BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Rekayasa jaringan adalah bidang interdisipliner yang menerapkan prinsip-prinsip teknik dan ilmu biologi dalam rangka untuk membuat suku cadang hidup bagi tubuh.
Pendekatan yang paling umum untuk rekayasa jaringan adalah penggunaan scaffold penyangga yang mampu menstimulasi pertumbuhan struktur seluler buatan, proliferasi
dan diferensiasi seluler. Scaffold adalah matriks atau struktur buatan yang diperlukan untuk infiltrasi sel dan pendukung fisik sel yang mengarah kepada proliferasi dan
diferensiasi sel kedalam jaringan fungsional atau organ manusia Robert et al ., 2000 dan
Ma et al., 2006.
2.1 Scaffold Penyangga
Sel sering ditanamkan atau disemai dalam sebuah struktur buatan yang mampu menyangga bentuk jaringan tiga-dimensi, yang biasanya disebut scaffold. Scaffold
bersifat sensitif, baik ex vivo maupun in vivo. Scaffold biasanya digunakan setidaknya untuk satu tujuan berikut:
1. Untuk melekatkan dan migrasi sel 2. Menyampaikan dan mempertahankan sel-sel dari faktor biokimia
3. Mengaktifkan difusi nutrisi sel-sel vital dan menghasilkan produk 4. Mengerahkan pengaruh mekanis dan biologis tertentu untuk memodifikasi perilaku
fase sel.
Gambar 2.1. Contoh-contoh scaffold sintetis yang telah dipasarkan.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai penyangga, scaffold harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu, untuk dapat digunakan dalam rekonstruksi jaringan. Sifat porositas tinggi dan ukuran pori yang
memadai, diperlukan untuk memfasilitasi penyemaian sel dan difusi nutrisi sepanjang seluruh struktur dari sel. Sifat biodegradasinya sering merupakan faktor penting karena
scaffold sebaiknya diserap oleh jaringan sekitarnya, tanpa perlunya operasi pengangkatan. Tingkat dimana terjadi degradasi harus bertepatan sebanyak mungkin
dengan tingkat pembentukan jaringan: ini berarti bahwa pada saat sel dibuat, struktur matriks alami sel ada di sekeliling sel. Scaffold mampu menyediakan integritas struktural
dalam tubuh dan akhirnya akan pecah meninggalkan neotissue, yaitu jaringan yang baru terbentuk, yang akan mengambil alih beban mekanik Robert et al
2.2 Material Scaffold
., 2000.
Scaffold yang baik memiliki kriteria sebagai berikut: tingkat porositas yang tinggi, memiliki ukuran pori yang cukup untuk memungkinkan difusi nutrisi dan sel pada
keseluruhan struktur, dan sifat mudah untuk diurai, merupakan hal penting karena penyangga ini diharapkan dapat diserap oleh jaringan tanpa pembedahan. Diharapkan saat
sel membentuk matriks pengikat, penyangga dapat memberi dukungan sruktural dan setelah jaringan terbentuk barulah terurai
Banyak material yang telah dicoba, dan banyak yang telah dipakai dalam bidang kedokteran, salah satunya seperti benang jahit luka, yang umumnya berupa kolagen atau
polyester alifatik. Material scaffold ada yang bersumber dari bahan-bahan sintetik, ada yang berasal dari bahan-bahan alam. Sebagian besar bahan-bahan ini telah dikenal di
bidang medis sebelum munculnya teknik jaringan sebagai topik penelitian. Biomaterial baru telah direkayasa untuk memiliki sifat yang ideal dan kustomisasi fungsional, seperti:
injectability, pembuatan sintetis, biokompatibilitas, non-imunogenisitas, transparansi, skala nano serat, konsentrasi rendah, tingkat resorpsi, dan lain-lain
Ma et al., 2003; Tangsadthakun et al., 2006; Tsai et al., 2007; dan Fernandes et al., 2011.
