Pengertian Uang Paksa dwangsom

16 agar dapat mengabulkan suatu dwangsom, itu sangat tergantung pada kebijaksanaan diskresioner dari hakim. Tidak harus setiap permintaan dwangsom yang memenuhi rumusan ketentuan pasal 611a Rv harus dikabulkan oleh hakim. Hakim pulalah yang mempunyai kewenangan untuk mempertimbangkan fakta-fakta dan menentukan suatu jumlah uang paksa dwangsom. Adalah suatu sifat yang sangat bijaksana bila hakim mempertimbangkan kemampuan dr si terhukum tergugat didalam menjatuhkan dwangsom. Di samping itu, dalam menetapkan besarnya uang paksa dwangsom hakim hendaknya juga mempertimbangkan apkah jumlah uang paksa dwangsom yang dijatuhkan itu dapat bekerja secara efektif sesuai dengan tujuannya, artinya apakah hukuman dwangsom itu akan sungguh-sungguh merupakan tekanan psychis bagi terhukum, sehingga si terhukum ini akan dengan sukarela memenuhi hukuman pokoknya. 7 Pembayaran suatu jumlah uang secara paksa setidak-tidaknya ancaman untuk melakukan itu digunakan sebagai alat pemaksa, maka alat pemaksa ini tidak diperlakukan di dalam hal keputusan itu berupa pembayaran sejumlah uang. Dengan melihat maksud dan tujuan dari dwangsom tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam eksekusi riil hanya mempunyai 2 unsur, yaitu: 8 7 Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa Dwangsom dan Implementasinya di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010, h. 51. 8 Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa Dwangsom dan Implementasinya di Indonesia, h. 21. 17 1. Adanya suatu ancaman de bedreiging yang bekerja secara psychis; dan 2. Pelaksanaan secara paksa de uitvoering geweld. Sedangkan dwangsom mempunyai unsur yang lebih luas, yaitu: 1. Ancaman yang berasal dari penerapan dwangsom; 2. Berlakunya dwangsom; 3. Tuntutan pelaksanaan dwangsom. Dengan adanya ancaman dari suatu kemungkinan penerapan dwangsom yang kemudian diterapkan dan dilaksanakan secara paksa, si berutang diharapkan melaksanakan secara sukarela apa yang ditentukan dalam hukuman pokok, sebelum dwangsom betul-betul dilaksanakan. Dalam rumusan ketentuan pasal 61d Ayat 1 menetukan bahwa hakim yang telah menjatuhkan dwangsom, dapat menghapuskan, atau menunda untuk suatu jangka waktu atau mengurangi dwangsom baik mengenai jumlahnya maupun jangka waktunya, di dalam hal si terhukum tidak mungkin melaksanakan hukuman pokok. Kemudian Ayat 2 menegaskan bahwa hakim tidak boleh mengubah suatu dwangsom yang telah berkekuatan hukum, sebelum ternyata adanya ketidak-mungkinan tersebut. 9 Ternyata undang-undang tidak menjelaskannya. Hal ini tentunya diserahkan sepenuhnya kepada kearifan dari hakim dan para ahli hukum. Menurut yurisprudensi dan literatur ditemukan dua kemungkinan sebagai dasar “ketidakmungkinan” tersebut yaitu: 9 Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa Dwangsom dan Implementasinya di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010, h. 39. 18 1. Tidak mungkin melaksanakan prestasi pokok secara materiilfisik; 2. Tidak mungkin melaksanakan prestasi pokok secara psychis.

C. Eksistensi Hadhanah Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif

1. Menurut Fiqh

Dalam islam pemeliharaan anak disebut hadhanah. Secara etimologis, hadhanah jamaknya ahdhan atau hudhun terambil dari kata hidhn yaitu anggota badan yang terletak di bawah ketiak hingga al-kayh bagian badan sekitar pinggul antara pusat hingga pinggang. Burung dikatakan hadhanat- tha’ir baydhahu, manakala burung tidak mengerami telurnya karena dia mengumpulkan mengempit telurnya itu kedalam dirinya di bawah himpitan sayapnya. 10 Demikian pula sebutan hadhanah diberikan kepada seorang perempuan ibu manakala mendekap mengemban anaknya di bawah ketiak, dada, serta pinggulnya. 11 Hadhanah menurut bahasa berarti meletakan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan. 12 Hadhanah juga berarti “di samping” atau berada “di bawah ketiak”. Sedangkan secara terminologis, hadhanah adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayiz atau yang kehilangan 10 Ahmad Warson, kamus Al-Munawir Arab – Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, h. 296. 11 Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah Jilid 2, Beirut-Lubhan : Dar al-Fikr, 1973, h. 339. 12 DEPAG RI, Ilmu Fiqh, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN Jakarta, 19841985. Jilid II, h. 206.