Pembahasan .1 Dinamika upaya penangkapan, produksi, dan produktivitas dari

5.5 Pembahasan 5.5.1 Dinamika upaya penangkapan, produksi, dan produktivitas dari setiap unit penangkapan ikan pelagis kecil. Kuantifikasi perubahan upaya penangkapan membutuhkan standardisasi untuk dapat menilai upaya penangkapan ke dalam satuan baku dari satu jenis alat tangkap Purwanto 1990, karena prinsip penangkapan dari setiap unit penangkapan berbeda sehingga besaran upaya penangkapan juga berbeda. Misalnya antara pukat cincin dan jaring insang tetap, dimana pukat cincin bergerak untuk melingkari gerombolan ikan, sedangkan jaring insang tetap menghadang renang ikan atau bersifat pasif. Perbedaan prinsip penangkapan tersebut menunjukkan perbedaan kemampuan tangkap, sehingga upaya penangkapan perlu standardisasi agar dengan tepat dapat menilai pengaruh penangkapan terhadap ketersediaan ikan. Dalam analisis ini kuantifikasi perubahan upaya penangkapan dilakukan dengan standardisasi berdasarkan produktivitas penangkapan untuk mengatasi perbedaan prinsip penangkapan dari berbagai jenis alat tangkap dalam produksi. Penggunaan ukuran produktivitas sebagai ukuran standardisasi, karena produktivitas penangkapan merupakan produk secara proporsional dari upaya penangkapan dan kelimpahan ikan. Standardisasi dalam penelitian ini dilakukan dua kali dengan tujuan untuk mengurangi berbagai variasi kemampuan alat tangkap akibat perkembangan teknologi penangkapan ikan yang dipengaruhi regulasi atau kebijakan pembangunan perikanan. Terdapat perbedaan alat tangkap standar antara standardisasi yang pertama dan kedua, karena dalam melakukan standardisasi yang menjadi ukuran adalah produktivitas dari setiap unit penangkapan. Hasil standardisasi pertama kemudian dilakukan standardisasi yang kedua. Dengan demikian dapat saja terdapat perbedaan unit penangkapan standar pada standardisasi pertama dan yang kedua. Upaya penangkapan dari 8 unit penangkapan yang telah distandardisasi dengan pendekatan periode kebijakan pembangunan perikanan pada masing- masing zona menunjukkan cenderung meningkat, baik linier maupun eksponensial dalam kurun waktu tahun 1977-2006. Kecederungan linier mengindikasikan upaya penangkapan meningkat atau menurun secara tetap seiring dengan perubahan waktu dalam hal ini satuan tahun. Kecenderungan eksponensial adalah perubahan yang terjadi pada waktu tertentu melambat dan pada kurun waktu lainnya bergerak cepat, baik menurun maupun meningkat. Kecenderungan linier maupun eksponensial pada upaya penangkapan dalam kurun waktu 30 tahun mengindikasikan adanya keragaman perubahan upaya penangkapan dari 8 unit penangkapan di masing-masing zona. Sebagaimana hasil MDS berdasarkan upaya penangkapan yang menunjukkan posisi relatif dari masing-masing unit penangkapan ikan berbeda di zona A, B, dan C. Perbedaan pola perubahan upaya penangkapan dari 8 unit penangkapan ikan di setiap zona dipengaruhi oleh kemampuan tangkap dari setiap unit penangkapan ikan. Kemampuan tangkap akan mempengaruhi ketersediaan ikan di lokasi penangkapan, ketersediaan ikan yang berkurang akan berdampak terhadap keuntungan yang diperoleh akibatnya nelayan akan mengurangi upaya penangkapan atau beralih ke jenis alat tangkap lainnya yang lebih menguntungkan. Sebagaimana perubahan upaya penangkapan payang dan pukat cincin di zona A yang memiliki prinsip penangkapan yang sama, namun trend upaya penangkapan kedua unit penangkapan tersebut signifikan linier menurun untuk payang dan meningkat