Teori Ekolinguistik Landasan Teori

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Teori Ekolinguistik

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa dengan ekologinya. Dalam the Ecology of Language Shift, Mackey dalam Fill dan Muhlhausler 2001:67 menjelaskan bahwa pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Dalam ekologi bahasa, konsep ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem dalam bahasa Fill,2001:43. Lingkungan bahasa dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan sosial Sapir dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:14. Lingkungan ragawi menyangkut geografi yang terdiri atas fisik: topografi suatu negara pesisir, lembah, daratan, dataran tinggi, gunung, iklim, dan intensitas curah hujan, dasar ekonomis kehidupan manusia yang terdiri dari fauna, flora, dan sumber-sumber mineral; sedangkan lingkungan sosial terdiri atas berbagai kekuatan masyarakat yang membentuk pikiran dan kehidupan setiap individu di antaranya: agama, etika, bentuk organisasi politik, dan seni. Konservasi bahasa dalam lingkup ekolinguistik terinspirasi dari pemikiran Haugenian bahwa upaya penyelamatan bahasa amat diperlukan karena kepunahan bahasa begitu cepat dalam satu dasawarsa Fill, 2001:44. Alasan perlunya upaya penyelamatan bahasa juga dinyatakan oleh Sinar 2010:70 bahwa “banyak bahasa daerah di Indonesia berada di ambang kritis, semakin sulit untuk “hidup,” bertahan, berfungsi, dan terwaris secara utuh. Banyak nilai yang tergusur dan punah. Belum Universitas Sumatera Utara lagi, dengan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional, regional dan nasional, semakin mendesak bahasa-bahasa minoritas.” Bertolak dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian ekolinguistik memiliki parameter yaitu interrelationships interelasi bahasa dan lingkungan, environment lingkungan ragawi dan sosial budaya and diversity keberagaman bahasa dan lingkungan Haugen dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:1. Haugen 1970, lihat Mbete 2009:11-12, menyatakan bahwa ekolinguistik memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yaitu 1 linguistik historis komparatif; 2 linguistik demografi; 3 sosiolinguistik; 4 dialinguistik; 5 dialektologi; 6 filologi; 7 linguistik preskriptif; 8 glotopolitik; 9 etnolinguistik, linguistik antropologi ataupun linguistik kultural cultural linguistics; dan 10 tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan. Berdasarkan pembagian Haugen tersebut, penelitian ini ada terkait dengan ruang kaji sosiolinguistik dan linguistik preskriptif leksikografi. Universitas Sumatera Utara Dalam lingkup kajian ekolinguistik, bahasa yang hidup dan digunakan menggambarkan, mewakili, melukiskan merepresentasikan secara simbolik-verbal realitas di lingkungan, baik lingkungan ragawi maupun lingkungan buatan manusia lingkungan sosial-budaya. Hal tersebut mengimplikasikan bahasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan lingkungan ragawi dan sosialnya, sebagaimana dinyatakan Liebert 2001 dalam Mbete 2009:7 bahwa “… perubahan bahasa … merepresentaikan perubahan ekologi.” Proses perubahan pada bahasa tersebut berjalan secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, tanpa disadari oleh penuturnya, dan tidak dapat dihindari. Perubahan pada bahasa itu tampak jelas teramati pada tataran leksikon. Alasannya, kelengkapan leksikon dari suatu bahasa mencerminkan sebagian besar karakter lingkungan ragawi dan karakteristik sosial serta budaya masyarakat penuturnya. Sapir dalam Fill dan Muhlhausler 2001:14 menarik kesimpulan sebagai berikut. It is the vocabulary of a language that most clearly reflects the physical and social environment of its speakers. The complete vocabulary of a language may indeed be looked upon as a complex inventory of all the ideas, interests, and occupations that take up the attention of the community, and were such a complete thesaurus of the language of a given tribe at our disposal, we might to a large extent infer the character of the physical environment and the characteristics of the culture of the people making use of it. It is not difficult to find examples of languages whose vocabulary thus bears the stamp of the physical environment in which the speakers are placed. Universitas Sumatera Utara Sapir dalam Fill dan Muhlhausler 2001:2 juga menambahkan bahwa dalam lingkup ekolinguistik, hubungan bahasa dan lingkungannya ada pada tataran leksikon saja, bukan, misalnya, pada tataran fonologi atau morfologi ‘this interrelation exists merely on the level of the vocabulary and not, for example, on that of phonology or morphology.’ Pada tataran leksikon, dinamika dan perubahan bahasa dipengaruhi oleh tiga dimensi Lindø dan Bundegaard, 2000: 10-11, yakni a dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat misalnya ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan ideologi pasar sehingga perlu dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah dan wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis. Jadi ada upaya untuk tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakan jenis ikan atau tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomi tinggi dan kuat, b dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan wujud praktis sosial yang bermakna, dan c dimensi biologis, berkaitan dengan adanya diversifitas keanekaragaman biota danau atau laut, ataupun darat secara berimbang dalam ekosistem, serta dengan tingkat vitalitas spesies dan daya hidup yang berbeda antara satu dengan yang lain; ada yang besar dan kuat sehingga mendominasi dan “menyantap” yang lemah dan kecil, ada yang kecil dan lemah sehingga terpinggirkan dan termakan. Dimensi biologis itu Universitas Sumatera Utara secara verbal terekam secara leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa sehingga entitas-entitas itu tertandakan, dan dipahami. Sehubungan dengan dasar konsep dan teori di atas maka sejumlah segi yang dapat dibedah dan dikaji di dalamnya mencakupi. 1. Leksikon-leksikon bermakna dan berfungsi referensial, yakni khazanah leksikon yang referensi nyatanya dapat dilacak, dijejaki, dibuktikan secara empirik atau kasat mata, karena dapat ditemukan di lapangan, atau juga kendati masih diingat dalam kognisi warga masyarakat di sekitarnya oleh penuturnya, baik tua maupun muda, namun sesungguhnya biota atau makhluk hidup yang diwadahi dalam bahasa lokal itu, sudah terancam keberadaannya, populasinya kian mengecil, bahkan ada yang sudah punah. 2. Secara kategori kelinguistikan, perangkat leksikon yang berkaitan dengan lingkungan itu, khususnya lingkungan alam-danau atau kedanauan itu, seperti juga lingkungan kesultanan, kepurian, atau juga kepresidenan sifat dan karakternya jelas harus dipilah-pilah atau dikategorikan. Dengan demikian, klasifikasi atau kategorisasi menjadi nomina tatanama, verba, ajektiva, dapat menjadi fokus kajian pula. Pasti ada nomina yang secara semantis tergolong benda-benda mati tak bergerak bebatuan, pasir, tanah liat, makhluk hidup non-insani, seperti nama-nama fauna, hewanbinatang dan tumbuhan flora apa saja yang hidup di air danau a.l. ikan air tawar dalam bahasa lokal Gayo dengan spesiesnya. Dikaji pula atau ditemukan pula, jika ada, nama-nama nomina hewan dan tumbuhan yang habitatnya atau lingkungan hidupnya Universitas Sumatera Utara hanya di danau atau yang khas danau tertentu. Demikian juga pasti cukup banyak tanaman air tawar danau, juga dalam bahasa lokal yang harus ditemukan, meskipun sebagiannya “tinggal ingatan” orang tua-tua, namun sudah tidak ada lagi di danau itu. 3. Pertanyaan lebih kritis lagi dapat diajukan pula sebagai fokus kajian lebih dalam yakni, mengapa sejumlah hewan air, tumbuhan air, yang menurut cerita atau tuturan orang tua-tua itu, sudah tidak ada lagi dalam realita di lingkungan danau itu? Selain penghilangan karena perburuan atau penangkapan, pencemaran karena menggunakan racun atau bom misalnya, semuanya itu dapat disingkap dalam kajian ini. Sebaliknya juga, apa saja yang tetap terpelihara, sehingga populasi hewan air danau misalnya, atau juga tumbuhan khas danau dan tepi danau tetap terjamin, perlu diungkapkan juga nama-nama latinnya juga perlu disertakan karena identifikasi dan klasifikasi biologis universal sudah berlaku, lihat Verheijen, 1991. 4. Ungkapan-ungkapan, juga peribahasa, metafora-metafora, dan cerita-cerita rakyat, dongeng, bahkan fabel cerita binatang tentang lingkungan tertentu, adalah tanda adanya relasi mental manusia dengani lingkungan hidupnya yang sudah hidup turun-temurun. Di baliknya atau di dalamnya kaya dengan butir- butir makna tentang khazanah lingkungan. 5. Selain simbol-simbol verbal yang menggambarkan realitas kehidupan danau dengan segala isinya yang tersingkap dalam bahasa setempat semisal bahasa Gayo, simbol-simbol verbal berbahasa lain yang sudah masuk lewat otak dan Universitas Sumatera Utara mulut tuturan dan tangan tulisan, khususnya dari bahasa Indonesia, atau juga bahasa lainnya, perlu digali pula sebagai tanda hadirnya lingkungan kebahasaan yang memang sudah beragam. Kata dan istilah dalam bahasa Indonesia itu berkaitan dengan misalnya benih ikan atau tanaman air yang dikembangkan dari luar dan tentunya memakai bahasa Indonesia atau bahasa lain. Dalam penelitian ekolinguistik yang pernah dilakukan oleh Mbete dan Abdurahman 2009 terungkap dua hal. Pertama, sejumlah leksikon yang terekam melalui proses konseptualisasi dalam pikiran penutur menjadi leksikon yang fungsional untuk digunakan. Dengan kata lain, penutur bahasa, tidak akan menggunakan leksikon yang tidak ada dalam konseptual mereka. Kedua, konsepsi leksikal dalam alam pikiran penutur ini akan berubah sesuai dengan perubahan lingkungan ragawi mereka. Perubahan itu terjadi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan menghilang atau menyusutnya sejumlah leksikon. Bahkan, pada komunitas yang dwibahasawan, tidak hanya terjadinya perubahan, tetapi pergeseran ke konsepsi leksikal bahasa yang lain.

2.2.2 Teori Sosiolinguistik