Pembahasan .1 Deskripsi fluktuasi SPL, klorofil, dan produksi ikan

Tabel 28 Signifikansi korelasi parsial parameter statistik SPL dan klorofil dengan produksi, produktivitas, dan densitas ikan pada kategori musim di zona C. Parameter statistik kembung teri lemuru tembang layang selar P Pv D P Pv D P Pv D P Pv D P Pv D P Pv D mean median modus standar deviasi range minimum maksimum Keterangan: P = produksi; Pv = produktivitas; D = densitas. = korelasi signifikan dengan SPL, = korelasi signifikan dengan klorofil. 6.5 Pembahasan 6.5.1 Deskripsi fluktuasi SPL, klorofil, dan produksi ikan Fluktuasi bulanan SPL dan klorofil di setiap zona perairan pantai barat Sulawesi Selatan berbeda. Keragaman fluktuasi SPL di zona C lebih rendah dibandingkan zona A dan B. Pada zona A, keragaman fluktuasi SPL lebih tinggi dibandingkan zona B dan C. Perbedaan keragaman fluktuasi SPL mengindikasikan fluktuasi SPL di zona C lebih stabil dibandingkan zona A dan B. Kestabilan SPL di zona C berkaitan dengan posisi geografi, dimana perairan pantai di zona C yang terletak di bagian utara dominan dipengaruhi aliran massa air Selat Makassar yang sepanjang tahun mengalir dari utara ke selatan. Berbeda dengan perairan pantai zona A dan B yang terletak bagian selatan Sulawesi, walaupun berada pada aliran massa air Selat Makassar namun juga dipengaruhi angin munson. Secara bergantian antara musim timur dan barat menyebabkan arah aliran massa air berbeda yang berdampak terhadap perubahan SPL. Pada musim timur Juni-September massa air di perairan Indonesia bergerak dari timur ke barat dengan volume yang besar dari Laut Banda pada bagian permukaan akan menyebabkan penaikan massa air up welling untuk menggantikan massa air yang keluar Nontji 1987 atau Ekman Up Welling Gordon 2005. Penaikan massa air menyebabkan massa air yang dingin pada lapisan bawah akan terangkat menyebabkan SPL lapisan permukaan lebih dingin atau rendah dibandingkan pada musim barat. Massa air yang dingin tersebut juga akan masuk ke Selat Makassar bagian selatan Sulawesi, sehingga perairan bagian selatan Sulawesi dipengaruhi munson Masumoto dan Yamagata 1993. Sifat munson yang mempengaruhi perairan zona A dan B, sehingga menyebabkan SPL di zona A lebih rendah pada bulan Juni-September dibandingkan zona C. Pada klorofil, keragaman di zona A lebih rendah dibandingkan zona B dan C, dimana keragaman fluktuasi klorofil di zona C lebih tinggi dibandingkan zona A dan B. Perbedaan fluktuasi bulanan SPL dan klorofil menunjukkan adanya perbedaan kondisi perairan di perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Perbedaan fluktuasi SPL dan klorofil di setiap zona adalah juga gambaran umum perairan di Indonesia, yang dipengaruhi oleh munson sebagai pengaruh utama. Selain itu pada perairan pantai juga dipengaruhi oleh topografi dan garis pantai Birowo 1982. Selain perbedaan karena munson, tingginya klorofil di zona A disebabkan karakteristik perairan. Zat hara dibutuhkan oleh plankton untuk bertumbuh khususnya phytoplankton sebagai produsen dalam proses fotosintesa Grahame 1987; Nybakken 1982. Ketersediaan zat hara yang tinggi di perairan Indonesia dipengaruhi, 1 penambahan zat hara dari daratan yang terbawa aliran sungai; 2 adanya pengadukan turbulensi; dan 3 penaikan massa air up welling . Proses perombakan atau regenerasi zat hara berlangsung di dasar perairan. Pada perairan dangkal hasil perombakan zat hara akan mudah terangkat ke lapisan permukaan atau ke lapisan euphotik lapisan di bagian lautan yang terkena cahaya matahari akibat percampuran secara menegak tubulensi, sehingga ketersediaan zat hara dapat berlangsung terus menerus. Berbeda dengan perairan laut dalam yang hanya dapat terjadi jika adanya penaikan massa air dan hal ini hanya terjadi pada lokasi tertentu Birowo 1982. Dengan demikian konsentrasi klorofil yang lebih tinggi di zona A dibandingkan zona C karena karakteristik perairan pantai zona A yang dangkal sehingga ketersediaan zat hara yang dibutuhkan fitoplankton lebih banyak dibandingkan zona C. Posisi geografi dari setiap zona di perairan pantai barat Sulawesi Selatan sebagai penyebab utama adanya perbedaan keragaman pada SPL dan klorofil. Kawasan perairan zona A, berdasarkan posisi geografi berada di bagian selatan Sulawesi Selatan. Hasil penelitian Masumoto dan Yamagata 1993 yang membuat simulasi sirkulasi musiman munson di perairan Indonesia, menunjukkan pada musim barat massa air dari Laut Jawa juga berbelok ke Selat Makassar. Pada musim timur, aliran massa air di bagian selatan Sulawesi Selatan di pengaruhi aliran utama Selat Makassar yang bergerak dari utara ke selatan. Perbedaan aliran massa air tersebut, dari hasil citra satelit menunjukkan dibagian selatan Sulawesi Selatan zona A, SPL lebih hangat pada musim barat dibandingkan musim timur Gordon et al. 2003; Gordon 2005. Dengan demikian tingginya keragaman fluktuasi SPL di zona A dibandingkan zona B dan C akibat pengaruh munson. Pada zona C, dari citra satelit menunjukkan dalam kurun waktu tahun 2002-2006 fluktuasi SPL bulanan bervariasi namun cenderung lebih hangat dibandingkan zona A dan B Lampiran 13. Fluktuasi SPL sebagaimana hasil analisis Gordon et al. 2003 menggunakan citra satelit menunjukkan pada posisi geografi zona C cenderung lebih hangat dibandingkan zona A dan B, baik pada musim barat maupun musim timur. Pada fluktuasi klorofil, dari citra satelit menunjukkan pada bagian pantai zona A cenderung konsentrasi klorofil lebih tinggi dibandingkan zona B dan C. Perubahan klorofil berdasarkan munson menunjukkan bahwa pada musim timur konsentrasi klorofil lebih tinggi dibandingkan musim barat dari hasil analisis citra satelit oleh Gordon 2005. Namun citra satelit tersebut pada bagian selatan Sulawesi Selatan konsentrasi klorofil cenderung stabil, khususnya pada bagian pantai. Perbedaan konsentrasi klorofil pada musim timur dan barat adalah pada musim timur luasan konsentrasi klorofil lebih luas dibandingkan musim barat. Citra satelit hasil analisis Gordon 2005, pada perairan pantai di bagian utara Sulawesi selatan zona C menunjukkan konsentrasi yang cenderung stabil, baik musim timur maupun musim barat, namun konsentrasi klorofil pada bagian utara Sulawesi Selatan lebih rendah dibandingkan bagian selatan. Klorofil berkaitan dengan produktivitas primer, dimana produktivitas primer didefinisikan sebagai laju produksi senyawa organik dari senyawa anorganik lewat proses fotosintesis. Proses fotosintesis di alam hanya dapat berlangsung pada tumbuh-tumbuhan yang mengandung klorofil Birowo 1982; Nybakken 1982; Grahame 1987. Tumbuh-tumbuhan dalam hal ini fitoplankton membutuhkan zat hara untuk proses produksi dan melakukan fotosintesis. Konsentrasi zat hara di perairan dangkal dan laut dalam berbeda. Pada laut dangkal, dimana konsentrasi zat hara tinggi pada kolon air akan mudah terangkat ke lapisan permukaan sebagai akibat dari proses percampuran secara vertikal. Pada perairan laut dalam atau laut terbuka akan terbentuk stratifikasi thermal atau lapisan thermoklin, dimana kerapatan massa air berbeda antara lapisan permukaan dengan lapisan dalam. Struktur thermal yang semakin dalam mengakibatkan sulit terjadi proses percampuran secara vertikal, akibatnya zat hara tidak terangkat ke bagian permukaan Birowo 1982; Nybakken 1992. Dengan demikian perbedaan konsentrasi klorofil, dimana zona A lebih tinggi dibandingkan zona C terindikasi dari perbedaan struktur kedalaman perairan. Perairan pantai zona C adalah perairan terbuka, sedangkan perairan zona A, dangkal dan merupakan gugusan pulau-pulau. Pada perhitungan SPL dan klorofil dari bulanan menjadi kuartalan menggunakan parameter statistik dengan perbedaan kategori skala waktu, yaitu kategori kalender dan musim. Fluktuasi mean SPL menunjukkan adanya perbedaan antara kategori kalender dan musim. Pada kuartal 3 kategori kalender, zona C lebih hangat dibandingkan zona A dan B, namun pada kategori musim zona C lebih dingin dibandingkan zona A dan B. Pada kuartal 4 kategori musim fluktuasi mean SPL lebih dingin dibandingkan kuartal 4 kategori kalender di setiap zona. Fluktuasi mean SPL, baik kategori kalender maupun musim menunjukkan zona B cenderung lebih hangat dibandingkan zona A dan C. Fluktuasi modus SPL pada kuartal 4 kategori kalender lebih hangat dibandingkan kuartal 4 kategori musim di setiap zona. Pada fluktuasi maksimum SPL, kuartal 2 kategori kalender lebih hangat dibandingkan kuartal 2 kategori musim di setiap zona. Fluktuasi maksimum SPL menunjukkan zona B cenderung lebih hangat dibandingkan zona A dan C, baik kategori kalender maupun kategori musim. Berdasarkan parameter statistik ukuran pemusatan data, fluktuasi mean klorofil di zona A lebih tinggi dibandingkan zona B dan C pada setiap kuartal, kecuali kuartal 1 kategori musim. Pada fluktuasi modus klorofil juga menunjukkan zona A lebih tinggi dibandingkan zona B dan C, kecuali pada kuartal 1 kategori kalender. Pada fluktuasi maksimum klorofil, zona A cenderung lebih tinggi dibandingkan zona B dan C, namun terdapat variasi fluktuasi kuartalan klorofil pada setiap tahun 2002-2006 yang berbeda antara kategori kalender dan musim. Kecenderungan perbedaan konsentrasi klorofil berdasarkan parameter statistik mean, modus, dan maksimum pada setiap kuartal merupakan klasifikasi adanya perbedaan kondisi ekosistim diantara zona pada perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Klasifikasi tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil yang lebih tinggi di zona A karena tipe perairan pantai yang dangkal, sehingga proses pengadukan akan mencapai dasar perairan dimana terdapat zat hara hasil perombakan yang akan mudah terangkat ke lapisan permukaan. Selain itu pengaruh munson di perairan zona A. Berbeda dengan zona B dan C yang relatif dalam, dimana pengadukan perairan bergantung pada proses penaikan massa air dan kedalaman lapisan termoklin. Fluktuasi kuartalan SPL dan klorofil berdasarkan parameter statistik mean, modus, dan maksimum, baik kategori kalender maupun musim menunjukkan variasi fluktuasi tahunan 2002-2006 yang berbeda pada setiap kuartal, baik kategori kalender maupun kategori musim. Fluktuasi SPL sebagaimana uraian tersebut di atas, cenderung zona B lebih hangat dibandingkan zona A dan C. Fluktuasi kuartalan klorofil berdasarkan parameter statistik menunjukkan zona A cenderung lebih tinggi dibandingkan zona B dan C. Terdapat perbedaan fluktuasi kuartalan antara kategori kalender dan musim di setiap zona, mengindikasikan dibutuhkan penggunaan parameter statistik agar dapat mendefinisikan variasi fluktuasi kondisi oseanografi. Fluktuasi SPL dan klorofil merupakan faktor oseanografi utama yang sering digunakan untuk mengetahui ketahui keberadaan dan kelimpahan ikan. Variabilitas pada