BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pendahuluan
Penelitian ini bertitik tolak dari perspektif ekolinguistik. Menurut Mbete 2009:2, “dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya
dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan, bersama organisme-organisme lainnya.” Teori-teori yang digunakan dalam penelitian
ini merupakan paduan teori linguistik dan ekologi, sebagaimana dinyatakan oleh Fill 1993:126 dalam Lindø dan Simonsen 2000:40 bahwa ekolinguistik merupakan
sebuah payung bagi semua penelitian mengenai bahasa yang ditautkan dengan ekologi ”ecolinguistics is an umbrella term for ... all approaches in which the study of
language and language is in any way combined with ecology.” Sejumlah teori linguistik yang digunakan dalam penelitian ini mencakup teori semantik,
sosiolinguistik, dan leksikon.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Teori Ekolinguistik
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa dengan ekologinya. Dalam the Ecology of Language Shift, Mackey dalam Fill dan
Muhlhausler 2001:67 menjelaskan bahwa pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Dalam ekologi bahasa, konsep ekologi
memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem dalam bahasa Fill,2001:43.
Lingkungan bahasa dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan sosial Sapir dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:14. Lingkungan ragawi menyangkut
geografi yang terdiri atas fisik: topografi suatu negara pesisir, lembah, daratan, dataran tinggi, gunung, iklim, dan intensitas curah hujan, dasar ekonomis kehidupan
manusia yang terdiri dari fauna, flora, dan sumber-sumber mineral; sedangkan lingkungan sosial terdiri atas berbagai kekuatan masyarakat yang membentuk pikiran
dan kehidupan setiap individu di antaranya: agama, etika, bentuk organisasi politik, dan seni. Konservasi bahasa dalam lingkup ekolinguistik terinspirasi dari pemikiran
Haugenian bahwa upaya penyelamatan bahasa amat diperlukan karena kepunahan bahasa begitu cepat dalam satu dasawarsa Fill, 2001:44. Alasan perlunya upaya
penyelamatan bahasa juga dinyatakan oleh Sinar 2010:70 bahwa “banyak bahasa daerah di Indonesia berada di ambang kritis, semakin sulit untuk “hidup,” bertahan,
berfungsi, dan terwaris secara utuh. Banyak nilai yang tergusur dan punah. Belum
Universitas Sumatera Utara
lagi, dengan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional, regional dan nasional, semakin mendesak bahasa-bahasa minoritas.”
Bertolak dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian ekolinguistik memiliki parameter yaitu interrelationships interelasi bahasa dan lingkungan,
environment lingkungan ragawi dan sosial budaya and diversity keberagaman bahasa dan lingkungan Haugen dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:1.
Haugen 1970, lihat Mbete 2009:11-12, menyatakan bahwa ekolinguistik memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yaitu
1 linguistik historis komparatif; 2 linguistik demografi;
3 sosiolinguistik; 4 dialinguistik;
5 dialektologi; 6 filologi;
7 linguistik preskriptif; 8 glotopolitik;
9 etnolinguistik, linguistik antropologi ataupun linguistik kultural cultural linguistics; dan
10 tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan. Berdasarkan pembagian Haugen tersebut, penelitian ini ada terkait dengan ruang kaji
sosiolinguistik dan linguistik preskriptif leksikografi.
Universitas Sumatera Utara
Dalam lingkup kajian ekolinguistik, bahasa yang hidup dan digunakan menggambarkan, mewakili, melukiskan merepresentasikan secara simbolik-verbal
realitas di lingkungan, baik lingkungan ragawi maupun lingkungan buatan manusia lingkungan sosial-budaya. Hal tersebut mengimplikasikan bahasa mengalami
perubahan seiring dengan perubahan lingkungan ragawi dan sosialnya, sebagaimana dinyatakan Liebert 2001 dalam Mbete 2009:7 bahwa “… perubahan bahasa …
merepresentaikan perubahan ekologi.” Proses perubahan pada bahasa tersebut berjalan secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, tanpa disadari oleh
penuturnya, dan tidak dapat dihindari. Perubahan pada bahasa itu tampak jelas teramati pada tataran leksikon.
Alasannya, kelengkapan leksikon dari suatu bahasa mencerminkan sebagian besar karakter lingkungan ragawi dan karakteristik sosial serta budaya masyarakat
penuturnya. Sapir dalam Fill dan Muhlhausler 2001:14 menarik kesimpulan sebagai berikut.
It is the vocabulary of a language that most clearly reflects the physical and social environment of its speakers. The complete vocabulary of a
language may indeed be looked upon as a complex inventory of all the ideas, interests, and occupations that take up the attention of the
community, and were such a complete thesaurus of the language of a given tribe at our disposal, we might to a large extent infer the character
of the physical environment and the characteristics of the culture of the people making use of it. It is not difficult to find examples of languages
whose vocabulary thus bears the stamp of the physical environment in which the speakers are placed.
Universitas Sumatera Utara
Sapir dalam Fill dan Muhlhausler 2001:2 juga menambahkan bahwa dalam lingkup ekolinguistik, hubungan bahasa dan lingkungannya ada pada tataran leksikon saja,
bukan, misalnya, pada tataran fonologi atau morfologi ‘this interrelation exists merely on the level of the vocabulary and not, for example, on that of phonology or
morphology.’ Pada tataran leksikon, dinamika dan perubahan bahasa dipengaruhi oleh tiga
dimensi Lindø dan Bundegaard, 2000: 10-11, yakni a dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat misalnya
ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan ideologi pasar sehingga perlu dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah dan
wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis. Jadi ada upaya untuk tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakan jenis ikan atau
tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomi tinggi dan kuat, b dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus
sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan wujud praktis sosial yang bermakna, dan
c dimensi biologis, berkaitan dengan adanya diversifitas keanekaragaman biota danau atau laut, ataupun darat secara berimbang dalam ekosistem, serta dengan
tingkat vitalitas spesies dan daya hidup yang berbeda antara satu dengan yang lain; ada yang besar dan kuat sehingga mendominasi dan “menyantap” yang lemah dan kecil,
ada yang kecil dan lemah sehingga terpinggirkan dan termakan. Dimensi biologis itu
Universitas Sumatera Utara
secara verbal terekam secara leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa sehingga entitas-entitas itu tertandakan, dan dipahami.
Sehubungan dengan dasar konsep dan teori di atas maka sejumlah segi yang dapat dibedah dan dikaji di dalamnya mencakupi.
1. Leksikon-leksikon bermakna dan berfungsi referensial, yakni khazanah
leksikon yang referensi nyatanya dapat dilacak, dijejaki, dibuktikan secara empirik atau kasat mata, karena dapat ditemukan di lapangan, atau juga kendati
masih diingat dalam kognisi warga masyarakat di sekitarnya oleh penuturnya, baik tua maupun muda, namun sesungguhnya biota atau makhluk
hidup yang diwadahi dalam bahasa lokal itu, sudah terancam keberadaannya, populasinya kian mengecil, bahkan ada yang sudah punah.
2. Secara kategori kelinguistikan, perangkat leksikon yang berkaitan dengan
lingkungan itu, khususnya lingkungan alam-danau atau kedanauan itu, seperti juga lingkungan kesultanan, kepurian, atau juga kepresidenan sifat dan
karakternya jelas harus dipilah-pilah atau dikategorikan. Dengan demikian, klasifikasi atau kategorisasi menjadi nomina tatanama, verba, ajektiva, dapat
menjadi fokus kajian pula. Pasti ada nomina yang secara semantis tergolong benda-benda mati tak bergerak bebatuan, pasir, tanah liat, makhluk hidup
non-insani, seperti nama-nama fauna, hewanbinatang dan tumbuhan flora apa saja yang hidup di air danau a.l. ikan air tawar dalam bahasa lokal Gayo
dengan spesiesnya. Dikaji pula atau ditemukan pula, jika ada, nama-nama nomina hewan dan tumbuhan yang habitatnya atau lingkungan hidupnya
Universitas Sumatera Utara
hanya di danau atau yang khas danau tertentu. Demikian juga pasti cukup banyak tanaman air tawar danau, juga dalam bahasa lokal yang harus
ditemukan, meskipun sebagiannya “tinggal ingatan” orang tua-tua, namun sudah tidak ada lagi di danau itu.
