46
dwangsom ini.
6
Pendapat para pakar tersebut dipertegas pula dengan yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 7 Mei 1967 Nomor: 38 KSIP1967
dalam perkara Frederika Melane Hilverdink von Ginkel berlawanan dengan Leon Johannes, di mana majelis hakim dalam putusan tersebut antara lain
mempertimbangkan sebagai berikut: “Lembaga uang paksa, sekalipun tidak
secara khusus diatur di dalam HIR haruslah dianggap tidak bertentangan dengan sistem HIR dan berdasarkan penafsiran yang lazim dari pada Pasal
393 HIR dapat diterapkan di pengadilan- pengadilan”.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa diterapkannya lembaga dwangsom yang diatur dalam Rv tersebut dalam praktik peradilan di
Indonesia selama ini khususnya di lingkungan peradilan umum ternyata memang dapat dibenarkan karena tuntutan kebutuhan dalam praktik dan hal
itu dianggap tidak bertentangan dengan sistem HIR maupun R.Bg. Adapun yang menjadi dasar penerapan lembaga dwangsom tersebut selain
yurisprudensi Mahkamah Agung juga pendapat para pakar hukum doktrin sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
2. Dasar Penerapan Lembaga Dwangsom di Pengadilan Agama
Suatu persoalan yang sering dimunculkan pada beberapa diskusi dalam penerapan Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama, adalah dapat atau
tidaknya lembaga dwangsom diterapkan dalam putusan hadhanah oleh hakim.
6
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa Dwangsom dan Inplementasinya di Indonesia, , Jakarta: Prenada Media Group, 2010. h.50.
47
Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa lembaga dwangsom ini tidak boleh diterapkan dalam putusan hadhanah karena konteksnya berbeda,
sebagian praktisi hukum antara lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom dapat juga diterapkan dalam putusan hadhanah karena dengan mencantumkan
dwangsom itu pihak tergugat akan mematuhi isi putusan hakim jika ia mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan
hukuman pokok yang dibebankan padanya. Hipotesa atas persoalan ini, tampaknya pendapat yang terakhir menginginkan diterapkan lembaga
dwangsom dalam putusan hadhanah apabila dilihat dari doolmattigheit-nya, lebih-lebih lagi apabila penerapan itu dengan tujuan kemaslahatan.
7
Dwangsom merupakan upaya optimalisasi kebijakan hakim dalam memutus Perkara, telah dipahami bahwa Peradilan Agama ialah salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
1 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
8
Pasal ini menjelaskan para hakim di Pengadilan Agama berkewajiban untuk memutus dan
menuntaskan setiap perkara yang masuk sesuai dengan peraturan perundang- undangan tanpa terkecuali dalam bentuk penetapan dan putusan.
7
Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum UIN, 2013, h. 319-320.
8
Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
48
Dalam menjalankan fungsi peradilan ini, para hakim Peradilan Agama harus menyadari sepenuhnya bahwa tugas pokok hakim adalah menegakan
hukum dan keadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam setiap putusan yang hendak dijatuhkan oleh hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan
suatu perkara, perlu diperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan, kemanfatan dan kepastian. Ketiga hal ini harus mendapatkan perhatian yang
seimbang dan profesional, meskipun dalam praktik sangat sulit mewujudkannya.
9
Seperti telah diuraikan di atas bahwa lembaga dwangsom telah diterapkan sedemikian rupa dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini.
Diterapkannya lembaga dwangsom yang diatur dalam Rv tersebut dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini khususnya di lingkungan peradilan
umum memang dapat dibenarkan dan dianggap tidak bertentangan dengan sistem HIR maupun R.Bg. Hal ini selain didasarkan beberapa yurisprudensi
Mahkamah Agung juga sejalan dengan pendapat para pakar hukum berkenaan dengan hal itu. Namun yang menjadi pertanyaan bagaimana halnya dengan di
lingkungan peradilan agama. Apakah peradilan agama juga berwenang menerapkan, mengabulkan atau menjatuhkan hukuman dwangsom tersebut
sebagaimana peradilan umum, dan kalau peradilan agama berwenang, apa saja dasar penerapannya.
9
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet ke-5 Jakarta: Kencana Prenada Madia Group, 2008, h.230
49
Pertanyaan di atas menjadi penting untuk dijawab karena masih banyak
di antara para hakim yang belum cukup memahami eksistensi dan urgensi lembaga dwangsom itu sendiri dalam konteksnya dengan kompetensi
peradilan, juga disebabkan karena masih banyak di antara para hakim peradilan agama yang belum cukup yakin bahwa permohonan dwangsom itu
termasuk kewenanganan lingkungan peradilan agama. Bahkan hingga saat ini masih ada di antara para hakim peradilan agama yang berpendirian bahwa
permohonan dwangsom itu bukan kewenangan peradilan agama. Sehingga terhadap permohonan dwangsom yang diajukan di pengadilan agama harus
ditolak atau dinyatakan tidak diterima Niet Ontvankelijke verklaard.
10
Untuk mengetahui apakah pengadilan agama berwenang atau tidak dalam mengabulkan atau menjatuhkan hukuman dwangsom yang diajukan
kepadanya, tentunya harus merujuk pada landasan utama penerapan hukum acara yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yaitu ketentuan Pasal 54
Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah
dengan Undang-Undang Nomor: 50 Tahun 2009, yang selengkapnya menyatakan bahwa: “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam Undang- Undang ini”
10
Cik Basir, Penerapan Lembaga Dwangsom Di Pengadilan Agama, Makalah Rumusan Hasil Diskusi Kelompok Bidang Peradilan Agama Komisi II, Manado, tanggal 31 Oktober 2012, h.
17.