Alternatif Solusi Kebijakan untuk Kemudahan Aksesibilitas Permodalan

keagamaan, pilihan politik, budaya, dan kepercayaan terhadap lingkungan Chauvin et al, 2007. Sangat disayangkan karena dalam penelitian ini analisis karakter personal tidak dilakukan sehingga hipotesis tentang pengaruh budaya dan karakter belum dapat dibuktikan secara empiris. Hanya saja dari hasil wawancara dengan beberapa nelayan terlihat bahwa nelayan dengan pengalaman melaut lebih lama cenderung lebih berani mengambil risiko.

5.5 Alternatif Solusi Kebijakan untuk Kemudahan Aksesibilitas Permodalan

Bagi Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil Berdasarkan analisis SWOT diperoleh gambaran kondisi faktor pendorong serta faktor penghambat dalam permasalahan yang dikaji. Inti sari dari kondisi tersebut dijadikan acuan dalam penyusunan solusi kemudahan aksesibiltas permodalan. Solusi permasalahan yang ditawarkan meliputi 1 penerapan aturan peminjaman yang fleksibel namun tetap bersifat prudent, 2 pembuatan payung hukum mengenai penguatan permodalan, 3 penetapan skema pembiayaan yang sesuai dengan karateristik perikanan tangkap, 4 transformasi sikap dan pola hidup nelayan 5 optimalisasi peran lembaga keuangan,pemerintah dan kelembagaan masyarakat dalam penguatan permodalan nelayan, 6 pelaksanaan pilot project penguatan sistem permodalan yang pro terhadap nelayan dan 7 perancangan sistem pengawasan permodalan yang terbuka dan transparan. 1 Penerapan mekanisme peminjaman yang fleksibel Keruwetan prosedur administrasi dan analisis kredit merupakan faktor penyebab keenganan nelayan untuk melakukan peminjaman di Bank. Prosedur kredit yang ditetapkan di mayoritas bank seperti BRI dan Danamon Simpan Pinjam mengharuskan peminjam untuk mengisi aplikasi serta melengkapi persyaratan yang sangat ruwet. Padahal banyak diantara nelayan yang belum dapat membaca. Untuk itulah diperlukan penyederhanaan prosedur admistrasi kredit di bank. Pembuatan form aplikasi yang ringkas dapat dijadikan salah satu cara untuk melakukan penyederhanaan tersebut. Faktor tanda tangan juga acap kali menjadi permasalahan karena tidak semua nelayan memiliki tandatangan. Oleh karena itu harus ada keluwesan yang memungkinkan nelayan menggunakan cap jempol untuk pengesahan aplikasi. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah harus ada pendampingan dari pihak perbankan dalam pengisian form, jika perlu pihak perbankan membantu nelayan dalam pengsian form. Penilaian kemampuan dan kemauan calon debitur untuk mengembalikan kredit didasarkan pada hasil analisis kredit. Menurut Sotojo 1997, teknis analisis kredit umumnya dilakukan pihak perbankan menganut beberapa pola pendekatan berikut: 1 The five C’s model Benton E.Gup Character : Karakteristik personal peminjam serta kecenderungan perilaku dalam membayar pinjaman Capacity : Kemampuan membayar pinjaman Capital : Kondisi finansial Collateral : Jaminan pinjaman Condition: Kondisi ekonomi 2 The basic six C’s model Peter S. Rose Character : Tanggungjawab, keseriusan dan perhatian dalam membayar pinjaman Capacity : Memiliki surat-surat usaha Capital : Kemampuan yang cukup untuk membayar pinjaman Collateral: Jaminan pinjaman Condition: Kemauan peminjam melaksanakan kewajiban pembayaran jika terjadi perubahan kondisi ekonomi Control : Kemauan mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh bank 3 The PRISM model Morton Glantz Perspective : Terkait dengan risiko atau penerimaan Repayment : Kemampuan melakukan pembayaran Intention : Tujuan peminjaman Safeguards : Jenis agunan yang diberikan kepada bank untuk mengatasi kredit macet Management : Gambaran operasional usaha, adminsitrasi, hubungan dengan perbankan, laporan finansial 4 The CAMPARI model Citybank Jakarta Character : Gambaran peminjam, produk yang dihasilkan dan sejarahnya Ability : Kemampuan membayar Margin : Keuntungan usaha Purpose : Alasan peminjaman Amount : The value sought Repayment : Kelayakan dan jadwal pengembalian Insurance : Jaminan keamanan 5 5 P’s Principles People : Karakter personal Purpose : Alasan peminjaman Payment : Rencana pembayaran Protection : Agunan Perspective : Risiko dan keuntungan 6 Aspek-aspek usaha Aspek pemasaran : Volume penjualan, market share, pesaing, proyeksi penjualan Aspek teknis : Produk, kualitas, bahan baku, lokasi pabrik Aspek manajemen : Manajemen, organisasi, tenaga kerja Aspek hukum dan agunan : perizinan dan agunan Aspek keuangan : past performance, future performance Jika mengacu pada pola pendekatan analisis kredit yang diutarakan diatas maka sangat sulit bagi kegiatan perikanan skala kecil untuk mengakses sumber permodalan tersebut. Faktor yang dianggap paling memberatkan adalah agunan dan managemen usaha. Agunan yang diberikan usaha perikanan tangkap skala kecil biasanya dalam bentuk sarana produksi seperti kapal dan alat tangkap. Padahal pihak perbankan biasanya tidak menerima agunan kapal dengan pertimbangan pemeliharaan dan penyusutan yang besar. Solusi yang diambil Departemen Kelautan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah membuat program sertifikasi bagi kapal-kapal kecil yang dapat dijadikan agunan pada bank. Kebijakan ini belum optimal karena aturan hukum tentang hal tersebut belum diatur oleh Bank Indonesia. Faktor management usaha sudah mulai diperhatikan oleh Bank Indonesia. Melalui surat edaran Bank Indonesia tentang usaha kecil dikemukakan bahwa pihak perbankan memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan teknis bagi usaha kecil. Hal tersebut sudah ditindaklanjuti namun pada tataran implementasi mengalami kendala. Kesederhanaan prosedur kredit dapat tergambar dari durasi pengurusan dimulai dari pengisian aplikasi, analisis kredit hingga persetujuan kredit. Jangka waktu pengurusan kredit sebaiknya ditetapkan maksimum 2 hari dengan pertimbangan operasional kegiatan penangkapan yang mendesak. Prinsip prudent ditetapkan pada personal dan bukan pada usaha dan agunanannya, karena berdasarkan hasil analisis kegiatan penangkapan ikan menghasilkan keuantungan yang besar meskipun pada saat tidak musim ikan dapat merugi. Keberhasilan Grameen Bank untuk melaksanakan program kreditnya meskipun tanpa agunan disebabkan oleh faktor metode peminjaman yang dilaksanakan berdasarkan prinsip jemput bola sehingga petugas sangat mengenal nasabahnya. Mengacu pada keberhasilan tersebut maka perbankan sebaiknya mengadopsi hal serupa. 2 Revisi aturan hukum tentang penguatan permodalan Aturan hukum tentang penguatan permodalan bagi usaha kecil sudah diatur oleh Bank Indonesia melalui peraturan Bank Indonesia Nomor: 32PBI2001 tentang pemberian kredit usaha kecil tanggal 4 Januari 2001. Peraturan tersebut berisi tentang anjuran kepada pihak perbankan untuk menyediakan 22,5 dari total kreditnya kepada usaha kecil. Sebagai penjabaran terhadap aturan tersebut, pada tanggal 17 Mei 2001 dikeluarkan Surat Edaran Nomor 39BKr perihal Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kredit Usaha Kecil. Surat edaran tersebut menjelaskan perihal jenis usaha yang berhak menerima kredit, plafon kredit