PP RI No. 55 Tahun 2007 ditinjau Berdasarkan Ciri Kebijakan Publik
b “Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud
pada ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
”
25
c “Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dan ayat 2 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.”
26
Tiga amanat UU RI No. 20 Tahun 2003 di atas yang menjadi acuan ditetapkannya PP RI No. 55 Tahun 2007 oleh Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono. Tiga amanat tersebut juga dijelaskan dalam klausul menimbang PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama
da n Pendidikan Keagamaan, “Bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 12 ayat 4, Pasal 30 ayat 5, dan Pasal 37 ayat 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
.”
27
Sehubungan dengan yang diteliti adalah rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam, maka amanat yang
terkait adalah Pasal 30 ayat 5. Perlunya peraturan pelaksana adalah akibat model kebijakan yang
dianut Indonesia, yaitu Model Kontinental yang merupakan model warisan dari Belanda. Model Kontinental adalah model kebijakan dengan
paradigma bahwa kebijakan harus dibuat berjenjang sesuai dengan hierarki implementabilitasnya. Sebagaimana penjelasan Riant Nugroho,
sebagai berikut: Pada praktik, ini dipahami di Indonesia, di mana Undang-Undang
sebagai kebijakan yang dinilai berposisi tertinggi, dibuat dengan pasal-pasal yang bersifat makro atau umum, untuk kemudian dibuat
Peraturan Pelaksana, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan sejenisnya. Akibatnya, di Indonesia banyak
terjadi kasus di mana sudah ada Undang-Undang, tetapi tetap tidak dapat dilaksanakan karena PP atau peraturan pelaksananya belum
dibuat.
28
25
Pasal 30 ayat 5 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
26
Pasal 37 ayat 3 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
27
Klausul Menimbang PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
28
Riant Nugroho, op.cit., h. 697.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pemerintah “cerdas”
menetapkan PP RI No. 55 Tahun 2007. Karena, jika pemerintah tidak menetapkan PP RI No. 55 Tahun 2007, maka kebijakan turunan sebagai
kebijakan penjelas dan pelaksana tentang pendidikan keagamaan tidak ada.
Sehingga dapat
menimbulkan masalah,
terutama dalam
penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam. Jika hal itu terjadi, maka rumusan Pasal 30 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional tidak dapat diimplementasikan, karena tidak memiliki kebijakan turunan yang dalam kebijakan publik merupakan kebijakan pelaksana
terhadap kebijakan di atasnya. Dan itu juga adalah amanat UUD 1945, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-
undang sebagaimana mestinya.”
29
Lahirnya PP RI No. 55 Tahun 2007 adalah sebagai pemecahan masalah untuk pendidikan keagamaan Islam di Indonesia. PP ini
merupakan hasil amanat UU RI No. 20 Tahun 2003. UU RI No. 20 Tahun 2003 merupakan kebijakan pertama yang memberikan legalitas diakuinya
kesejajaran pendidikan keagamaan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Karena, sebelum UU RI No. 20 Tahun 2003 ini diundangkan
keberadaan pendidikan keagamaan Islam di Indonesia legalitasnya lemah, sehingga pendidikan keagamaan Islam di Indonesia dianggap bukan
tanggung jawab pemerintah. Jelasnya sebagaimana pernyataan Prof. Husni Rahim, sebagai
berikut: Aspek hukum atau legalitasnya pendidikan yang di bawah kemenag
pada masa lalu itu lemah. Pendidikan keagamaan baru diakui pada UU RI No. 20 Tahun 2003. Pada UU RI No. 4 Tahun 1950 sebagai UU
Sisdiknas pertama, pendidikan keagamaan atau madrasah belum menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, sehingga pendidikan
keagamaan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah, maka pendanaannya tidak ada, bantuan pada gurunya juga tidak ada,
kalaupun hanya sekadarnya. Kemudian, karena pendidikan keagamaan tidak tanggung jawab negara, tidak dapat bantuan dari negara, tidak
dapat fasilitas apa pun maka lulusannya kalah bersaing. Lulusan yang
29
BAB III Kekuasaan Pemerintahan Negara, Pasal 5 ayat 2 UUD 1945.
kalah bersaing itu tidak dilirik atau dianggap orang sekadar pelengkap atau tidak utama.
30
Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa UU RI No. 20 Tahun 2003 merupakan kebijakan yang pertama yang memberikan
pemecahan masalah untuk pendidikan keagamaan Islam di Indonesia. Oleh sebab itu, PP RI No. 55 Tahun 2007 adalah kebijakan turunan yang
pertama yang secara khusus diundangkan tentang pendidikan keagamaan Islam di Indonesia.
Rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam ada tiga belas pasal Pasal 14 s.d Pasal 26 yang secara khusus
berkaitan dengan pendidikan keagamaan Islam pendidikan diniyah dan pesantren dan ada enam pasal Pasal 8 s.d Pasal 13 yang secara umum
berkaitan dengan pendidikan keagamaan Islam. Sehingga rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait dengan pendidikan keagamaan Islam telah
menyelesaikan masalah. Oleh sebab itu lah, rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait dengan pendidikan keagamaan Islam disebut “cerdas”
Prof. Husni Rahim juga menyatakan bahwa kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah terkait dengan pendidikan keagamaan Islam sudah bagus
hanya yang bermasalah diimplementasinya.
31
2. Apakah rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 bijaksana? Kebijakan publik dengan ciri bijaksana adalah kebijakan yang tidak
menghasilkan masalah baru. Kebijakan ditetapkan adalah untuk menyelesaikan masalah yang harus diselesaikan bukan menghasilkan
masalah baru. Lahirnya PP RI No. 55 Tahun 2007 adalah sebagai pemecahan
masalah untuk pendidikan keagamaan Islam di Indonesia. PP ini merupakan hasil amanat UU RI No. 20 Tahun 2003. UU RI No. 20 Tahun
2003 merupakan kebijakan pertama yang memberikan legalitas diakuinya kesejajaran pendidikan keagamaan Islam dalam sistem pendidikan
30
Wawancara Pribadi dengan Prof. Husni Rahim, Ciputat, 04 September 2014.
31
Ibid.
nasional. Karena, sebelum UU RI No. 20 Tahun 2003 ini diundangkan keberadaan pendidikan keagamaan Islam di Indonesia legalitasnya lemah,
sehingga pendidikan keagamaan Islam di Indonesia dianggap bukan tanggung jawab pemerintah.
Jelasnya sebagaimana pernyataan Prof. Husni Rahim, sebagai berikut: Aspek hukum atau legalitasnya pendidikan yang di bawah Kemenag
pada masa lalu itu lemah. Pendidikan keagamaan baru diakui pada UU RI No. 20 Tahun 2003. Pada UU RI No. 4 Tahun 1950 sebagai UU
Sisdiknas pertama, pendidikan keagamaan atau madrasah belum menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, sehingga pendidikan
keagamaan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah, maka pendanaannya tidak ada, bantuan pada gurunya juga tidak ada,
kalaupun hanya sekadarnya. Kemudian, karena pendidikan keagamaan tidak tanggung jawab negara, tidak dapat bantuan dari negara, tidak
dapat fasilitas apa pun maka lulusannya kalah bersaing. Lulusan yang kalah bersaing itu tidak dilirik atau dianggap orang sekadar pelengkap
atau tidak utama.
32
Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa UU RI No. 20 Tahun 2003 merupakan kebijakan yang pertama yang memberikan
pemecahan masalah untuk pendidikan keagamaan Islam di Indonesia. Oleh sebab itu, PP RI No. 55 Tahun 2007 adalah kebijakan turunan yang
pertama yang secara khusus diundangkan tentang pendidikan keagamaan Islam di Indonesia.
Selanjutnya adalah apakah rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait dengan pendidikan keagamaan Islam menimbulkan masalah baru, karena
kebijakan yang bijaksana tidak memimbulkan masalah baru. Hasil penelitian yang peneliti lakukan tentang rumusan PP RI No. 55 Tahun
2007 terkait pendidikan keagamaan Islam terdapat beberapa masalah yang ditimbulkan.
a Tidak ada rumusan pasal tentang pendidikan diniyah formal jenjang pendidikan anak usia dini.
Padahal, telah
disebutkan, “Pendidikan diniyah formal
menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran
agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan
32
Ibid.
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. ”
33
Tidak adanya rumusan pasal terkait dengan hal tersebut hanya akan menimbulkan
masalah. Ada nomenklatur tetapi tidak tahu apa yang dimaksud tentang nomenklatur tersebut.
Parahnya lagi, dalam Peraturan Menteri Agama RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam tidak memasukkan
pendidikan anak usia dini dalam jenjang pendidikan diniyah formal, sehingga tidak ada juga penjelas tentang pendidikan anak usia dini.
Bunyinya adalah sebagai berikut: “Pendidikan diniyah formal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a terdiri atas: a Pendidikan diniyah formal jenjang pendidikan dasar.
b Pendidikan diniyah formal jenjang pendidikan menengah. c
Pendidikan diniyah formal jenjang pendidikan tinggi.”
34
Maka, Pasal 23 PMA RI No. 13 Tahun 2013 bertentangan dengan Pasal 15 PP RI No. 55 Tahun 2007. Padahal, PP RI No. 55 Tahun 2007
kekuatan hukumnya lebih tinggi daripada PMA RI No. 13 Tahun 2014. b Tidak ada rumusan pasal tentang pendidikan diniyah jalur informal.
Padahal, telah disebutkan pada Pasal 14 ayat 2, “Pendidikan diniyah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselenggarakan pada
jalur formal, nonformal, dan informal. ”
35
Tidak adanya rumusan tentang pendidikan diniyah jalur informal, maka secara langsung
pendidikan diniyah jalur informal tidak memiliki rumusan kebijakan turunan dari UU RI No. 20 Tahun 2003. Kebijakan turunan berfungsi
sebagai kebijakan pelaksana atau penjelas dari kebijakan di atasnya. Tidak adanya penjelasan dari rumusan PP tersebut, tentu akan
menimbulkan masalah bagi pendidikan diniyah jalur informal, yaitu terkait dengan implementasinya nanti dilapangan.
33
Paragraf 1, Pendidikan Diniyah Formal, Pasal 15 PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
34
Paragraf 2, Jenjang Pendidikan, Pasal 23 ayat 1 PMA RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam.
35
Bagian Kesatu, Pendidikan Keagamaan Islam, Pasal 14 PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Penjelasan tentang pendidikan diniyah jalur informal ini hanya dijelaskan pada Peraturan Menteri Agama RI No. 13 Tahun 2014
tentang Pendidikan Keagamaan Islam yang termaktub pada Pasal 52. Dengan demikian, sejak PP RI No. 55 Tahun 2007 diundangkan, baru
pada tahun 2014 ada penjelasan tentang pendidikan diniyah jalur informal dan itu pun hanya dua ayat yang penjelasannya menurut
peneliti kurang jelas. Bunyinya adalah sebagai berikut:
1 Pendidikan diniyah informal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c diselenggarakan oleh masyarakat dalam rangka
meningkatkan pemahaman dan pengalama ajaran agama Islam. 2 Pendidikan diniyah informal sebagaimana dimaksud pada ayat
1 diselenggarakan dalam bentuk kegiatan pendidikan keagamaan Islam di lingkungan keluarga.
36
Ketidakjelasannya adalah terkait dengan bagaimana yang dimaksud dengan pendidikan keagamaan Islam di lingkungan
keluarga. Ketidakjelasan ini akan menimbulkan tafsiran yang berbeda- beda yang lama kelamaan dapat menimbulkan masalah.
c Rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam lebih banyak bersifat regulatif.
Kebijakan yang bersifat regulatif adalah kebijakan yang mengatur dan membatasi. Rumusan regulatif tersebut termaktub pada Pasal 14
ayat 1 s.d 3, Pasal 15, Pasal 16 ayat 1 s.d 3, Pasal 17 ayat 1 s.d 4, Pasal 20 ayat 1 s.d 3, Pasal 21 ayat 1 s.d 3, Pasal 22 ayat 1
s.d 3, Pasal 23 ayat 1 s.d 3, Pasal 24 ayat 1 s.d 6, Pasal 25 ayat 1 s.d 5, dan Pasal 26 ayat 1 s.d 3.
Menurut Prof. Husni Rahim selayaknya peraturan itu jangan hanya membuat aturan sesuatu itu harus begini-begitu, tetapi juga
memberikan kelonggaran. Lebih jelasnya pernyataan Prof. Husni Rahim adalah sebagai berikut:
36
Bagian Keempat, Pendidikan Diniyah Informal, Pasal 52 PMA RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam.
Peraturan harus bersifat memberikan dukungan bukan hanya membuat aturan harus begini-begitu. Aturannya biar saja longgar,
tetapi dukungan yang bagaimana dia pendidikan keagamaan Islam, seperti itu yang seharusnya dilakukan. Banyak yang
membuat aturan begini-begitu malah hanya membuatnya menjadi tidak otonom, seharusnya dia dibiarkan otonom kemudian berikan
fasilitas untuk mendukung keotonomannya itu.
37
Berdasarkan keterangan di atas, maka seharusnya rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam lebih
memberikan kelonggaran kepada penyelenggara agar mereka otonom, bukan mengatur dan membatasi yang membuat gerak mereka tidak
leluasa. d Rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan
Islam juga lebih banyak bersifat memperkuat negara dibandingkan bersifat memperkuat publik.
Rumusan yang bersifat memperkuat negara terdapat tiga pasal dengan enam ayat, sedangkan rumusan yang bersifat memperkuat
publik terdapat tiga pasal dengan tiga ayat. Jadi, rumusan yang bersifat memperkuat negara lebih banyak tiga ayat daripada rumusan yang
bersifat memperkuat publik. Kebijakan publik itu selayaknya menyeimbangkan antara
memperkuat negara dan memperkuat publik. Menurut Riant Nugroho, “Tidak mungkin membangun dengan cara memperkuat civil society di
satu sisi dan melemahkan atau membiarkan lemah negara di sisi lain.”
38
Dia juga menyataka n, “Untuk membangun negara bangsa yang
kuat dan unggul, memerlukan rakyat yang kuat dan negara yang kuat. Tidak ada trade off
di antara keduanya.”
39
Berdasarkan penjelasan di atas, maka seharusnya PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait dengan pendidikan keagamaan Islam memuat
rumusan yang memberikan keseimbangan antara negara dan rakyat
37
Wawancara Pribadi dengan Prof. Husni Rahim, Ciputat, 04 September 2014.
38
Riant Nugroho, op.cit., h. 118.
39
Ibid.
agar terlaksana kebijakan yang unggul, bukan kebijakan yang menimbulkan masalah baru.
3. Apakah rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 memberi harapan? Kebijakan publik dengan ciri memberi harapan adalah kebijakan yang
memberikan harapan kepada warganya bahwa mereka akan lebih baik daripada sebelum kebijakan itu ada.
Abd. Halim Soebahar menyatakan bahwa: Ketika ada keinginan pemerintah untuk membuat Madrasah Diniyah
Negeri, respon masyarakat memang beragam. Tetapi, sebagian besar menyatakan menyambut baik dan meminta pemerintah membuat
percontohan. Ini berarti bahwa visi madrasah negeri adalah visi baru yang dibangun dengan kerangka pikir baru dan boleh jadi tidak
berkaitan dengan Madrasah Diniyah sekarang ini. MDA Al-Kamal Jakarta misalnya, menyambut baik gagasan ini, tetapi tidak dengan cara
melikuidasi
MDA yang
sudah ada,
sekaligus agar dijaga
konsistensinya.
40
Pasal 13 ayat 2 memang menyebutkan bahwa Pemerintah berhak mendirikan pendidikan keagamaan. Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa
akan adanya pendidikan keagamaan negeri yang dikelola pemerintah. Kehadiran pendidikan keagamaan negeri sebagaimana keterangan di atas
menjadi perhatian dan harapan masyarakat. Harapan itu adalah terbentuknya model baru pendidikan keagamaan, bukan menlikuidasi
model pendidikan keagamaan yang telah berkembang. Abd. Halim Soebahar juga menyatakan bahwa diundangkannya PP
RI No. 55 Tahun 2007 memberikan kegembiraan dan harapan baru bagi pendidikan Islam masa depan. Pernyataan lengkapnya adalah sebagai
berikut: Yang lebih menggembirakan dan memunculkan harapan baru bagi
pendidikan Islam adalah diundangkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. PP ini menjadi
acuan operasional penyelenggaraan pendidikan Islam. Materi dan nilai- nilai pendidikan Islam kian menguat, pendidikan keagamaan seperti
pesantren, madrasah diniyah, TPATPQ, dan majelis ta‟lim diakui eksistensinya. Bahkan Madrasah Diniyah, dengan syarat-syaray tertentu
40
Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonansi Guru Sampai UU Sisdiknas, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, Cet.I, h. 87.
disetarakan, sehingga selain mengukuhkan eksistensi pendidikan Islam, juga memberikan harapan pendidikan Islam yang lebih cerah di masa
depan.
41
Pernyataan di atas, jika dilihat rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam memang benar. Rumusan pasal demi
pasal tentang pendidikan keagamaan Islam memberikan legalitas yang lebih kuat terhadap penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam dalam
sistem pendidikan nasional. Penyetaraan pendidikan keagamaan Islam dengan pendidikan umum
oleh pemerintah menjadi harapan bagi pendidikan Islam. Secara umum rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 pada Pasal 11 ayat 1 s.d 3
memberikan penjelasan, sebagai berikut: 1 Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar
dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar SD, Madrasah Ibtidaiyah MI, Sekolah
Menengah Pertama SMP, Madrasah Tsanawiyah MTs, Sekolah Menengah Atas SMA, Madrasah Aliyah MA, Sekolah
Menengah Kejuruan SMK, Madrasah Aliyah Kejuruan MAK, atau bentuk lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan.
