1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis ekonomi secara nyata telah menyebabkan jatuhnya ekonomi nasional khususnya usaha-usaha skala besar. Dampak nyata dari kondisi tersebut adalah
terjadinya peningkatan jumlah pengangguran secara signifikan. Pada akhir tahun 2003, tercatat sebanyak 11,4 juta pengganggur 11,63 dari jumlah angkatan
kerja, dengan pertumbuhan sektor industri hanya mencapai 3,41 BPS, 2003. Sektor usaha kecil dan menengah UKM pada kenyataannya mampu
menunjukkan kinerja yang lebih tangguh dalam menghadapi masa krisis. Kontribusi sektor ini pada ekonomi nasional pun cukup siginifikan, mencakup
53,3 dari pendapatan domestik bruto nasional PDB pada tahun 2006. Jumlah UKM yang tercatat pada tahun 2006 mencapai 48,9 juta unit usaha. Jumlah
tersebut meningkat 3,9 dibandingkan tahun 2005. Keseluruhan UKM tersebut mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 85,4 juta atau 96,18 dari seluruh
tenaga kerja Indonesia. Dibandingkan tahun sebelumnya terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 2,6 BPS, 2007.
Berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil dikemukakan bahwa definisi usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang
berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan. Kriteria usaha kecil adalah 1 memiliki kekayaan
bersih paling banyak Rp.200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan; 2 memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000; 3 milik
warga negara Indonesia; 4 berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung
ataupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar dan 5 berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum,
atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi. Mengacu pada kriteria yang telah disebutkan, dapat dikatakan bahwa
sebahagian besar usaha yang dilakukan di Indonesia masih tergolong usaha kecil.
Data yang diperoleh dari indikator makro UKM tahun 2007 menyebutkan bahwa jumlah usaha kecil di Indonesia mencapai 99,98 dari keseluruhan unit usaha
ekonomi yang ada BPS, 2007. Salah satu sektor usaha yang didominasi skala usaha kecil adalah usaha
perikanan tangkap. Ada berbagai cara membedakan skala usaha perikanan tangkap. Menurut Smith 1983, dasar perbedaan tersebut mencakup perikanan
skala kecil atau skala besar, perikanan pantai atau lepas pantai dan perikanan artisanal atau komersil. Penggolongan tersebut masih menjadi perdebatan hingga
saat ini mengingat luasnya dimensi yang dilingkupi. Pengelompokan skala usaha sering pula didasarkan pada ukuran kapal atau besarnya tenaga, tipe alat tangkap
dan jarak daerah penangkapan fishing ground dari pantai. Penggolongan skala usaha perikanan tangkap di Indonesia umumnya dilakukan berdasarkan ukuran
kapal dan jenis atau tipe mesin. Berdasarkan data statistik perikanan dan kelautan, jumlah usaha perikanan
tangkap skala kecil yang dicirikan dengan penggunaan sarana penangkapan perahu tanpa motor, perahu motor tempel serta kapal motor berukuran 10 GT
tahun 2004 berjumlah 535.232 unit atau 97,65 dari keseluruhan unit kapal yang ada. DKP, 2005. Persentase tersebut meningkat dibandingkan jumlah usaha
perikanan tangkap skala kecil pada tahun 2003 yang mencapai 96,92. Usaha perikanan tangkap skala kecil memiliki karakteristik unik yang
berbeda dengan usaha di sektor lain. Kegiatan perikanan tangkap penuh dengan tantangan serta dihadapkan pada risiko dan ketidakpastian. Alasan inilah yang
menjadi hambatan terbesar nelayan untuk mengakses sumber-sumber permodalan dalam rangka peningkatan skala usaha. Terkait dengan hambatan tersebut,
dipandang perlu dilakukan suatu kajian tentang risiko-risiko usaha perikanan tangkap skala kecil. Luasnya ruang lingkup kajian risiko usaha perikanan tangkap
menyebabkan perlunya pembatasan kajian risiko pada beberapa jenis alat tangkap di suatu daerah. Proses ini diharapkan dapat menjadi langkah awal bagi
pengkajian risiko usaha perikanan tangkap secara menyeluruh. Palabuhanratu merupakan salah satu basis perikanan tangkap di selatan Jawa
yang berbentuk teluk. Berjarak 180 km dari Jakarta, secara geografis wilayah
Palabuhanratu berada pada posisi 6
o
54’ 12”-7
o
5’ 57,48” LS dan 106
o
20’ 57,48”- 106
O
36’ 0,36” BT. Luas wilayah Palabuhanratu sekitar 27.210,130 Ha. Banyaknya sungai yang bermuara di Teluk Palabuhanratu menyebabkan topografi
perairan sampai jarak 300 m dari garis pantai menjadi dangkal. Meskipun merupakan sentra perikanan tangkap, pengaruh musim tetap
mempengaruhi kegiatan penangkapan ikan di wilayah Palabuhanratu. Ada dua musim utama yang umumnya dikenal di Palabuhanratu, yaitu musim barat yang
terjadi selama bulan Desember sampai Maret dan musim timur yang terjadi selama bulan Juni hingga Agustus. Diantara kedua musim tersebut dikenal
adanya musim peralihan yang oleh masyarakat setempat disebut dengan istilah musim liwung Yundari, 2005.
Kegiatan penangkapan ikan di Palabuhanratu dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap. Selama periode 1996 sampai 2006,
empat jenis alat tangkap yang dominan digunakan nelayan di wilayah ini adalah 1 pancing ulur, 2 bagan, 3 payang, dan 4 rampus. Persentase penggunaan
pancing ulur dan rampus pada tahun 2006 masing-masing 25 dan 5. Jumlah alat tangkap yang dioperasikan selama periode tersebut berfluktuasi setiap
tahunnya dengan kenaikan rata-rata 0,10 per tahun. Jumlah alat tangkap yang memiliki tingkat operasional paling tinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebanyak
923 unit, sedangkan yang terendah terjadi pada tahun 1998 dengan jumlah penggunaan 497 unit PPN Palabuhanratu, 2007.
Armada penangkapan yang dioperasikan di Palabuhanratu ada dua jenis yaitu kapal motor dan perahu motor tempel. Kapal motor umumnya berukuran
10 GT-30 GT dan digerakkan oleh mesin dalam in board engine sedangkan perahu motor tempel digerakkan oleh mesin tempel dan umumnya berukuran 10
GT. Kapal motor banyak digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap gillnet dan rawai. Adapun perahu motor tempel banyak digunakan untuk operasi alat
tangkap pancing, payang dan jaring PPN Palabuhanratu, 2007. Konfigurasi skala usaha perikanan tangkap di Palabuhanratu yang
diindikasikan dengan penggunaan armada penangkapan masih didominasi usaha kecil, meskipun secara kuantitas jumlah alat tangkap yang dioperasikan relatif
banyak. Selama periode 1996-2006 armada penangkapan didominasi kapalperahu bertenaga penggerak motor tempel dengan ukuran kapal 10 GT
serta kapal motor berukuran 10 GT. Persentase armada penangkapan skala kecil bahkan mencapai 83,21 dari jumlah armada penangkapan sebanyak 798 unit
PPN Palabuhanratu, 2007. Mengacu pada gambaran awal kondisi perikanan tangkap yang dimiliki,
maka Palabuhanratu dinilai memenuhi syarat sebagai daerah penelitian. Fokus analisis dititik beratkan pada alat tangkap pancing ulur, bagan, payang dan
rampus yang merupakan alat tangkap dominan yang digunakan nelayan serta status usaha perikanan tangkapnya didominasi usaha perikanan tangkap skala
kecil.
1.2 Perumusan Masalah