3. Pertanyaan lebih kritis lagi dapat diajukan pula sebagai fokus kajian lebih
dalam yakni, mengapa sejumlah hewan air, tumbuhan air, yang menurut cerita atau tuturan orang tua-tua itu, sudah tidak ada lagi dalam realita di lingkungan
danau itu? Selain penghilangan karena perburuan atau penangkapan, pencemaran karena menggunakan racun atau bom misalnya, semuanya itu
dapat disingkap dalam kajian ini. Sebaliknya juga, apa saja yang tetap terpelihara, sehingga populasi hewan air danau misalnya, atau juga tumbuhan
khas danau dan tepi danau tetap terjamin, perlu diungkapkan juga nama-nama latinnya juga perlu disertakan karena identifikasi dan klasifikasi biologis
universal sudah berlaku, lihat Verheijen, 1991. 4.
Ungkapan-ungkapan, juga peribahasa, metafora-metafora, dan cerita-cerita rakyat, dongeng, bahkan fabel cerita binatang tentang lingkungan tertentu,
adalah tanda adanya relasi mental manusia dengani lingkungan hidupnya yang sudah hidup turun-temurun. Di baliknya atau di dalamnya kaya dengan butir-
butir makna tentang khazanah lingkungan. 5.
Selain simbol-simbol verbal yang menggambarkan realitas kehidupan danau dengan segala isinya yang tersingkap dalam bahasa setempat semisal bahasa
Gayo, simbol-simbol verbal berbahasa lain yang sudah masuk lewat otak dan
Universitas Sumatera Utara
mulut tuturan dan tangan tulisan, khususnya dari bahasa Indonesia, atau juga bahasa lainnya, perlu digali pula sebagai tanda hadirnya lingkungan
kebahasaan yang memang sudah beragam. Kata dan istilah dalam bahasa Indonesia itu berkaitan dengan misalnya benih ikan atau tanaman air yang
dikembangkan dari luar dan tentunya memakai bahasa Indonesia atau bahasa lain.
Dalam penelitian ekolinguistik yang pernah dilakukan oleh Mbete dan Abdurahman 2009 terungkap dua hal. Pertama, sejumlah leksikon yang terekam
melalui proses konseptualisasi dalam pikiran penutur menjadi leksikon yang fungsional untuk digunakan. Dengan kata lain, penutur bahasa, tidak akan
menggunakan leksikon yang tidak ada dalam konseptual mereka. Kedua, konsepsi leksikal dalam alam pikiran penutur ini akan berubah sesuai dengan perubahan
lingkungan ragawi mereka. Perubahan itu terjadi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan menghilang atau menyusutnya sejumlah leksikon. Bahkan,
pada komunitas yang dwibahasawan, tidak hanya terjadinya perubahan, tetapi pergeseran ke konsepsi leksikal bahasa yang lain.
2.2.2 Teori Sosiolinguistik
2.2.2.1 Pergeseran dan pemertahanan bahasa
Universitas Sumatera Utara
Pergeseran dan pemertahanan bahasa sebenarnya seperti dua sisi mata uang, Crystal 2003:17 memaparkan pergeseran bahasa language shif sebagai ‘the
conventional term for the gradual or sudden move from the use of one language to another either by an individual or by a group’ perubahan secara bertahap atau tiba-
tiba dari satu bahasa ke bahasa lain baik secara perorangan atau kelompok. Pergeseran bahasa disebabkan oleh sejumlah faktor, yaitu faktor sosiolinguistis,
psikologis, demografis, dan ekonomik Gunarwan, 2006:102. 1.
Yang termasuk faktor sosiolinguistis adalah adanya bilingualisme atau multilingualisme jika lebih dari dua bahasa terlibat.
2. Faktor psikologis dipengaruhi pandangan para anggota masyarakat bahasa
yang bersangkutan mengenai bahasa mereka di dalam konstelasi bahasa- bahasa yang ada di dalam masyarakat kebanggaan dan kesetiaan yang tinggi
terhadap bahasa. 3.
Faktor demografis berhubungan dengan jumlah penutur yang kecil. 4.
Faktor ekonomik dikaitkan dengan pemilihan bahasa menuju pekerjaan yang lebih menguntungkan.
Menurut Rahardi 2006:68-70, pergeseran bahasa dapat dengan mudah dicermati oleh siapapun pada aspek leksikon, yaitu adanya penambahan, pengurangan,
dan penghilangan makna kata. Misalnya, kata ‘papan’ semula hanya bermakna ‘belahan pipih dari sebatang kayu’, sekarang bertambah maknanya menjadi
‘perumahan’; dulu kata ‘sarjana’ bermakna ‘orang yang benar-benar pandai dan cerdas’, tetapi sekarang maknanya cenderung menyempit, merujuk pada orang yang
Universitas Sumatera Utara
sudah lulus dari jenjang pendidikan tinggi tertentu dan tidak pasti orang yang pandai dan cerdas; kata ‘ceramah’ pada awal mulanya berarti ‘banyak bicara, cerewet’, kini
makna-makna tersebut telah hilang dan berganti makna baru menjadi ‘paparan atau uraian dalam bidang ilmu tertentu’.
Berbeda dengan pergeseran bahasa, pemertahan bahasa terjadi jika dan bila
penuturnya secara kolektif tetap menggunakan bahasa tradisionalnya walaupun ada desakan untuk beralih menggunakan bahasa yang lain. Membahas pemertahanan erat
kaitannya dengan kepunahan bahasa, artinya jika upaya pemertahanan tersebut gagal, maka bahasa itu akan perlahan-lahan menjadi punah Sumarsono dalam Damanik,
2009:9. Kemampuan bahasa untuk bertahan hidup menurut Holmes 2001:65 dalam Gunarwan 2006:101-102 dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu
1 status bahasa yang bersangkutan seperti yang tercermin pada sikap masyarakat
bahasa itu terhadapnya; 2
besarnya kelompok penutur bahasa itu serta persebarannya; dan 3
seberapa jauh bahasa itu mendapat dukungan institusional.
2.2.3 Leksikon
Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI 2008:805 mendefinisikan leksikon sebagai “kosakata; komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna
dan pemakaian kata dalam bahasa; kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa.” Sedangkan Sibarani 1997:4 sedikit membedakan leksikon dari perbendaharaan kata,
Universitas Sumatera Utara
yaitu “leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantis, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya,
sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau sesuatu bahasa.” Pendapat yang sama dengan Sibarani mengenai
leksikon dikemukakan oleh Booij 2007:16, yaitu ‘the lexicon specifies the properties of each word, its phonological form, its morphological and syntactic properties, and
its meaning.’ Ia memberikan contoh leksikon melalui swim, dan swimmer: a. sw
ιm sw
ιmər b. [x]V
[[x]V er]N
c. SWIM
ACTIVITY
PERSON PERFORMING SWIM
ACTIVITY
Contoh a. merupakan bentuk fonologi leksem swim, Contoh b. merupakan struktur morfologi internal,
Contoh c. merupakan makna yang dinyatakan dengan huruf kapital kecil. Dalam bahasa Indonesia diberikan contoh leksikon melalui ‘takut’ dan ‘penakut’
a. takut penakut
b. [x]A
[[x]A peN-]N
[[x]A peN-]A
c. tidak berani
orang yang takut mudah takut
Contoh a. merupakan bentuk fonologi leksem ‘takut’, Contoh b. merupakan struktur morfologi internal,
Contoh c. merupakan makna.
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Semantik Leksikal
Dari segi semantis, “setiap kata memiliki makna sesuai dengan lingkungan budaya bahasa bersangkutan” Sibarani, 1997:7. Pembahasan makna dalam kata
merupakan kajian semantik leksikal. Makna kata itu dianggap sebagai satuan mandiri, bukan makna kata dalam kalimat Pateda, 2001:74. Jadi, menurut semantik leksikal,
makna satu kata sesuai dengan referennya, sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Contoh dalam bahasa
Gayo terdapat kata batang kayu yang referennya ‘pohon’, kayu referennya ‘tumbuhan tanpa batang’, dan iken referennya ‘ikan’.
Semantik berkaitan dengan semiotik. Dalam semantik, kata disebut lambang symbol sedangkan dalam semiotik lambang itu sendiri disebut tanda sign Pateda,
2001:25. Sebagai pengguna bahasa, masyarakat dikelilingi oleh tanda, diatur oleh tanda, ditentukan oleh tanda, bahkan dipengaruhi oleh tanda. Tanda-tanda itu
mengandung makna. Dalam semiotik natural ditelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam Pateda, 2001:31. Misalnya, air sungai keruh menandakan bahwa di hulu
telah turun hujan, tanah longsor memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam.
Kata merupakan tumpuan dalam pembahasan semantik leksikal. Sweet dalam Palmer 1976:37 membagi kata atas kata penuh full words, kata tugas, dan partikel
Universitas Sumatera Utara
form words. Kata penuh mengandung makna tersendiri. Kata ini bebas konteks kalimat sehingga mudah dianalisis. Misalnya, nomina, verba, ajektiva, dan adverbia.
Kata tugas merupakan bentuk bebas yang terikat konteks kalimat. Kata ini mengandung makna apabila berada dalam kalimat. Contohnya, pronomina, numeralia,
interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi, konjungsi, interjeksi. Partikel merupakan bentuk terikat yang melekat pada kata dasar dan terikat pada konteks
kalimat. Sesuai dengan rumusan masalah yang sudah ditetapkan pada bab I, subbab ini
membahas kata penuh nomina kata benda, yang pembatasannya merujuk pada pendapat Chaer 2006:86-88 sebagai berikut.
2.2.4.1 Kata benda
Kata-kata yang dapat diikuti dengan frase yang … atau yang sangat …disebut kata benda. Misalnya kata-kata:
- lut tawar we jeroh
lut tawar yang indah ‘danau yang indah’
Ada tiga macam kata benda yaitu: A. Kata benda yang jumlahnya dapat dihitung, sehingga di depan kata benda itu dapat
diletakkan kata bantu bilangan. Ke dalam kelompok kata benda ini termasuk kata-kata yang menyatakan:
Universitas Sumatera Utara
1 orang. Termasuk kata-kata: a nama diri, seperti Hasan, Abas, Siti, dan Ida.
b nama perkerabatan, seperti ngi adik, ine ibu, sudere saudara, dan Aka kakak.
2 hewan, seperti lipe ular, dan kintis semut. 3 tumbuhan atau pohon, lasun ilang bawang merah, dan jamu jambu,
4 alat, perkakas, atau perabot, seperti dedisen, kik alat tangkap ikan tradisional, 5 benda alam, seperti atu batu, dan one pasir,
6 hal atau proses, seperti uren hujan, 7 hasil, seperti belacan terasi hasil olahan ikan depik.
B. Kata benda yang jumlahnya tak terhitung. Untuk dapat dihitung di depan kata benda itu harus diletakkan kata keterangan ukuran satuan seperti gram, ton, cm
sentimeter, km kilometer, persegi, hektare, liter, kubik; termasuk juga kata-kata yang menyatakan nama wadah yang menjadi tempat benda tersebut, seperti karung,
gelas, tem kaleng, motor truk, dan gerbak gerobak; serta kata-kata seperti saraikat seikat, sepotong, sengkerat sekerat, setumpuk, sarairis seiris.
Ke dalam kelompok kata benda ini termasuk kata-kata yang menyatakan: 1 bahan, seperti one pasir, papan kayu, dan gule depik ikan depik,
2 zat, seperti wih air dan hewe udara.
Universitas Sumatera Utara
C. Kata benda yang menyatakan nama khas. Di muka kata benda ini tidak dapat diletakkan kata bilangan, seperti Takengon, dan Lut Tawar.
2.3 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan
Berdasarkan survei pustaka dan keterangan lain-lain, ternyata penelitian tentang ekologi bahasa Gayo terkait dengan Lut Tawar,
khususnya mengenai leksikon belum pernah dilakukan. Padahal unsur leksikon merupakan salah satu aspek
kebahasaan yang sangat penting untuk pembinaan dan pengembangan bahasa itu, di samping aspek-aspek yang lain. Kendatipun demikian artikel-artikel tentang
penelitian ekolinguistik yang pernah diterbitkan berikut ini bermanfaat dalam penelitian ini.
Linguistic Erosion on the Chesapeke: Intergenerational Diachronic Shifts in Lexicalizations of the Bay oleh Anjali Pandey 2000. Artikel ini membahas
pergeseran penggunaan istilah across the bay di seberang teluk yang berorientasi lingkungan ragawi menjadi across the bridge di seberang jembatan yang berorientasi
infrastruktur untuk merujuk pada west of the Chesapeake Bay oleh tiga generasi dengan kelompok umur yang berbeda. Temuan penelitian menunjukkan bahwa
generasi muda lebih memilih istilah across the bridge. Hal ini dipengaruhi oleh kurikulum sekolah yang kurang berorientasi pada lingkungan. Yang dijadikan acuan
dari penelitian ini adalah pembagian informan yang diteliti atas tiga kelompok umur,
Universitas Sumatera Utara
proses pengujian data dengan memberikan empat pilihan jawaban, dan metode analisis berdasarkan persentase.
Sacred Worldview in Tribal Memory: Sustaining Nature through Cultural Actions oleh Mahendra K. Mishra dalam Anna Vibeke dan Bundsgaard 2000.
Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa mitos dan ritual berfungsi menyatukan pikiran dan tindakan penduduk asli suatu distrik di India;
menghubungkan yang tidak bernyawa dengan yang bernyawa, dan masa lalu dengan sekarang. Setiap kata memiliki tujuan dan makna yang dinikmati, didistribusikan dan
disosialisasikan. Akan tetapi, pembangunan jalan, pengenalan alat transportasi modern, dan ekploitasi lahan dan manusia memaksa komunitas lokal menerima
budaya baru yang melupakan alam. Selain itu, masuknya bahasa asing mendesak bahkan memusnahkan tradisi oral yang sarat dengan kearifan lokal, mengakibatkan
perubahan perilaku penduduk asli dalam memperlakukan alam dan sumber daya yang dimilikinya. Penelitian ini bermanfaat dalam penulisan subbab Saran dalam Bab
Simpulan dan Saran, yaitu pentingnya upaya pelestarian budaya dan bahasa lokal untuk memelihara kelestarian lingkungan.
Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada Komunitas Remaja di Stabat, Langkat oleh Aron Meko Mbete dan Abdurahman Adisaputera
2009. Dari hasil tes penguasaan leksikon responden terungkap bahwa rata-rata pemahaman remaja tentang leksikon bahasa Melayu Langkat BML tergolong
rendah. Perubahan itu dipicu oleh 1 kurangnya interaksi komunitas remaja dengan entitas yang bercirikan ekologi Melayu, 2 langka bahkan punahnya entitas sehingga
Universitas Sumatera Utara
tidak terkonsep dalam alam pikiran penutur, dan 3 konsepsi leksikal penutur tentang entitas-entitas itu bukan dalam piranti BML, tetapi dalam bahasa lain. Yang dijadikan
acuan dari penelitian ini adalah penyebab perubahan pemahaman leksikon sebagaimana disebutkan di atas, teknik pengumpulanpemerolehan, dan analisis data.
Dalam penelitian mereka, pemerolehan data dilakukan dengan mendokumentasi leksikon BML terkait dengan lingkungan alamiah komunitas Melayu di Stabat. Ada
150 leksikon yang diujikan kepada responden. Tujuan pengujian adalah melihat peringkat keterpahaman responden terhadap leksikon yang berhubungan dengan
lingkungan alamiah mereka yang sebenarnya dalam bahasa mereka. Hasil pengujian dapat dijelaskan dengan memparafrasekan situasi penggunaan leksikon tersebut yang
dikaitkan dengan kondisi sosioekologis remaja secara nyata. Setiap leksikon dideskripsikan sesuai dengan hasil survei lapangan tentang sosioekologis Melayu di
Stabat. Ekologi Bahasa dan Pengaruhnya dalam Dinamika Kehidupan Bahasa
Melayu Loloan Bali oleh I Nyoman Suparwa, Fakultas Sastra Universitas Udayana. Kehidupan dan perkembangan bahasa Melayu BM Loloan dipengaruhi oleh tiga hal,
yaitu hubungan penutur bahasa dengan lingkungan alamnya, hubungan sosial penutur dengan penutur lainnya, dan hubungan penutur dengan Sang Penciptanya.
Berdasarkan faktor pertama, yaitu hubungan penutur bahasa dengan lingkungan alamnya, diketahui bahwa lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan penutur
memengaruhi perkembangan BM Loloan. Lingkungan alam pesisir dan pinggir sungai serta profesi nelayan menyebabkan banyak penutur BM Loloan sangat akrab
Universitas Sumatera Utara
dengan kata-kata tentang laut, nelayan, dan rumah panggung. Namun pengaruh faktor alam seperti penggundulan hutan, berkurangnya curah hujan, dan pendangkalan
sungai, memengaruhi cara hidup dan menimbulkan pola pikir ekonomis generasi penutur bahasa Loloan berikutnya dalam menjalani kehidupan. Profesi nelayan
ditinggalkan, diganti dengan profesi pedagang, buruh, tukang, dan rumah panggung digantikan dengan rumah biasa yang sedikit menggunakan kayu. Sejalan dengan
perubahan profesi dan bentuk rumah, istilah-istilah baru bermunculan mengakibatkan istilah-istilah lama hampir tidak dikenal lagi. Terkait dengan penelitian leksikon
nomina bahasa Gayo di lingkungan kedanauan Lut Tawar, faktor pertama di atas mengilhami peneliti dalam menulis subbab Saran dalam Bab Simpulan dan Saran.
Ungkapan-Ungkapan dalam bahasa Lio dan Fungsinya dalam Melestarikan Lingkungan oleh Aron Meko Mbete 2002:174-186. Penelitian ini menguak warisan
budaya leluhur masyarakat etnik Lio, Flores, berupa ungkapan-ungkapan verbal yang memiliki fungsi untuk melestarikan lingkungan hidup. Ungkapan-ungkapan budaya
verbal tersebut dirinci sebagai berikut. Pertama, ungkapan yang berfungsi memelihara keserasian hubungan dengan alam semesta, terutama dengan Sang
Khalik, dan dengan leluhur pewaris lahan. Kedua, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan lahan dengan menggunakan teknik tradisional yang mendukung
lingkungan. Ketiga, ungkapan yang mengamanatkan pemeliharaan hutan lindung dan sumber air. Keempat, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan pantai dan laut.
