Kejahatan Anak dari Perspektif Politik Kriminal

mental, fisik, dan sosial, yang kemudian sangat diharapkan dapat menghasilkan kualitas manusia dewasa yang ideal. Anak Nakal merupakan bagian masyarakat yang tidak berdaya baik secara fisik, mental, dan sosial sehingga dalam penanganannya perlu perhatian khusus. Anak-anak yang terlindungi dengan baik menciptakan generai yang berkualitas, yang dibutuhkan demi masa depan bangsa. Karena alasan kekurangmatangan fisik, mental, dan sosialnya, anak membutuhkan perhatian dan bimbingan khusus, termasuk perlindungan hukum baik sebelum maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan memperoleh kesempatan yang diajmin berdasarkan hukum dan sarana lain, untuk tumbuh dan berkembang baik fisik, mental, dan sosial.

2. Kejahatan Anak dari Perspektif Politik Kriminal

Kejahatan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Semakin maju dan berkembangnya peradaban umat manusi, maka akan semakin mewarnai corak bentuk kejahatan yang muncul dalam kehidupan ini. 19 Kejahatan biasanya membayangi kehidupan manusia karena ia merupakan masalah sosial dan akan tetap menjadi urusan dan melekat pada manusia sepanjang masa. 20 19 Mahmud mulyadi dan feri antoni surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Koorporasi, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010, halaman 5. 20 Ali Masyar, Gaya Indonesia Menghadang teroristme, CV. Mandar Maju, Bandung 2009, halaman 20. Munculnya banyak bentuk kejahatan-kejahatan baru yang begitu kompleks, sesungguhnya merupakan konsekuensi yang logis dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat menimbulkan efek positif maupun efek negatif. Kejahatan itu harus ditanggulangi karena apabila tidak, kejahatan dapat membawa akibat-akibat : 1. Menganggu atau merusak dan merintangi tercapainya tujuan nasional; dan 2. Mecegah penggunaan optimal dari sumber-sumber nasional. Upaya penanggulangan kejahatan tindak pidana, diperlukan strategi dan kebijakan tetentu untuk dapat memberantasnya, minimal mengurangi dan menghambat perkembangannya. 21 Sudarto menyebutkan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disebut dengan kebijakan kriminal, kebijakan kriminal tersebut mempunyai tiga arti, yaitu : 22 a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi; c. Dalam arti paling luas yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. 21 Ibid 22 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditiya Bakti, Bandung 1996 halam 1 Beliau juga memberikan pengertian singkat, bahwa kebijakan kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Uraian-uraian sebelumya lebih merupakan upaya pemahaman tentang apa dan bagaimana serta latar belakang terjadinya perilaku delikuensi anak, baik secara teoretik maupun empiris. Pemahaman demikian sangat penting dalam rangka melandasi pemikiran-pemikiran ke arah upaya penanggulangan terhadp gejala yang berupa delikunsi anak itu. Tanpa dilandasi pemahaman teoretik dan empiris terhadap gejala perilaku delikunsi anak rasanya akan kurang “trep” dengan permasalahan yang sebenarnya ada dalam gejala itu. Berbekal atas pemahaman itulah, maka selanjutnya dala uraian pada bagian ini dibicarakan permasalahan penanggulangan gejala sosial yang berupa kejahtan pada umumnya dan perilaku delikuensi anak pada khususnya. 23 Upaya kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penangulangan kejahatan termasuk bidang “kebijakan kriminal”. Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan sosial” yang terdiri dar kebijakanupaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat. Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan politik kriminal dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” hukum pidana, maka “kebijakan hukum pidana” “penal policy”, khususnya pada tahap kebijakan yudikatifaplikatif penegakan hukum pidana in concreto 23 Paulus Hadisuprapto, Juvenile Deliquency Pemahaman dan Penangulangannya, PT citra Adtiya Bakti, Bandung, 1997, hlm 71. harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan “social defence”. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalisasioprasionalisasinya melalui beberapa tahap : 24 24 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Fajar Interpratma Offset, Jakarta, 2008, hlm 79. 1. tahap formulasi kebijakan legislatif; 2. tahap aplikasi kebijakan yudikatifyudisial; 3. tahap eksekusi kebujakan eksekutifadministratif. Dengan adanya tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegakpenerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum aparat legislatif; bahkan kebijakan legislatif merupakan yahap paling starategis dari “penal policy”. Karena itu, kesalahankelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahtan pada tahap aplikasi dan ekseskusi. Beberapa fenomena legislatif yang mengandung masalah dan dapat menghambat upaya penanggulangan kejahatan, salah satunya adalah : UU Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 yakni mengenai Pencabutan Pasal 45, 46, 47 KUHP, adanya pidana bersyarat dan pidana pengawasan yang hakikatnya sama, tidak ada syarat untuk pidana pengawasan, dan peluang menggunakan “pidana bersyarat” dalam undang-undang ini lebih kecil dibandingkan dengan KUHP. Berbicara mengenai penanggulangan kejahatan secara lebih jauh, ada baiknya kita memulai dengan apa yang disebut politik kriminal. 25

A. Politik Kriminal