BAB VI KEBERTAHANAN BAHASA GAYO DAN BUDAYA GAYO SERTA
KELESTARIAN LINGKUNGAN LUT TAWAR
Penafsiran wawancara dengan informan pendamping penutur Gayo memperlihatkan kebertahanan bahasa Gayo dan budaya Gayo serta kelestarian
lingkungan Lut Tawar. Berikut gambarannya.
6.1 Perilaku Konservatif
Guyub Tutur terhadap Lingkungan Ragawi
Perubahan tidah dapat dihindari. Zaman berubah, peradaban berubah, segalanya berubah. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perubahan. Tergantung
dari individu yang mengalami perubahan itu; apakah ia dapat menyikapinya dengan bijak. Perubahan harusnya tidak diterima sepenuhnya dan tidak berarti meninggalkan
kebiasaan yang lama. Kebiasaan lama biasanya sudah berakar kuat dan sudah selaras menyatu dengan lingkungan sekitar dan sudah menjadi bagian dari adat budaya.
Dengan demikian tumbuh perilaku konservatif atau protektif terhadap lingkungan, khususnya lingkungan Lut Tawar yang memang sumber hidup mereka turun temurun.
Dalam suatu wawancara jarak jauh, Mbete 2010 menyatakan perilaku konservatif sebagai “perilaku atau tindakan yang menjaga, merawat, juga menggunakan secara
terukur agar tidak punah dan tetap awet.” Perilaku tersebut dapat dilihat pada cara penangkapan ikan depik. Bapak J hal. 204 menuturkannya berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
19. J : Depik itu bisa ditangkap besok pun. Cuma dulu pakai peraturan cara
menangkapnya. Sebelum dia musim ndak dapat, karena ndak ada dijaring.
Dikaitkan dengan penangkapan ikan, sebenarnya orang Gayo dulu sudah memiliki satu peribahasa yang menjadi rambu-rambu bagi mereka sendiri. Berikut
petikan wawancara yang berisi peribahasa itu seperti yang dikatakan Bapak M. Jusin Saleh J hal. 203.
17. J : Sekarang contohnya misalnya itu penangkapan ikan diadatkan.
Jangankan, bu, nggak boleh dengan ini, ndak boleh dengan itu. Itu kan dikaitkan dengan hukum juga. Hukum dibele. Edet dipiket, hukum
dibele. Adat kita jangan …. hukum kita jangan dimain-mainkan. Dikaitkan juga jadinya harus begini cara memasangnya. Jadi banyak
yang dikaitkan ke sana.
Data nggak boleh dengan ini, ndak boleh dengan itu, berkaitan dengan
antara lain, larangan pemanfaatan sumber daya danau dengan memanfaatkan peralatan, semisal pukat harimau, atau bom, atau racun ikan, atau ghost net yang
berlebihan karena dapat merusak biota danau. Peribahasa atau ungkapan Hukum dibele, edet dipiket, mengandung makna semua aturan itu harus ditegakkan agar
danau itu lestari.
Perilaku konservatif guyub tutur terhadap lingkungan yang menyiratkan kedekatan dan keakraban dengan lingkungan alam sehingga tumbuh rasa hormat dan
takut turun-temurun juga tertuang melalui kisah-kisah misteri Lut Tawar yang diceritakan Bapak J. Kisah-kisah tersebut juga mengandung nasihat agar dalam
Universitas Sumatera Utara
mengolah alam warga guyub tutur seharusnya juga memperhitungkan keseimbangan alam, karena keseimbangan menjadi pendukung kelestarian alam dan isinya. Berikut
ceritanya hal. 214. 01. Kalau mereka ingin mencari ikan, kebetulan jumpa ikan di dalam itu seperti
perahu besarnya, di bawah, matanyapun seperti canang. Ikannya seperti canang, Bu. Sepuluh meter panjangnya, mana ikan seperti itu besarnya pun. Kita ndak
biasa, itu mungkin kita kurang rasa sakit, Bu. Mereka yang tukang ikan senang kali dia jumpa itu. Bu, karena di belakangnya itu ikan mengikut ikan itu ndak
sedikit. Rejeki kita banyak pagi itu. Penuh perahu, asal jangan ikan itu diganggu, yang besar itu. Itu betul, di sini disebut Sane. Ikan itu ikan Sane
katanya. Ikan itu ndak tanggung-tanggung besarnya, takut kita melihatnya, kalau kita ndak biasa. Bisa sakit.
Frasa-frasa dan klausa di atas yang digarisbawahi membuktikan adanya harmonisasi antar nelayan Gayo dan makhluk danau ikan.
Kadang-kadang persahabatan manusia dengan alam membuahkan keuntungan bagi manusia itu sendiri. Hal ini dibuktikan melalui kisah berikut hal. 214.
02. Mereka menjumpai biasanya ada sebatang kayu. Hanyutnya bukan ke sana ke hilir, ke Hululah kayu itu jalannya ke Hulu. Kan ndak ada kayu hanyut ke Hulu,
dia melawan arus. Itu ikan rejeki banyak. Itu namanya Tongar. Kayu ini pun aneh. Hujan itu kadang-kadang. Ikannya banyak, mungkin capek ngangkatnya.
Selain itu, berkaitan dengan perilaku konservatif yang perlu dipertahankan adalah tidak boleh menyombongkan diri atau kerendahan hati, contohnya ada hal-hal
tertentu yang sebaiknya dihindari seperti penuturan Bapak J hal. 203-204 dan S hal. 227.
18. R : Ada nggak, Pak, kata-kata yang tabu pada saat saya berada di tengah-
Universitas Sumatera Utara
tengah danau dan pada saat saya berada di tepi danau. Kalau ada, apa itu, Pak?
J : Biasa di sini disebut yang pertama jangan ria, kan? Itu dikatakan ngke
rie, satu, empu tempat, pemilik tempat. R
: Misalnya saya di tengah danau apa yang tidak boleh saya katakan? Ntah itu mengenai tumbuhannya, mengenai ikannya?
J : O… kalau itu ndak, boleh saja, rianya yang jangan. Tidak boleh
berbangga diri, a… rianya yang tidak dibenarkan. Dipantangkan berbahasa yang kasar atau bernada keras, dan menunjukkan kebolehan.
28. R : Ada kata-kata yang tidak boleh diucapkan di tengah danau?
S : Itu nggak ada. Tapi ndak boleh cakap sombong. Selain itu ndak ada.
Jadi, dengan alam danau pun penutur bahasa Gayo harus bertutur secara lembut dan ramah, tidak boleh dikasari, atau tidak boleh bising jikalau ada di danau itu.
Kebisingan berarti menyebabakan adanya pencemaran bunyi atau juga berarti mengusik ketenangan suasana.
Perilaku tak boleh sombong juga menjadi tanda ikhwal bersahabat dan sikap rendah hati dengan alam danau khususnya yang memberi mereka hidup berupa protein
ikan dan kehidupan rohaniah dalam arti luas. Petikan wawancara berikut mendukung pernyataan tersebut hal. 214
03. J : Gunung itu Renggali ke sana dekat Kebayakan. Itu kita nangkap ikan, mau dia panggil. Misalnya, nama saya Ali, “Ali, bagi ikannya ya.”
Malam itu. Kalau kita kan terkejut, lari terus, takut. Orang itu, “Iya, ya, saya dekat.” Dekat ke sana. Orangnya ndak ada. “Ambillah mana
senang” Abis itu sekitar lima menit, kalau tadi ada ikan enam, mungkin
Universitas Sumatera Utara
satu ndak ada lagi tinggal lima. Tapi sepulang dari situ mungkin setengah perahu rejeki kita. Tapi kalau kita takut lari ndak kasi, yang ini
semuanya hilang.
Ketahanan ikan dan tumbuhan di Lut Tawar yang disimbolkan secara verbal dengan nomina-nomina tersebut jelas mempertahankan leksikon bahasa Gayo. Ini
berarti biota yang berada dalam lingkungan itu bertahan, bertahan pula leksikon- leksikon itu.
6.2 Ketahanan Penggunaan Teknologi Tradisional yang Ramah Lingkungan