untuk pukat cincin. Pergeseran upaya penangkapan ikan tersebut yang mulai pada periode pertama 1977-1982, dimana jumlah upaya penangkapan payang menurun dan pukat cincin meningkat Lampiran 4. Tidak terdapat catatan secara khusus tentang pergeseran upaya penangkapan dari payang ke pukat cincin yang memiliki prinsip penangkapan yang sama. Payang merupakan salah satu alat tangkap yang dominan pada perikanan skala kecil dalam kurun waktu tahun 1975-1979 dengan produksi ikan pelagis yang terbesar di perairan pantai barat selatan Sulawesi Bailey et al. 1987, zona A dalam penelitian ini. Pergeseran upaya penangkapan kedua unit penangkapan tersebut yang memiliki prinsip penangkapan yang sama diduga dampak dari masuknya teknologi pukat cincin dari utara Jawa ke perairan pantai barat, selatan Sulawesi dan dianggap lebih produktif dibandingkan payang. Pukat cincin mulai di perkenalkan tahun 19731974 oleh BPPL Balai Penelitian Perikanan Laut di pantai utara Jawa dan perkembangannya lebih pesat dibandingkan payang yang tradisional Subani dan Barus 1988. Upaya penangkapan payang di zona B dan C cenderung meningkat dan jumlah upaya penangkapan lebih besar dibandingkan unit penangkapan lainnya. Perbedaan trend upaya penangkapan payang dan pukat cincin antara zona A dengan zona B dan C perlu analisis lebih lanjut berkaitan dengan nilai ekonomi pengoperasian kedua alat tangkap tersebut. Hal tersebut penting mengingat payang dan pukat cincin memiliki prinsip penangkapan yang sama, yaitu melingkari gerombolan ikan. Perbedaan kecenderungan jumlah upaya penangkapan payang dan pukat cincin di antara zona pada perairan pantai barat Sulawesi Selatan cenderung pada faktor ekonomi untuk memperoleh keuntungan dalam pengoperasian unit penangkapan tersebut. Perubahan upaya penangkapan tahunan di zona A, berdasarkan persamaan garis trend dan uji beda Kruskal-Wallis menunjukkan pukat cincin dan bagan perahu lebih besar dibandingkan unit penangkapan lainnya. Peningkatan upaya penangkapan dari suatu jenis upaya penangkapan berkaitan dengan keuntungan secara ekonomi Jennings et al. 2005. Keuntungan ekonomi dari suatu unit penangkapan, karena unit penangkapan tersebut lebih produktif dibandingkan unit penangkapan lainnya. Pukat cincin dan bagan perahu lebih produktif dibandingkan unit penangkapan lainnya, sebagaimana hasil uji beda Kruskal- Wallis pada produktivitas 8 unit penangkapan. Selain bagan perahu di zona A, terdapat juga bagan rambo yang hanya terdapat di perairan Barru, dimana prinsip penangkapan sama dengan bagan perahu, namun jumlah upaya penangkapan cenderung meningkat, karena kemampuan penangkapan yang lebih besar. Bagan rambo dalam pengoperasiannya menggunakan alat bantu lampu dengan intensitas cahaya tinggi sehingga mampu mengkonsentrasikan ikan pelagis kecil dalam jumlah yang besar. Trend upaya penangkapan dan produksi ikan dalam kurun waktu tahun 1977-2006 mengindikasikan dalam kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil di perairan pantai barat Sulawesi Selatan, terdapat unit penangkapan yang dominan. Dominannya suatu unit penangkapan dapat disebabkan oleh kemampuan jelajah untuk mendapatkan lokasi penangkapan, karena menggunakan mesin dengan kekuatan yang besar Pet-Soede 2000; Rjindsdorp et al. 2000. Unit penangkapan yang teridentifikasi dominan di zona A adalah pukat cincin dan bagan perahu, sedangkan di zona B dan C adalah payang dan bagan perahu. Unit penangkapan ikan yang dominan tersebut dengan kemampuan jelajah yang lebih luas dalam mencari lokasi penangkapan ikan menyebabkan peluang untuk meningkatkan produksi juga lebih besar dibandingkan unit penangkapan lainnya. Sebagaimana uraian tentang lokasi penangkapan ikan dari unit penangkapan yang dominan di bab sebelumnya, mampu menjangkau lokasi penangkapan dengan jarak 3-5 mil dari pantai. Bandingkan dengan jaring insang hanyut dan jaring insang tetap yang dalam pengoperasiannya menggunakan perahu motor tempel berkekuatan 7-20 PK, lokasi penangkapan berada sekitar 1-2 mil dari pantai Sudradjat et al. 1995; Pet-Sode 2000. Kemampuan kapal yang digunakan dalam pengoperasian alat tangkap akan menentukan pemilihan lokasi penangkapan. Unit penangkapan yang memiliki ukuran kapal dan kekuatan mesin yang lebih besar akan lebih luas jangkauannya untuk mencari lokasi penangkapan yang memiliki konsentrasi ikan tinggi dibandingkan jaring insang hanyut yang lokasi penangkapan terkonsentrasi dekat pulau-pulau ataupun pantai dekat daratan Sulawesi Selatan. Upaya penangkapan yang dominan dari unit penangkapan ikan tertentu berdampak terhadap kegiatan penangkapan ikan, karena alat tangkap dominan akan menyisakan ketersediaan ikan yang terbatas bagi unit penangkapan yang tidak mampu menjangkau lokasi penangkapan yang lebih luas Sparre dan Venema 1999. Unit penangkapan ikan yang dominan seharusnya dapat diawasi lebih ketat, karena ketersediaan ikan pelagis kecil bukan tidak terbatas. Ketersediaan ikan yang terbatas dan perikanan pelagis kecil yang multigear dan multispecies di perairan pantai barat Sulawesi Selatan, merupakan potensi konflik diantara unit penangkapan ikan pelagis kecil. Selain itu pola operasi penangkapan dari unit penangkapan pelagis kecil di perairan pantai barat Sulawesi Selatan adalah one day trip, sehingga jangkauan unit penangkapan relatif berada di perairan pantai atau dekat pantai sebagaimana hasil pemetaan daerah penangkapan ikan pada bab sebelumnya. Demikian juga pola operasi penangkapan dari unit penangkapan dominan yang mampu menjangkau areal penangkapan yang lebih luas di kawasan pantai akan menyebabkan terjadinya penguasaan lokasi penangkapan. Penguasaan lokasi penangkapan dapat menyebabkan terjadinya pergeseran upaya penangkapan, dimana pergeseran upaya penangkapan dapat menyebabkan karakteristik perikanan pelagis kecil di perairan pantai barat Sulawesi Selatan dari perikanan multigear menjadi perikanan multigear terbatas Sparre dan Venema 1999. Perubahan produktivitas penangkapan tahunan menunjukkan dalam kurun waktu tahun 1977-2006 cenderung menurun, baik secara linier maupun eksponensial. Kecenderungan menurun merupakan indikasi yang berkaitan dengan upaya penangkapan yang meningkat dan pada sisi lain ketersediaan ikan terbatas. Produktivitas penangkapan adalah seberapa besar produksi ikan yang diperoleh secara proporsional dari upaya penangkapan dan ketersediaan ikan, sehingga bila ketersediaan ikan berkurang akibat upaya penangkapan meningkat maka produktivitas akan menurun Gulland 1983. Kecenderungan menurunnya produktivitas pada setiap unit penangkapan dapat dipengaruhi banyak faktor, namun faktor utama adalah keuntungan ekonomi, yaitu mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga upaya penangkapan meningkat. Sebagaimana perspektif ekologi tentang pemangsaan, dimana predator akan memburu mangsanya, demikian juga dalam pengoperasian unit penangkapan yang akan bergerak bebas untuk mendapatkan tujuan penangkapan guna meningkatkan produksi ikan Walters dan Martell 2004; Jennings et al. 2005; Branch et al. 2006. Trend hubungan produktivitas dengan upaya penangkapan pada setiap unit penangkapan di masing-masing zona yang menunjukkan signifikan menurun, baik secara linier maupun eksponensial. Namun jaring lingkar, baik di zona A dan B menunjukkan trend meningkat dengan meningkatnya upaya penangkapan, hal ini mengindikasikan bahwa di lokasi penangkapan jaring lingkar ketersediaan ikan pelagis kecil relatif lebih besar dibandingkan lokasi penangkapan dari unit penangkapan ikan lainnya. Dengan demikian penambahan upaya penangkapan masih memungkinkan di lokasi penangkapan jaring lingkar. Namun hal tersebut perlu kajian lebih lanjut terhadap kegiatan penangkapan jaring lingkar, karena produktivitas unit penangkapan ikan lainnya cenderung menurun dengan meningkatnya upaya penangkapan. Tingkah laku unit penangkapan adalah memburu atau mencari lokasi penangkapan yang potensil, sehingga apakah lokasi penangkapan jaring lingkar, baik di zona A dan B spesifik dan belum tereksploitasi oleh berbagai unit penangkapan lainnya. Tingginya produksi dari upaya penangkapan yang rendah, maka produktivitas akan tinggi, namun prilaku nelayan yang mengejar keuntungan akan beralih ke jaring lingkar, sehingga upaya penangkapan akan meningkat. Sulit untuk menjawab mengapa trend produktivitas meningkat, perlu kajian lebih lanjut terhadap jaring lingkar dan untuk sementara dapat dianggap sebagai pencilan dari kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil di zona A dan B. Memperhatikan persamaan garis trend yang signifikan, produktivitas menurun dengan meningkatnya upaya penangkapan pada bagan tancap lebih besar dibandingkan unit penangkapan di zona A, sedangkan di zona B adalah pukat cincin dan di zona C adalah payang. Hubungan produktivitas yang menurun dengan meningkatnya upaya penangkapan pada bagan tancap, dapat dipastikan karena bagan tancap dalam pengoperasian bersifat menetap atau pasif. Sifat menetap atau pasif dalam pengoperasian yang menyebabkan ketersediaan ikan di lokasi penangkapan bagan tancap akan berkurang, sehingga produktivitas penangkapan juga akan berkurang. Demikian juga dengan pukat cincin, payang, dan bagan perahu yang menunjukkan produktivitas menurun akibat meningkatnya upaya penangkapan. Kemampuan menjangkau areal pennagkapan yang lebih luas akan mempengaruhi ketersediaan ikan dalam suatu kawasan. Berbeda dengan alat tangkap pasif, seperti bagan tancap yang hanya mempengaruhi ketersediaan ikan di perairan yang menjadi lokasi penangkapan. Meningkatnya upaya penangkapan pada beragam unit penangkapan untuk kurun waktu tahun 1977-2006 tentu berdampak terhadap ketersediaan ikan di setiap zona perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Jumlah upaya penangkapan yang meningkat akan mulai mempengaruhi stok, menurunkan kelimpahan dan rata-rata hasil tangkapan dari suatu unit upaya penangkapan Widodo et al. 2001. Sejauhmana keadaan stok ikan pelagis kecil di setiap zona perairan pantai barat Sulawesi Selatan telah terpengaruh akibat meningkatnya upaya penangkapan, membutuhkan penjelasan lebih jauh tentang keadaan perikanan pelagis kecil pada setiap unit penangkapan ikan berdasarkan keadaan biologi perikanan, dimana dalam penelitian ini tidak dilakukan. Keadaan biologi perikanan dapat menjelaskan tentang kemampuan produksi ikan pelagis kecil untuk mendukung suatu perikanan Gulland 1983; Sparre dan Venema 1999; Widodo 2001b, dimana dalam penelitian tidak dilakukan analisis biologi perikanan.

5.5.2 Dinamika perikanan pelagis kecil di perairan pantai barat Sulawesi Selatan.

Perkembangan kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil dalam kurun waktu tahun 1977-2006 di zona A, B, dan C perairan pantai barat Sulawesi Selatan, menunjukkan signifikan meningkat secara eksponensial, baik total upaya penangkapan maupun total produksi ikan. Laju perubahan peningkatan upaya penangkapan terbesar di zona A dan terendah di zona C sebagaimana terlihat dari persamaan garis trend. Demikian juga total produksi ikan, perubahan peningkatan lebih besar di zona A dan terendah di zona C. Laju peningkatan upaya penangkapan ikan yang lebih besar di zona A, mengindikasikan ketersediaan ikan untuk perikanan di zona A lebih besar dibandingkan zona B dan C, sehingga meningkatnya upaya penangkapan masih memperoleh keuntungan bagi nelayan. Ketersediaan ikan yang lebih besar dapat diketahui dari trend produksi dalam kurun waktu tahun 1977-2006 di zona A sebesar 35 000-40 000 ton, bandingkan dengan zona B sebesar 7 000-11 000 ton dan zona C sebesar 3 000-4 000 ton. Perbandingan produksi tersebut dalam kurun waktu 30 tahun telah cukup untuk menjadi indikasi ketersediaan ikan, karena produksi diperoleh dari peluang upaya penangkapan untuk “menahan” ikan yang menjadi tujuan penangkapan. CPUE tahunan menunjukkan trend menurun yang signifikan secara eksponensial pada setiap zona. Demikian juga trend hubungan upaya penangkapan dengan CPUE yang signifikan menurun secara linier di zona A dan B, sedangkan di zona C secara eksponensial. Laju perubahan CPUE tahunan terbesar berdasarkan persamaan garis trend di zona C. Trend hubungan CPUE dengan upaya penangkapan di zona C juga menunjukkan trend perubahan yang lebih besar dibandingkan zona A dan B. Kalau dapat dianggap atau diasumsikan trend CPUE berkaitan secara linier dengan kelimpahan ikan Branch et al. 2006, maka laju penurunan CPUE di setiap zona mengindikasikan efektifitas upaya penangkapan armada perikanan tangkap pelagis kecil mendekati ketidakseimbangan dengan keadaan stok perikanan, Purwanto 1990; Widodo 2001b; Gillis dan Peterman 1998; Maunder et al. 2006; Branch et al. 2006; McCluskey dan Lewison 2008; Quirijns et al. 2008. Laju penurunan CPUE yang lebih besar di zona C di bandingkan zona A dan B, dapat dijelaskan dari karakteristik ikan pelagis kecil di perairan zona C. Perairan pantai di zona C memiliki tipikal perairan terbuka dan dalam, sehingga ikan layang yang adalah pelagis kecil bersifat oseanik, dominan di zona C. Dominannya ikan layang, menyebabkan perikanan pelagis kecil di zona C cenderung “monospesies”, dampaknya adalah upaya penangkapan yang meningkat akan dengan cepat menurunkan CPUE. Bandingkan zona A dan B, dimana tidak terdapat adanya salah satu jenis ikan pelagis kecil yang dominan. Perubahan CPUE di setiap zona perairan pantai barat Sulawesi Selatan terletak pada jumlah upaya penangkapan armada perikanan pelagis kecil. Dapat dijelaskan bahwa perubahan upaya penangkapan merupakan dampak dari prilaku nelayan yang dipengaruhi faktor internal maupun eksternal. Faktor eksternal berkaitan dengan kebijakan atau regulasi perikanan tangkap maupun kebijakan ekonomi, sedangkan faktor internal berkaitan teknis penangkapan ikan. Faktor eksternal dan internal memicu perubahan upaya penangkapan sebagai respons terhadap perolehan keuntungan ekonomi maupun terhadap