Kelemahan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Dikaitkan dengan Perlindungan Terhadap Anak.

2 Terdakwa menyesali perbuatanya; 3 Terdakwa belum pernah dihukum; 4 Terdakwa masih muda dan masih banyak baginya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya; 5 Bila tindakannya dilatarbelakangi pengaruh yang kuat dari keadaan lingkungannya, keluarga berantakan, anak dilatarbelakangi atau kurang diperhatikan orangtuanya. 80

C. Kelemahan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Dikaitkan dengan Perlindungan Terhadap Anak.

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan. Seorang delikuen sangat membutuhkan adanya perlindungan hukum. Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu cara melindungi tunas bangsa di masa depan. Perlindungan hukum terhadap anak yang 80 Ibid menyangkut semua aturan hukum yang berlaku. Perlindungan ini perlu karena anak merupakan bagian masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik dan mentalnya. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dan perawatan secara khusus. 81 Berbagai hal upaya pembinaan perlindungan tersebut, dihadapkan pada permasalahan dan tantangan dalam masyarakat kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak,bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja sering juga anak melakukan tindakan atau perilaku yang dapat merugikan dirinya dan atau masyarakat. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang berpengaruh terhadap nilai dan prilaku anak. Oleh karena itu, dalam menghadapi masalah Anak Nakal, orang tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan prilaku anak tersebut. Hubungan antara orang tua dengan anaknya merupakan suatu hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologis maupun mental spiritualnya. Mengingat ciri dan sifat anak yang khas tersebut, maka dalam 81 Marlina. Op.Cit. hlm. 42 menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap Anak Nakal diusahakan agar anak dimaksud jangan dipisahkan dari orang tuanya. Apabila karena hubungan antara orang tua dan anak kurang baik, atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat dan wajar. Demi pertumbuhan dan mental perkembangan anak, perlu ditentukan pembedaan perlakuan didalam hukum acara dan ancaman pidananya. Dalam hal ini atauran pengecualian dari ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang lama pelaksanaan penahanannya ditentukan sesuai dengan kepentingan anak dan pembedaan ancaman pidana bagi anak yang ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang penjatuhan Pidananya ditentukan 12 satu per dua dari maksimum ancaman pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak. Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankannya haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban sendiri atau bersama aparat pelindungnya. 82 82 http: www. Scribd.comdoc37993011RUU-Peradilan-Anak-808. Diakses tanggal 2 Mei 2012. Jam. 14.00 Untuk mengakomodasi penyelenggaraan perlindungan hak anak dalam proses peradilan pidana di Indonesia, pemerintah telah mengesahkan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. UU ini lahir untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Maka, kelembagaan dan perangkat hukum yang lebih mantap serta memadai mengenai penyelenggaraan peradilan anak perlu dilakukan secara khusus. Pada dasarnya, UU Pengadilan Anak merupakan suatu langkah maju bagi perlindungan hak-hak anak dalam proses peradilan anak di Indonesia. Namun, Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dirasa belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum, dan dianggap ada beberapa substansi dalam UU tersebut mengadung 7 tujuh kelemahan sekaligus yang menjadi alasan diadakan Rancangan Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni: 83 Pertama, berkaitan dengan usia anak nakal. Dalam Pasal 1 angka 1 dinyatakan anak nakal adalah orang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 delapan tahun tetapi belum mencapai usia 18 delapan belas tahun dan belum pernah kawin. Batas usia anak tersebut harus diubah dari usia minimal 8 delapan tahun menjadi 12 dua belas tahun. Sebab pada usia tersebut anak-anak tidak bisa dipertanggungjawabkan di depan sidang Peradilan Anak atas tindak pidana yang dilakukannya. Tetapi harus melalui mekanisme tersendiri yang bertujuan untuk mengendalikan prilaku anak tersebut ke arah lebih baik. 83 http: gagasanhukum.wordpress.comtaguu-nomor-3-tahun-1997. Diakses tanggal 2 Mei 2012. Jam. 15.00 Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas: 84 a. Perlindungan; b. Nondiskriminasi; c. Kepentingan terbaik bagi Anak; d. Penghargaan terhadap pendapat Anak; e. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak; f. Pembinaan dan pembimbingan Anak; g. Proposional; dan h. Perampasan kemerdekaan sebagai upaya terakhir. Anak dalam proses peradilan pidana berhak untuk: 85 a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperlihatkan kebutuhan sesuai dengan umurnya; b. Dipisahkan dari orang dewasa; c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif; d. Melakukan kegiatan rekreasional; e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakukan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; 84 RUU Sistem Peradilan Anak Pasal 2 85 RUU Sistem Peradilan Anak Pasal 3 i. Tidak dipublikasikan identitasnya; j. Memperoleh pendampingan orang tua danatau orang yang dianggap nyaman oleh Anak; k. Memperoleh advokasi sosial; l. Memperoleh kehidupan pribadi; m. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; dan n. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua, istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana. Dalam UU Pengadilan Anak disebutkan isitilah anak nakal bagi yang melakukan tindak pidana. Hal ini berbeda sekali dengan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan istilah anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab, istilah anak nakal mengandung pengertian seseorang yang melakukan tindak pidana sama halnya dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Padahal anak yang melakukan tindak pidana berbeda halnya dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Anak yang melakukan tindak pidana juga merupakan korban dari lingkungan budaya tempat ia dibesarkan. Untuk itu istilah anak nakal yang terdapat dalam UU Pengadilan Anak harus diganti dengan istilah anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana yang terdapat dalam UU Perlindungan Anak. Ketiga, penahanan terhadap anak nakal. Dalam pasal 44 ayat 6 dinyatakan penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara atau tempat tertentu. Sebenarnya penahanan terhadap anak nakal tersebut seharusnya tidak menempatkannya di Rumah Tahanan Negara, tetapi menempatkannya pada panti-panti sosial yang disediakan oleh Pemerintah dalam hal Departemen Sosial. Sebab tujuan penahanan anak melalui panti-panti sosial adalah untuk mengadakan pembinaan terhadap anak tersebut sehingga menjadi anak yang baik dan berguna bagi bangsa dan negara di masa yang akan datang. Sedangkan penahanan anak melalui Rumah Tahanan Negara dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental anak yang masi lemah dan rentan. 86 Kelima, tidak adanya UU yang secara khusus mengatur tentang hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum baik yang berkonflik dengan hukum maupun sebagai korban dari tindak pidana. Perlunya undang-undang yang secara khusus mengatur hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab hak-hak anak Karena anak berhak memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan pendampingan serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keempat, struktur dan kedudukan peradilan anak. Dalam Pasal 22 UU Pengadilan Anak dinyatakan Pengadilan Anak adalah pelaksanaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum. Hendaknya peradilan anak itu menjadi peradilan yang secara struktur hukum maupun kedudukannya sebagai lembaga peradilan yang berdiri sendiri di bawah Mahkamah Agung. Peradilan anak yang dikehendaki adalah peradilan yang berlangsung dari peradilan tingkat pertama, peradilan tingkat banding dan peradilan tingkat Mahkamah Agung sebagaimana layaknya fungsi peradilan yang ditentukan oleh undang-undang di Indonesia. 86 RUU Sistem Peradilan Anak Pasal 76 yang berhadapan dengan hukum berbeda halnya dengan hak-hak orang dewasa yang berhadapan dengan hukum. Hal ini disebabkan tingkat kecakapan orang dewasa. Dan secara lebih jauh masalah ini akan membawa perbedaan pada motivasi anak untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Keenam, tidak adanya pengaturan secara jelas alternatif penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum melalui upaya diversi. Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkn atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana. 87 Pada tingkat penuntutan, upaya diversi tidak dapat dilakukan karena lembaga penuntutan tidak memiliki kewenangan diskresioner. Sedangkan pada tingkatan pengadilan diversi terbatas pada tindakan pengadilan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara atau kurungan. Untuk itu perlu adanya pengaturan tentang upaya diversi secara jelas baik pada tingkat kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Sehingga aparat kepolisian tidak menggunakan kewenangannya itu sekehendak hatinya, tetapi berlandaskan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Adapun tujuan diversi adalah sebagai berikut: Dalam upaya diversi ini Lembaga Kepolisian dapat menggunakan kewenangan diskresioner yang dimilikinya. Antar lain tidak menahan anak, tetapi mendapatkan suatu tindakan berupa mengembalikan anak kepada orangtuanya atau menyerahkannya kepada negara. 88 a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; 87 Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, Medan: USU Press, 2010. Hlm 10. 88 RUU Sistem Peradilan Anak Pasal 6 c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Ketujuh, tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penagkapan dan penahanan terhadap anak nakal. Dalam prakteknya penagkapan terhadap anak nakal disamakan dengan orang dewasa. Yang membedakan hanya jangka waktu penahanan terhadap anak lebih singkat dari orang dewasa. Perlunya pengaturan secara jelas terhadap penagkapan dan penahanan terhadap anak agar lebih memberikan perlindungan yang maksimal terhadap anak dan terhindar dari perlakuan-perlakuan yang salah dari aparat penegak hukum. Penangkapan terhadap Anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 12 dua belas jam, 89 anak yang ditangkap ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus Anak, 90 penagkapan terhadap Anak harus dilakukan secara manusiawi dengan meperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya. 91 Penahanan terhadap Anak tidak dilakukan, kecuali berdasarkan pertimbangan kepentingan terbaik bagi Anak dan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir dalam waktu yang paling singkat, 92 dalam hal dilakukan penahanan terhadap Anak berlaku syarat sebagai berikut: 93 a. Anak telah berumur 14 empat belas tahun atau lebih; b. Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 tujuh tahun atau lebih; c. Dikhawatirkan akan melarikan diri; 89 RUU Sistem Peradilan Anak Pasal 29 ayat 1 90 RUU Sistem Peradilan Anak Pasal 29 ayat 2 91 RUU Sistem Peradilan Anak Pasal 29 ayat 3 92 RUU Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 30 ayat 1 93 RUU Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 30 ayat 2 d. Dikhawatirkan akan menghilangkan atau merusak barang bukti; dan e. Dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana. syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan, selama Anak ditahan, 94 kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap dipenuhi. 95 Adapun substansi lain yang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak LPKA, dan yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan mengenai Restoratif Justice dan Penyusunan Undang-Undang ini merupakan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Nomor 3668 yang dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik Anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa. Undang-Undang ini menggunakan nama Sistem Peradilan Pidana Anak tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Namum, merupakan bagian dari lingkungan peradilan umum. 94 RUU Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 30 ayat 3 95 RUU Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 30 ayat 4 Diversi, yaitu dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigma terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali kedalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Pada akhirnya proses ini harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif baik bagi Anak maupun bagi Korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Dari kasus-kasus yang muncul adakalanya Anak berada dalam dalam status Saksi danatau Korban, sehingga Anak Sebagai Saksi danatau Korban juga diatur dalam Undang-Undang ini. Khusus mengenai Saksi terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan usia Anak yang masih berusia kurang dari 12 dua belas tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai usia 12 dua belas tahun sampai 18 delapan belas tahun dapat dijatuhkan tindakan dan pidana. Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi Perlindungan terhadap Anak, maka perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan pada pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan Umum. Undang-undang tentang Sistem Peradilan Anak ini mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan Hukum mulai dari tahap penyidikan sampai dengan tahap pembibingan setelah menjalani pidana. 96 96 www.dpjj.depkumham.go.id.harmonisasi-peraturan-lainnya43sosialisasi571-ruu- sistem-peradilan-pidana-anak-html. diakses tanggal 2 Mei 2012. Jam. 15.00 Dengan adanya sosialisasi RUU Sistem Peradilan Pidana Anak ini, maka sangat diharapakan Perlindungan Hukum terhadap Anak yang melakukan tindak pidana akan semakin terlindungi hak-hak mereka, seperti diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya, memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif, bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya.

BAB III IMPLIKASI UJI MATERIL MENGENAI BATAS USIA ANAK DALAM

PROSES PENANGANAN ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PUTUSAN MK NOMOR 1PUU-VIII2010

A. Uji Materil Terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak