Pemanenan Kayu Emisi Karbon Potensial Akibat Pemanenan Kayu Secara Mekanis di Hutan Alam Tropis (Kasus Konsesi Hutan PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Provinsi Sumatera Barat)

2. Pengaturan strukturkerapatan tegakan yang optimal di dalam hutan yang diharapkan dapat memberikan peningkatan produksi kayu bulat dari tegakan sebelumnya. 3. Terjaminnya fungsi hutan dalam rangka pengawetan tanah dan air. 4. Terjaminnya fungsi perlindungan hutan. Sistem silvikultur TPTI merupakan sistem yang paling sedikit mengubah ekosistem di hutan produksi yang merupakan hutan alam campuran tak seumur dibandingkan dengan sistem silvikultur lainnya. Sistem TPTI diharapkan menjadi modifikasi dari peristiwa alami di dalam hutan dengan cara menyingkirkan pohon-pohon yang tua agar ruang yang dipakai dapat dimanfaatkan oleh pohon- pohon muda yang masih produktif Departemen Kehutanan 1993.

2.2 Pemanenan Kayu

Pemanenan kayu sebagai bentuk kegiatan pengelolaan hutan yang pada dasarnya merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan untuk mengubah pohon dari hutan dan memindahkan ke tempat penggunaanpengolahan dengan melalui tahapan perencanaan pembukaan wilayah hutan PWH, pemotongan pohon, penyaradan, pengangkutan, dan pengujian sehingga bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat berdasarkan prinsip kelestarian Elias 1998 . Ilmu dan teknologi terus berkembang terkait pemanenan hutan, sehingga memunculkan konsekuensi perubahan pendekatan manajemen hutan dari prinsip kelestarian hasil kepada prinsip pembangunan hutan lestari. Menurut Elias 2002 yang diacu dalam Amulqu 2008 arah perkembangan pemanenan kayu adalah sebagai berikut : 1. Pengertian pemanenan kayu mengalami perluasan yang lebih menekankan pada perencanaan sebelum pemanenan, supervisi teknik dan pencegahan kerusakan lebih lanjut. 2. Usaha memperpendek rantai tahapan pemanenan kayu. 3. Menerapkan sistem pemanenan kayu sesuai dengan klasifikasi fungsional lapangan di bidang kehutanan pengembangan expert system. 4. Mengintegrasikan pengolahan kayu primer ke dalam tahapan pemanenan kayu. 5. Penciptakan peralatan pemanenan kayu dengan perhatian ditekankan pada keunggulan produktivitas tinggi, keunggulan biaya, menekan kerusakan lingkungan dan keselamatan kerja. Menurut Budiaman 2003, diacu dalam Almulqu 2008 komponen utama pemanenan kayu umumnya terdiri dari 5 kegiatan, yaitu : penebangan pohon, pembagian batang, penyaradan, pemuatan, dan pengangkutan. Selain itu pada tahapan tertentu misalnya penebangan terdapat kegiatan tambahan, yaitu : pemotongan ujung, pangkal kayu, dan pemotongan cabang. Sistem pemanenan yang banyak diterapkan pada saat ini di hutan alam adalah sistem mekanis. Sistem pemanenan mekanis merupakan sistem pemanenan kayu dengan menggunakan mesin-mesin pemanenan kayu dengan teknologi yang lebih maju. Dalam sistem pemanenan mekanis sejak dari tahap penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pembagian batang, serta penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara mekanis. Sistem ini pada umumnya diterapkan pada pekerjaan yang berskala besar seperti pemanenan kayu di hutan alam. Dalam merekayasa sistem dan teknik pemanenan kayu selain aspek teknis, aspek sosial, ekonomis dan lingkungan juga harus dipertimbangkan terutama aspek penciptaan lapangan kerja baru Elias 2002. Menurut Sessions 2007 ada beberapa faktor yang mempengaruhi kegiatan pemanenan kayu di hutan alam tropis yaitu 1 Iklim, intensitas terjadinya hujan, kering dan lengas dalam satu tahun mempengaruhi pemilihan alat-alat yang akan digunakan, lamanya kegiatan dan produktivitas pekerja; 2 Topografi, topografi dalam hutan keadaannya bervariasi dari keadaan datar hingga berbukit- bukit; 3 Tanah, tanah yang lunak dan basah memiliki daya dukung yang kurang baik terhadap pembuatan akses jalan darat sehingga membutuhkan perlakuan khusus dan pada akhirnya menimbulkan biaya yang besar; dan 4 Jenisspesies, tajuk pohon bersifat rapat atau berdekatan dengan tajuk pohon lain yang dihubungkan oleh tumbuh-tumbuhan merambat dan liana. Pemanenan kayu di hutan alam harus direncanakan dengan baik dan optimal. Karena hutan tidak hanya sumber kayu yang berharga tetapi juga menyediakan berbagai hasil hutan bukan kayu HHBK serta yang utama jasa lingkungan, prinsip manajemen hutan lestari untuk memanen sumber daya hutan alam termasuk HHBK tanpa mengorbankan nilai sosial dan ekologinya. Pemanenan secara mekanis, jika tidak terkendali dapat mengakibatkan efek merusak yang tinggi pada struktur hutan, komposisi dan kapasitas regenerasi. Meminimalkan efek kerusakan pemanenan kayu harus dilakukan karena menjadi salah satu persyaratan utama untuk mencapai pengelolaan hutan lestari. Selain itu, dapat diketahui bahwa mengurangi kerusakan akibat pemanenan pada hutan dan tanah dapat memperpendek panjang siklus penebangan karena dapat memastikan regenerasi alam yang lebih baik dan pertumbuhan jenis komersial yang diinginkan Putz, 1994 diacu dalam Sist et al. 1997. Menurut Sularso 1996 carateknik pemanenan kayu terkendali yang berpedoman pada TPTI dan ketentuan yang ada, diharapkan dapat meningkatkan produksi kayu, mengurangi kerusakan tegakan tinggal, memperkecil rumpang akibat penebangan dan keterbukaan lantai hutan akibat penyaradan serta limbah pemanenan kayu. Cara ini dipakai sebagai upaya memperkecil dampak lingkungan dan tuntutan prinsip kelestarian untuk menyongsong berlakunya ecolabelling serta penangkalan kampanye anti penggunaan kayu tropis. Hutan alam yang dipanen dapat mengakibatkan penurunan baik secara kualitas degradasi maupun kuantitas deforestasi. Degradasi hutan adalah penurunan kualitas hutan akibat adanya perlakuan yang bersifat merusak hutan tersebut, sehingga hutan mengalami penurunan kemampuannya. Terkait degradasi yang menimbulkan emisi karbon, UNFCCC 2001 menyatakan bahwa degradasi dapat didefinisikan sebagai penurunan stok karbon hutan yang masih termasuk sebagai lahan hutan, sedangkan IPCC 2006 mendefinisikan degradasi adalah emisi bersih akibat kegiatan manusia selama periode tertentu dari hutan yang menyebabkan berkurangnya tutupan tajuk tetapi belum disebut sebagai deforestasi. Laju deforestasi dan degradasi hutan di hutan tropis sudah sangat mengkhawatirkan yang berpengaruh terhadap proses penyerapan CO 2 dari atmosfir yang dapat mempengaruhi kondisi iklim global, sehingga menimbulkan efek gas rumah kaca GRK. Pengurangan deforestasi dan degradasi hutan merupakan langkah ke depan untuk stabilisasi konsentrasi GRK. Deforestasi dari hutan tropis diperkirakan menyumbang 15-35 dari global emisi tahunan CO 2 . Diperkirakan sekitar 350-430 GtC Giga ton Carbon saat ini tersimpan di hutan tropis dan dapat diemisikan ke atmosfir melalui peningkatan deforestasi dan degradasi hutan Laporte et al. 2008. Begitu juga dengan kondisi hutan alam tropis di Indonesia yang juga mengalami laju kerusakan yang tinggi setiap tahunnya. Menurut Lasco 2006 hutan yang tidak dipanen mempunyai stok karbon sebesar 258 ton Cha, 34 stok karbonnya terdapat dalam bentuk karbon organik tanah. Kira- kira 98 stok karbon diatas tanah terdapat pada pohon yang DBH ≥ 19,5 cm. Setelah pemanenan hutan, stok karbon di atas tanah akan berkurang sekitar 50 100 ton Cha. Selama siklus tebang 35 tahun, hutan yang telah dipanen akan mengalami perningkatan stok karbon 1,4 ton Cha. Pada penebangan berikutnya, hutan dapat kembali pulih sebesar 70 dari stok karbon awal. Sekitar 40 dari stok karbon pada kayu diubah menjadi kayu gergajian dan kayu lapis atau dijual sebagai log dan Sekitar 60 yang tinggal dilepaskan ke udara sebagai karbon dioksida CO 2 melalui pembakaran dan dekomposisi.

2.3 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan