Intensitas Pemanenan Kegiatan Pemanenan .1 Deskripsi Umum Kegiatan Pemanenan

meter akan sulit ditarik oleh traktor. Sering juga dijumpai putusnya kabel seling akibat digunakan dalam menyarad log yang berdiameter besar dan panjang Indriyati 2010. Kegiatan penyaradan dilakukan dengan menggunakan bulldozer Cat D7G dimana jenis D7G ini memiliki 6 silinder yang dapat menghasilkan tenaga sebesar 200 tenaga kuda. Berat dari bulldozer ini kira-kira 18 ton. Ukuran lebar blade dari bulldozer ini 4 meter dan memiliki winch pada bagian belakangnya yang dugunakan untuk meyarad kayu. Panjang winch berkisar 20 meter. Daya jelajah efektif bulldozer ini pada umumnya mencapai 500 meter. Apabila digunakan pada jarak lebih dari 500 meter maka tidak efektif, efisien dan ekomomis. Oleh sebab itu, apabila jarak sarad lebih dari 500 meter dilakukan pembuatan TPn baru. Kegiatan penyaradan dimulai dengan bulldozer membuka jalan sarad. Pemilihan sistem yang digunakan pada penyaradan tergantung pada topografi lapangan dan operator bulldozer. Proses penyaradan selain dilakukan oleh satu bulldozer setiap petaknya, juga dilakukan double skidding. Double skidding adalah cara penyaradan menggunakan dua bulldozer dalam satu petak tebang secara bersama- sama dengan tujuan membagi volume log yang siap disarad. Setiap satu operator bulldozer dibantu oleh satu orang helper yang bertugas melihat kemungkinan bulldozer untuk dapat membuka jalan sarad, mengaitkan choker log yang siap sarad dan membatu proses penyaradan samapai ke TPn. Pengangkutan dilakukan setelah proses penyaradan dan dilakukan pemuatan di TPn. Alat angkut yang digunakan yaitu logging truk Scania dan Nissan. Faktor cuaca sangat mempengaruhi dalam pengangkutan log karena sering kali terjadi hujan. Apabila turun hujan maka proses pengangkutan dihentikan karena jalan dari TPn ke Log pond tidak dirancang untuk segala cuaca kering atau hujan. Muat bongkar dilakukan di TPn dan Log pond dengan menggunakan Loader. Pemuatan dilakukan di TPn dan TPn antara sedangkan pembongkaran dilakukan di TPn antara dan Log pond, kemudian dilakukan perakitan kayu dari Log pond ke potontongkang.

5.2.2 Intensitas Pemanenan

Kegiatan ITSP yang dilakukan pada plot penelitian juga dapat digunakan untuk mengetahui besarnya potensi pohon layak tebang yang terdapat pada plot penelitian tersebut. Hal ini dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan intensitas pemanenan pada kegiatan pemanenan kayu. Potensi pohon yang layak tebang pada plot penelitian adalah sebesar 15,59 dari kerapatan tegakan 18,5±14,67 pohonha dengan potensi volumenya sebesar 157,28±63,03 m 3 ha. Pohon-pohon yang termasuk ke dalam kategori layak tebang ini merupakan pohon-pohon komersial jenis Diterocarpaceae yang berdiameter lebih dari 50 cm. Penebangan dilakukan pada petak contoh memiliki kelerengan yang berbeda- beda yaitu dari 16 sampai 40. Besarnya intensitas pemanenan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Intensitas pemanenan pada plot penelitian Plot Kelerengan Kerapatan Pohon layak tebang Pohon yang ditebang phnha Jumlah Vol Jumlah Vol ITSP Vol Log phnha m 3 phnha m 3 m 3 1 40 149 24 139,27 11 79,52 88,52 2 34 106 11 68,78 4 32,09 35,62 3 26.5 122 26 274,00 10 157,24 170,44 4 25 105 16 95,49 11 68,07 64,11 5 38 97 16 121,00 6 27,05 30,60 6 37 111 14 124,07 5 34,24 34,82 7 27 146 21 197,03 8 96,35 74,39 8 21 124 21 204,68 10 98,21 98,33 9 24 128 16 133,42 7 66,57 65,78 10 16 98 20 215,05 14 151,04 125,55 Jumlah 1186 185 1572,79 86 810,39 788,16 Rata- rata 28,85 118,60 18,50 157,28 8,60 81,03 78,81 St dev 7,99 18,55 4,67 63,03 3,13 46,09 44,20 Dari Tabel 6 dapat dilihat perbedaan intensitas penebangan pada setiap plot. Hal ini dikarenakan perbedaan jumlah pohon layak tebang pada setiap plot, topografi plot penelitian dan kondisi pohon layak tebang. Volume log pada plot penelitian 30,60-170,44 m 3 ha. Ada kecenderungan volume ITSP lebih besar dibandingkan volume log. Hal ini dikarenakan adanya pemotongan pada log yang disebabkan terjadinya kerusakan, seperti pecah dan patah batang. Dari total volume pohon yang dipanen menurut hasil ITSP sebesar 81,03±46,09 m 3 ha dengan volume aktuallog 78,81±44,20 m 3 ha, maka dapat diketahui bahwa kegiatan pemanenan ini tergolong baik karena volume yang dipanen 50,10 dari volume layak tebang jauh lebih kecil dari jatah tebang yang telah diperbolehkan sebesar 56. Volume tebangan ini 31,77 dari volume total tegakan awal. Intensitas penebangan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah 4-14 pohonha 32,09-157,24 m 3 ha dan rata-rata 8,60±3,13 pohonha 81,08 m 3 ha dan 24,12 dari luas bidang dasar, dimana intensitas penebangan tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian Wayana 2011 di Kalimantan Tengah yang intensitas pemanenannya 11,70 pohonha dan penelitian Sist 1997 di Kalimantan Timur dengan intensitas pemanenan 10,70 pohonha. Penelitian lain hutan alam tropis lainnya di bagian selatan Amazon yang dilakukan Feldpausch et al. 2005 dengan intensitas pemanenannya berkisar 1,1-2,6 pohonha. Tabel 7 Pengurangan luas bidang dasar pada RIL DBH ≥ 50 cm Plot Pohon tebangan Luas bidang dasar yang hilang Volume phnha dari dari tegakan awal m 3 ha 1 11 22,92 79,52 2 4 14,39 32,09 3 10 29,25 157,24 4 11 31,35 68,07 5 6 11,31 27,05 6 5 12,20 34,24 7 8 24,06 96,35 8 10 27,58 98,21 9 7 23,33 66,57 10 14 44,84 151,04 Rata-rata 8,60 24,12 81,03 St dev 3,13 10,13 46,09 Dari Tabel 7 intensitas penebangan 8,60 pohonha dengan volume tebangan 81,10 m 3 ha, maka LBDS tegakan berkurang 24,12. Kehilangan LBDS ini lebih besar dari penelitian Sist 1997 di Kalimantan Timur dengan limit diameter sama DBH ≥50 cm dan intensitas penebangan 10,7 pohonha mengalami pengurangan LBDS sebesar 17,5. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan kerapatan tegakan per ha yang lebih besar 530,70 pohonha pada lokasi penelitiannya Kalimantan Timur. 5.3 Kerusakan Tegakan Pasca Pemanenan 5.3.1 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan dan Penyaradan Kerusakan tegakan tinggal merupakan perbandingan antara pohon yang rusak akibat pemanenan kayu dengan pohon yang tidak ikut dalam rencana penebangan. Persentase kerusakan tegakan tinggal adalah perbandingan antara jumlah pohon yang rusak dengan jumlah pohon awal sebelum pemanenan yang dikurangi dengan jumlah pohon yang ditebang. Pada intensitas pemanenan dan kerapatan yang berbeda maka akan menimbulkan kerusakan yang berbeda pula. Persentase kerusakan tegakan tinggal pada berbagai intensitas penebangan dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Hubungan persentase kerusakan tegakan tinggal pada berbagai intensitas penebangan. Pada Gambar 2 terlihat bahwa intensitas pemanenan yang tinggi cenderung mengakibatkan kerusakan tinggal yang besar. Untuk intensitas pemanenan yang sama juga mengalami persentase kerusakan yang berbeda intensitas penebangan 10 dan 11 pohonha. Persentase kerusakan apabila ditebang 10 pohon per ha sebesar 29,82-32,14 dan penebangan 11 pohonha sebesar 30,43-32,98. Perbedaaan persentase kerusakan pada setiap plot karena kerapatan tegakan awal setiap plot berbeda. Persentase kerusakan tegakan tinggal rata-rata sebesar 28,55±6,69. Kerusakan tegakan tinggal terjadi karena tertimpanya pohon inti pada tegakan oleh pohon tebangan. Rebahnya pohon tebangan menyebabkan kerusakan pada pohon-pohon di sekitarnya. Kegiatan 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 3 6 9 12 15 Ker u sak an teg ak an ti n g g al Intensitas pemanenan phnha penyaradan juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kerusakan tegakan tinggal. Kerusakan akibat penyaradan berasal dari pohon yang mengalami kerusakan ketika pembuatan jalan sarad dan pohon yang mengalami kerusakan ketika bulldozer bermanuver dalam menyarad log yang telah ditebang. Kerusakan tegakan tinggal itu sendiri terbagi menjadi beberapa tingkat kerusakan yaitu kerusakan tingkat ringan, sedang dan berat. Persentase tingkat kerusakan tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan dan penyaradan Tingkat kerusakan Persentase kerusakan per kelas diameter Total 20-29 cm 30-39 cm 40-49 cm 50 up cm Berat 1. Rusak tajuk 50 2,18 1,18 0,18 - 3,82 2. Luka batang 12 D - - - - - 3. Patah batang 2,27 1,00 0,64 - 3,91 4. Pecah batang 0,45 0,18 - 0,18 0,82 5. Roboh 4,27 1,55 0,36 0,18 6,09 6. Miring 45° 0,18 0,09 - - 0,27 7. Rusak banir 12 D 0,09 - - - 0,09 Jumlah 9,45 3,97 1,22 0,36 15,00 Sedang 1. Rusak tajuk 30-50 2,55 1,64 0,55 - 4,64 2. Luka batang 14 -12 batang 2,36 1,18 0,45 - 4,00 3. Rusak banir 13-12 0,45 - 0,08 - 0,55 4. Miring 45° 0,18 0,09 - - 0,27 Jumlah 5,45 2,94 1,03 - 9,45 Ringan 1. Rusak tajuk 30 1,82 1,27 0,82 - 3,91 2. Luka batang 0,09 - - - 0,09 3. Rusak banir ¼ - - 0,09 - 0,09 Jumlah 1,91 1,27 0,91 - 4,09 Total 16,81 8,21 3,16 0,36 28,55 Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa bentuk kerusakan yang paling besar terjadi pada kelas diameter 20-29 cm sebesar 16,81, kelas diameter 30-39 cm sebesar 8,21, kelas diameter 40-49 cm sebesar 3,16, dan kelas diameter 50 cm up sebesar 0,36. Dari tabel di atas, dapat dinyatakan bahwa dalam pemanenan hutan alam, semakin kecil kelas diameter tegakan tinggal maka kerusakan akan semakin besar. Hal ini dikeranakan besarnya kerapatan pohon yang berdiameter kecil dan memiliki daya tahan yang rendah terhadap pohon-pohon yang menimpanya saat penebangan. Berikut diagram kerusakan tegakan tinggal pada masing-masing kelas diameter. Gambar 3 Kerusakan tegakan tinggal per kelas diameter. Ket: Jumlah kerusakan batang±standar deviasi akibat pemanenan pada intensitas pemanenan 8,60 pohonha. Pada Gambar 3 terlihat bahwa tingkat kerusakan berat, sedang, dan ringan secara berturut pada tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan dan penyaradan sebesar 16,50 pohonha, 10,4 pohonha dan 4,5 pohonha. Kerusakan berat banyak terjadi pada kelas diameter pohon 20-29 cm sebanyak 10,1 pohonha dan paling sedikit pada kelas 50 cm up sebanyak 0,36 pohonha. Rata-rata intensitas pemanenan pada plot penelitian adalah 8,60 pohonha yang mengakibatkan kerusakan pada tegakan tinggal sebanyak 31,40 pohonha yang terdiri dari kerusakan berat 16,5 pohonha, sedang 10,4 pohonha, dan ringan 4,5 pohonha. Hal ini berarti bahwa setiap penebangan 1 pohonha mengakibatkan kerusakan sebanyak 3,65 pohonha, yang terdiri dari kerusakan berat sebesar 1,92 pohonha, kerusakan sedang 1,2 pohonha dan kerusakan ringan 0,52 pohonha pada tegakan tinggal. Penelitian Wayana 2011 menyatakan kegiatan pemanenan kayu dengan intensitas pemanenan sebesar 11,70 pohonha mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal sebesar 29,90 pohonha yang terdiri dari tingkat kerusakan berat 14,20 pohonha, tingkat kerusakan sedang 7,40 pohonha dan tingkat kerusakan ringan 2 4 6 8 10 12 14 16 20-29 30-39 40-49 50 up Ju m lah Ker u sak an P h n Ha Kelas Diameter cm Berat Sedang Ringan 8,30 pohonha pada kerusakan tegakan tinggal dengan diameter ≥20 cm. Penebangan 1 pohonha mengakibatkan kerusakan sebanyak 2,55 pohonha yang terdiri dari kerusakan berat sebesar 1,21 pohonha, kerusakan sedang 0,63 pohonha dan kerusakan ringan 0,71 pohonha pada tegakan tinggal. Hasil penelitian ini memiliki kerusakan yang jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Penelitian Aryono 2010 yang menyatakan dari kegiatan pemanenan 1 pohonha pada tegakan rapat maka akan mengakibatkan 19 pohonha mengalami kerusakan berat dan dari pemanenan 1 pohonha pada tegakan rawang akan mengakibatkan 17 pohonha mengalami kerusakan berat pada kerusakan tegakan tinggal dengan diameter ≥ 10 cm. Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu banyak terjadi pada pohon-pohon kelas diameter kecil 20-29 cm. Kerusakan tegakan tinggal ini dikarenakan pohon yang berdiameter kecil memiliki kerapatan yang lebih besar dan berada di bawah pohon besar sehingga saat pohon yang ditebang rebah banyak yang tertimpa. Pohon berdiameter kecil tidak cukup kuat untuk menahan pohon yang menimpanya. Begitu juga pada saat penyaradan log, pohon berdiameter kecil akan mudah rusak bila tertabrak bulldozer dan log yang memiliki ukuran jauh lebih besar. Berikut data persentase kerusakan tegakan tinggal tingkat berat disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Kerusakan tegakan tinggal tingkat kerusakan berat Plot Kerapatan phnha Intensitas penebangan phnha Persentase kerusakan berat per kelas diameter Jumlah 20-29 30-39 40-49 50 up 1 149 11 10,14 4,35 - - 14,49 2 106 4 10,78 3,92 1,96 - 16,67 3 122 10 12,50 1,96 1,79 1,79 18,03 4 105 11 6,38 5,32 3,19 - 14,89 5 97 6 9,89 4,40 - - 14,29 6 111 5 4,72 4,72 0,94 - 10,38 7 146 8 5,07 5,07 1,45 - 11,59 8 124 10 9,65 3,51 0,88 - 14,04 9 128 7 7,44 1,65 0,83 1,65 11,57 10 98 14 17,86 4,76 1,19 - 23,81 Rata-rata 118,60 8,60 9,44 3,97 1,22 0,34 15,00 St dev 18,55 3,13 3,91 1,25 0,95 0,73 3,89 Berdasarkan Tabel 9 persentase tingkat kerusakan berat 15,00, dimana kerusakan berat banyak terjadi pada kelas diameter 20-29 cm sebesar 9,44 dan yang terkecil pada kelas 50 cm up sebesar 0,34. Penelitian Wayana 2011 mengatakan bahwa kerusakan berat pada pemanenan hutan pada intensitas penebangan 11,70 pohonha mengakibatkan kerusakan berat pada penebangan 8,72 dan penyaradan 4,40. Kerusakan berat pada tegakan tinggal akan berakibat pohon tersebut tidak dapat kembali pulih atau mati. Jadi pada saat menebang pohon, pohon yang berdiameter kecil harus diperhatikan dengan menentukan arah rebah terbaik yang memiliki kerapatan pohon kecil rendah sehingga dapat mengurangi besarnya kerusakan pada pohon berdiameter kecil 20-29 cm. Bentuk kerusakan yang paling sering ditimbulkan akibat kegiatan penebangan adalah bentuk kerusakan rusak tajuk sebesar 43,31 dan roboh sebesar 22,29. Kerusakan ini disebabkan oleh banyaknya liana yang saling melilit dan besarnya hempasan ketika pohon yang ditebang menimpa individu pohon lainnya. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Elias 1995 dimana kerusakan terbesar akibat penebangan terdapat pada bentuk rusak tajuk sebesar 49,45 dan patah batang sebesar 23,08. Pada penelitian Wayana 2011 kerusakan terbesar akibat penebangan terdapat pada bentuk kerusakan tajuk sebesar 57,53 dan patah batang sebesar 16,72. Kerusakan tegakan tinggal dapat juga dikelompokan berdasarkan bentuk kerusakannya Tabel 10. Tabel 10 Bentuk kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan dan penyaradan Bentuk Kerusakan Jumlah Pohon Menurut Tingkat Kerusakan Persentase Ringan Sedang Berat Jumlah Rusak Tajuk 43 51 42 136 43,31 Luka Batang 1 44 - 45 14,33 Patah Batang - - 43 43 13,69 Pecah Batang - - 9 9 2,87 Roboh,Miring45° - - 70 70 22,29 Condong,Miring45° - 3 - 3 0,96 Rusak Banir 1 6 1 8 2,55 Total 45 104 165 314 100 Rata-rata 4,50 10,40 16,50 31,40 Persentase 14,33 33,12 52,55 100 Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa tingkat kerusakan yang paling tinggi terjadi pada kerusakan tingkat berat sebesar 52,55, tingkat sedang 33,12, dan tingkat ringan 14,33. Berdasarkan bentuk kerusakan banyak terjadi pada rusak tajuk sebesar 43,41 dan robohmiring 45° sebesar 22,29. Wayana 2011 menyatakan kerusakan akibat penebangan yang paling tinggi juga terdapat pada tingkat kerusakan berat sebesar 47,49. Pada tingkat kerusakan berat akibat kegiatan penebangan dan penyaradan, bentuk kerusakan yang paling sering terjadi adalah bentuk kerusakan robohmiring 45° yakni sebesar 22,29 70 pohon. Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu di hutan alam dapat juga dikelompokkan berdasarkan Feldpausch et al. 2005 sebagai berikut: Tabel 11 Klasifikasi kerusakan tegakan tinggal menurut Feldpausch et al. 2005 Kelas kerusakan Deskripsi kerusakan Pohon rusak per ha tebangan phnha Persentase kerusakan Pohon rusak per pohon tebangan DBH rata-rata I Condong 0,3 0,96 0,03 27,00±3,46 II 2 m kulit hilang 2,5 7,96 0,29 23,12±12,80 III 2 m kulit hilang 0,9 2,87 0,12 20,52±11,30 IV 25 tajuk rusak 5,6 17,83 0,65 32,45±4,79 V 25-50 tajuk rusak 5,5 17,20 0,64 29,39±4,45 VI 50-75 tajuk rusak 2,8 8,92 0,33 23,73±9,20 VII 75 tajuk rusak 1,5 4,78 0,17 19,43±13,83 VIII Patah batang 5,2 16,56 0,60 28,36±4,86 IX Roboh 7,0 22,29 0,81 28,41±3,31 Jumlah 31,40 100 3,65 25,82±4,63 Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui kerusakan tegakan tinggal banyak terjadi pada pohon kecil yang berdiameter 19,43-32,45 cm. Kerusakan yang terbesar adalah roboh yang mencapai 7 pohonha dan yang yang terkecil yakni condong sebanyak 0,3 pohonha. Pohon-pohon yang mengalami patah batang dan roboh mencapai 40,45 atau sama dengan 5,2 pohon mengalami patah batang dan 7 pohon mengalami roboh disetiap pemanenan denagan intensitas penebangan 8,60 pohonha. Menurut Feldpausch et al. 2005 pohon yang mengalami kerusakan berat adalah pohon yang mengalami kerusakan tajuk yang mencapai ¾ bagian, patah batang, dan roboh kelas VII, VII, dan IX. Kerusakan berat yang tejadi pada intensitas pemanenan 4-14 pohonha sebesar 45,23. Persentase kerusakan berat ini lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil penelitian Feldpausch et al. 2005 di bagian selatan Amazon yang mencapai 60 pada intensitas penebangan rata-rata 1,1-2,6 pohonha. Perbedaan ini dikarenakan pada penelitian ini menghitung kerusakan tegakan tinggal de ngan DBH ≥20 cm, sedangkan Feldpausch et al. 2005 dengan DBH ≥ 10 cm. Bila dibandingkan antara klasifikasi kerusakan menurut Elias 1993 terdapat beberapa perbedaan diantaranya pada kerusakan tajuk dan luka batang. Dimana klasifikasi Elias 1993 menentukan kerusakan tajuk berdasarkan tingkat berat 50, sedang 30-50, dan ringan 30. Feldpausch 2005 mengelompokan kerusakan tajuk 25, 25-50, 50-75, dan 75 kelas IV- VII. Selanjutnya, pada luka batangkulit terkelupas Elias 1993 menentukan kerusakan berdasarkan besarnya kehilangan kulit terhadap diameter pohon, sedangkan Feldpaush 2005 menentukan kerusakan berdasarkan panjang kulit terkelupas saja. Faktor yang mempengaruhi kerusakan tegakan tinggal yaitu : intensitas pemanenan, kerapatan tegakan, dan kelerengan. Kerusakan tegakan tinggal bergantung pada semakin tinggi intensitas pemanenan maka akan semakin besar nilai kerusakannya. Sementara kelerengan dan kerapatan tidak terlalu besar pengaruhnya pada nilai kerusakan tegakan tinggal. Persamaan regresi linier hubungan antara intensitas pemanenan, kerapatan tegakan dan kelerengan terhadap besarnya kerusakan tegakan tinggal dinyatakan dalam persamaan regresi sebagai berikut : Ŷ = 21,2 + 1,98 X 1 – 0,0698 X 2 – 0,041 X 3 R 2 = 83,10 Keterangan : Ŷ = Kerusakan tegakan tinggal X 1 = Intensitas pemanenan pohonha X 2 = Kerapatan tegakan pohonha X 3 = Kelerengan Koefisien determinasi yang diperoleh adalah 83,10, artinya sebesar 83,10 dari keragaman kerusakan tegakan tinggal dapat dijelaskan oleh intensitas pemanenan, kerapatan tegakan dan kelerengan. Sedangkan sisanya dapat dijelaskan oleh faktor-faktor lain. Berdasarkan nilai koefisien determinasi ini, maka dapat disimpulkan bahwa model dugaan yang didapatkan cukup baik karena mampu menerangkan peubah respon dengan baik. Tabel 12 Analisis ragam hubungan kerusakan tegakan tinggal dengan kerapatan tegakan dan intensitas pemanenan Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Kuadrat F Hitung P Keragaman Bebas Tengah Regresi 3 372,71 124,24 9,86 0,010 Galat 6 75,60 12,60 Total 9 448,31 Jika dilihat dari nilai P sebesar 0,010 yang diperoleh dari ketiga peubah terhadap kerusakan tegakan tinggal dimana nilainya lebih kecil dari alpha yang ditentukan 0,05 dan dari nilai F hitung yang lebih besar dibandingkan F tabel sehingga dapat disimpulkan bahwa kerusakan tegakan tinggal memiliki hubungan yang nyata dengan mininimal satu peubah penduga. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan tiap peubah penduga terhadap besarnya kerusakan tegakan tinggal maka dilakukan uji t yang dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Hubungan antar peubah dengan besarnya kerusakan tegakan tinggal Peubah Penduga t Hitung P Intensitas Pemanenan 4,12 0,006 Kerapatan Tegakan -1,06 tn 0,332 Kelererengan -0,21 tn 0,837 sangat nyata pada P0,01 tn tidak nyata Berdasarkan hasil pengujian dapat diketahui bahwa faktor yang sangat nyata mempengaruhi kerusakan tegakan tinggal adalah intensitas pemanenan yang dilakukan, dimana nilai P nya lebih kecil dari nilai alpha yang ditentukan dan nilai t-hitung nya yang lebih besar dari pada nilai t-tabel. Kerapatan tegakan tidak lagi berpengaruh nyata terhadap besarnya kerusakan tegakan tinggal setelah dijelaskan oleh intensitas pemanenan P0,01. Kesimpulan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Elias 2002 yang menyatakan kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan dan penyaradan per satuan luas sangat tergantung dari intensitas pemanenan. Semakin tinggi intensitas pemanenan maka kerusakan tegakan tinggal akan makin meningkat. Namun bukan berarti kerapatan tegakan dan kelerengan tidak berpengaruh terhadap kerusakan tegakan tinggal yang terjadi.

5.3.2 Kondisi Tegakan Pasca Pemanenan