Kelima, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan dan menjaga kebersamaan dan kesatuan sosial. Hasil penelitian tersebut menginspirasi peneliti untuk mengungkap
Universitas Sumatera Utara
kandungan makna ungkapan-ungkapan terkait dengan pelestarian lingkungan alam kedanauan Lut Tawar yang populer di kalangan penutur Gayo. Selain itu, temuan
dalam penelitian, yaitu merosotnya pemahaman nilai dan norma pelestarian lingkungan dikarenakan kesenjangan kebahasaan antargenerasi menjadi pembanding
bagi peneliti dalam merumuskan kesimpulan penelitian leksikon nomina bahasa Gayo ini.
Kasus-Kasus Pergeseran Bahasa Daerah: Akibat Persaingan dengan Bahasa Indonesia oleh Asim Gunarwan 2006:95-113. Tulisan ini menyoroti beberapa kasus
pergeseran bahasa daerah di Indonesia dan mencoba menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Penjelasan dicoba dengan mencari alasan-alasannya, yang mencakupi nosi
vitalitas etnolinguistis, faktor-faktor yang ikut memicu pergeseran, termasuk kekalahan di dalam persaingan bahasa daerah dari bahasa Indonesia berdasarkan
konsep geolinguistis. Tulisan ini dijadikan acuan dalam hal penyebab pemertahanan dan pergeseran bahasa. Tiga komponen penyebab bahasa mampu untuk bertahan
hidup menurut Holmes 2001:65, yaitu 1 status bahasa yang bersangkutan seperti yang tercermin pada sikap masyarakat bahasa itu terhadapnya; 2 besarnya kelompok
penutur bahasa itu serta persebarannya; dan 3 seberapa jauh bahasa itu mendapat dukungan institusional. Sedangkan pergeseran bahasa disebabkan faktor
sosiolinguistis, psikologis, demografis, dan ekonomik. Ungkapan Verbal Etnis Melayu dalam Pemeliharaan Lingkungan oleh Tengku
Silvana Sinar 2010:70-83. Makalah ini membahas dampak degradasi lingkungan pada bahasa Melayu Serdang di wilayah komunitas pantai masyarakat Deli Serdang
Universitas Sumatera Utara
dan Serdang Bedagai, yang ditandai dengan semakin langka dan kurang dikenalnya sejumlah leksikon tumbuhan yang terdapat dalam sastra lisan Melayu, yaitu pantun,
pepatah, dan jargon. Selain itu, permasalahan yang mengemuka juga dikaitkan dengan perspektif linguistik sistemik fungsional, yaitu metafungsi bahasa. Latar
belakang penulisan makalah ini, yaitu perlunya upaya penyelamatan bahasa daerah di Indonesia dikarenakan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa
internasional, regional dan nasional memperkuat subbab Teori Ekolinguistik dalam Bab Kajian Pustaka tesis ini. Di samping itu, pengungkapan kearifan lokal mengenai
pelestarian lingkungan dalam sastra lisan pantun dan pepatah memengaruhi peneliti untuk lebih kritis dalam menganalisis makna ungkapan atau peribahasa yang dimiliki
penutur Gayo terkait upaya pelestarian lingkungan alam kedanauan Lut Tawar yang dimuat dalam Bab VI.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian ini melalui tiga tahap, yaitu tahap pralapangan, tahap kegiatan lapangan, dan tahap analisis.
3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ekolinguistik bahasa Gayo ini dilakukan pada empat kecamatan yang mengelilingi Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah, yaitu Kecamatan Bebesen,
Kecamatan Kebayakan, Kecamatan Bintang, dan Kecamatan Lut Tawar. Tahap pengerjaan lapangan tidak mengenal pembatasan waktu, namun
diusahakan seefisien mungkin dengan memperhitungkan keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya yang digunakan. Pengumpulan data leksikon dilakukan selama sepuluh hari
14-24 Maret 2010, sedangkan pengujian keterpahaman data leksikon pada masyarakat di empat kecamatan sekitar danau dilakukan selama tiga minggu 7-28
April 2010.
3.2 Pendekatan dan Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan dan metode kualitatif. Creswell dalam Patilima 2005:3 mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai “sebuah proses
Universitas Sumatera Utara