Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam pada Masa Kolonial

Sehingga, untuk mendapatkan simpati dari umat Islam, Jepang mengeluarkan kebijakan yang kelihatannya mendukung umat Islam. 55 Pemerintahan Kolonial Jepang mengizinkan untuk membuka sekolah- sekolah yang pernah diasuh Belanda. Bahkan Jepang juga mengizinkan untuk membuka sekolah-sekolah yang diasuh badan-badan swasta, termasuk di antaranya sekolah-sekolah Islam. 56 Kebijakan Jepang yang berkaitan dengan pendidikan Islam, di antaranya sebagai berikut: a pondok pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang. b pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir, dan Bung Hatta. 57 c mendirikan organisasi guru Islam yang diberi nama Pergaboengan Goeroe Islam Indonesia. 58 Walaupun Jepang memberikan kebijakan tersebut, tetapi umat Islam dipaksa untuk kepentingan perang mereka. Sehingga, dunia pendidikan secara umum terbengkalai, karena murid-murid sekolah setiap hari hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti romusha, barnyanyi, dan lain sebagainya. Agak beruntung adalah madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pondok pesantren yang bebas dari pengawasan langsung pemerintah Jepang. Pendidikan dalam pondok pesantren masih dapat berjalan dengan agak wajar. 59 Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintahan Jepang saat itu tidak mengebiri pendidikan Islam, seperti yang dilakukan pemerintahan Belanda, karena Jepang saat itu disibukkan dengan persiapan perang mereka. 55 Haidar, op.cit., h. 37. 56 Ibid. 57 Zuhairini, op.cit., h. 151. 58 Haidar, op.cit., h.38. 59 Zuhairini, op.cit., h. 152.

3. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam pada Masa Pemerintahan

Orde Lama. Indonesia telah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, tetapi musuh-musuh Indonesia tidak diam, bahkan berusaha untuk menjajah kembali. Pada bulan Oktober 1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fisabilillah terhadap Belandasekutu. 60 Kebijakan dan politik pendidikan setelah kemerdekaan tidak lagi mengandung nuansa pengawasan ketat yang mengebiri pendidikan Islam, seperti yang berlaku pada masa pemerintahan Belanda. Dalam kebijakan pendidikan pascakemerdekaan, ada upaya mengakui pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang berhak mendapatkan fasilitas dari pemerintah seperti pengadaan guru. 61 Empat bulan setelah proklamasi, yaitu tepatnya tanggal 29 Desember 1945. BKNIP Badan Komite Nasional Indonesia Pusat mengusulkan kepada Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan PP dan K untuk selekas mungkin mengusahakan pembaruan pendidikan dan pengajaran dengan menggunakan pokok-pokok usaha pembaruan yang pada prinsipnya sama dengan rancangan yang lahir bersama dengan UUD 1945, yaitu pendidikan agama dan kebudayaan, pendidikan untuk rakyat, sekolah partikular swasta, kurikulum, susunan persekolahan, bahasa Indonesa. Salah satu di antara usulan BKNIP adalah tentang pengajaran agama. BKNIP mengusulkan pengajaran agama hendaklah mendapat tempat yang teratur seksama dan mendapat perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipeluknya. Dengan terbentuknya Kementerian Agama, maka madrasah dan pesantren berada di bawah binaan Kementerian Agama, sedangkan pengajaran agama di sekolah-sekolah umum diatur dengan peraturan bersama Menteri P dan K 60 Ibid. 61 Nurhayati Djamas, op.cit., h. 179. dan Menteri Agama. 62 BKNIP juga mengusulkan agar madrasah dan pesantren mendapat perhatian dan bantuan nyata dengan berupa tuntunan dan bantuan dari pemerintah. 63 Berdasarkan usulan BKNIP mengenai pendidikan, maka Menteri P dan K kedua, Mr. Suwandi membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran yang diketuai Ki Hajar Dewantara mantan Menteri P dan K, dengan tugas, “1 merencanakan rumusan persekolahan baru untuk semua tingkat dan jenis. 2 menetapkan bahan-bahan pengajaran dengan memperhatikan keperluan praktis dan tidak terlalu berat bagi murid- murid. 3 menyiapkan rencana pelajaran untuk tiap tingkat dan jenis sekolah yang diperinci tiap kelas. ” 64 Hasil kerja Panitia Penyelidik Pengajaran yang berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan keagamaan Islam adalah pesantren dan madrasah harus dipertinggi mutunya, dan tidak perlu bahasa Arab. 65 Kemudian untuk melaksanakan usulan dari BKNIP dan Panitia Penyelidik Pengajaran, maka didirikanlah Kementerian Agama pada tanggal 3 Januari 1946 66 dengan Penetapan Pemerintah No. 1SD tanggal 3 Januari 1946 untuk mengurus masalah pendidikan agama dan masalah urusan agama lain. 67 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pertama yang dikeluarkan pemerintah setelah kemerdekaan, yakni UU RI No. 4 Tahun 1950, belum secara spesifik memberikan ketentuan khusus dalam pengaturan terhadap lembaga pendidikan Islam. Meskipun demikian, undang-undang ini telah memberikan pengakuan terhadap kedudukan sekolah agama, yakni seperti yang tercatum dalam Pasal 10 ayat 2 undang- undang tersebut, bahwa “belajar di sekolah agama yang telah 62 Marwan Saridjo, op.cit., h. 70-71. 63 Ibid., h. 74. 64 Ibid., h. 72. 65 Ibid., h. 74. 66 Abdul Rachman Saleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa: Visi, Misi, dan Aksi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, h. 285. 67 Marwan Saridjo, op.cit., h. 76.