2 Hasil pendidikan keagamaan nonformal danatau informal dapat dihargai
sederajat dengan
hasil pendidikan
formal keagamaanumumkejuruan
setelah lulus
ujian yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah danatau pemerintah daerah.
3 Peserta didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal
umumkejuruan dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya.
42
Pasal 16 ayat 1 dan ayat 2 juga memberikan penjelasan tentang kesederajatan pendidikan diniyah formal jenjang dasar dan menengah.
Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1 Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar
sederajat MISD yang terdiri atas 6 enam tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTsSMP yang terdiri atas 3
tiga tingkat.
41
Ibid., h. 186-187.
42
Bab III Pendidikan Keagamaan, Pasal 11 PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
2 Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MASMA yang terdiri atas 3 tiga
tingkat.
43
Paling penting adalah PP RI No. 55 Tahun 2007 telah memberikan harapan bagi masa depan pendidikan Islam untuk lebih baik dibandingkan
sebelum diundangkannya UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP RI No. 55 Tahun 2007. Pada masa lalu
pendidikan keagamaan
Islam secara
kekuatan hukum
lemah. Sebagaimana pernyataan Prof. Husni Rahim sebagai berikut:
Aspek hukum atau legalitasnya pendidikan yang di bawah Kemenag pada masa lalu itu lemah. Pendidikan keagamaan baru diakui pada UU
RI No. 20 Tahun 2003. Pada UU RI No. 4 Tahun 1950 sebagai UU Sisdiknas pertama, pendidikan keagamaan atau madrasah belum
menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, sehingga pendidikan keagamaan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah, maka
pendanaannya tidak ada, bantuan pada gurunya juga tidak ada, kalaupun hanya sekadarnya. Kemudian, karena pendidikan keagamaan
tidak tanggung jawab negara, tidak dapat bantuan dari negara, tidak dapat fasilitas apa pun maka lulusannya kalah bersaing. Lulusan yang
kalah bersaing itu tidak dilirik atau dianggap orang sekadar pelengkap atau tidak utama.
44
Oleh sebab itu lah, rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 sebagai kebijakan turunan yang berfungsi sebagai pelaksana UU RI No. 20 Tahun
2003 yang merupakan undang-undang pertama yang menyeterakan pendidikan keagamaan memberikan harapan kepada pendidikan Islam
untuk lebih baik di masa depan.
Riant Nugroho memberikan alat ukur untuk menilai kualitas kebijakan publik dilihat berdasarakan ciri-ciri kebijakan publik yang ideal. Alat ukurnya
adalah sebagaimana tabel di bawah ini:
43
Bagian Kesatu Pendidikan Keagamaan Islam, Paragraf 1 Pendidikan Diniyah Formal, Pasal 16 PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
44
Wawancara Pribadi dengan Prof. Husni Rahim, Ciputat, 04 September 2014.
Tabel Alat Ukur Kualitas Kebijakan Publik Kebijakan
Cerdas Bijaksana
Harapan Kualitas Kebijakan
Kebijakan A Tidak
Tidak Tidak
Amat Buruk
Kebijakan B Ya
Tidak Tidak
Buruk
Kebijakan C Ya
Ya Tidak
Biasa
Kebijakan D Ya
Ya Ya
Unggul Sumber: Riant Nugroho dalam bukunya Public Policy.
45
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa: Kalau tidak memenuhi semua kriteria, jelas sangat buruk, artinya tidak
layak menjadi sebuah kebijakan, dan kalau perlu dihapus. Kalau hanya satu jenis, kebijakan itu pun masih buruk. Kalau dua kriteria, masuk
kategori kebijakan biasa saja. Selanjutnya, kebijakan yang memenuhi tiga kriteria, adalah kebijakan yang baik dan nilai baik di sini adalah nilai
unggul atau excelleence.
46
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas tentang rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam ditinjau berdasarkan ciri-ciri
kebijakan publik yang ideal, maka jika dibuat dalam tabel kesimpulannya adalah sebagai berikut:
Tabel Kualitas Rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 Kebijakan
Cerdas Bijakasana
Harapan Kualitas
Kebijakan
PP RI No. 55 Tahun 2007
Ya Tidak
Ya Biasa
Maka, berdasarkan tabel di atas rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam kualiatasnya tidak mencapai ideal atau
biasa saja, karena dari tiga ciri kebijakan publik yang ideal hanya dua ciri yang terpenuhi, yaitu cerdas dan memberi harapan.
45
Riant Nugroho, op.cit., h. 747.
46
Ibid.
88