Gambar 4.1 Spektrum FT-IR scaffold kitosankolagen dengan komposisi campuran yang
berbeda kitosankolagen: a 0100, b 1000, c 5050, dan d KitosankolagenGA
Keempat spektrum menunjukkan bentuk hampir sama, dari gambar terjadi interaksi antara kitosan dan kolagen yang ditandai dengan bergesernya sejumlah puncak.
Untuk spektrum murni kitosan, karakteristik pita absorpsi dari kitosan dapat dilihat pada enam puncak. Vibrasi gugus hidroksil amina bebas muncul masing-masing pada bilangan
gelombang 3439 dan 3300 cm 2080.
-1
, penyerapan pita pada bilangan gelombang 1655, 1560, dan 1381 cm
-1
Dalam spektrum murni kolagen, dapat diamati karakteristik lima pita absorpsi pada bilangan gelombang 3439, 3324 1659, 1550, dan 1274 cm
menunjukkan peregangan C=O, penurunan -NH2, dan peregangan C-O. Derajat deasetilasi DD kitosan, menunjukkan kelompok amina bebas yang ada dalam
struktur kitosan, yang menjadi parameter utama yang merubah sifat fisikokimia seperti kelarutan, konformasi rantai dan sifat elektrostatik. Karena gugus kationik amina, kitosan
menyediakan lingkungan yang sesuai untuk adhesi sel.
-1
. Umumnya, Pita amida I pada bilangan gelombang 1659 cm
-1
berasal dari vibrasi peregangan gugus C=O dan vibrasi menurun N-H. Pita amida II pada bilangan gelombang 1550 cm
-1
timbul dari vibrasi lentur gugus N-H dan vibrasi peregangan C-N. Amida III mewakili kombinasi
puncak antara deformasi N-H dan vibrasi peregangan C-N. Dua pita lainnya, yang timbul dari vibrasi peregangan gugus N-H bebas, medium dengan intensitas lemah, muncul pada
bilangan gelombang 3324 cm
-1
dan vibrasi gugus hidroksil, -OH, muncul pada bilangan gelombang 3440 cm
-1
Spektrum kolagenkitosanGA pada berbagai komposisi pencampuran
menunjukkan karakteristik puncak yang sama. Sebagai contoh, intensitas puncak amida I pada bilangan gelombang 1650 cm
.
-1
mulai menurun secara bertahap ketika meningkatnya proporsi kitosan. Di sisi lain, karakteristik puncak kitosan, seperti ikatan glikosidik,
tampak lebih jelas ketika komposisi kitosan meningkat. Hasil uji FTIR terhadap scaffold kitosankolagenGA menunjukkan tidak ada pita tambahan yang teridentifikasi. Interaksi
antara kitosan dan kolagen terjadi dengan pembentukan ikatan hidrogen. Gugus –OH, - NH
2
dan C=O dalam kolagen mampu membentuk ikatan hidrogen dengan –OH dan – NH
2
dalam kitosan.
4.2 Uji Mikrostruktur
Universitas Sumatera Utara
Struktur scaffold dapat diamati di bawah Scanning Elektron Mikroskopi. Setelah mengalami proses pengeringan, permukaan dan penampang potongan film diamati
menggunakan mikroskop elektron SEM, Model JEOL JSM-651OLA, Cambridge. Semua film uji dilapisi dengan lapisan emas ultra-tipis dan morfologi permukaannya
diamati. Kenampakan scaffold kitosan-kolagen dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Gambar bagian permukaan film scaffold kitosan, kolagen dan
kitosankolagenGA dengan perbesaran 250x. a Scaffold Kitosan dalam asam asetat 1; b Scaffold Kolagen dalam asam asetat 1; c Scaffold KitosanKolagen 1:1;
d Scaffold KitosanKolagenGA. Gambar 4.2 menunjukkan permukaan scaffold yang dibuat berupa struktur non-
pori berupa lembaran film Gambar 4.2 dan Gambar 4.3. Dalam studi ini, teknik solvent casting dan metode pengeringan freeze-drying digunakan untuk mempersiapkan
film karena prosesnya sederhana dan murah. Perbedaan dalam teknik persiapan, menyebabkan perbedaan dalam morfologi scaffold
Gambar 4.2 menunjukkan permukaan scaffold bintik-bintik yang tersebar merata pada film. Hal tersebut mengindikasikan bahwa scaffold memiliki tekstur yang kurang
halus. Bintik-bintik tersebut menunjukkan distribusi kitosan dalam kolagen. Gambar 4.2 d mewakili permukaan scaffold kitosankolagenGA tampak lebih halus dibandingkan
yang mempengaruhi sifat mekanis dari scaffold.
b a
c d
Universitas Sumatera Utara
dengan scaffold tanpa menggunakan GA. Gumpalan kitosan tampak lebih banyak pada permukaan scaffold kitosan dalam asam asetat Gambar 4.2 a.
Ada beberpa faktor yang mempengaruhi struktur morfologi scaffold, yaitu proses pelarutan bahan polimer, kosentrasi pelarut, metode pengadukan, proses pencetakan, laju
proses pembekuan dan pengeringan scaffold Ma et al., 2003; Tangsadthakun et al.,
2006. Konsentrasi asam asetat yang terlalu pekat menyebabkan film tidak dapat terbentuk atau rusak pada saat film kering dilepas dari cetakan data tidak ditunjukkan.
Telah dilakukan pengujian beberapa variasi konsentrasi pelarut agar lapisan film dapat terbentuk dan mudah dilepas dari cetakan. Konsentrasi asam asetat yang digunakan pada
pelarutan polimer adalah sekitar 1-2.
Gambar 4.3
Gambar bagian potongan film scaffold kitosankolagenGA dengan perbesaran a150x, b 400x dan c1000x.
Oleh karena itu, scaffold harus memiliki kekuatan yang memadai agar tidak pecah selama proses implantasi dan mempertahankan integritas selama uji in-vivo dan dalam
pertumbuhan sel in vitro. Namun, harus dipertimbangkan bahwa sifat mekanik termasuk kekuatan tarik dan persentase nilai perpanjangan dari film ini dapat berubah setelah
proses sterilisasi. Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengklarifikasi efek sterilisasi pada sifat
mekanis dari scaffold yang dikembangkan.
c b
a
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.4 Gambar bagian permukaan film scaffold kitosan, kolagen dan
kitosankolagenGA dengan perbesaran 10.000x. a 20:80; b 40:60; c 50:50; d 60:40; e 80:20.
Pada Gambar 4.4a-d dapat dilihat permukaan scaffold yang belum sempurna. Masih kelihatan bagian yang tidak larut dari masing-masing komponen material yang
digunakan. Metode pengadukan dan pencampuran polimer sangat menentukan kondisi permukaan film setelah pencetakan. Gelembung-gelembung udara yang terbentuk juga
terlihat pada Gambar 4.4 a-d. Teknik pencetakan larutan polimer juga mempengaruhi morfologi permukaan film scaffold. Kondisi pengeringan beku dilakukan pada suhu -
40
o
C dan tekanan 105 mtorr selama 24 jam. Struktur pori tidak dapat terbentuk pada
b a
d c
e
Universitas Sumatera Utara
scaffold. Hal ini disebabkan tidak adanya variasi suhu pada saat proses pembekuan. Morfologi pori dapat dibentuk dengan memvariasikan suhu pembekuan selama proses
pengeringan scaffold S.V Madihally, 1996. Penambahan GA pada scaffold tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap permukaan scaffold yang tidak diolah
dengan GA Gambar 4.2c dan 4.2d Dari hasil penelitian Faikrua 2009, dijelaskan bahwa kekuatan scaffold non-
berpori sangat tinggi tetapi sifat fleksibilitas bahan umumnya rendah. Sebaliknya, scaffold yang berpori umumnya memiliki kekuatan rendah dan sifat elongasi rendah sebagai
fungsi orientasi pori dan interkoneksi.
4.2 Uji Termal Sifat termal scaffold dapat dipelajari menggunakan analisis thermogravimetri