kebijakan atau regulasi Panayotou 1982; Jennings et al. 2001; Hilborn 2007. Namun penelitian ini tidak secara spesifik mengevaluasi faktor eksternal dan internal tersebut. Selain itu prilaku upaya penangkapan armada perikanan dari perspektif ekologi adalah predator yang apabila tidak mendapatkan hasil tangkapan sebagai mangsanya pada suatu lokasi penangkapan akan berpindah mencari lokasi lainnya yang menguntungkan Gillis dan Peterman 1998; Jennings et al. 2001; Branch et al. 2006; Hilborn 2007. Penelitian ini tidak mengevaluasi distribusi armada penangkapan ikan, namun hasil analisis pada masing-masing unit penangkapan ikan menunjukkan adanya unit penangkapan ikan yang memiliki laju peningkatan upaya penangkapan yang lebih besar, sehingga total upaya penangkapan ditentukan oleh unit penangkapan ikan yang dominan. Pada zona A adalah pukat cincin dan bagan perahu, zona B dan C adalah payang dan bagan perahu. Akibatnya perubahan aktivitas penangkapan akan mempengaruhi keadaan perikanan pelagis kecil di masing-masing zona. Jika trend CPUE dapat diasumsikan secara linier berkaitan dengan kelimpahan ikan, maka perubahan CPUE di setiap zona juga sebagai gambaran perubahan kelimpahan ikan pelagis kecil. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah ketersediaan ikan untuk perikanan yang sedikit sehingga CPUE rentan menurun, ataukah karena upaya penangkapan yang telah berlebihan sehingga CPUE secara proposional menurun. Pertanyaan tersebut dapat dijawab berdasarkan kecenderungan dari hubungan CPUE dengan upaya penangkapan. Ttotal upaya penangkapan terendah di zona A sebesar 495 unit, sedangkan di zona C total upaya penangkapan tertinggi sebesar 470 unit. Nilai total upaya penangkapan yang dapat dianggap setara tersebut, menunjukkan CPUE di zona A sebesar 49,6 tonupaya, sedangkan di zona C sebesar 36,4 tonupaya. Perbandingan tersebut mengindikasikan ketersediaan ikan pelagis kecil di zona A relatif lebih besar dibandingkan zona C, sehingga penambahan upaya penangkapan di zona C akan menyebabkan laju penurunan CPUE akan lebih besar dibndingkan di zona A. Dengan demikian dapat diduga bahwa menurunnya CPUE di zona C karena ketersediaan ikan yang relatif kecil, sehingga rentan terhadap penambahan upaya penangkapan. Berbeda dengan zona A, penurunan CPUE cenderung karena peningkatan upaya penangkapan. Penggunaan kurva surplus produksi dalam penelitian ini untuk menunjukkan kinerja perikanan pelagis kecil di perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Kinerja perikanan pelagis kecil ditentukan berdasarkan trend perubahan dalam kurun waktu tahun 1977-2006, dengan demikian kurva surplus produksi dalam penelitian ini bukan untuk mengetahui maximum sustainable yield MSY. Status perikanan pelagis kecil menggunakan kurva surplus produksi menunjukan perikanan pelagis kecil di zona A dan B telah berada pada status perikanan optimum. Peningkatan upaya penangkapan telah menyebabkan adanya penyesuaian dengan ketersediaan ikan, sebagaimana terlihat dari posisi tahun 2006 di zona A dan B yang mengarah ke kiri kurva. Penyesuaian terjadi ketika kompetisi antar alat tangkap untuk mendapatkan sumberdaya ikan dilakukan dengan meningkatkan upaya penangkapan yang menyebabkan tekanan semakin besar terhadap stok perikanan sehingga produksi menurun. Dampaknya adalah pelaku perikanan tangkap akan mengurangi upaya penangkapan karena