Pengecualian Hukuman yang terdapat di KUHP BAB III di antaranya

1. Pengecualian Hukuman yang terdapat di KUHP BAB III di antaranya

adalah : Pasal 44: 1 Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum 2 Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa. 3 Yang ditentukan dalam ayat yang diatas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Penjelasan mengenai pasal ini apabila dihubungkan dengan keadaan anak yang melakukan tindak pidana kejahatan ialah: “ bahwa keadaan anak tersebut dianggap kurang sempurna akalnya misalnya: idiot, imbicil, buta-tuli dan bisu mulai sejak ia lahir. Orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, akan tetapi karena cacatnya mulai lahir, sehingga pikirannya tetap sebagai kanak-kanak. Dalam prakteknya jika Polisi menjumpai peristiwa semacam ini, ia tetap diwajibkan memeriksa perkaranya dan membuat proses perbal. Hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, dan dapat pula diminta keterangan dari dokter penyakit jiwa psychiater. Sehingga hakim dapat mempertimbangkan apakah anak ini dapat diminta pertanggungjawabannya atau tidak. 101 Jika seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum 16 tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, wali atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman atau memerintahkan supaya sitersalah diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk dalam bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 524, 417, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 dan perbuatan itu dialkukannya sebelum lalu 2 tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran itu atau sesuatu kejahatan atau menghukum anak yang bersalah itu. Pasal 45: 102 Pasal ini meminta dua syarat yang kedua-duanya harus dipenuhi. 103 Jika kedua syarat itu dipenuhi, maka hakim dapat memutuskan salah satu dari tiga kemungkinan. 104 101 Pasal 44 ayat 1, 2, 3 berikut dengan penjelasannya 102 Pasal 45 KUHP 103 a. Orang itu waktu dituntut harus belum dewasa. Yang dimaksudkan belum dewasa bagi orang Indonesia menurut L.N. 1931 No. 54, bagi orang Europa menurut pasal 330 B.W. ialah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai sebelum umur 21 tahun, ia tetap dipandang dewasa. b. Tuntutan itu mengenai peristiwa pidana yang telah dilakukan orang tersebut pada waktu sebelum ia berumur 16 tahun. Lihat KUHP Pasal 45 butir 1 bagian a dan b. 104 Jika kedua syarat itu dipenuhi, maka hakim dapat memutuskan salah satu dari tiga kemungkinan: a. anak itu dikembalikan pada orang tua atau walinya, dengan tidak dijatuhi hukuman suatu apa; b. anak itu dijadikan anak negara, maksudnya tidak dijatuhi hukuman, akan tetapi diserahkan kepada Rumah Pendidikan Anak 2 nakal untuk mendapat didikan dari Negara sampai anak itu berumur 18 tahun. c. anak itu dijatuhi hukuman seperti biasa. Dalam hal ini ancaman hukuman di kurangkan sepertiga. Lihat Pasal 45 butir 2 bagian a,b, dan c. Pasal 46: 1 Jika hakim memerintahkan, supaya si tersalah diserahkan kepada Pemerintah, maka ia baik ditempatkan dalam rumah pendidikan negeri supaya disitu kemudian dengan cara lain, ia mendapat pendidikan dari pihak Pemerintah, baik diserahkan kepada seseorang yang ada di Negara Indonesia atau kepada Perserikatan yang mempunyai hak badan hukum rechts person yang ada di negara Indonesia atau kepada balai derma yang ada di negara Indonesia supaya disitu mendapat pendidikan dari mereka atau kemudian dengan cara lain dari Pemerintah, dalam kedua itu selama-lamanya cukup 18 tahun. 2 Peraturan untuk menjalankan ayat pertama dari pasal ini ditetapkan dengan ordonasi. 105 Pasal 47: 1 Jika hakim menghukum si tersalah, maka maksimum hukuman utama yang ditetapkan atas perbuatan yang dapat dihukum itu dikurangi dengan sepertiganya. 2 Jika kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka dihukum penjara selama-lamanya 15 tahun. 3 Hukuman tambahan yang tersebut dalam pasal 10 huruf b 1e dan 3e tidak dijatuhkan. 106 Dari ketiga pasal tersebut antara lain ditentukan bahwa kepada hakim yang mengadili seorang anak yang belum mencapai umur 16 tahun diberikan kemungkinan mengambil salah satu dari 3 sikap yaitu: 1. Mengembalikan si anak kepada orang tuanya. 105 Pasal 46 KUHP ayat 1 dan 2 106 Pasal 47 KUHP ayat 1, 2, dan 3 dapat dilihat keterangan Pasal 45. 2. Menyerahkan anak kepada lembaga pendidikan anak-anak nakal 3. Menjatuhkan hukuman dengan ketentuan hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman pokok dikurangi dengan 13nya. Hakim akan mengembalikan si anak kepada orang tuanya atas pertimbangan orang tuanya atas pertimbangan, orang tua si anak tersebut masih mampu untuk mendidik anaknya tersebut. akan tetapi kalau hakim berpendapat bahwa orang tuanya dianggap tidak sanggup lagi untuk mendidik anaknya tersebut maka anak tersebut akan diserahkan kepada lembaga pendidikan anak-anak nakal kepunyaan negara untuk di didik. di tempat ini si anak akan di didik sampai umur 18 tahun. ia akan diberikan pendidikan latihan pekerjaan-pekerjaan yang akan berguna apabila ia kelak kembali kemasyarakat. Apabila hakim berpendapat 2 kemungkinan terdahulu tidak akan dapat memperbaiki si anak maka dalam hal ini hakim dapat mengambil sikap yang ketiga yaitu menghukum sia anak tersebut. 107 Daya paksa overmacht tercantum dalam Pasal 48 KUHP. Undang-Undang hanya menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan karena dorongan keadaan yang memaksa. Pasal 48: 108 “Barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum”. Di mana isi dari Pasal 48 berbunyi: 109 107 Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Medan : Penertbit Universitas Sumatera Utara USU PRESS, 1998, hlm. 56. 108 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, P.T Rineka Cipta, Jakata, 2008, hlm.152. 109 Pasal 48 KUHP Kata terpaksa harus diartikan, baik paksaan bathin, maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Dalam literatur hukum pidana biasanya daya paksa itu di bagi dua yang pertama daya paksa absolut atau mutlak, biasanya di sebut vis absoluta. Bentuk ini sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya, karena disini pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Jadi tidak mempunyai pilihan lain sama sekali. Misalnya, seseorang yang diangkat oleh orang pengulat yang kuat lalu dilemparkan ke orang lain sehingga orang lain itu tertindas dan cedera. Orang yang dilemparkan itu sendiri sebenarnya menjadi korban juga sehingga sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan menindas orang lain. Orang yang dilemparkan ini tidak dapat berbuat lain. Daya paksa absolut ini seperti tersebut di muka bersifat fisik, tetapi dapat juga bersifat psikis, misalnya orang yang hipnotis, sehingga melakukan delik. Di sini pun orang tersebut tidak dapat berbuat lain. Pasal 49: Pembelaan terpaksa ada pula pada setiap hukum pidana dan sama usianya dengan hukum pidana itu sendiri. Istilah yang dipakai oleh Belanda ialah noodweer tidak terdapat dalam rumusan undang-undang. Pasal 49 1 KUHP terjemahan mengatakan: “Tidak dipidana barang siapa yang melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain, karena serangan sekejab itu atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu melawan hukum.” Dari rumusan tersebut dapat ditarik unsur-unsur suatu pembelaan terpaksa noodweer tersebut: 1. Pembelaan itu bersifat terpaksa. 2. Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain. 3. Ada serangan sekejab atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu. 4. Serangan itu melawan hukum Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Serangan tidak boleh melampaui batas keperluan dan keharusan. Pasal 49 ayat 2 menyatakan: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dipidana.” Akan tetapi pembelaan diri di sini dilakukan sudah melampaui batas- batas wajar. Menurut pasal 49 ayat 2 ini, apa yang dilakukan tersebut sebenarnya sudah melampaui batas dari pembelaan diri. Akan tetapi hal ini terjadi akibat keadaan jiwaperasaan pelaku yang sangat tergoncang atas terjadinya serangan yang meruupakan perbuatan melawan hukum pada saat itu terjadi. Ada persamaan antara pembelaan terpaksa noodweer dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas noodweer exces, yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain. Perbedaanya adalah: 1. Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas noodweer dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas noodweer exces, yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang hebat, oleh karena itu, 2. Maka perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap melawan hukum, hanya orangnya tidak dipidana karena keguncangan jiwa yang hebat. 3. Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf. Sedangkan pembelaan terpaksa noodweer merupakan dasar pembenar, karena melawan hukumnya tidak ada. Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, batas pembelaan yang perlu dilampaui, jadi tidak proposional. 110 Pasal ini menentukan pada prinsipnya orang yang melakukan suatu perbuatan meskipun itu merupakan tindak pidana, akan tetapi karena dilakukan berdasarkan perintah undang-undang maka si pelaku tidak boleh dihukum. Asalkan perbuatannya itu memang dilakukan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi pelaku. Dengan demikian dalam hal ini pelaku melakukan suatu perbuatan demi kepentingan umum. Jadi ada suatu kepentingan yang lebih besar yang harus diutamakan oleh pelaku. Jika dihubungkan dengan teori theory of lesser evils, maka dalam hal ini pelaku tidak dipidana karena melakukan suatu perbuatan untuk kepentingan yang lebih besar, lebih baik. Kepentingan yang lebih besar, yang lebih baik Pasal 50 : 110 Andi Hamzah, loc.cit. merupakan alasan pembenar baginya untuk melakukan perbuatan tersebut, meskipun perbuatan pidana. Masalahanya adalah apakah perbuatan yang dimaksud dengan undang- undang tersebut, dan apakah juga termasuk peraturan perundang- undanganyang sebenarnya tidak sah karena bertentangan dengan undang- udang yang atasnya secara hirearkis. 111 Pasal 51 ayat 1 : Dalam hal ini yang dimaksud adalah semua peraturan perundang-undangan yang tidak sah asalkan hal itu dialakukan dengan itikad tidak baik. Dengan kata lain, Undang-Undang yang tidak sah itu dijalankannya dengan anggapan bahwa Undang-Undang itu adalah sah. Apabila hal itu terjadi, maka bukan lagi sifat melawan hikum perbuatannya yang hapus, akan tetapi kesalahan pelaku yang hapus, ia tidak mempunyai kesalahan, dan oleh karena itu ia tidak boleh dipidana. 112 Menurut Pasal ini seseorang yang melakukan tindak perintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dari suatu jabatan atau penguasa yang sah, meskipun perintah tersebut merupakan tindak pidana ia tidak boleh dihukum. Yang dimaksud dengan perintah disini tidak haru dalam bentuk tertulis saja, dan yang secara langsung disampaikan kepadanya, akan 111 Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia menurut Pasal 7 Undang-Undang No. 12 tahun 2012 adalah: 1. Undang-undang Dasar 1945; 2. Undang-undang; 3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Keputusan Presiden; 6. Peraturan Daerah. 112 Pasal 51 ayat 1 KUHP berbunyi : “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan kuasa oleh yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum. tetapi juga dalam bentuk instruksi lisan dengan menggunakan sarana komunikasi. Akan tetapi harus diperhatikan antara yang memerintah dengan yang diperintah harus ada hubungan jabatan dan dalam ruang lingkup kewenangankekuasaan menurut hukum politik meskipun tidak harus sebagi pegawai negeri. Pasal 51 ayat 2 : 113 Hukum pidana formil atau hukum acara pidana yang berlaku sekarang ini adalah berdsarkan Undang-undang yang disetujui pada tanggal 9 September 1981 dan disyahkan oleh sidang paripurna DPR pada tanggal 23 September 1981. Selanjutnya disyahkan menjadi Undang-Undang oleh Presiden pada tanggal 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Lembaran Negara Tahun Pasal ini menentukan bahwa melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah, tetap merupakan perbuatan melawan hukum; dan oleh karenanya tidak dapat dijadikan alasan untuk menghapuskan pidana tidak membebaskan pelakunya dari hukuman. Akan tetapi apabila perintah tersebut dilaksanakan oleh orang yang menerima perintah dengan itikad baik karena memandang perintah tersebut adalah perintah dari pejabat yang berwenang, dan pelaksanaan perintah tersebut termasuk dalam ruang lingkup tugas-tugasnya yang biasa ia lakukan, maka ia tidak dipidana.

2. Undang-Undang Nomor 81981 KUHAP