Optimasi pengelolaan lingkungan terpadu berkelanjutan TPST Bantargebang, Kota Bekasi:
OPTIMASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN TERPADU
BERKELANJUTAN TPST BANTARGEBANG,
KOTA BEKASI
H. DOUGLAS J. MANURUNG
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul:
Optimasi Pengelolaan Lingkungan Terpadu Berkelanjutan TPST Bantargebang, Kota Bekasi, adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, September 2009
H. Douglas J. Manurung P 051064214
(3)
H. Douglas J. Manurung. 2009. Optimizing of Sustained Integrated Environment Management in TPST Bantargebang, Bekasi. Supervised by Surjono Hadi Sutjahjo, and Suaedi.
ABSTRACT
The growth and development of city bring impacts to the environment. One of the source impact is municipal solid waste, which is increase along with the growth of population and slums area and makes it more difficult to handle. Jakarta, as a metropolitan city in Indonesia also have the same case, municipal solid waste problems. Jakarta produces solid waste 6,525 tons daily, and 70% of it is delivered to TPST Bantargebang, Bekasi.
The existence of TPST Bantargebang brings serious impact to this important element: environment, include society nearby. Because of poor handling, the area and population around TPST Bantargebang had been already polluted by the municipal solid waste. Even, TPST Bantargebang is now using integrated waste processing technology, which is developed from open dumping system and Sanitary Landfill System – implemented since its first operation. This integrated technology is designed to solve various of environment problems in this landfill area. The capacity of TPST to receive all Jakarta’s garbage would reach its limit soon, and this become a serious problem to The Government of DKI Jakarta as well as Bekasi Government. The relation between both government also become a serious problem since TPST belong to Jakarta’s Government but under territory of the Government of Bekasi.
Integrated waste processing technology have to implemented soon, because without it, the society nearby will live in polluted water, soil and air. To find an integrated and sustained TPST’s solution, we needs to approach from the stakeholders’ viewpoints. No longer government, nor society nearby, nor incumbent investor, nor NGO forced its own ways to be implemented in TPST, but together they have to bring solutions from their own perspectives to achieve win-win solutions. The solution will be environment and society oriented and will transform the TPST to be an integrated and sustained sanitary landfill by combining sanitary landfill method with other modern technology, such as a plastic recycle industry, composting, gasification/pyrolisis technology, landfill gas and anaerobic digestion technology which produces power electricity.
The aim of this research is to create a sustained integrated scenario that will optimize the environment management in TPST Bantargebang Bekasi. Optimizing of sustained integrated environment management in this landfill is implemented through 8 (eight) programs: society empowerment, good scavenger handling, to set scavenger cooperation, TPST to be a profit centered industry, optimizing sanitary landfill, development of existing infrastructure, implementing new waste processing technology and developing integrated zone.
(4)
H. Douglas J. Manurung. 2009. Optimasi Pengelolaan Lingkungan Terpadu Berkelanjutan TPST Bantargebang, Kota Bekasi. Dibimbing oleh: Surjono H. Sutjahjo, dan Suaedi.
Pertumbuhan dan perkembangan suatu kota dapat menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan. Salah satu efek negatif tersebut adalah masalah lingkungan hidup yang disebabkan sampah. Kuantitas sampah yang terus meningkat diiringi meningkatnya kepadatan penduduk dan meningkatnya kawasan pemukiman kumuh di kota-kota besar semakin menyulitkan upaya pengelolaan sampah dari waktu ke waktu. Tanpa diimbangi dengan pengelolaan yang memadai, sampah bisa menjadi beban terhadap lingkungan dan berdampak negatif, seperti menimbulkan pencemaran air, tanah dan udara. Sampah yang dikirim ke TPST Bantargebang ini akan menimbulkan masalah apabila tidak dikelola dengan baik, karena sampah ini merupakan penyumbang gas rumah kaca dalam bentuk CH4 dan CO2.Fakta bahkan menunjukkan bahwa CH4 mempunyai
kekuatan merusak 20-30 kali lipat dari CO2 dan pada konsentrasi 15% di udara
gas metan berpotensi menimbulkan ledakan dengan sendirinya.
