Hubungan Kosmologi Kedanauan yang Harmoni

tempatnya, tidak boleh pakaian–pakaian yang macam ini, yang apa yang busuk-busuklah. Jangan kena sabun, jangan dicuci dia, besok sudah kita kerja airnya kita angkat, jemur, masuk dalam tong itu pakai itu. Ndak bisa pakai minyak dia. Kena minyak ndak mau lagi dia. Dia orangnya lain tempatnya itu, ndak macam ikan lain ini . Ikan lain ini kan bisa bikin apa minyak. Dia ndak bisa itu. Sabun yang paling bahaya. Perubahan perilaku menangkap ikan depik misalnya berdampak pada berkurangnya populasi ikan ini. Bapak J hal. 204 menuturkannya berikut ini. 19. J : Depik itu bisa ditangkap besok pun. Cuma dulu pakai peraturan cara menangkapnya. Sebelum dia musim ndak dapat, karena ndak ada dijaring.

6.3 Hubungan Kosmologi Kedanauan yang Harmoni

Alam kaya dengan tanda-tanda yang bisa menghindarkan manusia dari hal-hal yang merugikan manusia dan lingkungannya. Untuk mencegah berkurangnya populasi ikan depik Lut Tawar ada hal-hal tertentu yang bisa dilakukan yaitu melalui penangkapan ikan yang memperhatikan tanda-tanda alam. Berikut petikan wawancara dengan Bapak J hal. 204. 19. J : … ikan depik itu dulu dia punya legenda cerita tersendiri, asal usul ikan depik dan hasil penelitian. Memang di dunia ini ndak ada ikan depik lagi, kecuali Takengon. Ndak ada sejenis itu, ndak ada, mungkin saudaranya mungkin ada. Dulu menangkapnya itu pakai dedisen, atau penyangkulen. Ndak boleh dijaring di tengah. Kemudian ikan itu musim keluarnya. Jadi sekali musim itu ton, Bu. Ton, itu. Jadi kalau saya memiliki tempat penangkapnya itu saya tergolong kaya, saya, Bu, dulu. Itu sekarang karena dijaring suka hati, lepas kontrol, sehingga Universitas Sumatera Utara ikan depik ini ndak pernah jadi kita katakan jadi ya kan. Jadi boleh saja dikhawatirkan satu saat akan habis. Kalau dulu tidak bermusim, di saat tidak bermusim ndak dapat kita ikan itu. 19. R : Kenapa ikan itu sampai mahal gitu, Pak? Apa kelebihannya? J : Saya kira ndak mahal kalau sekarang itu, Bu. Kalau dulu pun ndak mahal juga. Cuma dia mahal adanya, karena setahun mungkin dia empat kali. Jadi dia gini bahwa kalau musim itu ini angin ndak menentu. Kita bisa baca, Bu, alam. Hujannya dikata matahari ndak nampak. Hujan dikatakan iya ndak basah kita pergi. Nah, itu orang kampung itu tahu jam sekian besok dah keluar depik itu. Jadi mahalnya itu musimnya itu. Jadi sekarang ini boleh saja tiap hari kita peroleh, karena dijamin ke rumahnyalah katakanlah di pinggir itu dibuat cara pakai api sehingga depik itu lompat maka ndak ibu jumpai depik besar- besar. Depik enak payah dapat sekarang kan? Apalagi dengan jaring. Kalau dulu kan ndak dengan jaring, dengan tanggok itu. Atau dengan itu yang dikatakan penyangkulen yang pakai tanggok begini. Itupun pakai peraturan, Bu. Tanggok ibu dengan tanggok saya itu 2km baru bisa buat lagi. Nah kemudian kalau yang pakai dedisen itu harus ada mata air yang mengalir di tepi danau. Itu baru bisa kita buat, kalau ndak depik ini ndak mau masuk. Jadi, punya tata cara dia. Petikan wawancara yang digarisbawahi di atas menunjukkan bahwa secara astronomi mereka memahami iklim dan memiliki pengetahuan tentang perilaku ikan. Dengan pengetahuan tentang alam dan perilaku ikan, para nelayan tahu saatnya “mendanau” untuk menangkap ikan dan tidak asal bepergian menangkap ikan ke danau. Universitas Sumatera Utara Sementara itu untuk menghindarkan manusia dari petaka ada baiknya dirujuk pula dongeng-dongeng lama yang kaya dengan pesan-pesan moral, seperti penuturan Bapak J hal. 212-213 berikut. 01. Peteri Ijo Peteri Ijo dekat hotel Renggali. Ceritanya dulu ada seorang yang satu mama sekeluarga. Salah satu di antaranya, e… abangnya itu pergi merantau, ntah rantau ntah dibawa orang ntah bagaimana, pisah sama adiknya ni ndak pernah lagi bertemu. Satu saat dia kembali kemari jumpa sama adiknya tadi. Dia pun ndak kenal sama adiknya, adiknya ndak kenal dia abangnya. Oleh orang kampung, karena abangnya ini bagus sekali, diupayakan berumah tangga dengan dia karena ibu bapaknya memang ndak ada lagi. Tetapi waktu ada pertemuan menuju ke rumah tangga itu, bercerita dia dua siapa saya ini. Dari situ dia tahu o… berarti itu abangku ini. Cerita mama saya dulu begini. Disampaikannya sama orang kampung itu saya ndak mau itu abang saya. Mana ada. Itulah akhirnya dipaksakan dia berumah tangga. Sebelum berumah tangga, katakanlah lusa mau nikah, hari ini dia sama-sama kawannya pergi mandi. Gitulah dia cemplung masuk air. Ndak mau berumah tangga, cemplung dia masuk dalam air akhirnya menjadi peteri ijo. Cerita orang ini, entah karena sudah diasuh mau kita bertemu dengan dia sesekali di danau. Kepala dan badannya macam ular. Andaikan karam perahu kita, jumpa dengan dia, ini ceritanya kan, itu diajaknya kita berumah tangga. Tapi bilang saja, saya pun orang Lot, karena dia suku atau marga Lot. O… kalau begitu kita saudara. Kita ndak, lepas itu. Berdasarkan inti atau tema cerita, ada rasa takut di kalangan penutur Gayo terhadap kehidupan Lut Tawar. Rasa takut ini berkaitan dengan rasa hormat; rasa sikap penting agar tidak ada perlakuan semena-mena terhadap lingkungan. Universitas Sumatera Utara 02. Loyang Koro Loyang Koro ini adalah lobang sekarang. Lobangnya ada. Saya sudah masuk ke dalam. Sejauh mana dalamnya kita pun ndak berani. Tapi sejauh kita bisa masuk, saya sudah dicoba, apalagi sudah pakai listrik dicoba. Tapi terus ke dalam masih ada jalannya, kemana terus sampai wallahualam. Kata cerita itu, dari situ dulu orang membawa kerbau ke tempat pengembalaan di Isaak. Kalau dipotong memang dekat, tapi kalau dibawa ke sebelah sana memang jauh. Apakah benar lewat sana ke dalam sana terus keluar di sana, nah itu pun saya ndak tahu wallahualam, Bu. Maka kerbau itu koro, Bu, berarti lobang kerbau membawa kerbau ke seberang sana. Cuma kalau saya analisa mungkin tidak terjadi hal itu hanya barangkali ungkapan bahasa saja, Bu. Artinya alahkan dekat cuma jalan sini, Bu, sudah sampai kok capek-capek antar, untuk semangat mengantar kerbau balik ke padang gembalaan karena sudah selesai bersawah mungkin itu barangkali hikmahnya. Mungkin. Cerita ini merupakan penyemangat kerja saat menggembala kerbau, bahwa dulu saat tidak ada kendaraan orang sanggup mengantar kerbau sampai ke tempat yang terjauh. Dengan mengantar kerbau, pengantarnya merasa dekat dan akrab dengan kerbau. Bepergian mengantar kerbau dalam waktu yang cukup lama dan menjadi kebiasaan lokal adalah tanda kedekatan masyarakat Gayo, seperti juga masyarakat Nusantara lainnya, dengan fauna tersebut. 03. Peteri Pukes Itu di Kebayakan. Peteri Pukes itu berumah tangga betul berumah tangga dari Nosar, Bu. E… dari Nosar ini, berumah tangga dia cuma lewat Danau Laut Tawar ini. Ke Sebelang terus ke seberang sana berangkat menuju rumah si pengantin laki-laki. Amanah ibu bapak di rumah, karena kamu dah berangkat jangan balik-balik lihat kemari. Jangan lihat-lihat rumah ini dari jauh pun nanti sana. Hatimu itu tetapkan jangan lihat-lihat balik kemari. Amanah itu artinya Universitas Sumatera Utara tetapkan hati, jangan lihat-lihat kemari. Jadi begitu berangkat, macam kita di Ka’bah, Bu, jangan ingat-ingat lagi. Nanti kalau mau datang lagi ya datang kan? Ternyata sampai ke sana itu berhasil bisa lihat kampung, balik dia. Itulah jadi batu. Kemudian si suaminya pun karena dia sudah jadi batu, saya pun ndak apalah diminta jadi batu. Jadi batu pun dia. Itu cerita itu Loyang Sekam itu. Loyang itu namanya lobang, di situ di dalam lobang itu dia. Nah, tapi kalau dianalisa, analisa saya, mungkin juga legenda, Bu. Barangkali amanah orang tua itu jangan dilanggar barangkali, karena saya lihat tanahnya itu stalagmit, mungkin. Memang bentuknya macam-macam, ada yang seperti piring, ada seperti periuk, ada seperti apa dulu kalau sekarang sudah rusak, Bu. Itu saya perhitungkan itu asalnya cuma mereka mengatakan itulah periuk-periuknya pun jadi batu. Cerita ini mengajak kita untuk tidak melanggar pantang, mengikuti amanah orang-orang tua untuk menjaga alam. 04. Depik Jadi depik itu e… dari daerah Isaak ini, daerah Wa, itu rombongan raja berburu rusa sampai kemari. Berburu rusa ini, ini yang senang. Sampai waktu masak nasi di sini, masakkanlah nasi itu. Pembesarnya katakanlah sekarang raja atau kepala kampung dia tidur. Jadi kita ini masak. Dia masaknya kan darurat, Bu. Artinya periuk ada dibawa, tapi sendoknya kan ndak ada. Jadi dipotongkan sebatang kayu keluni, tapi ndak hitam. Itu untuk pengaduknya. Waktu jadi nasi kok hitam nasinya. Hitam nasinya ni. Takut sama raja kalau dia bangun kena marah. Buangkan nasi ini ke dalam ada air itu. Sekarang pun ada air itu. Masak lain. Nasinya hitam juga. Alhamdulillah raja ndak marah. Sudah jam lapar. Makanlah. Waktu dicuci piring segalanya cuci apa yang ada periuk-periuk tadi ke sana, itulah nasi tu ndak ada lagi. Semua jadi ikan. Dan mereka ini malahan nggak tua-tua, muda wajahnya, rombongan ini, karena getah tadi. Ikan itulah yang disebutkan menjadi ikan depik legendanya, Bu. Universitas Sumatera Utara Cerita ini berisi pesan untuk melestarikan jenis tumbuhan keluni dan ikan depik.

6.4 Beberapa Gejala Perubahan Bahasa Gayo dalam Kaitan dengan Perubahan Lingkungan