Hubungan Politik, Kebijakan Publik, dan Pendidikan

Ketika mulai memikirkan, merencanakan, dan mencari model pendidikan bagi penduduk pribumi, pejabat dan pemerintah kolonial Belanda, lebih memilih sekolah-sekolah yang didirikan oleh Zendig dan Misionaris untuk diadopsi menjadi model pendidikan bagi penduduk pribumi. Mereka tidak menjadikan sistem pendidikan pesantrendiniyah dan madrasah sebagai model, karena mereka menilai sistem pendidikan pesantrendiniyah dan madrasah terlalu buruk. Di dalamnya hanya diajarkan agama, bahasa Arab, dan al- Qur‟an. Di pesantren dan madrasah tidak diperkenalkan huruf latin. Guru-gurunya pun tidak bisa membaca dan menulis huruf Latin. Padahal, sekolah-sekolah Zendig dan Misionaris, pendidikannya juga agama dan guru-gurunya juga tidak profesional di bidang pendidikan, melainkan pendeta dari tamatan lembaga pendidikan keagamaan Kristen. 49 Berdasarkan hal tersebut, menurut Marwan Saridjo, “Terlihat bahwa alasan menolak untuk mengadopsi pesantren dan madrasah sebagai bentuk dan model pendidikan penduduk pribumi, di samping alasan teknis adalah alasan politik dan alasan keagamaan. ” 50 Pada tahun 1882 M, pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Pristerraden. Atas nasihat dari badan inilah maka pada tahun 1905 M, pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran harus minta izin lebih dahulu, 51 kebijakan ini disebut Ordonansi Guru tahun 1905. Selanjutnya, pada perkembangan berikutnya Ordonansi Guru tahun 1905 itu akhirnya dicabut karena dianggap tidak relevan lagi. 52 Maka, pada tahun 1925 M, pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam, yaitu tidak semua orang Kyai boleh 49 Ibid., h. 52. 50 Ibid., h. 53. 51 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004, Cet. VII, h. 149. 52 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007, Cet. I, h. 35. memberikan pelajaran mengaji, kebijakan ini disebut Ordonansi Guru tahun 1925. Pada tahun 1932 M, keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah yang disebut Ordonansi Sekolah Liar Wilde School Ordonante. 53 Jika dikaitkan dengan setting sosial-politik pada masa pemerintahan kolonial Belanda, menurut Nurhayati Djamas: Dikeluarkannya ketentuan Ordonansi Guru tampak jelas dilatarbelakangi oleh kekhawatiran pemerintah Belanda terhadap penyelenggaraan pendidikan Islam dan sepak terjang guru agama yang akan memperluas pengembangan agama Islam melalui pendidikan. Dengan perluasan itu, pemerintah Belanda juga mengkhawatirkan implikasinya, yaitu makin meluasnya “sentimen antipenjajahan” dan anti terhadap pemerintahan Belanda yang disuburkan dengan sentimen keagamaan. 54 Berdasarkan penjelasan di atas, maka kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap pendidikan keagamaan Islam sangat tidak mendukung, bahkan berupaya untuk meruntuhkan pendidikan Islam, termasuk pendidikan keagamaan Islam

2. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam pada Masa Kolonial

Jepang Jepang menjajah Indonesia setelah mengusir pemerintah Hindia Belanda dalam perang Dunia ke II. Mereka menguasai Indonesia pada tahun 1942, dengan membawa semboyan: Asia Timur Raya untuk Asia dan semboyan Asia Baru. Jepang di Indonesia juga mencari kepentingan untuk mencari kekuatan untuk menghadapi perang Pasifik, perang Asia Timur Raya. Kekuatan yang diharapkan itu adalah jumlah mayoritas umat Islam. 53 Zuhairini, loc.cit. 54 Nurhayati Djamas, op.cit., h. 178.