Pembahasan .1 Deskripsi fluktuasi SPL, klorofil, dan produksi ikan
Tabel 28 Signifikansi korelasi parsial parameter statistik SPL dan klorofil dengan produksi, produktivitas, dan densitas ikan pada kategori musim di
zona C.
Parameter statistik
kembung teri lemuru tembang layang selar
P Pv D P Pv D P Pv D P Pv D P Pv D P Pv D
mean median
modus standar deviasi
range minimum
maksimum
Keterangan: P = produksi; Pv = produktivitas; D = densitas. = korelasi signifikan dengan SPL, = korelasi signifikan dengan klorofil.
6.5 Pembahasan 6.5.1 Deskripsi fluktuasi SPL, klorofil, dan produksi ikan
Fluktuasi bulanan SPL dan klorofil di setiap zona perairan pantai barat Sulawesi Selatan berbeda. Keragaman fluktuasi SPL di zona C lebih rendah
dibandingkan zona A dan B. Pada zona A, keragaman fluktuasi SPL lebih tinggi dibandingkan zona B dan C. Perbedaan keragaman fluktuasi SPL
mengindikasikan fluktuasi SPL di zona C lebih stabil dibandingkan zona A dan B. Kestabilan SPL di zona C berkaitan dengan posisi geografi, dimana perairan
pantai di zona C yang terletak di bagian utara dominan dipengaruhi aliran massa air Selat Makassar yang sepanjang tahun mengalir dari utara ke selatan. Berbeda
dengan perairan pantai zona A dan B yang terletak bagian selatan Sulawesi, walaupun berada pada aliran massa air Selat Makassar namun juga dipengaruhi
angin munson. Secara bergantian antara musim timur dan barat menyebabkan arah aliran massa air berbeda yang berdampak terhadap perubahan SPL. Pada
musim timur Juni-September massa air di perairan Indonesia bergerak dari timur ke barat dengan volume yang besar dari Laut Banda pada bagian permukaan akan
menyebabkan penaikan massa air up welling untuk menggantikan massa air yang keluar Nontji 1987 atau Ekman Up Welling Gordon 2005. Penaikan
massa air menyebabkan massa air yang dingin pada lapisan bawah akan terangkat
menyebabkan SPL lapisan permukaan lebih dingin atau rendah dibandingkan pada musim barat. Massa air yang dingin tersebut juga akan masuk ke Selat Makassar
bagian selatan Sulawesi, sehingga perairan bagian selatan Sulawesi dipengaruhi munson Masumoto dan Yamagata 1993. Sifat munson yang mempengaruhi
perairan zona A dan B, sehingga menyebabkan SPL di zona A lebih rendah pada bulan Juni-September dibandingkan zona C.
Pada klorofil, keragaman di zona A lebih rendah dibandingkan zona B dan C, dimana keragaman fluktuasi klorofil di zona C lebih tinggi dibandingkan
zona A dan B. Perbedaan fluktuasi bulanan SPL dan klorofil menunjukkan adanya perbedaan kondisi perairan di perairan pantai barat Sulawesi Selatan.
Perbedaan fluktuasi SPL dan klorofil di setiap zona adalah juga gambaran umum perairan di Indonesia, yang dipengaruhi oleh munson sebagai pengaruh utama.
Selain itu pada perairan pantai juga dipengaruhi oleh topografi dan garis pantai Birowo 1982. Selain perbedaan karena munson, tingginya klorofil di zona A
disebabkan karakteristik perairan. Zat hara dibutuhkan oleh plankton untuk bertumbuh khususnya phytoplankton sebagai produsen dalam proses fotosintesa
Grahame 1987; Nybakken 1982. Ketersediaan zat hara yang tinggi di perairan Indonesia dipengaruhi, 1 penambahan zat hara dari daratan yang terbawa aliran
sungai; 2 adanya pengadukan turbulensi; dan 3 penaikan massa air up welling
. Proses perombakan atau regenerasi zat hara berlangsung di dasar perairan. Pada perairan dangkal hasil perombakan zat hara akan mudah terangkat
ke lapisan permukaan atau ke lapisan euphotik lapisan di bagian lautan yang terkena cahaya matahari akibat percampuran secara menegak tubulensi,
sehingga ketersediaan zat hara dapat berlangsung terus menerus. Berbeda dengan perairan laut dalam yang hanya dapat terjadi jika adanya penaikan massa air dan
hal ini hanya terjadi pada lokasi tertentu Birowo 1982. Dengan demikian konsentrasi klorofil yang lebih tinggi di zona A dibandingkan zona C karena
karakteristik perairan pantai zona A yang dangkal sehingga ketersediaan zat hara yang dibutuhkan fitoplankton lebih banyak dibandingkan zona C.
Posisi geografi dari setiap zona di perairan pantai barat Sulawesi Selatan sebagai penyebab utama adanya perbedaan keragaman pada SPL dan klorofil.
Kawasan perairan zona A, berdasarkan posisi geografi berada di bagian selatan
Sulawesi Selatan. Hasil penelitian Masumoto dan Yamagata 1993 yang membuat simulasi sirkulasi musiman munson di perairan Indonesia,
menunjukkan pada musim barat massa air dari Laut Jawa juga berbelok ke Selat Makassar. Pada musim timur, aliran massa air di bagian selatan Sulawesi Selatan
di pengaruhi aliran utama Selat Makassar yang bergerak dari utara ke selatan. Perbedaan aliran massa air tersebut, dari hasil citra satelit menunjukkan dibagian
selatan Sulawesi Selatan zona A, SPL lebih hangat pada musim barat dibandingkan musim timur Gordon et al. 2003; Gordon 2005. Dengan
demikian tingginya keragaman fluktuasi SPL di zona A dibandingkan zona B dan C akibat pengaruh munson. Pada zona C, dari citra satelit menunjukkan dalam
kurun waktu tahun 2002-2006 fluktuasi SPL bulanan bervariasi namun cenderung lebih hangat dibandingkan zona A dan B Lampiran 13. Fluktuasi SPL
sebagaimana hasil analisis Gordon et al. 2003 menggunakan citra satelit menunjukkan pada posisi geografi zona C cenderung lebih hangat dibandingkan
zona A dan B, baik pada musim barat maupun musim timur. Pada fluktuasi klorofil, dari citra satelit menunjukkan pada bagian pantai
zona A cenderung konsentrasi klorofil lebih tinggi dibandingkan zona B dan C. Perubahan klorofil berdasarkan munson menunjukkan bahwa pada musim timur
konsentrasi klorofil lebih tinggi dibandingkan musim barat dari hasil analisis citra satelit oleh Gordon 2005. Namun citra satelit tersebut pada bagian selatan
Sulawesi Selatan konsentrasi klorofil cenderung stabil, khususnya pada bagian pantai. Perbedaan konsentrasi klorofil pada musim timur dan barat adalah pada
musim timur luasan konsentrasi klorofil lebih luas dibandingkan musim barat. Citra satelit hasil analisis Gordon 2005, pada perairan pantai di bagian utara
Sulawesi selatan zona C menunjukkan konsentrasi yang cenderung stabil, baik musim timur maupun musim barat, namun konsentrasi klorofil pada bagian utara
Sulawesi Selatan lebih rendah dibandingkan bagian selatan. Klorofil berkaitan dengan produktivitas primer, dimana produktivitas primer
didefinisikan sebagai laju produksi senyawa organik dari senyawa anorganik lewat proses fotosintesis. Proses fotosintesis di alam hanya dapat berlangsung
pada tumbuh-tumbuhan yang mengandung klorofil Birowo 1982; Nybakken 1982; Grahame 1987. Tumbuh-tumbuhan dalam hal ini fitoplankton
membutuhkan zat hara untuk proses produksi dan melakukan fotosintesis. Konsentrasi zat hara di perairan dangkal dan laut dalam berbeda. Pada laut
dangkal, dimana konsentrasi zat hara tinggi pada kolon air akan mudah terangkat ke lapisan permukaan sebagai akibat dari proses percampuran secara vertikal.
Pada perairan laut dalam atau laut terbuka akan terbentuk stratifikasi thermal atau lapisan thermoklin, dimana kerapatan massa air berbeda antara lapisan permukaan
dengan lapisan dalam. Struktur thermal yang semakin dalam mengakibatkan sulit terjadi proses percampuran secara vertikal, akibatnya zat hara tidak terangkat ke
bagian permukaan Birowo 1982; Nybakken 1992. Dengan demikian perbedaan konsentrasi klorofil, dimana zona A lebih tinggi dibandingkan zona C terindikasi
dari perbedaan struktur kedalaman perairan. Perairan pantai zona C adalah perairan terbuka, sedangkan perairan zona A, dangkal dan merupakan gugusan
pulau-pulau. Pada perhitungan SPL dan klorofil dari bulanan menjadi kuartalan
menggunakan parameter statistik dengan perbedaan kategori skala waktu, yaitu kategori kalender dan musim. Fluktuasi mean SPL menunjukkan adanya
perbedaan antara kategori kalender dan musim. Pada kuartal 3 kategori kalender, zona C lebih hangat dibandingkan zona A dan B, namun pada kategori musim
zona C lebih dingin dibandingkan zona A dan B. Pada kuartal 4 kategori musim fluktuasi mean SPL lebih dingin dibandingkan kuartal 4 kategori kalender di
setiap zona. Fluktuasi mean SPL, baik kategori kalender maupun musim menunjukkan zona B cenderung lebih hangat dibandingkan zona A dan C.
Fluktuasi modus SPL pada kuartal 4 kategori kalender lebih hangat dibandingkan kuartal 4 kategori musim di setiap zona. Pada fluktuasi maksimum SPL, kuartal 2
kategori kalender lebih hangat dibandingkan kuartal 2 kategori musim di setiap zona. Fluktuasi maksimum SPL menunjukkan zona B cenderung lebih hangat
dibandingkan zona A dan C, baik kategori kalender maupun kategori musim. Berdasarkan parameter statistik ukuran pemusatan data, fluktuasi mean
klorofil di zona A lebih tinggi dibandingkan zona B dan C pada setiap kuartal, kecuali kuartal 1 kategori musim. Pada fluktuasi modus klorofil juga
menunjukkan zona A lebih tinggi dibandingkan zona B dan C, kecuali pada kuartal 1 kategori kalender. Pada fluktuasi maksimum klorofil, zona A cenderung
lebih tinggi dibandingkan zona B dan C, namun terdapat variasi fluktuasi kuartalan klorofil pada setiap tahun 2002-2006 yang berbeda antara kategori
kalender dan musim. Kecenderungan perbedaan konsentrasi klorofil berdasarkan parameter statistik mean, modus, dan maksimum pada setiap kuartal merupakan
klasifikasi adanya perbedaan kondisi ekosistim diantara zona pada perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Klasifikasi tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi
klorofil yang lebih tinggi di zona A karena tipe perairan pantai yang dangkal, sehingga proses pengadukan akan mencapai dasar perairan dimana terdapat zat
hara hasil perombakan yang akan mudah terangkat ke lapisan permukaan. Selain itu pengaruh munson di perairan zona A. Berbeda dengan zona B dan C yang
relatif dalam, dimana pengadukan perairan bergantung pada proses penaikan massa air dan kedalaman lapisan termoklin.
Fluktuasi kuartalan SPL dan klorofil berdasarkan parameter statistik mean, modus, dan maksimum, baik kategori kalender maupun musim menunjukkan
variasi fluktuasi tahunan 2002-2006 yang berbeda pada setiap kuartal, baik kategori kalender maupun kategori musim. Fluktuasi SPL sebagaimana uraian
tersebut di atas, cenderung zona B lebih hangat dibandingkan zona A dan C. Fluktuasi kuartalan klorofil berdasarkan parameter statistik menunjukkan zona A
cenderung lebih tinggi dibandingkan zona B dan C. Terdapat perbedaan fluktuasi kuartalan antara kategori kalender dan musim di setiap zona, mengindikasikan
dibutuhkan penggunaan parameter statistik agar dapat mendefinisikan variasi fluktuasi kondisi oseanografi. Fluktuasi SPL dan klorofil merupakan faktor
oseanografi utama yang sering digunakan untuk mengetahui ketahui keberadaan dan kelimpahan ikan. Variabilitas pada kondisi lingkungan laut akan
menyebabkan terjadi pergeseran kelimpahan ikan dalam jangka waktu tertentu pada suatu wilayah perairan dan ini berdampak terhadap ketersediaan ikan untuk
perikanan Bakun et al. 1982; Kawasaki 1991; Bakun 1996. Fluktuasi kuartalan kelimpahan ikan di setiap zona mengindikasikan adanya
respons ikan terhadap fluktuasi perubahan kondisi lingkungan laut. Selain faktor oseanografi, posisi geografi zona A, B, dan C di perairan pantai barat Sulawesi
Selatan menunjukkan perbedaan kondisi ekosistem dan terdapat fluktuasi kuartalan berdasarkan faktor produksi perikanan tangkap, yaitu produksi,
produktivitas, dan densitas yang berbeda di setiap zona. Pada fluktuasi produksi ikan, zona A yang dominan adalah jenis kembung, zona B dan C dominan jenis
layang. Pada fluktuasi produktivitas ikan di zona A, jenis teri lebih besar dibandingkan jenis lainnya pada setiap kuartal. Pada zona B, fluktuasi
produktivitas jenis layang lebih besar dibandingkan jenis lainnya pada setiap kuartal. Pada zona C, fluktuasi produktivitas jenis layang lebih besar
dibandingkan jenis lainnya pada setiap kuartal. Pada fluktuasi densitas ikan, zona A yang tinggi adalah jenis kembung pada setiap kuartal. Pada zona B, fluktuasi
densitas ikan yang tinggi adalah jenis layang pada setiap kuartal. Pada zona C, fluktuasi densitas ikan yang tinggi adalah jenis layang.
Perbedaan kelimpahan ikan di setiap zona berdasarkan faktor produksi perikanan tangkap sebagaimana diuraikan sebelumnya, mengindikasikan posisi
geografi dan ekosistem berpengaruh terhadap perbedaan tersebut. Faktor lingkungan merupakan faktor utama yang menentukan perubahan kelimpahan
ikan pelagis kecil Bakun 1996; Cury et al. 2000; Fréon et al. 2005. Faktor lingkungan berdasarkan fluktuasi SPL dan klorofil telah mengindikasikan adanya
perbedaan pada setiap zona yang memiliki keunikan ekosistem. Selain itu perbedaan berdasarkan faktor produksi perikanan tangkap berkaitan dengan
peluang penangkapan. Peluang tertangkap suatu jenis ikan lebih banyak dibandingkan jenis lainnya oleh berbagai jenis unit penangkapan, karena
konsentrasi jenis ikan tertentu lebih tinggi dibandingkan jenis ikan lainnya. Dengan demikian perbedaan dalam faktor produksi perikanan tangkap
mengindikasikan keunikan ekosistem dimana aktivitas penangkapan dilakukan. Keunikan ekosistem yang menyebabkan adanya perbedaan jenis ikan yang
dominan pada setiap zona. Jenis kembung berada pada pelagik neritik dan relatif berada pada kedalaman dengan kisaran 20-90 m. http:www.fishbase.org
SummarySpeciesSummary.php?id=111 yang diakses tanggal 20 Januari 2010. Jenis ikan layang bersifat benthopelagic dan berada kisaran kedalaman 40-275 m
http:www.fishbase.orgSummarySpeciesSummary.php?id=374 yang diakses pada tanggal 20 Januari 2010.
Keunikan ekosistem pada perairan pantai barat Sulawesi Selatan dapat terlihat dari penelitian Anggraini 2008 dan Najamuddin 2004. Penelitian
Anggraini 2008 di perairan kabupaten Pangkep menunjukkan jumlah hasil tangkapan ikan layang tertinggi sebesar 1 291 kg pada SPL 29.0
C. Penelitian Najamuddin 2004 di perairan Mamuju dan Majene menunjukkan jumlah hasil
tangkapan ikan layang tertinggi sebesar 5 042 kg pada SPL 29.0 C. Perairan
kabupaten Pangkep dalam penelitian ini adalah zona A dan perairan kabupaten Majene dan Mamuju adalah zona C. Hasil penelitian tersebut mengindikasikan
kelimpahan ikan layang yang lebih besar di zona C dibandingkan zona A. Selain itu hasil penelitian tersebut juga mengindikasikan habitat ikan layang di perairan
pantai barat Sulawesi Selatan berada pada SPL 29 C.