kondisi lingkungan laut akan menyebabkan terjadi pergeseran kelimpahan ikan dalam jangka waktu tertentu pada suatu wilayah perairan dan ini berdampak terhadap ketersediaan ikan untuk perikanan Bakun et al. 1982; Kawasaki 1991; Bakun 1996. Fluktuasi kuartalan kelimpahan ikan di setiap zona mengindikasikan adanya respons ikan terhadap fluktuasi perubahan kondisi lingkungan laut. Selain faktor oseanografi, posisi geografi zona A, B, dan C di perairan pantai barat Sulawesi Selatan menunjukkan perbedaan kondisi ekosistem dan terdapat fluktuasi kuartalan berdasarkan faktor produksi perikanan tangkap, yaitu produksi, produktivitas, dan densitas yang berbeda di setiap zona. Pada fluktuasi produksi ikan, zona A yang dominan adalah jenis kembung, zona B dan C dominan jenis layang. Pada fluktuasi produktivitas ikan di zona A, jenis teri lebih besar dibandingkan jenis lainnya pada setiap kuartal. Pada zona B, fluktuasi produktivitas jenis layang lebih besar dibandingkan jenis lainnya pada setiap kuartal. Pada zona C, fluktuasi produktivitas jenis layang lebih besar dibandingkan jenis lainnya pada setiap kuartal. Pada fluktuasi densitas ikan, zona A yang tinggi adalah jenis kembung pada setiap kuartal. Pada zona B, fluktuasi densitas ikan yang tinggi adalah jenis layang pada setiap kuartal. Pada zona C, fluktuasi densitas ikan yang tinggi adalah jenis layang. Perbedaan kelimpahan ikan di setiap zona berdasarkan faktor produksi perikanan tangkap sebagaimana diuraikan sebelumnya, mengindikasikan posisi geografi dan ekosistem berpengaruh terhadap perbedaan tersebut. Faktor lingkungan merupakan faktor utama yang menentukan perubahan kelimpahan ikan pelagis kecil Bakun 1996; Cury et al. 2000; Fréon et al. 2005. Faktor lingkungan berdasarkan fluktuasi SPL dan klorofil telah mengindikasikan adanya perbedaan pada setiap zona yang memiliki keunikan ekosistem. Selain itu perbedaan berdasarkan faktor produksi perikanan tangkap berkaitan dengan peluang penangkapan. Peluang tertangkap suatu jenis ikan lebih banyak dibandingkan jenis lainnya oleh berbagai jenis unit penangkapan, karena konsentrasi jenis ikan tertentu lebih tinggi dibandingkan jenis ikan lainnya. Dengan demikian perbedaan dalam faktor produksi perikanan tangkap mengindikasikan keunikan ekosistem dimana aktivitas penangkapan dilakukan. Keunikan ekosistem yang menyebabkan adanya perbedaan jenis ikan yang dominan pada setiap zona. Jenis kembung berada pada pelagik neritik dan relatif berada pada kedalaman dengan kisaran 20-90 m. http:www.fishbase.org SummarySpeciesSummary.php?id=111 yang diakses tanggal 20 Januari 2010. Jenis ikan layang bersifat benthopelagic dan berada kisaran kedalaman 40-275 m http:www.fishbase.orgSummarySpeciesSummary.php?id=374 yang diakses pada tanggal 20 Januari 2010. Keunikan ekosistem pada perairan pantai barat Sulawesi Selatan dapat terlihat dari penelitian Anggraini 2008 dan Najamuddin 2004. Penelitian Anggraini 2008 di perairan kabupaten Pangkep menunjukkan jumlah hasil tangkapan ikan layang tertinggi sebesar 1 291 kg pada SPL 29.0 C. Penelitian Najamuddin 2004 di perairan Mamuju dan Majene menunjukkan jumlah hasil tangkapan ikan layang tertinggi sebesar 5 042 kg pada SPL 29.0 C. Perairan kabupaten Pangkep dalam penelitian ini adalah zona A dan perairan kabupaten Majene dan Mamuju adalah zona C. Hasil penelitian tersebut mengindikasikan kelimpahan ikan layang yang lebih besar di zona C dibandingkan zona A. Selain itu hasil penelitian tersebut juga mengindikasikan habitat ikan layang di perairan pantai barat Sulawesi Selatan berada pada SPL 29 C.

6.5.2 Pengaruh fluktuasi SPL dan klorofil terhadap pola distribusi dan kelimpahan ikan.

Keberadaan ikan pada suatu perairan menjelaskan prilaku ekologis terhadap fluktuasi kondisi lingkungan. Prilaku ekologis adalah respons ikan untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang sesuai dengan aktivitas, misalnya mencari makan, rekruitmen, pertumbuhan dan berbagai aktivitas lainnya yang berkaitan dengan fungsi fisiologi dan biologi. Prilaku ekologis yang menyebabkan ikan terkonsentrasi pada lokasi tertentu dalam suatu perairan. Tipologi SPL dan klorofil adalah pemetaan untuk mengetahui respons ikan pelagis kecil terhadap fluktuasi SPL dan klorofil di perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Keberadaan ikan pada suatu lokasi perairan, karena sesuai dengan kondisi lingkungan yang dibutuhkan Laevastu dan Hayes 1982; Bakun 1996; Agenbag et al. 2003; Fréon et al. 2005; Bellido et al. 2008; Martin et al. 2008. Analisis dengan grafik biplot untuk menentukan keberadaan ikan berdasarkan fluktuasi SPL dan klorofil menunjukkan kecenderungan tipologi yang berbeda pada skala waktu kalender dan musim di zona A, B, dan C. Namun analisis biplot berdasarkan densitas ikan cenderung menunjukkan tipe 11, baik pada skala waktu kalender maupun musim di setiap zona. Tipe 11 adalah keberadaan ikan tidak menunjukkan secara spesifik terhadap fluktuasi SPL dan klorofil. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa untuk menentukan keberadaan ikan berdasarkan densitas, tidak dapat mengklarifikasi secara spesifik akibat fluktuasi SPL dan klorofil di setiap zona. Analisis biplot berdasarkan produksi dan produktivitas menunjukkan kecenderungan keberadaan ikan adalah tipe 10 di zona A dan C, sedangkan di zona B adalah tipe 3. Tipe 10 adalah ikan ada di perairan SPL rendah hingga tinggi pada klorofil rendah. Tipe 3 adalah ikan ada di perairan dengan SPL tinggi pada klorofil rendah. Tipologi tersebut mengindikasikan bahwa respons ikan di setiap zona cenderung dipengaruhi fluktuasi SPL atau dengan kata lain klorofil tidak berpengaruh terhadap pola distribusi ikan. Klorofil sebagai indikator produktivitas perairan, pada setiap kuartal dalam kurun waktu tahun 2002-2006 klorofil di zona A cenderung lebih tinggi dibandingkan zona B dan C. Fluktuasi klorofil yang cenderung stabil, karena ketersediaan zat hara yang dibutuhkan fitoplankton selalu tersedia berdampak terhadap konsentrasi klorofil. Kondisi tersebut akan menyebabkan ikan merespons faktor lingkungan lain dalam hal ini SPL. Hal tersebut di duga karena ketersediaan klorofil yang stabil, sehingga tetap berada dalam batas toleransi, akibatnya ikan pelagis kecil akan cenderung merespons fluktuasi SPL. Sebagaimana asas ekologi bahwa apabila unsur kebutuhan dibawah toleransi minimum suatu spesies, maka spesies tersebut akan menghindar Odum 1994; Nybakken 1982. Terdapat perbedaan konsentrasi klorofil diantara zona namun dapat dikatakan pola distribusi ikan di perairan pantai barat Sulawesi Selatan berada pada konsentrasi klorofil rendah. Hal tersebut dapat terjadi selain penjelasan sebelumnya berdasarkan asas ekologi, juga dapat diduga hubungan fungsional dalam rantai makanan. Dalam rantai makanan terdapat berbagai tingkatan tropik, dimana fitoplankton adalah produser primer, tingkatan berikutnya adalah zooplankton, ikan pemakan plankton, dan ikan omnivora Grahame 1987; Smith dan Link 2005. Dalam rangkaian rantai makanan tersebut dapat saja terjadi diperairan pantai barat Sulawesi Selatan telah terjadi proses grazing oleh zooplankton, dimana dalam penelitian ini tidak dilakukan pengamatan zooplankton. Komposisi makanan ikan pelagis kecil umumnya zooplankton Widodo et al 1994, dengan demikian jika terjadi proses grazing maka fitoplankton rendah sehingga dapat dipahami mengapa pola distribusi ikan di perairan pantai barat Sulawesi Selatan relatif sama. Parameter statistik yang digunakan untuk mensimulasi perubahan SPL dan klorofil di setiap zona bertujuan untuk mendefinisikan variasi fluktuasi SPL dan klorofil, sehingga dengan tepat dapat mengklarifikasi hubungan dengan faktor produksi perikanan tangkap Bakun 1996. Penggunaan pendekatan parameter statistik, menunjukkan respon ikan terhadap perubahan SPL dan klorofil di setiap zona berbeda sebagaimana teridentifikasi dari koefisien korelasi yang signifikan. Penilaian berdasarkan korelasi parsial juga dilakukan dengan mempertimbangkan faktor delay dalam perhitungan data bulanan SPL dan klorofil menjadi kuartalan, pendekatan faktor delay dengan asumsi pengaruh faktor lingkungan akan berdampak kemudian. Keeratan hubungan dalam analisis korelasi parsial harus dipahami sebagai batas-batas nilai kesalahan 5 α = 0,05 dari sejumlah sampel, sehingga signifikan atau tidak sangat bergantung pada jumlah sampel n, dimana makin besar n makin rendah batas signifikan Hadi 2004. Dapat dipahami bahwa jumlah sampel di zona C adalah n=10 dibandingkan zona A dan B yang memiliki n=18, sehingga koefisien korelasi sebesar 0,5 di zona C belum menunjukkan korelasi signifikan sebagaimana di zona A dan B. Bentuk hubungan antara kelimpahan ikan dengan fluktuasi SPL dan klorofil bersifat kompleks, karena perubahan SPL dan klorofil terjadi sebagai akibat interaksi antara atmosfir dan lautan, selain itu keberadaan ikan pada suatu perairan juga merupakan sebab dari proses fisika-biologi, mortalitas dan pertumbuhan, serta proses tingkah laku ikan untuk mencari habitat yang sesuai Jennings et al. 2001. Selain itu mendefinisikan data kurun waktu yang bervariasi dari suatu rangkaian waktu cukup sulit untuk memilah hubungan yang empiris Bakun 1996. Penggunaan parameter statistik untuk mendefinisikan variasi fluktuasi SPL dan klorofil telah mandefinisikan bentuk hubungan SPL dengan faktor produksi perikanan tangkap. Korelasi signifikan di zona A, produktivitas ikan dengan SPL berdasarkan parameter statistik ukuran pemusatan data kategori kalender. Signifikansi ukuran pemusatan data tersebut mengindikasikan respons ikan terhadap SPL berada pada kisaran tertentu dalam fluktuasi SPL di zona A. Lebih lanjut signifikansi SPL dengan produksi ikan pada kategori kalender di zona A, dapat dijelaskan menggunakan mean SPL dan modus SPL. Pada kategori kalender kisaran perubahan mean SPL adalah 26,6 – 28,8 C dan kisaran modus SPL adalah 26,5-29,3 C dalam kurun waktu tahun 2002-2006 data pada Lampiran 20, sehingga dapat diklarifikasi bahwa kelimpahan ikan di zona A berada pada kisaran perubahan SPL sebagaimana parameter statistik mean dan modus tersebut dengan produktivitas. Pada zona B, korelasi signifikan antara klorofil dengan produksi dan densitas ikan, baik kategori kalender maupun musim. Koefisen korelasi signifikan menunjukkan negatif, dimana terdapat hubungan yang berlawanan antara fluktuasi klorofil dengan produksi maupun densitas ikan. Respons ikan di zona B sebagaimana tipologi SPL dan klorofil dengan produktivitas ikan pada kategori kalender yang menunjukkan tipe 3 pada parameter statistik mean, median, dan minimum. Tipe 3 adalah keberadaan ikan di perairan dengan SPL tinggi pada klorofil rendah, yang mana tipe ini menjelaskan signifikan yang negatif antara klorofil dengan produktivitas ikan. Respons ikan di zona B dapat dijelaskan sebagai proses ekologi, dimana organisme-organisme dapat memiliki kisaran toleransi yang lebar pada satu faktor dan kisaran yang sempit pada faktor lain, sebagaimana hukum toleransi Shelford Odum 1994. Signifikansi di zona C sulit untuk diidentifikasi, karena cenderung tidak signifikan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa nilai signifikan berkaitan dengan banyaknya data yang digunakan. Pada kategori musim, produktivitas di zona A signifikan dengan SPL dan klorofil yang dijelaskan parameter statistik modus. Perbedaan signifikan pada kategori kalender dan musim mengindikasikan bahwa aktivitas ikan melakukan penyesuaian dengan perubahan kondisi lingkungan, baik SPL maupun klorofil. Korelasi signifikan berdasarkan fluktuasi SPL dan klorofil menunjukkan setiap jenis ikan memiliki toleransi terhadap perubahan kondisi oseanografi, dimana tingkat toleransi bergantung pada habitat asli Bellido et al. 2008; Martin et al. 2008. Ikan umumnya memiliki kisaran terhadap lingkungan berdasarkan letak lintang, dimana kisaran tolorensi akan semakin sempit pada lintang tropis Odum 1994; Jennings et al. 2001. Sebagaimana hasil penelitian di Laut Cina Selatan, kajian standing stock menjelaskan kepadatan ikan pelagis yang semakin berkurang dengan meningkatnya suhu perairan dan konsentrasi klorofil kurang berpengaruh Masrikat et al. 2009. Tidak mudah untuk menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan korelasi yang signifikan antara SPL dan klorofil dengan faktor produksi perikanan tangkap di setiap zona perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Misalnya di zona A, hubungan SPL dan klorofil dengan produktivitas yang menunjukkan pada kategori kalender signifikan dengan SPL, tetapi pada kategori musim signifikan dengan SPL dan klorofil yang dijelaskan parameter statistik modus. Jika memperhatikan variasi fluktuasi modus klorofil dalam kurun waktu tahun 2002-2006 terdapat perbedaan antara kategori kalender dan musim. Sebagaimana diketahui setiap jenis ikan maupun ukuran membutuhkan kondisi lingkungan yang berbeda dalam aktivitas Laevastu dan Hayes 1982. Dengan demikian penelitian dengan pendekatan biologi dan ekologi biologi perikanan dan rantai makanan, dibutuhkan untuk dapat menjelaskan secara konprehensif fenomena keberadaan dan kelimpahan ikan di setiap zona perairan pantai barat Sulawesi Selatan yang memiliki keunikan ekosistem. Namun demikian dari hasil ini telah menunjukkan pentingnya penggunaan parameter statistik untuk mendefinisikan variasi data fluktuasi kondisi oseanografi SPL dan klorofil. Parameter statistik menjelaskan terdapat variasi SPL dan klorofil yang berbeda pada setiap kuartal di setiap zona yang memiliki keunikan ekosistem. Selain itu penggunaan pendekatan skala waktu yang berbeda, juga menunjukkan adanya variasi fluktuasi pada setiap kuartal dan berbeda di setiap zona. Perbedaan variasi fluktuasi SPL dan klorofil yang didefenisikian dengan parameter statistik pada kategori kalender dan musim, menunjukkan respons ikan yang berbeda yang diketahui dari signifikansi korelasi parsial.

6.6 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis SPL dan klorofil dapat disimpulkan sebagai