tidak menguntungkan untuk produksi. Pola pergerakan upaya penangkapan pada setiap periode kebijakan pembangunan perikanan di kurva surplus produksi cenderung berbeda diantara zona A, B, dan C. Perbedaan tersebut mengindikasikan kebijakan umum pembangunan perikanan memberikan dampak yang berbeda dalam suatu kawasan. Dampak yang berbeda dapat disebabkan oleh perhatian pemerintah yang cenderung dekat ibukota provinsi atau juga karena potensi perikanan pelagis kecil di zona A lebih besar dibandingkan zona B dan C. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya tentang ketersediaan ikan yang berbeda sehingga pola perubahan akibat bergerak ke arah kanan kurva surplus produksi juga berbeda pada setiap zona. Kegiatan pennagkapan ikan pelagis kecil di zona A berada pada titik optimum kurva surplus produksi terjadi pada peridode 4, sedangkan di zona B pada periode 3. Kegiatan penangkapan ikan di zona B mencapai optimum lebih cepat dibandingkan di zona A, karena ketersediaan ikan untuk perikanan di zona A lebih besar sebagaimana nilai produksi di zona A yang lebih besar dibandingkan zona A dan C. Status perikanan di zona C sulit untuk dijelaskan, karena menunjukkan keadaan yang tidak umum, namun dalam pemanfaatan membutuhkan prinsip kehati-hatian agar tidak terjadi keadaan perikanan yang lebih tangkap. Kebijakan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan efektivitas upaya penangkapan dan kapasitas penangkapan, namun demikian pada sisi lain lebih memperburuk kondisi overfishing dan kapasitas penangkapan yang berlebihan Susilowati et al. 2005; Jeon et al. 2006. Upaya penangkapan yang berlebihan akan menyebabkan penyesuaian yang dilakukan armada penangkapan ikan pelagis kecil karena produksi hasil tangkapan yang diperoleh dengan upaya penangkapan yang semakin besar akan menyebabkan penerimaan total sama dengan biaya total titik keseimbangan open access. Jika telah melewati titik keseimbangan open access maka nelayan akan “keluar” dan akan kembali pada keadaan produksi surplus Panayotou 1986; Fauzi 2004; Widodo dan Suadi 2006. Penyesuaian dalam perikanan tangkap adalah tindakan atau prilaku dari unit penangkapan untuk mencari lokasi penangkapan yang menguntungkan, baik secara ekonomi maupun ekologi. Dengan demikian jika tidak memperoleh keuntungan dari kegiatan penangkapan ikan, apakah kebijakan pemberian insentif masih efektif untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan? Dibutuhkan analisis lebih lanjut tentang bioekonomi dari sumberdaya perikanan dengan memperhatikan perbedaan ekosistem, sehingga pemberian insentif jika tetap dilakukan akan tepat sasaran. Prinsip kehati-hatian dalam pengembangan perikanan pelagis kecil di zona A dan B seharusnya lebih diarahkan pada peningkatan kualitas hasil tangkapan yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah value added terhadap produksi ikan bukan pada pengembangan teknologi penangkapan ikan untuk efisiensi penangkapan ikan. Pada zona C jika akan dikembangkan dibutuhkan analisis lebih lanjut seberapa besar upaya penangkapan yang dibutuhkan untuk memanfaatakan sumberdaya ikan pelagis kecil. Selain itu dibutuhkan kajian biologi untuk jenis ikan ekonomis guna mengetahui berapa besar ketersediaan ikan untuk perikanan dan kemampuan produksi ikan pelagis kecil yang dapat dimanfaatkan, dimana tidak dilakukan dalam penelitian ini.

5.6 Kesimpulan