serta teknis pelaporan perkembangan kredit pihak perbankan kepada Bank Indonesia. Merujuk pada aturan penguatan permodalan diatas, terlihat bahwa ketetapan-ketetapan yang terkandung didalamnya bersifat umum dan normatif. Belum ada pasal-pasal khusus yang menunjukkan keberpihakan kepada sub sektor perikanan tangkap. Oleh karena itu revisi ataupun penetapan aturan hukum baru perlu dilakukan. Mengacu pada kondisi dan karakteristik usaha perikanan tangkap maka aturan yang ditetapkan setidaknya memuat poin-poin sebagai berikut: 1 Plafon kredit; ditetapkan sebesar maksimum Rp.500 Juta yang diperuntukkan bagi kredit modal kerja dan investasi. Poin ini sudah sesuai dengan peraturan Bank Indonesia Nomor 32PBI2001 2 Mekanisme pembayaran yang tidak didasarkan pada angsuran tetap namun sistem pembayaran akumulatif. Artinya peminjam tidak harus membayar angsuran yang jumlahnya tetap tiap bulan namun bisa diakumulasikan tergantung pendapatan peminjam. 3 Penyederhanaan prosedur kredit bagi usaha perikanan tangkap skala kecil 4 Agunan bisa diberikan dalam bentuk sarana penangkapan 5 Adanya kewajiban pihak perbankan untuk menyalurkan kredit kepada nelayan dan tidak hanya bersifat himbauan Instansi yang bertanggungjawab terhadap revisi ataupun penetapan aturan yang dimaksud adalah Bank Indonesia dan Departemen Kelautan dan Perikanan. Pihak perbankan sebagai pelaksanan teknis di lapangan juga perlu dilibatkan dalam penyusunan aturan tersebut. Intinya dibutuhkan kesepahaman dan kesepakatan dari berbagai pihak tentang aturan yang akan dibuat. 3 Penetapan skemaskim pembiayaan bagi usaha skala kecil Sejak tahapan awal pembangunan ekonomi, Bank Indonesia dan pihak perbankan telah menunjukkan atensi terhadap pengembangan usaha skala kecil. Hal tersebut ditandai dengan ditetapkannya berbagai skim perkreditan yang pro terhadap usaha kecil misalnya 1 skim kredit bimbingan massal bimas, 2 skim kredit investasi kecil dan kredit modal kerja permanen KIKKMKP, 3 skim kredit pedesaan Kupedes, 4 skim kredit usaha kecil KUK, 5 skim kredit koperasi termasuk kredit usaha tani, kredit kepada anggota koperasi, kredit kepada koperasi primer untuk anggotanya-nelayan, 6 skim kredit pengentasan kemiskinan, 7 skim kredit pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir PEMP, 8 skim kredit pola Pengembangan hubungan bank dengan kelomposk swadaya masyarakat PHBK, 9 skim kredit karya usaha mandiri KUM. Walaupun telah banyak skim kredit yang ditawarkan kepada usaha kecil namun yang secara jelas diperuntukkan bagi pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil hanya KKPA Nelayan dan PEMP. Skim kredit KKPA- nelayan ditujukan untuk membiayai usaha perikanan tangkap dan pengolahan ikan yang dimiliki oleh kelompok nelayan anggota koperasi primer ataupun masing-masing anggota koperasi primer. Kredit KKPA-nelayan dapat digunakan untuk investasi maupun modal kerja dengan plafon maksimum masing-masing adalah Rp. 50 juta dan Rp. 10 juta. Skim kredit program PEMP ditetapkan berdasarkan pemikiran lemahnya kemampuan pengeloalaan keuangan nelayan sehingga pada saat memperoleh pendapatan yang tinggi mereka terbiasa untuk konsumtif. Melalui program PEMP nelayan diarahkan agar mampu menyisihkan sebahagian hasil usaha untuk pengembangan usaha. Teknis pelaksanaan PEMP dimulai dari pemberian modal yang berasal dari dana ekonomi produktif kepada kelompok. Keuntungan usaha disisihkan sebahagian dan dikumpulkan dalam lembaga ekonomi pengembangan pesisir mikro mitra mina LEPP-M3. Dana yang ada dalam LEPP-M3 selanjutnya digunakan untuk pengembangan usaha secara luas. Dari kedua skim kredit skim kredit yang telah diutarakan sebelumnya, PEMP dianggap lebih mewakili usaha perikanan. Hanya saja skim tersebut masih perlu dikembangkan sesuai dengan karakterisitik usaha perikanan tangkap yaitu pendapatan yang tidak menentu akibat fluktuasi hasil tangkapan dan pola hidup nelayan yang konsumtif. Untuk mengatasi karakteristik tersebut, Ritonga 2004 menawarkan skim kredit yang disebut marine banking. Skim kredit marine banking adalah pemberian kredit yang dikhususkan bagi nelayan untuk memperkuat permodalannya. Karakteristik skim kredit ini antara lain: 1 Pemberian kredit kepada nelayan terkait langsung dengan kewajiban menabung oleh nelayan sebagai penerima kredit 2 Kredit hanya diberikan kepada nelayan yang bankable yang ditentukan oleh kelayakan usaha dan diukur dari akumulasi modal yang dimiliki serta karakter personal. Kelayakan usaha dianggap bankable jika akumulasi modal usaha di atas 30 3 Nelayan yang menerima kredit diharuskan menjual hasil tangkapannya melalui TPI dan menyisihkan 10 penghasilan sebagai tabungan 4 Kredit marine banking bukan kredit subsidi namun komersial karena terbukti bahwa usaha peikanan tangkap adalah usaha yang menguntungkan 5 Sumber dana pemberian kredit marine banking adalah dana masyarakat nelayan yang dihimpun oleh oleh marine banking 6 Jaminan kredit adalah tabungan beku dan atau armada penangkapan serta alat tangkap Persyaratan pengajuan kredit diantaranya: 1 memiliki saldo tabungan di marine banking, 2 nelayan berdomisili di wilayah operasional, 3 nelayan memiliki rencana pengembangan usaha untuk pengembalian kredit, 4 permohonan kredit diajukan secara individu dan diketahui istri, 5 membuat pernyataan kesediaan menjual hasil tangkapan di TPI, 6 membuat pernyataan kesediaan pemotongan penghasilan sebesar 10 untuk tabungan. Sebelum keputusan kredit dilaksanakan tetap dilakukan analisis kredit. Analisis kredit dilakukan dengan pendekatan akumulasi modal dan surplus usaha dengan memperhatikan empat komponen yang mempengaruhi tingkat pengembalian kredit yaitu 1 rata-rata jumlah trip melaut per bulan dalam tahun terakhir, 2 rata-rata pendapatan bersih nelayan per bulan dalam setahun terakhir, 3 rata-rata pengeluaran rumah tangga nelayan per bulan dalam satu tahun terakhir, 4 rata-rata nisbah pinjaman dengan pendapatan nelayan per bulan dalam satu tahun terakhir. Besarnya kredit yang diberikan untuk kredit modal usaha penangkapan adalah tiga kali saldo tabungan pada saat mengajukan permohonan kredit, dengan ketentuan 3 kali angsuran bulanan harus dijadikan tabungan beku. Adapun untuk kredit investasi maka maksimum kredit yang diberikan adalah 80 dari harga beli armada atau alat tangkap. Jangka waktu kredit modal usaha ditetapkan selama 1 tahun sedangkan kredit investasi maksimum 12 tahun. Secara kelembagaan, bank yang direkomendasikan untuk melaksanakan marine banking adalah BPR atau unit usaha bank. 4 Pemberian bantuan teknis bagi nelayan Kendala nelayan untuk memperoleh kredit disebabkan oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal disebabkan kurang fahamnya nelayan terhadap prosedur perkreditan, sedangkan faktor internal diakibatkan sikap dan prilaku nelayan yang konsumtif. Permasalahan eksternal tersebut oleh pihak perbankan dan pemerintah perlu dipecahkan melalui bantuan teknis dan pendampingan. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No 739PBI2005 tanggal 18 Oktober 2005, pihak Bank Indonesia memberikan bantuan teknis dalam bentuk pelatihan maupun penyediaan informasi kepada bank, lembaga pembiayaan UMKM dan lembaga pemberi jaminan LPJ. Topik yang diberikan relatif komprehensif mencakup potensi usaha, analisis pemberian kredit, penanganan kredit serta penyusunan dokumen kelayakan. Kekurangan dari aturan ini adalah belum tergambarnya pola bantuan teknis yang diberikan langsung kepada nelayan. Transformasi sikap dan perilaku nelayan dapat dilakukan dengan melakukan program familiarisasi perbankan kepada nelayan. Inti dari program ini adalah nelayan dibiasakan atau dipaksakan untuk menabung dengan menyisihkan sebahagian hasil tangkapannya. 5 Optimalisasi peran lembaga keuangan, pemerintah dan kelembagaan masyarakat dalam penguatan permodalan nelayan Pihak yang terkait dengan permodalan nelayan di Palabuhanratu adalah perbankan, koperasi, tengkulak dan pengusaha. Optimalisasi peran stakeholder lebih diarahkan pada penguatan permodalan yang dilakukan tengkulak dan pengusaha. Penguatan permodalan dapat dilakukan dengan sistem inti-plasma dimana pengusaha atau tengulak berperan sebagai inti dan nelayan sebagai plasma. Inti memiliki tanggungjawab terhadap penyediaan sarana produksi seperti kapal, alat tangkap, es, bahan bakar, ransum, pemberian bimbingan teknis dan manajemen, serta memasarkan hasil tangkapan plasma. Pelaksanaan sistem ini harus bermuara pada kepemilikan sarana penangkapan oleh nelayan. Agar kemitraan antara pengusaha inti dan plasma dapat berjalan dengan baik perlu dibuat aturan formal tertulis yang berisi klausul tentang hak dan kewajiban. Sebagai pedoman pembinaan dalam kemitraan usaha perlu dibuat landasan hukum. 6 Pengembangan dan pelaksanaan pilot project penguatan permodalan nelayan Aktor utama dalam pelaksanaan pilot project adalah pemerintah dan perbankan. Skema yang dianggap telah sesuai dengan karekteristik usaha perikanan tangkap di Palabuhanratu dicoba diimplementasikan. Proses pelaksanaan pilot project sebaiknya dispesifikasi berdasarkan unit penangkapan yang digunakan oleh nelayan. Hal ini sangat penting karena terbukti bahwa risiko yang melekat pada masing-masing unit penangkapan berbeda-beda. Mengacu pada hasil analisis maka pemberian permodalan bisa dilakukan kepada nelayan pancing dan bagan yang memiliki risiko yang paling kecil. Pada tataran implementasi, pihak koperasi, asosiasi nelayan dan pengusaha perlu dilibatkan. Sejarah kesuksesan Greemen Bank dimulai dengan pelaksanaan pilot project selama tiga tahun di daerah Tangail. Setelah diperoleh hasil yang sangat memuaskan, program ini dilaksanakan dalam skala luas. 7 Perancanangan sistem pengawasan permodalan yang terbuka dan transparan Perancanangan sistem pengawasan diperlukan mengingat besarnya dana yang dikhususkan untuk nelayan namun digunakan untuk pembiayaan usaha lainya. Sistem pengawasan selain melibatkan Bank Indonesia dan pemerintah sebaiknya juga melibatkan LSM dan nelayan. Informasi tentang perkembangan kredit bagi nelayan merupakan isu utama dari kegiatan pengawasan sehingga semua pihak yang terlibat harus dengan mengakses informasi tersebut. Sistem pengawasan yang dibentuk harus didukung dengan instrumen hukuman kepada pihak perbankan yang tidak menyalurkan kredit sesuai dengan peruntukannya. Instrumen seperti ini dapat dituangkan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia seperti pernah dilaksanakan dalam proyek kredit mikro yang merupakan kerjasama antara Asian Development Bank ADB dengan Pemerintah Indonesia.

6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan