksi sumberdaya ikan.

Berdasarkan parameter biologi dan ekonomi, dengan menggunakan persamaan (12), persamaan (13) dan persamaan (14) akan diperoleh tingkat biomass optimum (x*), tingkat harvest (produksi) optimum (h*) dan tingkat upaya optimum (E*). Hasil dari solusi tersebut kemudian dapat digunakan untuk menunjukkan seberapa besar rente atau nilai sekarang dari sumberdaya ikan di wilayah penelitian.

3.3.4. Analisis Dinamik Pengelolaan Perikanan

Untuk melakukan analisis dinamik, suatu sistem persaman ODE (Ordinary Differential Equation) dipecahkan melalui teknik numerik dengan menggunakan software MAPLE 9.5, dan MS Excell. Hal ini disebabkan karena, seperti dikemukakan oleh Sydsaeter dan Hammond (1995) diacu dalam Fauzi dan Anna (2005), pemecahan persamaan dinamik yang kompleks biasanya sulit diperoleh solusi secara eksplisit. Oleh karenanya, didalam analisis sistem dinamik yang kompleks, pemecahan eksplisit


(51)

tidak selalu harus dilakukan, namun cukup menganalisis beberapa properties (sifat-sifat) dari sistem dinamik tersebut. Teknik ini disebut sebagai ”Qualitative Theory of ODE”, dimana hasil analisis yang diperoleh berupa eksistensi dan keunikan dari solusi, sensitivityanalysis dan perilaku terhadap stabilitas dari keseimbangan (equilibria).

Analisis dinamik dalam penelitian ini dilakukan dinamika base line model antara biomass dan effort yang merupakan model standar Willen’s open acces dinamic. Model tersebut ditulis sebagai berikut :

) 47 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... ) 1 ( . t t t

t qxE

K x rx

x= − −

) 48 ...( ... ... ... ... ... ... ... )... ( ) ( , . c pqx x E

Et = t

persamaan diatas adalah persamaan Willen’s open acces dengan koefisien penyesuaian (adjustment coefficients) sama dengan satu. Interpretasi simbol-simbol dari persamaan diatas mengikuti yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu. Solusi keseimbangan dari

kedua persamaan sistem dinamik diatas dengan mencari solusi 0 .

=

x dan 0

. = E . Isoline dalam ruang (x,E) diperoleh sebagai berikut :

sementara isoline 0 .

=

E ditulis sebagai :

Selanjutnya, dilakukan analisis dinamik dampak keberadaan rumpon. Keberadaan akan meningkatkan produksi hasil tangkapan, dengan demikian untuk tingkat produksi yang sama dengan kondisi sebelum adanya rumpon, maka effort yang dibutuhkan pada kondisi adanya rumpon akan menurun.

) 52 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... ... ) 1 ( 1 ) 51 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... ... ) 1 ( qxE h qxE h σ σ + = = +

Sehingga model keberadaan rumpon ditulis sebagai berikut :

) 53 ....( ... ... ... ... ... ... ... ... ) 1 ( . t t t

t qxE

K x rx

x= − −

) 50 ....( ... ... ... ... ... ... ... ... ... 0 0 . ⎪⎩ ⎪ ⎨ ⎧ = = = pq c x E E ) 49 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... ... 0 0 . ⎪⎩ ⎪ ⎨ ⎧ − = = = qK rx q r E x x


(1)

> OAX:=c/(p*q);

OAX := 152.8625621

> OAE1:=solve (TR1-TC1=0, E);

OAE1 := 0., 2860.711540

> OAE2:=solve (TR2-TC1=0, E);

OAE2 := 0., 2456.446792

> OAH:=(r*c)/(p*q)*(1-(c/(p*q*K)));

OAH := 231.5961735

>

> MR:=diff(TR1,E);

MR := 11.69743151 - 0.007810090135 E

> MC:=diff(TC1,E);

MC := 0.52622402

> SOE:=solve(MR-MC=0,E);

SOE := 1430.355770

> SOH:=(1+(c/(p*q*K)))*(1-(c/(p*q*K)))*(r*K/4); SOH := 1344.936633

> SOX:=SOH/(q*SOE);

SOX := 1775.421905

In this simple example it proves that effort at open acces (2.860 fishing day ) is much higher than sole owner (1430 fishing day)

This calculating rent from sole owner > TRso:=p*SOH;

TRso := 8742.088114

> TCso:=c*SOE;

TCso := 752.6875633

> RENTso:=TRso-TCso;

RENTso := 7989.400551

Menggunakan pajak pada effort (E) dengan asumsi harga tetap, sehingga akan menurun penerimaan

> TC2:=(c+(tax*c))*E;

TC2 := 0.9208920350 E


(2)

119

> OAE2:=solve (TR1-TC2=0, E);

OAE2 := 0., 2759.645353

> OAE1:=solve (TR1-TC1=0, E);


(3)

Lampiran 11. Foto-Foto Lapangan Dalam Rangka kegiatan

Pengumpulan Data Penelitian


(4)

121


(5)

(6)