banyak. Selama periode 1996-2006 armada penangkapan didominasi kapalperahu bertenaga penggerak motor tempel dengan ukuran kapal 10 GT
serta kapal motor berukuran 10 GT. Persentase armada penangkapan skala kecil bahkan mencapai 83,21 dari jumlah armada penangkapan sebanyak 798 unit
PPN Palabuhanratu, 2007. Mengacu pada gambaran awal kondisi perikanan tangkap yang dimiliki,
maka Palabuhanratu dinilai memenuhi syarat sebagai daerah penelitian. Fokus analisis dititik beratkan pada alat tangkap pancing ulur, bagan, payang dan
rampus yang merupakan alat tangkap dominan yang digunakan nelayan serta status usaha perikanan tangkapnya didominasi usaha perikanan tangkap skala
kecil.
1.2 Perumusan Masalah
Aktor penting dalam pengembangan usaha perikanan tangkap adalah nelayan. Saat ini kondisi nelayan Indonesia dapat dikatakan memprihatinkan dan
masih tergolong masyarakat miskin serta secara ekonomi dianggap sebagai kelompok dengan opportunity cost yang rendah. Nikijuluw 2001 mengatakan
bahwa kategori kemiskinan nelayan dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu: 1 kemiskinan struktural, 2 kemiskinan super-struktural, dan 3
kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor di luar individu nelayan yaitu sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan
insentif dan disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi dan ketersediaan sumberdaya pembangunan khususnya
sumberdaya alam. Kemiskinan super struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat
berpihak kepada pembangunan nelayan. Adapun kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan variabel-variabel yang melekat, inhern dan menjadi
gaya hidup tertentu. Menyadari penyebab kemiskinan nelayan, pemerintah telah menetapkan
berbagai kebijakan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pembangunan sarana dan prasarana penangkapan dilakukan untuk mengatasi kemiskinan struktural,
sedangkan untuk mengatasi kemiskinan kultural pemerintah telah menetapkan
kebijakan pembinaan dan pelatihan kepada nelayan. Khusus untuk solusi mengatasi kemiskinan super struktural pemerintah telah meluncurkan berbagai
program pemberian kredit bagi nelayan dengan berbagai skema seperti kredit mina mandiri KMM dari Bank Mandiri dan kredit ketahanan pangan KKP
yang disalurkan oleh BNI, Bank Bukopin, Bank Danamon dan seluruh Bank Pembangunan Daerah di Indonesia. Total pembiayaan kedua program tersebut
tidak sedikit jumlahnya karena dapat mencapai sekitar Rp. 3.000.000.000.000 DKP, 2005. Ditetapkannya program pemberian kredit bagi nelayan
dilaksanakan karena pemerintah menyadari bahwa salah satu problem kemiskinan nelayan disebabkan rendahnya aksesibilitas terhadap sumber permodalan.
Program pembiayaan usaha perikanan dan kelautan sudah ada namun realisasi penggunaan dana belum optimal yaitu sekitar 66 plafon kredit yang
dialokasikan DKP, 2005. Bahkan jika ditelusuri secara mendalam maka dari 66 realisasi kredit, yang digunakan untuk kegiatan perikanan perikanan dan
budidaya hanya 40,50 sedangkan sisanya disalurkan untuk kegiatan industri perikanan, pergudangan, perdagangan dan konstruksi pelabuhan. Secara makro,
kondisi yang dihadapi sektor perikanan lebih tragis lagi. Berdasarkan data Bank Indonesia, sampai triwulan II tahun 2007 ekspansi kredit perbankan untuk UKM
baru mencapai 34,2 trilyun atau setara dengan 39 dari rencana penyaluran kredit tahun 2007 yang besarnya 87,6 trilyun. Ironisnya sektor pertanian termasuk
perikanan hanya mampu menyerap 1,1 trilyun kredit perbankan atau 3,20 jumlah ekspansi kredit triwulan II tahun 2007 Bank Indonesia, 2007.
Rendahnya realisasi kredit bukan disebabkan oleh keenganan nelayan untuk meminjam kredit namun lebih disebabkan minimnya dukungan perbankan.
Kondisi ini tentu saja merupakan suatu paradoks yang perlu dicarikan solusinya. Menurut Direktur UMKM BRI, Sulaiman Arief Arinto, minimnya dukungan
perbankan terhadap usaha perikanan dipicu oleh empat faktor yaitu 1 pembudidaya dan nelayan belum bisa memenuhi persyaratan formal perbankan
seperti agunan, 2 usaha perikanan termasuk jenis kegiatan yang berisiko tinggi karena sangat bergantung pada kondisi alam, 3 mekanisme dan struktur pasar
yang belum tertata dengan baik dan 4 belum adanya perusahaan penjamin Kompas, 2007.
Sebagai katalisator dan dinamisator pembangunan, pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan untuk meminimalisir keempat faktor yang telah
disebutkan diatas. Permasalahan persyaratan formal coba diatasi dengan ditetapkannya program pendampingan teknis bagi usaha perikanan tangkap skala
kecil baik dalam bentuk KUB maupun individu. Kebijakan lain yang terkait dengan permasalahan persyaratan formal adalah adanya program sertifikasi kapal
nelayan. Permasalahan belum tertatanya struktur pasar diminimalisir oleh pemerintah melalui program bantuan pemasaran produk perikanan, pendirian
lembaga-lembaga pemasaran. Adapun permasalahan belum adanya perusahaan penjamin diatasi pemerintah melalui pengalokasian dana jaminan pada perbankan.
Upaya mengatasi Permasalahan faktor alam relatif sulit untuk diatasi dengan kebijakan pemerintah. Selama ini kebijakan yang diambil pemerintah terkait
dengan faktor alam adalah pemberian bantuan biaya hidup pada saat paceklik dan pendistribusian tabungan nelayan di koperasi.
Langkah-langkah tersebut diatas sudah cukup baik namun tentu saja belum menjawab keinginan dari pihak perbankan. Menurut hemat penulis, akar
permasalahan rendahnya aksesibilitas permodalan nelayan adalah anggapan perbankan tentang risiko usaha perikanan tangkap yang sangat tinggi. Oleh
karena itu pihak perbankan harus diberikan gambaran yang riil tentang risiko usaha perikanan tangkap terutama yang terkait dengan cash flow usaha dan
kecenderungan sikap nelayan untuk menghadapi risiko tersebut. Kedua aspek tersebut merupakan kriteria penilaian perbankan terhadap kelayakan permodalan.
Menurut Ritonga 2004, beberapa risiko yang melekat pada usaha perikanan tangkap antara lain: 1 production risk, yaitu meliputi risiko atas hasil tangkapan
nelayan yang diharapkan, seperti gangguan alam cuaca, arus, stok ikan yang makin tipis; 2 natural risk, yaitu risiko akibat kondisi alam, biasanya merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya risiko produksi, seperti terjadinya angin badai atau topan; 3 price risk, yaitu harga hasil tangkapan ikan tidak sesuai
dengan yang diharapkan, misalnya karena ada permainan tengkulak; 4 technology risk, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi oleh pesatnya kemajuan
teknologi, yang dapat menimbulkan ketidakpastian; 5 other risk, yaitu macam risiko lainnya.
Subsektor Perikanan Tangkap
Kebijakan Pengembangan Subsektor Perikanan Tangkap
Kredit untuk Nelayan
Alokasi Realisasi
Kesenjangan
Kurangnya Pemahaman Risiko Usaha Perikanan Tangkap
Gambar 1 Kerangka perumusan masalah.
1.3 Tujuan Penelitian