Teori Sosiolinguistik Landasan Teori

mulut tuturan dan tangan tulisan, khususnya dari bahasa Indonesia, atau juga bahasa lainnya, perlu digali pula sebagai tanda hadirnya lingkungan kebahasaan yang memang sudah beragam. Kata dan istilah dalam bahasa Indonesia itu berkaitan dengan misalnya benih ikan atau tanaman air yang dikembangkan dari luar dan tentunya memakai bahasa Indonesia atau bahasa lain. Dalam penelitian ekolinguistik yang pernah dilakukan oleh Mbete dan Abdurahman 2009 terungkap dua hal. Pertama, sejumlah leksikon yang terekam melalui proses konseptualisasi dalam pikiran penutur menjadi leksikon yang fungsional untuk digunakan. Dengan kata lain, penutur bahasa, tidak akan menggunakan leksikon yang tidak ada dalam konseptual mereka. Kedua, konsepsi leksikal dalam alam pikiran penutur ini akan berubah sesuai dengan perubahan lingkungan ragawi mereka. Perubahan itu terjadi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan menghilang atau menyusutnya sejumlah leksikon. Bahkan, pada komunitas yang dwibahasawan, tidak hanya terjadinya perubahan, tetapi pergeseran ke konsepsi leksikal bahasa yang lain.

2.2.2 Teori Sosiolinguistik

2.2.2.1 Pergeseran dan pemertahanan bahasa Universitas Sumatera Utara Pergeseran dan pemertahanan bahasa sebenarnya seperti dua sisi mata uang, Crystal 2003:17 memaparkan pergeseran bahasa language shif sebagai ‘the conventional term for the gradual or sudden move from the use of one language to another either by an individual or by a group’ perubahan secara bertahap atau tiba- tiba dari satu bahasa ke bahasa lain baik secara perorangan atau kelompok. Pergeseran bahasa disebabkan oleh sejumlah faktor, yaitu faktor sosiolinguistis, psikologis, demografis, dan ekonomik Gunarwan, 2006:102. 1. Yang termasuk faktor sosiolinguistis adalah adanya bilingualisme atau multilingualisme jika lebih dari dua bahasa terlibat. 2. Faktor psikologis dipengaruhi pandangan para anggota masyarakat bahasa yang bersangkutan mengenai bahasa mereka di dalam konstelasi bahasa- bahasa yang ada di dalam masyarakat kebanggaan dan kesetiaan yang tinggi terhadap bahasa. 3. Faktor demografis berhubungan dengan jumlah penutur yang kecil. 4. Faktor ekonomik dikaitkan dengan pemilihan bahasa menuju pekerjaan yang lebih menguntungkan. Menurut Rahardi 2006:68-70, pergeseran bahasa dapat dengan mudah dicermati oleh siapapun pada aspek leksikon, yaitu adanya penambahan, pengurangan, dan penghilangan makna kata. Misalnya, kata ‘papan’ semula hanya bermakna ‘belahan pipih dari sebatang kayu’, sekarang bertambah maknanya menjadi ‘perumahan’; dulu kata ‘sarjana’ bermakna ‘orang yang benar-benar pandai dan cerdas’, tetapi sekarang maknanya cenderung menyempit, merujuk pada orang yang Universitas Sumatera Utara sudah lulus dari jenjang pendidikan tinggi tertentu dan tidak pasti orang yang pandai dan cerdas; kata ‘ceramah’ pada awal mulanya berarti ‘banyak bicara, cerewet’, kini makna-makna tersebut telah hilang dan berganti makna baru menjadi ‘paparan atau uraian dalam bidang ilmu tertentu’. Berbeda dengan pergeseran bahasa, pemertahan bahasa terjadi jika dan bila penuturnya secara kolektif tetap menggunakan bahasa tradisionalnya walaupun ada desakan untuk beralih menggunakan bahasa yang lain. Membahas pemertahanan erat kaitannya dengan kepunahan bahasa, artinya jika upaya pemertahanan tersebut gagal, maka bahasa itu akan perlahan-lahan menjadi punah Sumarsono dalam Damanik, 2009:9. Kemampuan bahasa untuk bertahan hidup menurut Holmes 2001:65 dalam Gunarwan 2006:101-102 dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu 1 status bahasa yang bersangkutan seperti yang tercermin pada sikap masyarakat bahasa itu terhadapnya; 2 besarnya kelompok penutur bahasa itu serta persebarannya; dan 3 seberapa jauh bahasa itu mendapat dukungan institusional.

2.2.3 Leksikon