Beberapa Gejala Perubahan Bahasa Gayo dalam Kaitan dengan Perubahan Lingkungan

Cerita ini berisi pesan untuk melestarikan jenis tumbuhan keluni dan ikan depik.

6.4 Beberapa Gejala Perubahan Bahasa Gayo dalam Kaitan dengan Perubahan Lingkungan

Bahasa memang selalu berubah, mengarah ke arah yang tidak bisa ditentukan. Ia dipengaruhi oleh ide-ide atau ideasional penutur dan kemampuan menjawab tantangan lingkungan. Bahasa Gayo saat ini bisa dikatakan banyak mendapat tambahan leksikon dikarenakan lingkungan bahasa itu berubah, juga mulai tidak dipahami, perlahan-lahan redup dan menghilang dari sejumlah remaja, khususnya leksikon-leksikon tertentu seperti nama alat tangkap tradisional, atau nama jenis ikanbiota danau karena hilang atau memang tak dikenal. Salah satu alasan perubahan itu adalah kemajuan tata Kota Takengon, mudahnya akses menuju kota ini, dan kemajuan teknologi. Banyak pendatang yang membawa bahasa dan budaya mereka sendiri masuk, membaur, dan berinteraksi dengan lingkungan dan guyub tutur bahasa Gayo. Leksikon tertentu yang sebelumnya tidak ada dalam bahasa Gayo kini amat sering dijumpai. Perubahan teknologi komunikasi memunculkan kata baru seperti hp telepon selular, sanyo, kawat kasa yang tidak ada padanannya dalam bahasa setempat, mengakibatkan leksikon itu terintegrasi menjadi khazanah kata bahasa Gayo. Contoh diberikan Bapak J hal. 201 dan 208 berikut ini. 11. J : …. Sekarang pakai kawat kasa. Universitas Sumatera Utara 26. R : Kalau penyebutan nama-nama untuk benda yang bukan asli Gayo gimana, Pak? J : Kalau prodak baru tetap namanya, ndak mungkin kita robah. Macam hp, tetap hp, apa kita buat namanya lain? Begitu pula dengan hasil buangan produk teknologi yang jelas berdampak kurang baik bagi kondisi air Lut Tawar maupun biota danau pada kenyataannya menyumbang leksikon baru bagi penutur Gayo. Leksikon plastik, limbah, nampaknya sudah mereka gunakan dalam keseharian. Petikan hasil wawancara dengan Bapak S hal. 227 berikut ini mendukung keterangan di atas . 19. R : Saya lihat di sini nggak ada sampah, Pak? S : Ya, di rumah saya karena orang rumah saya bersih dia. Tapi kalau di tempat lain itu kan banyak itu. Di pinggir sana tu kan sampah itu, sampah plastik, ntah apa-apa kan. 20. R : Sampah rumah tangga ya, Pak? S : Iya sampah tumah tangga. 21. R : Dari pabrik nggak ada ya, Pak? S : O… ndak ada. Kalau ada pun yang terbesar di sini tu limbah dari rumah sakit ya. 22. R : Rumah sakit mana? Umum? S : Umum. 23. R : Limbahnya ke mari? Universitas Sumatera Utara S : Iyalah ,tu rumah sakitnya. 24. R : Sampah kimia? S : Ya, kalau dari rumah sakit tu sampah kimialah. 25. R : Ada pengaruhnya? S : Ya bisa saja. Banyak pengaruhnya. 26. R : Sampai ke sini? S : Iya. Sampai kami ini ambil air bersih sampai agak ke tengah. Pakai sanyo. Padahal diangkat dari di tepi ini aja kan bisa. Kalau dekat di pinggir sana airnya danaunya bau. Masalah penerangan kawasan dengan masuknya listrik pasokan PLN yang memanfaatkan air dari sungai Krueng Pesangan aliran air Lut Tawar juga menimbulkan perubahan tata kawasan di sepanjang tepian danau tetapi juga menyumbang leksikon seperti PLN, PLTA sebagaimana terungkap dalam petikan wawancara berikut dengan Bapak J hal. 202. 14. R : E… tapi dengan adanya budidaya ikan ini, sepertinya tidak tertata ya, Pak? Kerambanya tidak tertata. J : Sebenarnya tertata dia, cuma begini, Bu, maka kurang tertata, mereka ini berani-berani ndak menggunakan pinggir ini karena itu milik PLN sekarang ini. Pembuatan PLTA itu kan. Kan ini akan dibangun jadi mereka itu seakan-akan ya nanti kalau PLTA digunakan kan ini akan dibayar semua. Kan nanti kalau dibuat dibongkar, jadi seakan akan mereka itu berani-berani nggak gitu. Pertambahan penduduk menimbulkan kenaikan konsumsi ikan tangkapan hasil Lut Tawar. Sebenarnya pasokan ikan sudah didatangkan dari Kabupaten Bireun, tetapi Universitas Sumatera Utara menurut informan yang tidak mau disebut namanya konflik politik yang terjadi beberapa tahun yang lalu menyebabkan hubungan dengan daerah lain terputus. Masalah kekurangan ikan danau dan politik inilah yang oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dicoba atasi dengan budidaya ikan keramba. Leksikon keramba tancap dan keramba apung merupakan serapan dari leksikon bahasa Indonesia yang ternyata menambah daftar leksikon kedanauan Lut Tawar. Inilah petikan wawancara dengan Bapak J hal. 202, A hal. 221, dan S hal. 226. 13. R : Mengenai budidaya ikan, Pak? Ada tidak budidaya ikan di sini? J : Budidaya ikan itu yang sebanyak ikan itu alam. Lut Tawar itu ikannya alam, kemudian oleh pemerintah daerah dicoba dibudidayakan dengan keramba. Jadi keramba ini baru aja, ini, Bu. R : Apa alasan pemerintah daerah, apa takut ikannya habis atau bagaimana. J : Dibuat keramba, sebenarnya bukan ikannya habis, Bu. Boleh jadi, boleh jadi, karena ikannya jadi, jadi berkurang. Yang jelas gini, Bu, pemakan ikan, penduduk, itu kalau danau ni yang jamin ndak mampu lagi. Jadi maka dicoba dengan budidaya ikan seperti ini, sehingga banyak yang mau untuk mengurangi pasokan dari Aceh Utara, kalo ndak kan dari Bireun. Ikan laut semua datang dari Bireun, tiap pagi kemari kan. Kalau ndak dipasang seperti ini mungkin ikan danau ini ndak mampu untuk melayani masyarakat sehingga harga mungkin terlalu tinggi. R : Berarti konsumsi ikan tinggi sekali di sini, ya, Pak? Setiap hari selalu ada ikan di rumah tangga. J : Ya, tetap ada ikan. 44. R : Itu keramba apung? Universitas Sumatera Utara A : A… keramba apung itu barusan itu. Barusan itu. Apa itu bantuan pemerintah kan ada sekarang itu. Baru. 07. S : … yang jadi proyek sekarang ni, masyarakat itu mengandalkan itu keramba ni. Apakah namanya keramba tancap atau namanya tu keramba apung, a karena populasi ikan ini kan dah habis ni. Nah kalau it u terus-terusan ditangkap akhirnya kan punah. A… jadi di sini ni orang membudidayakan itu dengan keramba yang kek ginilah. Leksikon yang masuk ke dalam bahasa Gayo selain ada yang dipertahankan tetap dalam bahasa asalnya, ada juga yang mendapat nama baru dalam bahasa Gayo. Untuk leksikon biota danau yang tetap dalam bahasa asal misalnya ikan Grass Carp, kendatipun sebagian kecil penutur Gayo menyebutnya ikan Keraskap. Ikan ini pernah ada tapi sampai penelitian ini dilaporkan, ikan itu sudah punah di samping keterangan dari informan, kepunahan ikan Grass Carp ini juga diperkuat oleh keterangan dari Dinas Perikanan Aceh Tengah. Kendatipun demikan nama dan ciri jenis ikan ini masih terekam kuat dalam memori penutur Gayo, sebagaimana terungkap berikut ini melalui penuturan Bapak J hal. 206-207. 24. J : ... setahu saya dulu tahun 1998 itu Grass carp dibawa kemari. Grass carp dicoba, tapi menghilang. R : Kenapa dicobakan ke sini? J : Dicoba barangkali karena dulu dianggap begini e… banyaknya rumput laut yang tumbuh secara alam itu, itu dianggap dulu mengganggu danau oleh pemerintah. Grass carp ini bisa memakan itu. Maka dibawalah bibitnya kemari, tapi tidak lama mungkin kalau saya analisa perkembangannya tidak secepat di sana, kalah dia berkembang dengan Universitas Sumatera Utara ditangkap orang mungkin. Karena tertangkap. . Tumbuhan dari luar yang dibawa masuk ke danau, misalnya Enceng Gondok lihat gambar 2, mendapat nama baru dalam bahasa Gayo yaitu Bunge Pogeng ini merupakan contoh daya cipta kata baru yang berakar dari bahasa Gayo dalam konstruksi kata majemuk. Menurut salah seorang informan yang mengisi tabel pertanyaan tumbuhan air yang akarnya terapung, dikarenakan bentuk daun Enceng Gondok yang seperti gondok, penutur Gayo menamakannya Pogeng gondok. Tumbuhan air ini masuk ke Aceh Tengah sekitar tahun 60-an. Karena bunganya yang indah banyak diminati. Tumbuhan ini cepat berkembang dan menyebar hingga ke Lut Tawar terbukti setelah sekitar lima dasawarsa populasinya sudah menutupi sebagian besar pinggir danau. Berikut petikan wawancara dengan Bapak J hal. 201. 10. J : Enceng gondok itu begini, Bu. Dulu… tahun 60-an. Bapak Isamin, itu dia polisi, orang sini. Dia membawa ntah dari mana, saya tidak tau. Dipelihara untuk hiasan bunga, di rumahnya, di sini. Kemudian karena bunga itu bagus, indah kan, orang kasi pun diambil. Kemudian karena kebanyakan itu tumpah ke laut itu, akhirnya dibawa kemana mana jadilah dia, tapi aslinya dulu ndak ada. Keberadaan Enceng gondok menjadi dilema bagi kawasan Lut Tawar. Tanaman ini dinilai bisa menguntungkan, sekaligus merugikan bagi sistem ekologis danau. Satu sisi, enceng gondok menjadi tempat berkembangbiak ikan-ikan danau. Di sisi lain jumlah yang banyak bisa menghambat sinar matahari untuk masuk ke Universitas Sumatera Utara dalam danau. Padahal sinar matahari amat penting bagi kelangsungan ekosistem danau. Gambar 2. Enceng gondok Gambar 3. Enceng gondok Universitas Sumatera Utara Penutur Gayo merasa banyaknya jumlah enceng gondok belum merupakan ancaman bagi debit air, kebersihan tepi danau gambar 3, dan kelangsungan hidup biota danau wilayah sebarnya menggusur tanaman danau lainnya seperti kertan, tapi mereka bahkan mengambil segi positifnya, sebagaimana terungkap dalam petikan wawancara berikut dengan Bapak J hal. 201 dan S hal. 228. 10. R : Tapi sejak adanya enceng gondok itu, Pak, air danau itu nggak menyusut? J : Yang tahu saya ndak menyusut. Tapi begini, Bu, ya, air danau ini kalau saya lihat pinggirnya ini, Bu, ya, pinggirnya ini, apakah itu analisa Ibu, saya ndak berapa paham. Yang jelas dia, saya dulu tahun 1950, 60an lah, Bu, ya, dengan sekarang satu meter ini udah turun, dengan sekarang yang di bawah ini. 38. R : Cuman enceng gondok ini. Itu mengganggu tidak, Pak? S : Kalau menurut saya ndak. 39. R : Tapi dia kan cepat berkembangnya, Pak. Lama-lama danau ini surut dibikinnya. S : Ada, tapi lamalah dia itu. Tapi menurut saya dia itu lebih banyak manfaatnya. 40. R : Itu untuk rumah ikan? S : Bukan. 41. R : Bukan? S : Cuci mata. Kalau di hotel-hotel mewah itu kan ditanam. Kalau kami di sini ndak perlu ditanam, sudah ada. Universitas Sumatera Utara Sebagai pembanding, di Danau Toba, Provinsi Sumatera Utara, enceng gondok memang dimanfaatkan menjadi pupuk cair yang didistribusikan kepada masyarakat sekitar danau secara gratis. Pembersihan dilakukan dengan kapal ‘Aqua Clean’. Pada saat pembersihan, kapal tersebut mampu memproses langsung enceng gondok yang diambil dari danau menjadi pupuk cair Hutabarat, 2010:12. Dari apa yang dikemukakan di atas, tampaknya guyub tutur Gayo masih menjaga keasrian lingkungan ragawi Lut Tawar, masih melestarikan kebiasaan lama, dan masih melestarikan cerita-cerita rakyat yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan. Sementara itu, adanya intrusi biota dan intervensi teknologi modern memunculkan leksikon-leksikon baru yang menyumbang kekayaan khasanah leksikon Bahasa Gayo. Sejauh ini ada upaya penutur Gayo mempertahankan Bahasa Gayo dalam penyebutannya. Dengan kata lain, mempertahankan perilaku konservatif yang positif dan membiarkan seperangkat kata yang merujuk pada lingkungan kedanauan Lut Tawar, jelas tetap turut mengokohkan keberadaan Bahasa Gayo. Namun demikian, keberadaan Bahasa Gayo bergantung kepada para penuturnya. Keputusan membiarkan bahasa itu bergeser atau bertahan itu semata-mata bergantung pada perilaku masyarakat bahasa itu sendiri. Bahasa Gayo perlu dilestarikan agar budaya daerah tidak menjadi lemah dan implikasinya agar budaya bangsa tetap kokoh. Universitas Sumatera Utara

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN