Permasalahan Keaslian Penulisan Politik Kriminal

Pengadilan Anak yang memberikan stigmatitasi “anak nakal” yang dianggap melakukan tindak pidana. Undang-Undang Pengadilan Anak juga dinilai melanggar hak konstitusionalitas yakni asas legalitas dan bisa mengakibatkan pemidanaan anak- anak yang dianggap melanggar adat-isitiadat setempat. Di samping itu, Pemohon juga mengemukakan bahwa batas usia umur anak sekurang-kurang delapan tahun yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah terlalu rendah dan tidak memenuhi rasa keadilan serta melanggar hak konstitusional anak. Adapun tujuan dari perubahan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Lembaran Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668 adalah agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan bagi kepentingan terbaik Anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus generasi penerus bangsa berikutnya. 8 8 http:www.indopos.co.idindex.phparsip-berita-indopos66-indopos9332-linda- uupengadilan-anak-banyak-langgar-hak-anak.html. Diakses tanggal 18 April 2012. Jam . 15.00

B. Permasalahan

Permasalahan merupakan acuan untuk melakukan penelitian dan juga menentukan bahasan selanjutnya sehingga sasaran dapat tercapai. Dapat juga dikatakan secara singkat bahwa “tiada suatu penelitian tanpa adanya suatu masalah.” Selain itu, pokok materi pembahasan dan tujuan dari penelitian ini tergambar dari permasalahan yang dikemukakan oleh penulis. Penulis membatasi masalah yang menyangkut penulisan skripsi ini untuk mendapatkan dan mendekati nilai objektif dalam pemasalahan tersebut, sebagai berikut : 1. Apakah Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah memberikan perlindungan kepada anak pelaku tindak pidana ? 2. Apakah Implikasi Uji Materil mengenai batas usia anak dalam proses penanganan anak pelaku tindak pidana ?

C. Keaslian Penulisan

Penulis mencoba menyajikan sesuai dengan fakta-fakta yang akurat dan dari sumber yang terpercaya dalam hal penulisan skripsi ini, sehingga skripsi ini tidak jauh dari kebenarannya. Dalam menyusun skripsi ini pada prinsipnya penulis membuatnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik dari liteture yang diperoleh penulis dari perpustakaan dan media massa baik cetak maupun media elektronik yang akhirnya penulis tuangkan dalam skripsi ini. Kemudian setelah penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada di perpustakaan Fakultas Hukum USU, maka judul mengenai Implikasi “Uji Materil Mengenai Batas Usia Anak Dalam Proses Penanganan Anak Pelaku Tindak Pidana” belum ada yang mengangkatnya, atas dasar itu penulis dapat mempertanggungjawabkan keaslian skripsi ini. Penulis juga menggunakan tata bahasa yang yang sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta bahasa Inggris yakni dengan mengunakan kamus bahasa Indonesia dan kamus bahasa Inggris yang telah diakui di Indonesia tentunya.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah : Sebagaimana lazimnya dalam hal penulisan suatu skripsi ataupun karya tulis ilmiah yang menjadi salah satu yang harus diperhatikan adalah tujuan penulisan. Adapun hal yang menjadi tujuan dari pada skripsi ini adalah : 1. Apakah Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah memberikan perlindungan kepada anak pelaku tindak pidana. 2. Untuk mengetahui Implikasi atau Dampak Mengenai Batas Usia Anak Dalam Proses Penanganan Anak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1PUU-VIII2010. Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Secara Teoritis

Pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini tentu akan menambah pemahaman dan pandangan baru kepada semua pihak baik masyarakat pada umumnya maupun para pihak yang berhubungan dengan dunia hukum pada khususnya. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan dan kebajikan terhadap penegakan hukum perlindungan anak berhadapan dengan hukum. 2. Manfaat Secara Praktis Penelitian skripsi ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum, dan juga para aparat h penegak hukumpemerintah tentang penegakan hukum dalam hal anak yang berhadapan dengan hukum.

