Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil

7. PEMBAHASAN UMUM

7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil

Terdapat 3 komponen utama dalam kegiatan penangkapan ikan, yaitu 1 teknologi sumberdaya manusia dan armada, 2 sumberdaya ikan, 3 lingkungan. Interaksi diantara ketiga komponen tersebut akan menentukan perkembangan status perikanan tangkap. Tidak ada kegiatan perikanan tangkap yang bersifat statis, dimana pada umumnya perikanan akan berada dalam status belum berkembang dan berkembang. Status belum berkembang merupakan keadaan dimana pemanfaatan sumberdaya ikan rendah, sedangkan status berkembang, pemanfaatan sumberdaya ikan meningkat dengan meningkatnya upaya penangkapan Garcia et al. 1999. Dalam tahapan berkembang beragam tindakan dilakukan oleh pelaku usaha perikanan tangkap nelayan untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi. Tindakan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penangkapan dengan berbagai cara, antara lain penggunaan teknologi alat bantu penangkapan, merubah dimensi alat tangkap, meningkatkan jumlah hari operasi. Berbagai tindakan efisiensi operasi penangkapan ikan tersebut menciptakan peluang yang lebih besar untuk meningkatkan produksi ikan. Pada sumberdaya ikan, tekanan terhadap ketersediaan untuk perikanan juga akan semakin meningkat. Fungsi ekologi dan fisiologi dalam aktivitas ikan menyebabkan distribusi ikan tersebar secara terbatas di perairan, dimana terdapat lokasi tertentu yang memiliki konsentrasi ikan yang tinggi dibandingkan lokasi lainnya. Operasi penangkapan ikan akan dilakukan pada lokasi yang memiliki konsentrasi ikan yang tinggi, konsentrasi ikan yang tinggi berada pada perairan yang juga memiliki produktivitas biologi tinggi Garcia et al. 1999; Jennings et al. 2001. Dampaknya akan terjadi intensitas penangkapan ikan yang tinggi pada lokasi penangkapan tertentu. Sehingga fluktuasi produksi ikan merupakan dampak dari intensitas penangkapan pada setiap wilayah perairan yang juga menunjukkan dinamika armada penangkapan Hilborn 1985; Sadhatomo 1991; Atmaja dan Nugroho 2006. Trend intensitas penangkapan di setiap zona perairan pantai barat Sulawesi Selatan yang dievaluasi berdasarkan upaya penangkapan adalah gambaran intensitas kegiatan perikanan tangkap pada suatu wilayah perairan yang menjadi lokasi penangkapan. Trend upaya penangkapan signifikan meningkat di setiap zona, dimana zona A lebih besar dibandingkan zona B dan C. Upaya penangkapan rata-rata dalam kurun waktu tahun 1977-2006 di zona A sebesar 1 172 unit; zona B sebesar 622 unit; dan zona C sebesar 150 unit. Produksi rata-rata dalam kurun waktu tahun 1977-2006, di zona A sebesar 32 876,9 ton; zona B sebesar 7 906,6 ton; dan zona C sebesar 3 955,9 ton. Perbedaan jumlah upaya penangkapan dan produksi ikan mengindikasikan ketersediaan ikan pelagis kecil untuk perikanan di zona A lebih besar dibandingkan zona B dan C. Secara sederhana ketersediaan ikan pelagis kecil antara zona dapat diketahui. Pada zona B, upaya penangkapan sebesar 622 unit menghasilkan produksi sebesar 9 000 ton. Pada zona A dengan upaya penangkapan setara zona B mampu menghasilkan produksi ikan sebesar 25 000 ton. Pada zona C, total upaya penangkapan maksimal dalam kurun waktu tahun 1977-2006 sebesar 470 unit menghasilkan produksi 4 029,6 ton. Pada zona A, setara dengan upaya penangkapan di zona C merupakan jumlah upaya penangkapan minimal dan menghasilkan produksi sebesar 24 571,4 ton. Perbandingan sederhana tersebut menegaskan bahwa ketersediaan ikan pelagis kecil di zona A lebih besar dibandingkan zona B dan C. Trend menurun pada hubungan upaya penangkapan dengan CPUE, baik linear di zona A dan B, dan eksponensial di zona C mengindikasikan intensitas penangkapan di setiap zona cenderung mempengaruhi ketersediaan ikan pelagis kecil. Perubahan CPUE yang menurun akibat meningkatnya upaya penangkapan juga telah terjadi di berbagai perairan di Indonesia yang dapat menjadi pengalaman penting. Sebagai contoh Laut Jawa, salah satu wilayah perairan yang telah mengalami lebih tangkap akibat peningkatan upaya penangkapan. Perikanan pelagis kecil di Laut Jawa yang dianalisis mulai tahun 1976-1986 menunjukkan tingkat pengusahaan di perairan pantai telah mendekati maksimum, dimana jenis ikan pelagis kecil yang berada dekat pantai telah mengalami tekanan yang cukup tinggi dibandingkan jenis ikan pelagis kecil yang bersifat oseanik Nurhakim et al. 1995. Selanjutnya tahun 1983 nelayan pukat cincin mulai memperluas daerah penangkapan dan pada tahun 1998 biomassa ikan pelagis kecil di Laut Jawa telah mengalami penurunan sebesar 66 dari biomassa awal tahun 1976 dan hingga tahun 2004 biomassa ikan pelagis kecil terus mengalami penurunan. Selain perluasan daerah penangkapan juga menggunakan teknologi alat bantu penangkapan berupa rumpon dan lampu, dimana intensitas lampu yang digunakan dapat mencapai daya sebesar 20 000 watt Atmaja dan Nugroho 2006. Contoh lainnya di Selat Malaka, dimana perikanan pelagis kecil telah fully exploited Nurhakim et al. 2007. Kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil dengan pukat cincin berpangkalan di Tanjung Balai dan beroperasi di Selat Malaka, melakukan perluasan daerah penangkapan ikan sampai ke perairan Aceh Timur selama periode 2003-2005. Perluasan daerah penangkapan ikan dilakukan, karena perairan yang menjadi lokasi penangkapan selama ini, hasil tangkapan mulai berkurang. Perluasan daerah penangkapan ikan, selain meningkatkan tekanan upaya penangkapan, komposisi hasil tangkapan dominan juga berubah. Pada tahun 1997 jenis ikan pelagis kecil yang dominan tertangkap pukat cincin di Selat Malaka adalah jenis bayar dan kembung sebesar 56. Pada periode tahun 2003-2004 jenis ikan yang dominan adalah layang sebesar 49. Jenis ikan layang adalah ikan pelagis kecil yang bersifat oseanik, sedangkan jenis ikan kembung lebih dekat ke pantai Hariati 2006. Perubahan produksi ikan pelagis kecil di Laut Jawa dan Selat Malaka adalah pelajaran penting untuk kegiatan perikanan tangkap pelagis kecil di perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Ketika efisiensi penangkapan dilakukan dengan merubah dimensi alat maupun kapal dan menambah kekuatan mesin, serta penggunaan alat bantu penangkapan akan menyebabkan kapasitas penangkapan meningkat. Namun ketika kapasitas penangkapan meningkat tanpa memperhatikan potensi produksi ikan pelagis kecil, maka kasus Laut Jawa dan Selat Malaka akan terjadi di semua perairan yang merupakan lokasi penangkapan termasuk kawasan perairan zona A, perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Jika memperhatikan kondisi perairan, perairan pantai barat Sulawesi Selatan pada zona A, Laut Jawa dan Selat Malaka memiliki kemiripan, yaitu berada pada bagian paparan benua continental shelf yang relatif dangkal. Wilayah continental shelf merupakan wilayah distribusi ikan pelagis kecil Longhutst dan Pauly 1987; Widodo 1997. Kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil di perairan pantai barat Sulawesi Selatan dilakukan oleh berbagai jenis alat tangkap, namun dari upaya penangkapan dan produksi, terdapat alat tangkap yang dominan di setiap zona, yaitu payang, pukat cincin, dan bagan perahu. Pola operasi unit penangkapan di perairan pantai barat Sulawesi Selatan adalah one day trip. Struktur armada perikanan pelagis kecil di Laut Jawa dicirikan oleh pukat cincin, baik ukuran kecil maupun besar. Pukat cincin berukuran besar large seiners mampu beroperasi sampai ke Selat Makassar Januari-April dan Laut Cina Selatan Mei-Juni dan pada bulan Agustus kembali terkonsentrasi di Laut Jawa Potier dan Petit 1995. Pergerakan pukat cincin besar di Laut Jawa bergerak bebas mengikuti pergerakan migrasi ikan layang, sehingga terjadi perluasan daerah penangkapan ikan. Kemampuan pergerakan pukat cincin Laut Jawa didukung oleh armada yang mampu berada di laut 8-10 hari. Tidak terdapat pergeseran operasi penangkapan dari selatan ke utara atau sebaliknya di perairan pantai barat Sulawesi Selatan, sebagaimana yang dilakukan pukat cincin besar Laut Jawa yang melakukan pergeseran timur ke barat dan sebaliknya. Pola operasi penangkapan ikan pelagis kecil antara Laut Jawa dan perairan pantai barat Sulawesi Selatan dalam perspektif ekologi, yaitu konsep pemangsaan, dimana alat tangkap adalah predator akan memburu mangsanya dengan bergerak bebas dikemukakan oleh Gillis dan Peterman 1998; Jennings et al. 2001; Gillis 2003; Walters dan Martell 2004; Hilborn 2007. Dari perspektif ekologi tersebut dapat dipahami mengapa dinamika armada penangkapan ikan berbeda pada setiap wilayah perairan. Evaluasi tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil yang dilakukan pada akhir tahun 1970-an Dwiponggo 1983, DKP-LIPI 2001, dan Nurhakim et al. 2007 menyimpulkan tingkat pemanfaatan ikan pelagis di Selat Makassar, Sulawesi Selatan, telah maksimum atau moderate. Jika memperhatikan kajian tersebut dengan hasil penelitian ini yang juga menunjukkan status perikanan pelagis kecil di zona A dan B telah mencapai optimum. Apakah status fully exploited atau over explioited tidak akan terjadi di perairan pantai barat Sulawesi Selatan, karena secara alami akan terjadi penyesuaian, baik upaya penangkapan ikan maupun sumberdaya ikan pelagis kecil. Sulit untuk memastikan karena membutuhkan kajian ekologi, biologi dan ekonomi yang tidak dilakukan dalam penelitian ini, agar secara komprehensif dapat menjawab status perikanan pelagis kecil di setiap zona perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Namun yang dapat dilakukan adalah mempertahankan upaya penangkapan di setiap zona sebagaimana hasil analisis dalam penelitian ini. Perikanan pelagis kecil di zona C mempunyai keunikan karena karakteristik pantai yang terbuka dengan topografi kedalaman yang berbeda dari perairan pantai di zona A dan B. Pada perairan zona C dominan ikan layang, sehingga perikanan ikan pelagis kecil di zona C cenderung multispesies terbatas. Seyogianya akan lebih mudah untuk melakukan tindakan pengelolaan. Merujuk pada kesimpulan penelitian Najamuddin 2004 tingkat pemanfaatan ikan layang di Mamuju sebesar 27,32 dan Majene 77,52 kedua daerah ini adalah zona C dalam penelitian ini. Pemanfaatan ikan layang di perairan zona C secara umum masih dapat dikembangkan namun seharusnya lebih dikonsentrasikan pada daerah Mamuju. Namun perubahan tahunan CPUE ikan pelagis kecil yang lebih besar di zona C dibandingkan zona A dan B perlu mendapat perhatian lebih konprehensif khususnya keadaan stok ikan pelagis kecil. Pertimbangan ini perlu dilakukan mengingat kawasan perairan zona C saat ini sudah menjadi wilayah pemekaran provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Barat. Kecenderungan selama ini dalam wilayah administrasi baru adalah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah PAD melalui pemanfaatan sumberdaya alam. Status perikanan pelagis kecil di setiap zona perairan pantai barat Sulawesi Selatan yang dipetakan menggunakan kurva produksi surplus, cenderung ke arah kanan kurva. Pemetaan dengan kurva produksi lestari, zona A dan B sudah mencapai titik optimum dibandingkan zona C. Status perikanan tangkap pelagis kecil tersebut mengindikasikan intensitas penangkapan ikan di setiap zona berbeda. Status perikanan di setiap zona memberikan perhatian kepada pengelola perikanan dalam hal ini adalah sehubungan dengan pembangunan perikanan untuk meningkatkan produksi ikan dari kegiatan penangkapan ikan. Misalnya di zona B, jika pemberian insentif hanya berdasar pada trend produksi yang signifikan meningkat dalam kurun waktu tahun 1977-2006, maka dapat terjadi kekeliruan. Skala produksi perikanan berdasarkan kurva surplus di zona B, berada pada 8 000 ton, dengan upaya penangkapan 600 unit. Dengan demikian jika insentif diberikan melebihi skala perikanan di zona B dapat berdampak terhadap produktivitas penangkapan, baik nelayan maupun sumberdaya ikan pelagis kecil. Demikian juga skala perikanan di zona C yang menunjukkan status perikanan yang belum mencapai optimum, namun harus memperhatikan gejala trend CPUE dan hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan. Trend CPUE di zona C menunjukkan perubahan tahunan yang lebih besar dibandingkan zona A dan B sebagaimana koefisien regresi, demikian juga trend hubungan CPUE dengan upaya penangkapan yang menunjukkan koefisien regresi yang lebih besar dibandingkan zona A dan B. Perbedaan ekosistem di perairan pantai barat Sulawesi Selatan juga berdampak terhadap kegiatan perikanan tangkap pelagis. Dampak tersebut sebagaimana dinamika hasil tangkapan dalam kurun waktu 30 tahun 1977-2006, sehingga status perikanan pelagis kecil di zona A, B, dan C berbeda. Ikan pelagis kecil merupakan unit fungsional dalam suatu ekosistem, namun setiap spesies yang menyusun masing- masing komunitas pada suatu ekosistem berbeda sesuai daerah geografik Odum 1994; Nybakken 1982. Secara geografis semakin tinggi lintang, maka suhu juga semakin meningkat Longhurst dan Pauly 1987, sehingga dalam hubungan fungsional dengan faktor lingkungan merupakan pembatas distribusi ikan pelagis kecil pada suatu kawasan perairan. Hubungan fungsional tersebut yang menyebabkan adanya perbedaan pada setiap zona, dimana besarnya produksi di zona A dibandingkan zona B dan C, mengindikasikan ketersediaan ikan yang berbeda akibat hubungan fungsional sebagaimana tersebut di atas. Dengan demikian kegiatan perikanan tangkap yang ditentukan oleh ketersediaan ikan, dalam pengembangannya harus mempertimbangkan kawasan dengan ekosistem yang berbeda. Sebagai gambaran, jika kondisi perikanan pelagis kecil di zona A diterapkan pada zona C yang dianggap belum optimum tanpa mempertimbangkan prinsip kehati-hatian maka dapat menyebabkan perikanan pelagis kecil di zona C akan mengarah pada perikanan lebih tangkap.

7.2 Pola Distribusi dan Kelimpahan Ikan Pelagis Kecil