Transfer Keuangan Pusat Ke Daerah

Dalam perkembangannya UU 22 Tahun 1999 direvisi dengan ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004 yang merupakan penyempurnaan dari UU Otonomi Daerah sebelumnya. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Provinsi melalui Gubernur diberikan tugas dan wewenang lebih besar dari UU sebelumnya. Tugas dan wewenang itu mencakup: 1 Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah kabupatenkota, 2 Koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintahan di daerah provinsi dan kabupatenkota, dan 3 Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupatenkota. Sedangkan UU No 25 tahun 1999 yang direvisi dengan UU No. 33 Tahun 2004 secara umum tidak jauh berbeda dengan UU sebelumnya dalam pengatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah

2.3.2. Transfer Keuangan Pusat Ke Daerah

Sistem transfer di Indonesia yang dipakai saat ini adalah hasil evolusi sepanjang kurun waktu 50 tahun dimulai tahun 1945. Sistem transfer ini mempunyai arti yang sangat penting karena pengeluaran Pemerintahan Daerah sebahagian besar sekitar dua pertiganya dibiayai dari transfer yang diberikan oleh pusat. Dalam perkembangannya, sistem alokasi di Indonesia menjadi komplek karena setiap jenis bantuan yang ada sebenarnya merupakan respon fiskal yang sifatnya pragmatis terhadap tekanan yang muncul. Berbagai literatur ilmu ekonomi publik dan keuangan negara menyebutkan beberapa alasan perlunya dilakukan tranfer pusat ke daerah. Pertama, untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal. Di banyak negara pemerintah pusat menguasai sebahagian besar sumber-sumber penerimaan pajak utama negara yang bersangkutan. Jadi, pemerintahan daerah hanya menguasai sebahagian kecil sumber-sumber penerimaan negara, atau hanya berwewenang untuk memungut pajak-pajak yang basis pajaknya bersifat lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaan daerah relatif kurang signifikan. Kekurangan sumber penerimaan daerah relatif terhadap kewajibannya ini akan menyebabkan dibutuhkannya transfer dana dari pemerintahan pusat. Kedua, untuk mengatasi persoalan ketimbangan fiskal horizontal. Pengalaman empirik di berbagai negara menunjukan bahwa kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sangat bervariasi, tergantung kepada kondisi daerah yang bersangkutan yang memiliki sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan ekonominya yang tinggi atau rendah. Ini semua berimplikasi kepada besarnya basis pajak di daerah-daerah bersangkutan. Di sisi lain, daerah-daerah juga sangat bervariasi dilihat dari kebutuhan belanja untuk berbagai fungsi dan pelayanan publik. Ada daerah-daerah dengan penduduk miskin, penduduk lanjut usia, dan anak-anak serta remaja yang tinggi proporsinya. Ada pula daerah-daerah yang berbentuk kepulauan luas, di mana sarana-prasarana tranportasi dan infratruktur lainnya masih belum memadai. Sementara di lain pihak ada daerah-daerah dengan jumlah penduduk tidak terlalu besar namun sarana dan prasarananya sudah lengkap. Ini memcerminkan tinggi rendahnya kebutuhan fiskal fiscal need dari daerah-daerah bersangkutan. Membandingkan kebutuhan fiskal ini dengan kapasitas fiskal fiscal capacity tersebut diatas, maka dapat dihitung kesenjangan atau celah fiskal fiscal gap dari masing-masing daerah, yang sejogyanya ditutupi oleh transfer dari pemerintahan pusat Ketiga, terkait dengan butir kedua di atas, argumen lain yang menambahkan pentingnya transfer dari pusat dalam konteks ini adalah kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah. Simanjuntak, 2002 Secara umum, terdapat tiga jenis transfer di Indonesia, yaitu subsidi bertujuan untuk mencukupi kebutuhan rutin terutama gaji, bantuan bertujuan untuk memberikan bantuan pembangunan, baik yang bersifat umum maupun khusus, dan DIP Daftar Isian Proyek. Kedua jenis pertama dapat dikategorikan sebagai bantuan antar tingkat pemerintahan intergovermental grants sebab menjadi bagian dari anggaran pemerintahan daerah. Sementara DIP diklasifikasikan sebagai ’in-kind allocation’ sebab walaupun dana mengalir ke daerah, namun tidak termasuk ke dalam anggaran Pemerintahan Daerah Mahi dan Adriansyah, 2002 Pada era otonomi daerah transfer pusat ke daerah di indonesia berupa dana perimbangan yang terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum DAU, dan dana alokasi khusus DAK. Untuk menghitung berapa besar transfer pusat ke daerah dihitung dengan metode celah fiskal dengan melihat kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal. Sehingga besarnya transfer pusat di daerah dilihat dari perbandingan kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal. Untuk melihat potensi daerah dilihat dari variabel-varaibel berikut ini: 1. PDRB sektor sumber daya alam primer Sektor yang termasuk dalam sumber daya alam ini adalah sektor yang diatur dalam UU No. 25 tahun 1999 untuk dibagi hasilkan ke daerah, yaitu: Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Minyak dan Gas Bumi. Variabel ini dipergunakan untuk memperlihatkan perbedaan potensi daerah kaya dengan miskin sumber daya alam. 2. PDRB sektor industri dan jasa lainnya non primer PDRB yang termasuk di dalamnya adalah sektor-sektor yang tidak termasuk ke sektor SDA. Variabel ini diperlukan untuk menunjukan potensi penerimaan suatu daerah dari sumber-sumber yang berasal bukan dari bagi hasil SDA, seperti PAD maupun bagi hasil PBB. 3. Besarnya angkatan kerja Variabel ini untuk menunjukan perbedaan potensi daerah atas sumber manusianya. Suatu daerah yang memiliki sumberdaya manusia yang besar secara relatif akan mimiliki potensi penerimaan yang lebih baik, misalnya potensi penerimaan bagi hasil PPh perorangan dan juga PAD. Sedangkan untuk melihat kebutuhan daerah dilihat dari variabel-variabel berikut : 1. Jumlah penduduk Besarnya penduduk suatu daerah mencerminkan kebutuhan pelayanan yang diperlukan. 2. Luas wilayah Daerah dengan penduduk yang tidak padat, tetapi dengan memiliki cakupan wilayah yang luas membutuhkan pembiayaan yang besar. 3. Indeks harga bangunan Indeks harga bangunan merupakan pencerminan dari kondisi geografis suatu daerah. Makin sulit kondisi geografis suatu negara, maka diperlukan pembiayaan yang lebih besar. Biaya konstruksi akan lebih mahal pada daerah pegunungan maupun daerah terpencil. Oleh karena itu, biaya pelayanan pada daerah dengan kondisi geografisnya yang sulit semacam ini cenderung lebih mahal. 4. Jumlah penduduk miskin Target pelayanan adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dengan demikian, makin banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, makin besar kebutuhan pembiayaan suatu daerah Brodjonegoro dan Pakpahan, 2002

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu