Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam pada Masa Pemerintahan

pengajaran di sekolah agama dan pendidikan masyarakat”. Lalu, pada ayat 2 disebutkan: “Pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama dan pendidikan masyarakat masing-masing ditetapkan dalam undang- undang lain”. Sayangnya, sampai undang-undang ini diganti, undang-undang organik itu tidak kunjung terlaksana. Selanjutnya, penyebutan sekolah agama juga terdapat pada pasal 10 ayat 2 disebutkan: “Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dan Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”. 70 Kebijakan pemerintah untuk madrasah diniyah sebagai bagian dari pendidikan keagamaan Islam adalah Peraturan Menteri Agama No. 13 Tahun 1964. Pada PMA tersebut, madrasah diniyah dibagi dalam tiga jenjang, yakni madrasah diniyah awwaliyahula 4 tahun; madrasah diniyah wustha 3 tahun; dan madrasa h diniyah „ulya 3 tahun. Madrasah yang dibentuk tersebut hampir tidak memiliki efek terhadap kelanjutan studi dan pengembangan profesi lulusan, sehingga hanya sedikit peserta didik yang meminta ijazah formal dari institusi pendidikan ini. 71 Karena, kebijakan tersebut hanya sekadar menjelaskan jenjang madrasah diniyah, bukan menjelaskan kedudukan madrasah diniyah dalam sistem pendidikan nasional.

4. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam pada Masa Pemerintahan

Orde Baru. Lahirnya Orde Baru ditandai dengan lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Pemerintahan Orde Baru bertekad sepenuhnya untuk kembali kepada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni. Pemerintah dan rakyat akan membangun manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, yakni membangun bidang rohani dan jasmani untuk kehidupan yang baik, di dunia dan 70 Abdul Rachman Saleh, op.cit., h. 285-286. 71 Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, Cet. I, h. 74. akhirat sekaligus simultan. Oleh karena itu, Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan. 72 Marwan Saridjo berpandapat bahwa: Pada masa ini ada ide untuk menyatukan pendidikan yang di bawah naungan kementerian pendidikan dengan pendidikan yang di bawah kementerian agama dalam satu atap. Karena, ada anggapan bahwa dua macam lembaga pendidikan persekolahan di bawah dua kementerian yang berlainan bidang statusnya, dapat mengakibatkan adanya dualisme Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 73 Pada tahun 1972, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu pintu, yaitu oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan agama. Keputusan Presiden tersebut diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut. Keppres dan Inpres tersebut mendapatkan tantangan yang sangat keras dari kalangan Islam. Kedua keputusan itu dipandang sebagai langkah untuk mengebiri tugas dan peran Kementerian Agama dan bagian dari upaya sekularisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Melihat reaksi kalangan Islam yang menolak Keputusan Presiden tersebut akhirnya pada sidang kabinet terbatas yang dilaksanakan pada tanggal 26 Oktober 1974, berkaitan dengan hal tersebut Presiden Soeharto memberikan petunjuk sebagai berikut: a karena tujuan pembangunan nasional adalah untuk mencapai kemajuan materiil dan spiritual yang seimbang, maka harus ada keseimbangan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. b pembinaan pendidikan umum adalah tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan pendidikan agama berada di bawah tanggung jawab Menteri Agama. c untuk melaksanakan Keppres No. 34 Tahun 1972 dan Inpres No. 15 Tahun 1974 dengan sebaik-baiknya perlu ada kerja sama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama. 74 72 Zuhairini, op.cit., h. 155. 73 Marwan Saridjo, op.cit., h. 107. 74 Nurhayati Djamasi op.cit., h. 183-184. Tindak lanjut dari hasil sidang kabinet itu dibentuklah sebuah tim yang anggota-anggotanya wakil dari Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, dan lembaga- lembaga terkait untuk merumuskan konsep keputusan bersama yang kemudian dikenal dengan SKB 3 Menteri, yaitu Menteri Agama Mukti Ali, Menteri Dalam Negeri H. Amir Mahmud, dan Menteri Pendidikan dan Kebudyaan H. Syarif Thayeb . Judul SKB itu adalah “Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah”. 75 Berdasarkan SKB 3 Menteri Tahun 1975, Bab I Pasal I, menyebutkan: “Yang dimaksud dengan madrasah dalam Keputusan Bersama ini ialah: Lembaga Pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30, di samping mata pelajaran umum”. 76 Pengertian madrasah yang pada awalnya adalah lembaga pendidikan Islam yang memberikan pengajaran agama Islam 100, setelah SKB tersebut berubah hanya memberikan pengajaran agama Islam 30. SKB 3 Menteri tersebut menjadi pergeseran istilah madrasah menjadi sekolah umum berciri khas Islam. Lembaga jenis itu bukanlah menjadi lembaga pendidikan keagamaan Islam lagi. Karena, pendidkan keagamaan Islam adalah pendidikan yang memberikan pengajaran agama Islam lebih banyak daripada yang umum. Maka, madrasah yang murni memberikan pengajaran agama Islam disebut madrasah diniyah yang merupakan bagian dari pendidikan keagamaan Islam. Tetapi, pada saat itu statusnya hanya sebagai pendidikan non formal atau pelengkap saja. Terkait dengan pesantren, Menteri Agama Mukti Ali tahun 1974 telah mengeluarkan kebijakan mengenai pendidikan keterampilan di pondok pesantren. Kebijakan ini timbul atas kritik beliau terhadap pondok pesantren salafi yang sepenuhnya agama. Mukti Ali menilai hal 75 Marwan Saridjo, op.cit., h. 113. 76 Haidar Putra Daulay, op.cit., h. 101. tersebut terlalu mementingkan kepandaian otak menghafal dan penonjolan keutamaan akhlak tasawuf, tetapi kurang memerhatikan keterampilan tangan sebagai bekal untuk hidup setelah terjun di masyarakat. Menurutnya secara ideal seorang santri harus mampu menyerasikan antara otak head, akhlak heart, dan keterampilan tangan hand. 77 Kebijakan pemerintah tentang pesantren lainnya adalah PMA No. 3 Tahun 1979 yang mengenai pengklasifikasian pondok pesantren menjadi empat tipe, keempat tipe dalam peraturan tersebut bukan keharusan untuk dimiliki pondok pesantren, karena varian pondok pesantren memang sangat beragam. 78 Kebijakan pemerintah tentang pesantren hanya terkait untuk menjelaskan jenis-jenis pesantren, bukan bagaimana status pesantren dalam sistem pendidikan nasional. Sama halnya juga dengan madrasah diniyah. Pada masa Orde Baru lahirlah UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut menjadi undang-undang kedua tentang sistem pendidikan nasional. Menurut Nurhayati Djamas, UU No. 2 Tahun 1989 tersebut merupakan perwujudan dari misi pemerintah dalam rangka mengatur tentang penyelenggaraan madrasah dan pendidikan agama diarahkan pada konvergensi dan pengintegrasian dualisme sistem pendidikan ke dalam satu sistem pendidikan nasional yang menjadi acuan penyelenggaraan seluruh jenis dan jenjang pendidikan. 79 Penyebutan nomenklatur madrasah dan pesantren pada UU No. 2 Tahun 1989 tidak dijumpai, yang diatur adalah ketentuan tentang penyelenggaraan pendidikan keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan menengah pada pasal 15 ayat 2. Pada pasal 2 ayat 6 disebutkan: “Pendidikan Keagamaan merupakan pendidikan yang 77 Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 53. 78 Ibid., h. 46-47. 79 Nurhayati Djamas, op.cit., h. 187.