E. Tinjauan Pustaka 1.

Latar Belakang Anak Melakukan Kejahatan Kenakalan anak-anak di bawah umur, kian hari kian meningkat. Bahkan, kenakalan mereka, boleh di bilang sudah menjurus ke tindakan kriminal. 9 9 Wawan Tunggal, Hukum Bicara, Milena Populer, Jakarta, 2001, hlm. 137. masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan teknologi, mekanime, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan banyak masalah sosial. Usaha adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern sangat kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan banyak kebimbangan, kebingungan, kecemasan, dan konflik, baik konflik eksternal yang terbuka, maupun yang internal dalam batin sendiri yang tersembunyi dan tertutup sifatnya, sebagai dampaknya orang lalu mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum, dengan jalan berbuat semau sendiri demi keuntungan sendiri dan kepentingan pribadi, kemudian menggangu dan merugikan pihak lain. Kiranya tak ada suatu perbuatan yang tidak mempunyai sebab-sebab. Dimana ada asap, disitu ada api kata orang. Tanpa mempelajari sebab-sebab kejahatan sulitlah untuk mengerti mengapa suatu kejahatan telah terjadi, apalagi untuk menentukan tindakan apakah yang tepat dalam menghadapi para penjahat. 10 Kenakalan anak-anak di bawah umur, kian hari kian meningkat. Bahkan Kenakalan mereka, boleh dibilang sudah menjurus ke tindak kriminal. Menurut W.A. Bonger 11 Kenakalan anak sering disebut dengan “juvenile delinquency”, yang diartikan dengan anak cacat sosial. Romli Atmasasmita menyatakan bahwa kejahatan adalah kejahatan adalah merupakan perbuatan yang immoral dan a-social yag tidak dikehendaki oleh masyarakat dan harus dihukum oleh masyarakat. Pada dasarnya masyarakat tidak menghendaki adanya perbuatan tersebut, dan seandainya itu terjadi harus dikenakan dengan sanksi. Tetapi tidak halnya dengan kejahatan yang dibuat oleh anak yang masih di bawah umur, mereka tidak boleh dengan begitu saja diperhadapkan dengan saksi yang tegas sama halnya dengan orang dewasa. Mengingat mereka masih anak di bawah umur harus dilindungi sebagai orang yang akan menjadi generasi penerus bangsa. 12 10 Gerson W. Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminil, PT Pradyna Paramita, Jakarta, 1991, hlm. 34 . 11 Chainur Arrasjid, Suatu Pikiran Tentang Psikologi Kriminal, Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1998, halaman 27. mengatakan bahwa deliquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela. 12 http:dellneming1988.blogspot.com200902pidana-anak-1.html. diakses tanggal 1 Juni 2012. Jam 12.00 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa Anak Nakal adalah: a Anak yang melakukan tindak pidana; b Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak adalah baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. 13 13 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dari dua pengertian Anak Nakal tersebut di atas, yang diselesaikan melalui jalur hukum hanyalah Anak Nakal dalam pengertian huruf a di atas, yaitu anak yang melakukan tindak pidana. KUHP tidak mengenal istilah Anak Nakal dari Pengertian huruf b di atas, karena KUHP mengatur tentang tindak pidana. Beberapa waktu terakhir ini, banyak terjadi kejahatan-kejahatan atau prilaku jahat dari masyarakat. Dari berbagai mass media, baik elektronik maupun cetak, kita selalu mendengar dan mengetahui adanya kejahatan atau prilaku jahat yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Pelaku kejahatan atau pelaku perilaku jahat di masyarakat tidak hanya dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih anak-anak atau yang biasa kita sebut sebagai kejahatan anak atau perilaku jahat anak. Kita ketahui bersama bahwa kenakalan anak memang diperlukan dalam upaya anak mencari jati diri. Namun, ada batas-batas yang hars dipatuhi, sehingga suatu kenakalan masih relevan untuk digunakan sebagai wahana menentukan atau mencari identitas diri selft identification. Bila batas-batas itu dilanggar, maka perbuatan tersebut masuk kedalam ranah hukum pidana. Salah satu kenakalan anak yang termasuk dalam kategori perbuatan tindak pidana, salah satunya adalah Pencurian 6 enam Buah Jagung Oleh Anak di bawah Umur yang terjadi di Kabupaten Magetan. Motif para terdakwa mencuri beberapa jagung hanya ingin memakan jagung tersebut yang ada di kebun milik korban, meskipun demikian perbuatan para terdakwa merupakan kategori Tindak Pidana Pencurian karena mengambil barang jagung tanpa seijin dari pemiliknya. Walaupun terdakwa masi anak-anak di bawah umur, namum pemilik kebun jagung merasa dirugikan karena beberapa jagung miliknya telah diambil para terdakwa dan tindakan ini termasuk tindakan melawan hukum karena merugikan kepentingan orang lain, maka wajar apabila pemilik jagung tersebut melaporkan perbuatan para terdakwa kepada pihak yang berwajib. 14 Selain kasus yang pencurian yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur di Kabupaten Magetan, ada juga kasus tindak pidana anak yang menimpa Beny Dwi Yunanto, Warga Dusun Ngrajun, Desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kab. Kulonprogo, DIY mirip kasus yang dialami Muhammad Azwar alias Raju 8 di Sumatera Utara. Dia terlibat kasus pemerasan secara berlanjut.. Hanya saja kasusnya tidak banyak disorot. 15 Banyak pakar mengungkapakan bahwa sebab-sebab terjadinya kenakalan anak karena expectation gap atau tidak ada persesuaian antara cita-cita dengan sarana yang dapat menunjang tercapainya cita-cita tersebut. Secara teoritis upaya Masih banyak kasus-kasus Kenakalan Anak yang di sebabkan dari berbagai faktor. 14 http:etd.eprints.ums.ac.id143322BAB_I.pdf . diakses tgl. 15 Mei 2012. Jam. 19.00 15 http:www.suaramerdeka.comharian060310nas07.htm. diakses tgl. 15 Mei 2012. Jam. 19.00 penanggulangan masalah kejahatan termasuk prilaku kenakalan anak sebagai suatu fenomena sosial, sesungguhnya titik berat terarah kepada menggungkapkan faktor-faktor korelasi terhadap gejala kenakalan anak sebagai faktor kriminogen. Pembahasan masalah tersebut merupakan ruang lingkup dari pembahasan kriminologi. 16 Bentuk dari motivasi itu ada 2 dua macam, yaitu : motisvasi intrinsik dan ekstrinsik. Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsang dari luar, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar diri seseorang. Untuk lebih memperjelas kajian tentang gejala kenakalan anak seperti yang telah diurikan di muka, perlu diketahui sebab-sebab timbulnya kenakalan anak atau faktor-faktor yang mendorong anak melakukan kenakalan atau juga dikatakan latar belakang dilakukannya perbuatan itu. Dengan perkataan lain, perlu diketahui motifasinya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 1995 bahwa yang dikatakan “motivasi” itu adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar maupun tidak secara tidak sadar untuk melakukan suatu perbuatan dengan tujuan tertentu. Motivasi sering juga diartikan sebagai usaha-usaha yang menyebabkan seseorang atau kelompok tertentu tergerak untuk melakukan suatu perbuatan karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya. 16 Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010, hlm. 119. Berikut ini Romli Atmasasmita mengemukakan pendapat-pendapatnya mengenai motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak : 17 1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah: a. Faktor Intelegensia ; b. Faktor Usia ; c. Faktor Kelamin ; d. Faktor kedudukan anak di dalam keluara. 2. Yang termasuk motivasi ekstrnsik adalah : a. Faktor rumah tangga ; b. Faktor pendidikan dan sekolah ; c. Faktor pergaulan anak ; d. Faktor mass media. 1. Motivasi Intrinsik Kenakalan Anak a Faktor Itelegentia Intelegentia adalah kecerdasan seseorang, menurut pendapat Wundt dan Eisler adalah kesanggupan seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan. Anak-anak deliquent ini pada umumnya mempunyai intelegentia verbal lebih rendah dan ketinggalan dalam pencapaian hasil-hasil skolastik pretasi sekolah rendah. Dengan kecerdasan yang rendah dan wawasan sosial yang kurang tajam, mereka mudah sekali terseret oleh ajakan buruk untuk menjadi delikuen jahat. 17 http:elib.unikom.ac.iddownload.php?id=46636. Dikases tanggal 1 Juni 2012. Jam 15.00 b Faktor Usia Stpehen Hurwitz mengungkapkan “age is importance factor the consation of crime” usia adalah faktor yang paling penting dalam sebab-musabab timbulnya kejahatan. Apabila pendapat tersebut kita ikuti secara konsekuen, maka dapat dikatakan bahwa usia seseorang adalah faktor yang penting didalam sebab-musabab timbulnya kenakalan. c Faktor Kelamin Di dalam penyidikannya Paul W. Tappan mengungkapkan pendapatnya, bahwa kenakalan anak dapat dilakukan oleh anak laki-laki maupun anak perempuan, sekalipun dalam prakteknya jumlah anak laki-laki yang melakukan kenakalan jauh lebih banyak dari pada anak perempuan pada batas usia tertentu. Adanya perbedaan jenis kelamin, mengakibatkan pula timbulnya perbedaan, tidak hanya dalam segi kuantitas kenakalan semata-mata akan tetapi juga kualitas kenakalannya. Seringkali kita melihat atau membaca dalam mass media, baik media cetak maupun media elektronik bahwa kejahatan banyak dilakukan oleh anak laki-laki seperti pencurian, penganiayaan, perampokan, pembunuhan, perkosaan dan lain sebagainya. Sedangkan perbuatan pelanggaran banyak dilakukan oleh anak perempuan, seperti pelanggaran terhadap ketertiban umum, pelanggaran kesusilaan misalnya melakukan persetubuhan di luar perkawinan sebagai akibat dari pergaulan bebas. d Faktor Kedudukan Anak Dalam Keluarga Yang dimaksud dengan kedudukan anak dalam keluarga adalah kedudukan seorang anak dalam keluarga menurut urutan kelahirannya, misalnya anak pertama, kedua dan seterusnya. Mengenai kedudukan anak dalam keluarga ini, De Creef telah menyelidiki 200 anak narapidana kemudian menyimpulkan bahwa, kebanyakan mereka berasal dari exteerm position in the family, yakni : first born, last born dan only child. Sedangkan hasil penyelidikan oleh Glueck di Amerika Serikat, dimana didapatkan data-data menunjukan bahwa yang paling banyak melakukan kenakalan adalah anak ketiga dan keempat, yakni dari 961 orang anak nakal, 31,3 di antaranya adalah anak ketiga dan keempat ; 24,6 anak kelima dan seterusnya adalah 18,8. Namun hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Noach terhadap deliquenci dan kriminalitas di Indonesia, dimana Beliau telah mengemukakan pendapatnya bahwa kebanyakan deliquency dan kejahatan dilakukan oleh anak pertama dan satu anak tunggal atau anak wanita atau dia satu-satunya di antara sekian saudara-saudaranya kakak atau adik- adiknya. Hal ini dapat dipahami karena kebanyakan anak tunggal sangat dimanjakan oleh orangtuanya dengan pengawasan yang luar biasa, pemenuhan kebutuhan yang berlebih-lebihan dan segala permintaanya dikabulkan.

2. Motivasi Ekstrinsik Kenakalan Anak.

Motifasi ekstrinsik dan kenakalan anak, meliputi a Faktor Keluarga Keluarga merupakan lingkungan sosial terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan di dalamya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali. Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merugikan lingkungan yang paling kuat dalam membesarkan anak dan terutama bagi anak yang belum sekolah. Oleh karena itu, keluarga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak. Keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan anak, sedangkan keluarga yang tidak baik akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan anak. Oleh karena sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga maka sepantasnya kalau kemungkinan timbulnya kejahatan deliquency itu sebahagian juga berasal dari keluarga. Adapun keluarga yang dapat menjadi sebab timbulnya deliquency dapat berupa keluarga yang tidak normal broken home dan keadaan jumlah anggota keluarga yang kurang menguntungkan. b Faktor Pendidikan dan Sekolah Sekolah adalah sebagai media atau perantara bagi pembinaan jiwa anak- anak atau dengan kata lain, sekolah ikut bertanggungjawab atas pendidikan anak- anak, baik pendidikan keilmuan maupun pendidikan tingkah laku character. Banyaknya atau bertambahnya kenakalan anak secara tidak langsung menunjukkan kurang berhasilnya sistem pendidikan di sekolah-sekolah. Dalam konteks ini sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak. Selama mereka menempuh pendidikan di sekolah terjadi interaksi antara anak dengan sesamanya, juga interaksi antara anak dengan guru. Interaksi yang mereka lakukan di sekolah sering menimbulkan akibat sampingan yang negatif bagi perkembangan mental anak sehingga anak menjadi delikuen. Hal ini disebabkan karena anak-anak yang memasuki sekolah tidak semua baik, misalnya penghisap ganja cross boy dan cross girl yang memberkan kesan kebebasan tanpa kontrol dari semua pihak terutama dalam lingkungan sekolah. Di sisi lain, anak-anak yang masuk sekolah ada yang berasal dari keluarga yang kurang memperhatikan kepentingan anak dalam belajar yang kerap kali berpengaruh pada temanya yang lain. Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa sekolah merupakan tempat pendidikan anak-anak dapat menjadi sumber terjadinya konflik-konflik psikologis yang pada prinsipnya memudahkan anak menjadi delikuen. c Faktor Pergaulan Anak Harus disadari bahwa betapa besar pengaruh yang dimainkan oleh lingkungan pergaulan anak, terutama sekali disebabkan oleh konteks kulturalnya. Dalam situasi sosial menjadi semakin longgar, anak-anak kemudian menjatuhkan diri dari keluarganya untuk kemudian menegakkan eksistensi dirinya yang dianggap sebagai tersisih dan terancam. Mereka lalu memasuki satu unit keluarga baru dengan subkultural baru yang sudah delikuen sifatnya. Dengan demikian, anak menjadi delikuen karena banyak dipengaruhi oleh berbagai tekanan pergaulan, yang semuanya memberikan pengaruh yang menekan dan memaksa pada pembentukan perilaku buruk, sebagai produknya anak-anak tidak suka melanggar peraturan, norma sosial dan hukum formal. Anak-anak ini menjadi delikuenjahat sebagai akibat dari transformasi psikologis sebagai reaksi terhadap pengaruh ekternal yang menekan dan memaksa sifatnya. Sehubungan dengan peristiwa ini, Sutherland 1978 mengembangkan teori Association Diffrential yang menyatakan bahwa anak menjadi delikuen disebabkan oleh partisipasinya di tengah-tengah suatu lingkungan sosial yang ide dan teknik delikuen tertentu dijadikan sebagai sarna yang efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Karena itu semakin luas anak bergaul, semakin intensif relasinya dengan Anak Nakal, akan menjadi semakin lama pula proses berlangsungnya asosiasi deferensial tersebut dan semakin besar pula kemungkinan anak tadi benar-benar menjadi nakal dan kriminal. Dalam hal ini peranan orang tua untuk menyadarkan dan mengembalikan kepercayaan anak tersebut serta harga dirinya sangat diperlukan. Perlu mendidik anak agar bersikap formal dan tegas supaya mereka terhindar dari pengaruh- pengaruh yang datang dari lingkungan pergaulan yang kurang baik. d Pengaruh Mass-media Pengaruh mass-media pun tidak kalah besarnya terhadap perkembangan anak. Keinginan yang tertanam pada diri anak untuk berbuat jahat kadang timbul karena pengaruh bacaan, gambar-gambar dan film. Bagi anak yang mengisi waktu senggangnya dengan baca-bacaan yang buruk, maka hal itu akan berbahaya dan dapat menghalang-halangi mereka untuk berbuat hal-hal yang baik. Demikian pula tontonan yang berupa gambar-gambar porno akan memberikan rangsangan seks terhadap anak. Rangsangan seks tersebut akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan jiwa anak. Mengenai hiburan film termasuk VCD ada kalanya memiliki dampak kejiwaan yang baik, akan tetapi hiburan tersebut dapat memberikan pengarruh yang tidak mengguntungkan bagi perkembangan jiwa anak jika tontonannya menyangkut aksi kekerasan dan kriminalitas, misalnya film detektif yang memiliki figur penjahat sebagai peran utamanya serta film-film action yang penuh dengan adegan kekerasan dengan latar belakang balas dendam. Adegan-adegan film tersebut akan dengan mudah mempengaruhi perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari. Kondisinya yang detruktif ini dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan perilaku anak. Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakulakan adalah dengan cara mengadakan penyensoran film-film yang berkualitas buruk terhadap psikis anak dan mengarahkan anak pada tontonan yang lebik menitikberatkan aspek pendidikan ; mengadakan ceramah melalui mass-media mengenai soal-soal pendidikan pada umumnya ; mengadakan pengawasan terhadap peredaran dari buku-buku komik, majalah-majalah, pemasangan-pemasangan iklan dan sebagainya. 18 18 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm 16 Untuk itu, semua perlakuan terhadap Anak Nakal sangat perlu diperhatikan. Dimana keluarga mempunyai kedudukan yang sangat fundamental dalam pembentukan pribadi anak. Linkungan keluarga potensial membentuk pribadi anak untuk hidup secara lebih bertanggungjawab. Bila usaha pendidikan dalam keluarga gagal maka anak cenderung melakukan kenakalan, yang dapat terjadi di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat tempat anak bergaul. Walaupun kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang terdapat di mana-mana, namun kenakalan anak itu merupakan gejala umum yang harus diterima sebagai fakta sosial. Kenakalan anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Reaksi masyarakat dalam menanggulangi kejahatan dan kenakalan anak acapkali menimbulkan masalah baru. Masyarakat tidak segan-segan main hakim sendiri apabila ada yang tertangkap tangan, penjahat dipukul sampai babak belur, bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Tindakan masyarakat yang tidak terkendali merupakan pertanda bahwa nilai-nilai yang ada di masyarakat sudah mengendor. Selain main hakim sendiri, sikap masyarakat yang patut disesalkan yaitu tidak melaporkan tindak pidana kepada pihak yang berwajib, yang kemungkinan besar akan mengakibatkan semakin banyaknya kejahatan yang terungkap, yang mendorong pelaku kejahatan melakukan kejahatan lainnya. Anak Nakal seyogianya diperlakukan berbeda dengan orang dewasa, hal ini didasarkan pada perbedaan fisik, mental, dan sosial. Anak yang melakukan kenakalan berdasarkan perkembangan fisik, mental, dan sosial mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga perlu ditangani secara khusus. Anak Nakal perlu dilindungi dari tindakan-tindakan yang dapat menghambat perkembangannya, sehingga dalam penanganannya perlu dibuat KUHP dan KUHAP yang berlaku secara khusus untuk anak. Perhatian terbesar dalam tindakan perlindungan anak adalah perkembangan anak, agar anak dapat berkembang dan tumbuh dengan baik dalam berbagai sisi kehidupannya mental, fisik, dan sosial, yang kemudian sangat diharapkan dapat menghasilkan kualitas manusia dewasa yang ideal. Anak Nakal merupakan bagian masyarakat yang tidak berdaya baik secara fisik, mental, dan sosial sehingga dalam penanganannya perlu perhatian khusus. Anak-anak yang terlindungi dengan baik menciptakan generai yang berkualitas, yang dibutuhkan demi masa depan bangsa. Karena alasan kekurangmatangan fisik, mental, dan sosialnya, anak membutuhkan perhatian dan bimbingan khusus, termasuk perlindungan hukum baik sebelum maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan memperoleh kesempatan yang diajmin berdasarkan hukum dan sarana lain, untuk tumbuh dan berkembang baik fisik, mental, dan sosial.

2. Kejahatan Anak dari Perspektif Politik Kriminal

Kejahatan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Semakin maju dan berkembangnya peradaban umat manusi, maka akan semakin mewarnai corak bentuk kejahatan yang muncul dalam kehidupan ini. 19 Kejahatan biasanya membayangi kehidupan manusia karena ia merupakan masalah sosial dan akan tetap menjadi urusan dan melekat pada manusia sepanjang masa. 20 19 Mahmud mulyadi dan feri antoni surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Koorporasi, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010, halaman 5. 20 Ali Masyar, Gaya Indonesia Menghadang teroristme, CV. Mandar Maju, Bandung 2009, halaman 20. Munculnya banyak bentuk kejahatan-kejahatan baru yang begitu kompleks, sesungguhnya merupakan konsekuensi yang logis dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat menimbulkan efek positif maupun efek negatif. Kejahatan itu harus ditanggulangi karena apabila tidak, kejahatan dapat membawa akibat-akibat : 1. Menganggu atau merusak dan merintangi tercapainya tujuan nasional; dan 2. Mecegah penggunaan optimal dari sumber-sumber nasional. Upaya penanggulangan kejahatan tindak pidana, diperlukan strategi dan kebijakan tetentu untuk dapat memberantasnya, minimal mengurangi dan menghambat perkembangannya. 21 Sudarto menyebutkan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disebut dengan kebijakan kriminal, kebijakan kriminal tersebut mempunyai tiga arti, yaitu : 22 a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi; c. Dalam arti paling luas yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. 21 Ibid 22 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditiya Bakti, Bandung 1996 halam 1 Beliau juga memberikan pengertian singkat, bahwa kebijakan kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Uraian-uraian sebelumya lebih merupakan upaya pemahaman tentang apa dan bagaimana serta latar belakang terjadinya perilaku delikuensi anak, baik secara teoretik maupun empiris. Pemahaman demikian sangat penting dalam rangka melandasi pemikiran-pemikiran ke arah upaya penanggulangan terhadp gejala yang berupa delikunsi anak itu. Tanpa dilandasi pemahaman teoretik dan empiris terhadap gejala perilaku delikunsi anak rasanya akan kurang “trep” dengan permasalahan yang sebenarnya ada dalam gejala itu. Berbekal atas pemahaman itulah, maka selanjutnya dala uraian pada bagian ini dibicarakan permasalahan penanggulangan gejala sosial yang berupa kejahtan pada umumnya dan perilaku delikuensi anak pada khususnya. 23 Upaya kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penangulangan kejahatan termasuk bidang “kebijakan kriminal”. Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan sosial” yang terdiri dar kebijakanupaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat. Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan politik kriminal dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” hukum pidana, maka “kebijakan hukum pidana” “penal policy”, khususnya pada tahap kebijakan yudikatifaplikatif penegakan hukum pidana in concreto 23 Paulus Hadisuprapto, Juvenile Deliquency Pemahaman dan Penangulangannya, PT citra Adtiya Bakti, Bandung, 1997, hlm 71. harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan “social defence”. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalisasioprasionalisasinya melalui beberapa tahap : 24 24 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Fajar Interpratma Offset, Jakarta, 2008, hlm 79. 1. tahap formulasi kebijakan legislatif; 2. tahap aplikasi kebijakan yudikatifyudisial; 3. tahap eksekusi kebujakan eksekutifadministratif. Dengan adanya tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegakpenerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum aparat legislatif; bahkan kebijakan legislatif merupakan yahap paling starategis dari “penal policy”. Karena itu, kesalahankelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahtan pada tahap aplikasi dan ekseskusi. Beberapa fenomena legislatif yang mengandung masalah dan dapat menghambat upaya penanggulangan kejahatan, salah satunya adalah : UU Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 yakni mengenai Pencabutan Pasal 45, 46, 47 KUHP, adanya pidana bersyarat dan pidana pengawasan yang hakikatnya sama, tidak ada syarat untuk pidana pengawasan, dan peluang menggunakan “pidana bersyarat” dalam undang-undang ini lebih kecil dibandingkan dengan KUHP. Berbicara mengenai penanggulangan kejahatan secara lebih jauh, ada baiknya kita memulai dengan apa yang disebut politik kriminal. 25

A. Politik Kriminal

Politik kriminal merupakan suatu kebijakan atau usaha yang rasional untuk menanggulangi kejatahatan. Sudarto 1977 daalm bukunya berjudul Hukum dan Hukum Pidana mengemukakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal atau kebijakan penanggulangan kejahatan bila dilihat lingkupnya, sangat luas dan tinggi kompleksitasnya. Hal ini wajar karena pada hakikatnya kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan sekaligus masalah sosial yang memerlukan pemahaman tersendiri. Kejahatan sebagai masalah sosial ia merupakan gejala yang dinamis, selalu tumbuh dan terkait dengan gejala dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat luas dan kompleks, ia merpakan socio-political problems. Apabila demikian halnya, maka pemahaman akan hubungan kolerasional antara perkembangan kejahatan dengan perkembangan struktur masyarakat dengan segala aspeknya sosial, ekonomi, politik, kultur, merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting bagi usaha penanggulangan kejahatan. Hal ini tampak dari salah satu kesimpulan dari Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders ke 4 di Kyoto Jepang, diamana menyatakan : 25 Pulus Hadisuprapto, Op, Cit, hlm 72. 1. The prevention of crme and the treatment of offenders cannot be effectively undertaken unless it is closely and inti mately related to social and economic trends. Pernyataan ini kemudian diperkuat lagi dalam Deklarasi Caracas yang dihasilkan Kongres PPB mengenai Prevention of Crime and Treatment of Offenders ke 6 tahun 1980 di Caracas, diamana menyatakan : 2. Crime prevention and criminal justice should be considered in the context of economic development, political system, social and culture values and social change, as well as in the context of the new international economic order. Penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti a ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial; dan b ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal.

B. Politik Kriminal : Perilaku Delikuensi Anak