Ma et al., 2003 Bahan sintetis yang umum digunakan adalah seperti polylactic acid PLA, yaitu
merupakan bahan poliester yang dapat merusak tubuh manusia, dengan membentuk asam laktat, yaitu bahan kimia alami yang mudah dikeluarkan dari tubuh. Bahan serupa asam
polyglycolic PGA dan polikaprolakton PCL, yang memiliki mekanisme degradasi bahan sama dengan PLA, tetapi bahan-bahan ini masing-masing menunjukkan tingkat
degradasi lebih lambat dibandingkan dengan PLA Chen, et al,. 2002 .
Universitas Sumatera Utara
Scaffold juga dapat dibangun dari bahan-bahan alami, yaitu turunan yang berbeda dari matriks ekstraseluler, yang telah dipelajari untuk mengevaluasi kemampuan mereka
untuk mendukung pertumbuhan sel. Bahan proteic, seperti kolagen atau fibrin, dan bahan polysaccharidic, seperti kitosan dan glycosaminoglycans GAG, yang terbukti
cocok dengan sifat kompatibilitas sel, tetapi bermasalah dengan potensi imunogenisitas. Bentuk lain dari scaffold yang sedang diselidiki adalah ekstrak jaringan decellularised,
dimana sisa-sisa yang tersisa selularmatriks ekstraseluler bertindak sebagai scaffold Robert et al
., 2000.
2.2.1 Kitosan
Meningkatnya permintaan kitosan dipicu fakta keunikan karakteristik biologisnya seperti biodegradabilitas, biokompabilitas, dan tidak beracun, sehingga memungkinkan
aplikasi di berbagai bidang. Meskipun sangat berlimpah di alam, namun pemanfaatan kitosan baru berkembang pada dua dekade terakhir. Kini kitosan banyak digunakan di
bidang pangan, farmasi, medis, tekstil, pertanian, dan industri lain, misalnya untuk purifikasi limbah.
Gambar 2.2. Kitosan berbentuk serpihan berwarna putih kekuning-kuningan.
Pada Gambar 2.2, dapat dilihat rumus bangun kitin, kitosan, dan selulosa, struktur kitin murni mengandung gugus asetamido NH-COCH
3
, kitosan murni mengandung gugus amino NH
2
sedangkan selulosa mengandung gugus hidroksida OH. Perbedaan gugus ini akan mempengaruhi sifat-sifat kimia kitin, kitosan, dan selulosa. Sebenarnya
kitin dan kitosan yang diproduksi secara komersial memiliki kedua gugus asetamido dan gugus amino pada rantai polimernya, dengan beragam komposisi gugus tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Struktur Kitin, Kitosan, dan Selulosa Muzzarelli, 2009. Kitin dan kitosan memiliki sifat-sifat kationik, biologi dan sifat kimia, sifat-sifat
tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Sifat kationik: a. Linear polielektrolit pada pH asam, mempunyai muatan listrik yang relatif tinggi
dimana satu muatan charge per glucosamine unit. b. Jumlah muatan positip bereaksi sangat kuat dengan permukaan negatif dari
material memberikan kondisi netral. Melalui jumlah positif charge -NH
3 +
c. Untuk melarutkan kitosan dibutuhkan asam untuk merubah –NH group,
kitosan dapat berinteraksi dengan muatan negatif dari serat.
2
group tidak larut menjadi NH
3 +
d. Flokulan yang baik: gugus NH yang larut dalam air. Asam yang banyak digunakan adalah
asam asetat dengan jumlah 1-4 wv tergantung banyak polimer yang digunakan.
3 +
e. Mengikat ion-ion logam Fe,Cu, Cd, Hg, Pb, Cr, Ni, Pu, dan U. berinteraksi dengan muatan negatif dari koloid.
f. Sifat hidrolisa kitosan: struktur kimia kitosan sangat analog dengan selulosa dimana gugus hidroksil pada carbon atom C-2 digantikan dengan amino group
pada kitosan, akibatnya kitosan larut dalam suasana asam pH 3-4. g. Sifat larutan kitosan, dalam bentuk amina bebas kitosan tida larut dalam air pada
pH netral. Pada pH asam pH 3-4, amino yang bebas -NH
2
terprotonasi
Universitas Sumatera Utara
membentuk amino grup dengan muatan kationik -NH
3 +
2. Sifat biologi:
. Kelarutannya dicapai pada pH lebih rendah dari 5,5.
a. Dapat terdegradasi secara alami b. Polimer alami
c. Nontoksik 3.
Sifat Kimia: a. Linear poliamin poli D-glukosamin yang memiliki gugus amino yang baik
untuk reaksi kimia dan pembentukan garam dengan asam. b. Gugus amino yang reaktif
c. Gugus hidroksil yang reaktif C3-OH, C6-OH yang dapat membentuk senyawa turunannya.
Berat molekul kitosan rata-rata 10
5
-10
6
, menurut Muzarelli kitosan dengan berat molekul 120.000 dapat diamati dengan Light Scattering Technique LST. Hackman dan
Goldberg menggambarkan kitin mempunyai BM rata-rata 1.036.000 dan derajat polimerisasi rata-rata 5.206. Beberapa metode yang digunakan untuk mengukur BM
kitosan yaitu: osmotic pressure measurements, end groups analysis, gel permeation chromatography dan steric exclusion chromatography serta yang banyak digunakan
adalah solution viscosity measurements Muzzarelli, 2009; Jayakumar, et al., 2010.
2.2.2 Kitosan Untuk Rekayasa Jaringan Kulit
Jaringan lunak soft tissue seperti hati, paru-paru, otot, kulit, saraf, pembuluh darah, kornea, vagina, katup jantung, trakea, dan jaringan adipose memiliki peran
fungsional penting dalam tubuh. Berbagai scaffold polimer telah diteliti untuk meregenerasi jaringan lunak. Diantara polimer yang digunakan untuk persiapan scaffold
jaringan lunak, adalah kitosan yang diperoleh dari deasetilasi kitin, berasal dari kulit golongan krustacea, menarik perhatian lebih karena sifat yang menguntungkan seperti
bioadhesiviti, biodegradasi dan biokompatibilitas. Selain itu, kitosan juga memiliki sifat bioaktif seperti hemostatis, menyembuhkan luka, antimikroba, dan lain-lain. Kesamaan
struktural dengan komponen matriks ekstraseluler, kitosan menghasilkan stimulasi dari ikutan, proliferasi dan kelangsungan hidup jaringan sel. Penggunaan kitosan untuk
scaffold dibuat dengan berbagai bentuk seperti sistim film, spons, gel, partikulat dan lain- lain. Selain itu, kitosan dapat dimodifikasi secara kimia dan enzimatis yang
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan peningkatan sifat dari scaffold. Derajat deasetilasi DD kitosan, menunjukkan kelompok amina bebas yang ada dalam struktur kitosan, yang menjadi
parameter utama yang merubah sifat fisikokimia seperti kelarutan, konformasi rantai dan sifat elektrostatik. Karena gugus kationik amina, kitosan menyediakan lingkungan yang
sesuai untuk adhesi sel. Degradasi produk kitosan seperti sakarida dan glucosamines, yang sudah ada dalam metabolisme mamalia, dan senyawa ini dapat mengaktifkan
makrophage yang memiliki reseptor untuk N-asetil-D-glukosamin dan mannose Muzzarelli, 2009; dan Jayakumar, et al., 2010. Harry, A, 2006, melaporkan bahwa pada
kitosan yang dilakukan ikatan silang dengan glutaraldehide menunjukkan gel glutaraldehide kitosan berupa membran lapisan film tipis. Cross-linking scaffold
berbasis kitosan merupakan metode yang efektif untuk memodifikasi tingkat biodegradasi dan untuk mengoptimalkan sifat mekanik Ma et al., 2003, Tsai et al., 2007. Oleh
karena itu, pengolahan dengan metode kimia masih diperlukan pada hampir semua kasus. Penggunaan glutaraldehida, GA C
5
H
8
O
2
sebagai reagen ikat-silang bifungsional yang dapat menjadi penghubung dua gugus rantai amino polipeptida yang berdekatan, menjadi
pilihan utama dalam teknik jaringan kulit, karena kelarutannya dalam air, efisiensi cross- linking yang tinggi dan biaya rendah. Selain itu glutaraldehid bersifat larut dalam air,
alkohol dan benzene. Sebagai bahan ikat silang, desinfectan, penyamakan kulit dan penstabil bakteri dan virus Ma et al., 2003
.
Gambar 2.4 Skematik kolagen cross-linked dengan glutaraldehid dalam kitosan
2.2.3 Kolagen
Ma, et al., 2003
Kolagen C
102
H
149
N
31
O
38
adalah salah satu protein yang menyusun tubuh manusia, keberadaannya adalah kurang lebih mencapai 30 dari seluruh protein yang
terdapat di tubuh. Merupakan struktur organik pembangun tulang, gigi, sendi, otot, dan
Universitas Sumatera Utara
kulit. Serat kolagen memiliki daya tahan yang kuat terhadap tekanan. Kolagen memiliki struktur primer Glicin-X-Hidroxiprolin atau Glicin-Prolin-X. Rantai polipeptida-nya
disintesa dalam ribosom yang ada di sekitar retikulum endoplasma. Sebagai struktur tertier-nya berupa triple helix, artinya tiga rantai polipeptid spiral left handed helix.
Ketiga molekul helix-nya dihubungkan satu sama lain dengan ikatan hidrogen seperti pada
α helix DNA. Kolagen biasanya di sintesa oleh sel fibroblast, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Intrasellular, berada dalam organel ribosom di sekitar retikulum endoplasma dari ribosom.
2. Ekstrasellular, yang terjadi dalam intersellular atau ekstrasellular adalah eliminasi dari N- dan C-terminal. Kemudian eliminasi gugus N dari rantai molekul lisina secara
oxidativ. Akibatnya grup aldehid dari kollagen monomer disatukan menjadi kolagen fibrillar.
Kolagen saat ini telah ditemukan dan dibagi menjadi 28 kelas, yatu:
•
Kolagen fibrillar, yaitu kolagen tipe I, II, III, V, dan XI.
•
Kolagen yang membentuk jaringan, yaitu kolagen Tipe IV Lamina densa dari dasar membran Hemidesmosom, VIII dan X.
•
Kolagen yang fibrillar terasosiasi FACIT, yaitu kollagn tipe IX, XII, XIV, dan XXII.
•
Kolagen berbentuk rangkaian mutiara, yaitu kolagen tipe VI.
•
Verankerungsfibrillen, yaitu kolagen tipe VII. Kolagen dengan domain transmembran, yaitu kolagen tipe XIII, XVII, XXIII, dan XXV
www.wikipedia.kolagen, 2013.
2.2.4 Kolagen Untuk Skin Tissue Engineering
Scaffold yang terbuat dari kolagen telah digunakan dalam berbagai aplikasi karena banyak kelebihannya, seperti efek hemostatik, antigenisitas rendah, dan sifat mekanik
yang baik untuk digunakan dalam aplikasi rekayasa jaringan lunak. Selain itu, kolagen scaffold telah diteliti untuk menghasilkan sel dan pertumbuhan jaringan tambahan.
Kolagen mengandung residu dasar, seperti lisin dan arginin, dan sisi spesifik adhesi sel seperti grup arginine-glycine-aspartat RGD. Kelompok RGD aktif menginduksi adhesi
selular dengan mengikat reseptor integrin, dan interaksi ini memainkan peran penting dalam pertumbuhan sel, dan dalam diferensiasi dan regulasi keseluruhan fungsi sel.
Kolagen dikenal sebagai material yang paling menjanjikan dalam aplikasi teknik jaringan
Universitas Sumatera Utara
dengan sifat biokompatibilitas dan biodegradasi yang sangat baik. Namun, biodegradasi yang cepat dan kekuatan mekanik yang rendah adalah masalah yang membatasi lebih
lanjut menggunakan bahan ini. Untuk alasan ini, digunakan campuran dari biodegradabel polimer untuk menghasilkan scaffold Gaspar, et al., 2008.
Distribusi, biosintesis dan struktur molekul kolagen pada semua jaringan ikat menjadikannya salah satu biomolekul yang paling banyak dipelajari dari matriks
ekstraseluler ECM. Jenis protein berserat merupakan komponen utama dari kulit dan tulang dan mewakili sekitar 25 dari berat kering total mamalia. Kolagen dari jenis
berbeda telah ditandai dan semua menampilkan struktur heliks tiga yang khas. Kolagen tipe I, II, III, V dan XI dikenal untuk membentuk serat kolagen. Molekul kolagen terdiri
dari tiga rant ai α yang berkumpul bersama karena struktur molekul mereka. Setiap rantai
α terdiri dari lebih dari seribu asam amino berdasarkan urutan -Gly-X-Y-. Kehadiran glisin sangat penting disetiap ketiga posisi asam amino untuk memungkinkan kemasan
yang kuat dari tiga rantai α pada molekul tropocollagen dan posisi X dan Y adalah
sebagian besar diisi oleh prolin dan 4-hydroxyproline Gaspar, et al., 2008. Ada sekitar dua puluh lima konformasi rantai α yang berbeda, masing-masing
dihasilkan oleh gen mereka yang unik. Kombinasi rantai ini, di set tiga, berkumpul untuk membentuk dua puluh sembilan jenis kolagen yang dikenal saat ini. Meskipun banyak
jenis kolagen telah dijelaskan, hanya beberapa jenis yang digunakan untuk menghasilkan biomaterial collagenbased. Kolagen tipe I saat ini merupakan standar emas dalam bidang
jaringan-rekayasa. Fibroblast bertanggung jawab untuk sebagian besar produksi kolagen dalam jaringan ikat. Kolagen pro-
α rantai mRNA disintesis dari dalam retikulum endoplasma kasar dan kemudian dipindahkan ke aparatus Golgi sel. Selama transfer ini,
beberapa prolines dan lysines residu dihidroksilasi oleh enzim oxydase lysyl. Spesifik Lysines glikosilasi dan kemudian pro-
rantai α merakit diri ke dalam prokolagen sebelum enkapsulasi dalam vesikel ekskretoris. Fibril kolagen pembentuk yang paling umum
digunakan dalam produksi kolagen berbasis biomaterial. Kolagen tipe I hadir dalam fasciae, dermis dan tendon dan merupakan komponen utama dari jaringan parut. Dari 20
jenis kolagen, kolagen I, II, III, V dan XI berkumpul menjadi fibril. Kolagen membentuk jaringan lainnya, misalnya kolagen IV, komponen utama dari membran. Kolagen juga
dapat membentuk transmembran protein, struktur manik-manik atau mengaitkan dengan fibril permukaan. Kolagen telah digunakan untuk beberapa waktu sebagai desain
pengganti kulit, dan baru-baru ini telah digunakan untuk membuat model endothelialized,
Universitas Sumatera Utara
direkonstruksi dermis yang mempromosikan pembentukan kapiler manusia seperti jaringan secara spontan. Butler dan Orgill 2005, menggambarkan teknik jaringan yang
menggabungkan autologus keratinosit terpilah dan, acellular kolagen-glikosaminoglikan matriks yang sangat berpori yang telah ditunjukkan dalam model babi untuk regenerasi
dermis dan epidermis in vivo. Teknologi pengganti kulit tersebut merupakan aplikasi berguna bila dibuktikan secara klinis Gaspar, et al., 2008; dan Bareil, et al., 2010.
2.3 Sintesis Scaffold
Sejumlah metode yang berbeda telah dijelaskan pada literatur untuk pengolahan scaffold struktur berpori dalam teknik jaringan. Masing-masing teknik menyajikan
keuntungan dan kelemahan sendiri, yaitu: a. Nanofiber Self-Assembly: molekul self-assembly adalah salah satu dari beberapa
metode untuk membuat biomaterial dengan sifat yang sama untuk matriks alami ekstraselular vivo ECM. Selain itu, scaffold hidrogel telah menunjukkan keunggulan
di dalam toksikologi in vivo dan biokompatibilitas dibandingkan dengan macroscaffold tradisional dan bahan yang berasal dari hewan.
b. Tekstil teknologi: teknik ini meliputi semua pendekatan yang telah berhasil digunakan untuk persiapan non-woven mesh dari polimer yang berbeda. Secara khusus, non-
woven struktur polyglycolide telah diuji untuk aplikasi teknik jaringan. Struktur berserat telah ditemukan berguna untuk menumbuhkan berbagai jenis sel.
Kekurangannya adalah terkait dengan kesulitan dalam memperoleh porositas tinggi dan ukuran pori yang teratur.
c. Solvent casting Partikulate Leaching SCPL: metode ini memungkinkan untuk persiapan struktur berpori dengan porositas biasa, tapi dengan ketebalan yang
terbatas. Pertama, polimer dilarutkan dalam pelarut organik yang cocok misalnya asam polylactic bisa dilarutkan dalam diklorometana, maka larutannya dituang ke
dalam cetakan yang diisi dengan partikel porogen. Porogen tersebut dapat menjadi garam anorganik seperti natrium klorida, kristal sakarosa, gelatin atau parafin granul.
Ukuran partikel porogen akan mempengaruhi ukuran pori-pori scaffold, sedangkan polimer untuk rasio porogen secara langsung berkorelasi dengan jumlah porositas
struktur akhir. Setelah larutan polimer dituangkan pelarut diuapkan, maka struktur komposit dalam cetakan direndam dalam bak cairan yang cocok untuk melarutkan
porogen, seperti air dalam natrium klorida, sakarosa dan gelatin atau seperti pelarut
Universitas Sumatera Utara
alifatik heksan untuk digunakan dengan parafin. Setelah porogen sepenuhnya dilarutkan, struktur berpori diperoleh, selain rentang ketebalan kecil yang dapat
diperoleh, kelemahan dari SCPL terletak dalam penggunaan pelarut organik yang harus sepenuhnya dihilangkan untuk menghindari kemungkinan kerusakan pada sel-
sel tertentu pada scaffold. d. Gas Foaming: untuk mengatasi kebutuhan menggunakan pelarut organik dan
porogens padat, teknik penggunaan gas sebagai porogen telah dikembangkan. Pertama, struktur berbentuk cakram yang terbuat dari polimer yang diinginkan
disusun dengan cara pencetakan kompresi menggunakan cetakan yang dipanaskan. Cakram kemudian ditempatkan dalam ruang dimana ditempatkan dalam CO
2
e. EmulsifikasiFreeze-drying: teknik ini tidak memerlukan penggunaan porogen padat seperti SCPL. Pertama, polimer sintetik dilarutkan ke dalam pelarut air yang sesuai
asam polylactic dalam diklorometana misalnya, kemudian ditambahkan ke dalam larutan polimer dan dua cairan dicampur untuk memperoleh emulsi. Sebelum tahap
pemisahan, emulsi dituangkan ke dalam cetakan dan pembekuan cepat dengan cara pencelupan ke dalam nitrogen cair. Emulsi beku kemudian di freeze-drying untuk
menghilangkan air yang tersebar dan pelarut, sehingga meninggalkan struktur, dan pemadatan polimer berpori. Sementara metode emulsifikasi dan freeze-drying lebih
cepat bila dibandingkan dengan SCPL karena tidak memerlukan langkah pencucian yang memakan waktu, masih membutuhkan penggunaan pelarut. Selain itu, ukuran
pori-pori relatif kecil dan porositas sering tidak teratur. Pengeringan beku dengan sendirinya juga merupakan teknik yang umum digunakan untuk pembuatan scaffold.
Secara khusus, digunakan untuk mempersiapkan spons kolagen, dimana kolagen dilarutkan dalam larutan asam asam asetat atau asam klorida yang dituangkan ke
dalam cetakan, dibekukan dengan nitrogen cair dan kemudian di-lyophilized. bertekanan tinggi selama beberapa hari. Tekanan di dalam ruangan secara bertahap
dikembalikan ke tingkat atmosfer. Selama prosedur ini pori-pori yang dibentuk oleh molekul karbon dioksida yang meninggalkan polimer, menghasilkan struktur seperti
spons. Masalah utama yang dihasilkan dari teknik tersebut disebabkan oleh panas yang berlebihan digunakan selama pencetakan kompresi yang menghindari
penggabungan dari bahan apapun ke dalam matriks polimer pada suhu yang labil dan kenyataannya pori-pori tidak membentuk struktur saling berhubungan.
f. Thermally Induced Phase Separation TIPS: sama dengan teknik sebelumnya,
Universitas Sumatera Utara
prosedur pemisahan fasa memerlukan penggunaan pelarut dengan titik leleh rendah yang mudah luruh. Misalnya dioksan dapat digunakan untuk melarutkan asam
polylactic, maka pemisahan fasa diinduksi melalui penambahan sejumlah kecil air: polimer yang kaya dan fase polimer-kurang terbentuk. Setelah pendinginan di bawah
titik leleh pelarut dan beberapa hari vakum-pengeringan untuk pelarut luruh, scaffold berpori diperoleh. Pemisahan fasa cair-cair menunjukkan kelemahan yang sama
dengan proses emulsifikasipengeringan beku. g. Electrospinning: sebuah teknik serbaguna yang dapat digunakan untuk menghasilkan
serat-serat kontinu dari submikron untuk diameter nanometer. Dalam electrospinning, larutan diumpankan melalui alat labu pemintal dan tegangan tinggi diterapkan pada
akhir. Penumpukan tolakan elektrostatik dalam larutan, menyebabkan mengeluarkan aliran fibrosa tipis. Sebuah pelat kolektor dipasang atau batang dengan muatan yang
berlawanan atau didasarkan atas menarik serat secara terus menerus, yang membentuk jaringan yang sangat berpori. Keuntungan utama dari teknik ini adalah kesederhanaan
dan kemudahan variasi. Pada tingkat laboratorium, electrospinning membutuhkan listrik tegangan tinggi sampai dengan 30 kV, jarum suntik, jarum ujung datar dan
kolektor. Modifikasi variabel seperti jarak terhadap kolektor, besarnya tegangan yang diberikan, atau aliran larutan, peneliti dapat mengubah arsitektur scaffold secara
keseluruhan. h. CADCAM Teknologi: karena sebagian besar teknik di atas terbatas kontrol porositas
dan ukuran pori, dengan bantuan desain komputer dan teknik manufaktur telah diperkenalkan untuk teknik jaringan. Pertama, struktur tiga-dimensi ini dirancang
dengan menggunakan perangkat lunak CAD, selanjutnya scaffold dibentuk dengan menggunakan jet tinta cetak dari polimer serbuk atau melalui pemodelan fused
deposition dari lelehan polimer Sachlos, 2003, Chen, G, 2003, dan Dhandayuthapani, 2011.
2.4 Kultur Jaringan Tissue Culture