Indeks harga bangunan merupakan pencerminan dari kondisi geografis suatu daerah. Makin sulit kondisi geografis suatu negara, maka diperlukan
pembiayaan yang lebih besar. Biaya konstruksi akan lebih mahal pada daerah pegunungan maupun daerah terpencil. Oleh karena itu, biaya pelayanan pada
daerah dengan kondisi geografisnya yang sulit semacam ini cenderung lebih mahal.
4. Jumlah penduduk miskin Target pelayanan adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dengan
demikian, makin banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, makin besar kebutuhan pembiayaan suatu daerah Brodjonegoro dan
Pakpahan, 2002
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Sutomo 1995 melakukan penelitian dengan menggunakan analisis sistem neraca sosial ekonomi menemukan salah satu penyebab kemiskinan
rumahtangga yang spesifik di Provinsi Riau adalah karena adanya kegagalan kelembagaan yang tercermin oleh kebocoran regional. Hal ini menunjukkan
bahwa output atau produksi yang dihasilkan oleh berbagai sektor ekonomi produksi di provinsi tersebut tidak dapat sepenuhnya dinikmati oleh penduduk
disana. Hal tersebut terjadi karena adanya kegagalan kebijakan policy failure dalam mengalokasikan nilai tambah atau penduduk atau masyarakat di provinsi
tersebut. Karena kegagalan ini, maka nilai tambah yang dihasilkan oleh Provinsi Riau tidak dapat dinikmati oleh penduduk setempat tetapiu justru mengalir ke luar
negeri atau luar wilayah sehingga tingkat pendapatan yang sekaligus mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat menjadi lebih rendah dari pada
seharusnya. Yudhoyono 2004 melakukuan penelitian dengan menggunakan analisis
ekonometrika menemukan tingkat pengangguran secara nyata dipengaruhi oleh kebijakan fiskal dan desentralisasi. Kebijakan fiskal yang berupa pengeluaran
pemerintah untuk infrastruktur memberikan pengaruh positif bagi pengurangan pengangguran di Indonesia. Semakin besar alokasi dana untuk perbaikan
infrastruktur, maka semakin besar penurunan angka pengangguran. Sedangkan
angka kemiskinan juga dipengaruhi oleh kebijakan fiskal, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat upah. Pengeluaran pemerintah memberikan pengaruh positif bagi
upaya-upaya pengurangan angka kemiskinan. Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur secara nyata menurunkan angka kemiskinan
diperkotaan, dan untuk pedesaan, pengeluaran pemerintah untuk pertanian yang berpengaruh nyata.
Berdasarkan hasil simulasi dari model, diperoleh informasi berupa: 1 peningkatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur berdampak positif
terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan yang terjadi lebih besar di sektor non-pertanian, 2 peningkatan
pengeluran pemerintah untuk sektor pertanian berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja disektor pertanian maupun
disektor non-pertanian, dan 3 peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan di sektor pertanian dan sektor non-pertanian.
Dradjat 2003 melakukan penelitian dengan menggunakan analisis ekonometrika menemukan apabila kebijakan pembangunan perkebunan
diberlakukan kembali sejak tahun 1994-1998, maka nilai tambah subsektor perkebunan rata-rata naik 0.42 persen. Penerapan kebijakan pembangunan
perkebunan tersebut juga berdampak pada kenaikan serapan tenaga kerja dan pangsa serapan tenaga kerja. Serapan tenaga kerja secara rata-rata naik 4.47
persen. Seiring dengan kenaikan serapan tenaga kerja, pangsa serapan tenaga kerja di subsektor perkebunan juga naik 4.22 persen. Serapan tenaga kerja ini
dipengaruhi secara positif oleh kebijakan pembangunan perkebunan dan melalui mekanisme simultan oleh luas areal perkebunan.
Sedangkan untuk peramalan tahun 2003-2008 penerapan kebijakan pembangunan perkebunan berpengaruh langsung terhadap produktivitas dan
serapan tenaga kerja. Penerapan kebijakan pembangunan perkebunan akan berdampak pada kenaikan nilai tambah subsektor perkebunan rata-rata 0.37
persen. Sedangkan untuk serapan tenaga kerja, kebijakan pembangunan perkebunan berdampak naiknya serapan tenaga kerja sebesar 5.37 persen. Pangsa
serapan tenaga kerja naik 4.99 persen dan indeks produktivitas tenaga kerja turun 4.38 persen
Yunus 1997 melakukan penelitian di Sulawesi Tenggara dan menemukan secara agregat pembentukan struktur output dan nilai tambah bruto di
sultra tahun 1995 menunjukan kontribusi sektor pertanian dalam arti luas masih dominan dalam perekonomian wilayah, dimana sektor perkebunan mampu
memberikan kontribusi dalam pembentukan output dan nilai tambah bruto terbesar setelah sektor tanaman pangan. Sedangkan kontribusi ekspor menunjukan
bahwa sektor perkebunan sangat tinggi peranannya yaitu sekita 31.1 persen dari keseluruhan sektor perekonomian di Sulawesi Tenggara. Dilihat dari nilai
multiplier tenaga kerja komoditas perkebunan dapat dikategorikan sebagai sektor pemimpin leading sector dalam menyediakan kesempatan kerja di wilayah
propinsi Sulawesi Tenggara. Anggraeni 2003 melakukan penelitian di Kabupaten Indragiri Hilir
Propinsi Riau menemukan subsektor perkebunan mempunyai peranan yang sangat besar terhadap pembangunan wilayah di kabupaten Indragiri Hilir bila
dilihat sumbangannya terhadap PDRB 20.3 persen dan penyerapan tenaga kerja 147 248 KK. Ketangguhan subsektor perkebunan juga ditunjukan oleh rata-rata
pertumbuhan yang positif 16.3 persen walaupun terjadi krisis ekonomi.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Operasional
Berdasarkan perumusan masalah, pembangunan daerah Provinsi Riau masih menghadapi beberapa masalah. Permasalahan itu berupa masih tingginya
angka kemiskinan, kebodohan dan penganguran walaupun Provinsi ini memiliki sumberdaya yang cukup besar sebagai modal untuk mengatasi permasalahan itu.
Sebelum Era Otonomi Daerah hanya sebahagian kecil hasil sumberdaya itu dikembalikan pada Provinsi Riau. Kecilnya bagian yang diperoleh Pemerintah
Daerah Riau berdampak pada kurangnya kemampuan fiskal Pemerintah Daerah untuk menggerakan roda pembangunan sehingga proses pembangunan menjadi
tersendat yang berdampak negatif pada pemecahan masalah pembangunan yang dihadapi Provinsi Riau. Pada Era Otonomi Daerah sebahagian dari hasil
sumberdaya Provinsi Riau dikembalikan sehingga berdampak pada meningkatnya kemampuan fiskal daerah Riau. Peningkatan kemampuan fiskal itu berdampak
positif pada pemecahan masalah pembangunan yang dihadapi Pada Era Otonomi Daerah dengan meningkatnya kemampuan fiskal,
Pemerintah Riau mencoba untuk mengatasi masalah pembangunan yang dihadapi melalui Program Pengentasan Kemiskinan, Kobodohan dan Pemantapam
Inftrastruktur Program K2I. Untuk mensukseskan Program K2I Pemerintah Daerah Riau membangun perkebunan kelapa sawit yang dilatarbelakangi oleh
baiknya kinerja perkebunan kelapa sawit pada krisis moneter dan tingginya angka kemiskinan di sektor pertanian. Dengan dipilihnya perkebunan kelapa sawit untuk
mensukseskan Program K21 perlu dilihat Peran Perkebunan Kelapa Sawit Pada Era Otonomi Daerah di Riau. Peran perkebunan kelapa sawit dilihat secara
deskritif berupa potensi yang dimiliki sekaligus permasalahan yang dihadapi. Selain itu, peran perkebunan kelapa sawit dilihat dengan melakukan Analisis
Input Output berupa: Analisis Struktur Perekonomian Riau, Analisis Keterkaitan dan Penyebaran, Analisis Penganda, Analisis Elastisitas dan Analisis Simulasi
Kebijakan. Untuk lebih jelas lihat Gambar 1.