Selain mencemari udara, berdasarkan penelitian yang dilakukan di lingkungan TPST Bantargebang pada tahun 1999 oleh Dinas Kesehatan dan Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi disimpulkan bahwa sebanyak 40% derajat keasaman (pH) air sudah diambang batas, 95% ditemukan bakteri E. Coli di air tanah, dan 35% tercemar salmonella. Dan dari penelitian yang sama ditemukan bahwa 34% hasil foto rontgen ditemukan penduduk posistif menderita TBC, 99% mengalami ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas), dan 8% penduduk mengalami tukak lambung. Dampak sosial yang timbul diantaranya adalah terjadinya pencurian ratusan pipa paralon (pipa ventilasi) pada sanitary landfill yang berfungsi untuk membuang gas metan, sehingga menyebabkan saluran gas metan mengalami kebuntuan. Akibatnya timbul kebakaran di beberapa zona TPST sehingga menimbulkan asap dan pencemaran udara. TPST Bantargebang juga menyebabkan dampak pada hubungan dua pemerintah daerah. Masalah ini diawali sejak perubahan status Kota Administratif Bekasi menjadi Kota Bekasi pada tahun 1996, dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1996 tanggal 18 Desember 1996, yang menyebabkan tidak jelasnya kewenangan instansi pengelola sampah. Selama periode tersebut Pemerintah DKI Jakarta kurang memperhatikan pengelolaan TPST Bantargebang. Kondisi ini—di mana TPST adalah milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedangkan wilayah teritorial di bawah Pemerintah Kota Bekasi—menyebabkan permasalahan pengelolaan TPST Bantargebang menjadi semakin kompleks.
Berdasarkan uraian tersebut diperlukan sebuah skenario pengelolaan TPST yang optimal, terpadu dan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan partisipatif. Tujuan umum penelitian adalah untuk menghasilkan suatu skenario pengelolaan TPST yang optimal, terpadu, dan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan dimensi sosial, ekologi, ekonomi, dan teknologi. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, penelitian ini dibagi menjadi 3 subtujuan, yaitu: (1) menganalisis status kualitas lingkungan sekitar TPST bantargebang, (2)
(5)
Penelitian ini dilakukan di TPST Sampah Bantargebang, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat, dan dibagi ke dalam empat tahapan, yaitu: (1) mendeskripsikan kualitas lingkungan dan kondisi sosial masyarakat, (2) menganalisiskualitas air, tanah, udara, dan komponen biologis di dalam dan di sekitar lokasi TPST Bantargebang, (3) melakukan PRA di tingkat masyarakat dan FGD di tingkat stakeholder Kota Bekasi dan DKI Jakarta, serta (4)menyusunskenario pengelolaan TPST Bantargebang yang optimal.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa (1) kualitas air di sekitar TPST Bantargebang pada tahun 2008 sudah berada di luar baku mutu, tetapi tanah dan udara belum tercemar oleh logam berat, dan populasi lalat masih di bawah baku mutu, (2) masyarakat menganggap keberadaan TPST menguntungkan bagi mereka, dan mereka mengharapkan pengelola TPST dapat memfasilitasi pengembangan ekonomi mereka, (3) optimasi pengelolaan lingkungan terpadu berkelanjutan TPST Sampah Bantargebang dapat dilakukan dengan 8 (delapan) program yang menyentuh dimensi sosial, dimensi ekonomi, dimensi ekologi, dimensi teknologi yaitu: (a) melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar, (b) melakukan penanganan terhadap pemulung, (c) mendirikan dan membina koperasi untuk pemulung, (d) menjadikan TPST sebuah industri yang mengarah ke profit center, (e) pengembangan sarana dan prasarana eksisting, (f) pengembangan sarana dan prasarana pengelohan sampah yang baru dengan sistem terpadu antara pengelolaan sanitary landfill dan teknologi modern yang ramah lingkungan, (g) optimasi operasional sanitary landfill dengan berkomitmen pada Standard Operation Procedure (SOP), (h) pembangunan
integrated zone dan Pusat Studi Persampahan. Optimasi pengelolaan lingkungan terpadu berkelanjutan ini diharapkan memenuhi konsep zero waste.
Kata-kata kunci: optimasi, terpadu, berkelanjutan, pengelolaan, lingkungan, TPST Sampah
(6)
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
(7)
KOTA BEKASI
Oleh:
H. DOUGLAS J. MANURUNG
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(8)
Nama : H. Douglas J. Manurung NIM : P 051064214
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Dr. Suaedi, SPd., MSi
Ketua Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
(9)
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas selesainya penyusunan tesis ini. Tesis merupakan salah satu prasyarat untuk menyelesaikan studi Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Obyek penelitian ini adalah tempat pemusnahan sampah akhir (TPST) sampah Bantargebang, Kota Bekasi. Adapun tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah untuk menghasilkan suatu skenario pengelolaan TPST yang optimal, terpadu, dan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan dimensi sosial, ekologi, ekonomi, dan teknologi.
Ucapan terimakasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS, sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan sebagai Ketua Program Studi, dan Bapak Dr. Suaedi, SPd., MSi., sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan kontribusi besar dalam bentuk saran pemikiran, bimbingan dan motivasinya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada isteri tercinta Ernika Sitorus, ananda terkasih Stephen Boas Manurung, Patrick Marcellino Manurung dan Felipe Carlito Manurung, serta kepada Orang tua dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Sdr. Roy Marthin Sihombing, ST. dan Sdr. Ir. Agus L. Toruan yang sudah banyak membantu dalam mempersiapkan penulisan tesis ini sampai selesai.
Pada kesempatan ini saya sampaikan juga ucapan terima kasih kepada Jajaran Direksi dan Staff PT. Godang Tua Jaya JO PT. Navigat Organic Energy Indonesia yang telah banyak membantu dalam penyediaan data dan memfasilitasi terlaksananya Participatory Rural Appraisal (PRA) dan focus group discussion
(FGD).
Penulis menyadari bahwa tesis ini merupakan rancangan kajian yang relatif singkat dan terbatas serta jauh dari sempurna, karena sebagai manusia biasa tidak lepas dari kekurangan dan kekhilafan. Untuk itu, kritikan dan saran dari pembaca akan sangat membantu penyempurnaan tesis ini. Pada akhirnya penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
Bogor, September 2009
(10)
H. Douglas J. Manurung lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tanggal 29 Desember 1967 dari ayah Drs. Jamiat Manurung dan ibu Bertha Rajagukguk, sebagai anak pertama dari dua bersaudara.
Riwayat pendidikan penulis dimulai saat memasuki sekolah taman kanak-kanak pada tahun 1973 di TK Ostrom Memorial Methodist, Tebing Tinggi Deli. Kemudian tahun 1974 sampai dengan 1978 penulis bersekolah di SD Kristen Methodist II masih di kota yang sama, lalu dilanjutkan di SD Kristen Kalam Kudus Pematang Siantar sampai selesai tahun 1980. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 4 Pematang Siantar lulus tahun 1983, dan SMA Negeri 2 Pematang Siantar lulus tahun 1986. Pada tahun 1986 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Setahun kemudian, tahun 1987, diterima di Jurusan Budi daya Pertanian, Program Studi Agronomi dengan memilih bidang keahlian tanaman perkebunan, dan lulus 1991. Pada tahun 1992 menyelesaikan MBA Programme for fresh graduate di Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM) di Jakarta. Sejak tahun 2007 penulis menempuh pendidikan S2 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.
Riwayat pekerjaan penulis dimulai pada tahun 1992 sampai 1994 sebagai Product Manager di Helios Foods. Pada tahun 1994 sampai tahun 2006, penulis bekerja di PT. Sentral Multirasa Utama sebagai Marketing Manager. Sejak tahun 2004 sampai sekarang penulis bekerja di PT. Godang Tua Jaya sebagai direktur, dan pada tahun 2008 penulis ditunjuk PT. Godang Tua Jaya Joint Operation
dengan PT. Navigat Organic Energy Indonesia (Investor Pengelola TPST Bantargebang) sebagai Managing Director.
Pada 03 Agustus 1996, penulis menikah dengan Ernika Tiurmauli Sitorus dan telah dikaruniai 3 orang anak, Stephen Boas Manurung, Patrick Marcelino Manurung dan Felipe Carlito Manurung.
Bogor, September 2009
(11)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
iv v I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Kerangka Pemikiran ... 4
1.3. Perumusan Masalah ... 4
1.4. Tujuan Penelitian ... 7
1.5. Manfaat Penelitian ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Sampah ... 8
2.2. Pengelolaan Sampah dan Permasalahannnya………... 8
2.3. Kebijakan Pengolahan Sampah di Provinsi DKI Jakarta…………. 10
2.4. Aspek Hukum……….. 11
2.5. Aspek Lingkungan……… 12
2.6. Sanitary Landfill……….. 14
2.7. Pengolahan Sampah Terpadu……….. 17
2.8. PRA dan FGD 18 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian……… 23
3.2. Tahapan Penelitian 23 3.3. Rancangan Penelitian ... 24
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Administratif……….………. 31
4.2. Sosial Budaya……….……….. 31
4.3. Perekonomian……….……….. 33
4.4. Kondisi Umum TPST…….……… 34
4.5. Kondisi Lingkungan TPST……… 36
4.6. Sarana dan Prasarana……… 47
V. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1. Kualitas Lingkungan TPST Bantargebang……… 49
5.2. Persepsi Masyarakat………. 52
5.3. Skenario Optimal Pengelolaan TPST……….……… 54
(12)
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 72
6.2. Saran 73
DAFTAR PUSTAKA 74
(13)
DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15. Tabel 16 Tabel 17. Tabel 18. Tabel 19. Tabel 20. Tabel 21. Tabel 22. Tabel 23.
Metode dan Analisis Kualitas Air
Tujuan Penelitian, Cara Pengumpulan Data dan Jenisnya, Metode Analisis, dan Output yang Diharapkan
Tata Guna Lahan Kecamatan Bantar Gebang pada Tiga Kelurahan Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Bantargebang
Komposisi Penduduk Kec. Bantargebang Berdasarkan Mata Pencarian Tingkat Pendidikan Penduduk Kecamatan Bantargebang
Luas Zona dan Sub Zona TPST Bantargebang Kualitas Inlet Udara Tahun 2007
Kualitas Inlet Udara Tahun 2007
Kualitas Udara di TPST dan Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2008 Kualitas Udara di TPST dan Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2008 Beberapa Penyakit Bawaan Sampah
Data Aset Tidak Bergerak UPT TPST Bantargebang
Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2008 Kualitas Air Sungai di Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2008 Kualitas Air Lindi di Masing-masing IPAS Tahun 2008
Hasil Uji Populasi Lalat di Zona I dan Zona IIIC Alasan Responden Membuka Usaha di TPST
Masalah Utama yang Dihadapi dalam Berusaha di TPST Upaya yang diharapkan untuk Mengatasi Masalah Utama Kebutuhan Lahan untuk Setiap Fasilitas
Matriks dampak skenario terhadap kondisi ekologi, ekonomi, dan sosial
Kebutuhan Lahan untuk Setiap Fasilitas Pengolahan di TPST
27 30 31 33 33 34 35 44 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 53 54 56 57 58
(14)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1a. Kerangka Pemikiran Analisis Kebijakan Pengelolaan Lingkungan TPST Bantar Gebang
4
Gambar 1b Diagram Alir Perumusan Masalah 6
Gambar 2. Mekanisme Pemusnahan Sampah 16
Gambar 3. Tahapan Penelitian 24
Gambar 4. Peta Lokasi TPST Bantargebang . 32
Gambar 5. Gafik Kualitas Air Sumur I Periode 1999 - 2008 37 Gambar 6. Grafik Kualitas Air Sumur II Periode 1999 - 2008 38 Gambar 7. Grafik Kualitas air sumur III Periode 1999 - 2008 38 Gambar 8. Grafik Kualitas air sumur IV Periode 1999 - 2008 39 Gambar 9. Grafik Kualitas Air Sumur V Periode 1999 - 2008 39 Gambar 10. Grafik Kualitas Air Sungai (Parameter BOD) di Hulu dan Hilir
periode 1999 – 2008
40 Gambar 11. Grafik Kualitas Air Sungai (Parameter COD) di Hulu dan Hilir
Periode 1999 – 2008
40 Gambar 12. Grafik Kualitas air sungai (parameter Nitrat) di hulu dan hilir
periode 1999 – 2008
41 Gambar 13. Grafik Kualitas Air Sungai (Parameter Nitrit) di Hulu dan Hilir
Periode 1999 – 2008
41 Gambar 14. Grafik Kualitas Air Lindi (Parameter BOD Inlet dan Outlet)
IPAS
42 Gambar 15. Grafik Kualitas Air Lindi (Parameter COD Inlet dan Outlet)
IPAS
42 Gambar 16. Grafik Kualitas Air Lindi (parameter Amonia inlet dan outlet)
IPAS
43 Gambar 17. Grafik Kualitas Air Lindi (Parameter pH Inlet dan Outlet)
IPAS
43 Gambar 18. Grafik Populasi lalat di TPST Bantargebang 47 Gambar19. Denah GALFAD dan Pembagian Lahan Pengolahan Sampah
di TPST
59
Gambar 20. Diagram Alir Pengomposan 63
Gambar 21. Diagram Alir Proses Pemilahan 64
Gambar 22. Diagram Alir Daur Ulang Plastik 65
Gambar 23. Diagram Alir Proses GALFAD 67
Gambar 24. Diagram Alir Gasification 68
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Perkiraan Jenis Dampak Penting di TPST Bantargebang Lampiran 2. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL) TPST
Bantargebang
Lampiran 3. Audit Lingkungan TPST Bantargebang Tahun 2000 Lampiran 4. Hasil Focus Group Discussion
Lampiran 5. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantar Gebang pada Tahun 1999 di Sumur I
Lampiran 6. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantar Gebang pada Tahun 1999 di Sumur II
Lampiran 7. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantar Gebang Tahun 2000 pada Sumur I
Lampiran 8. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantar Gebang pada Tahun 2000 pada Sumur II
Lampiran 9. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Bulan Oktober 2001 Lampiran 10. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Bulan Oktober 2001 Lampiran 11. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Bulan Oktober 2001 Lampiran 12. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Bulan Oktober 2001 Lampiran 13. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2002 Lampiran 14. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2002 Lampiran 15. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2002 Lampiran 16. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2002 Lampiran 17. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2002 Lampiran 18. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2003
Lampiran 19. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2003 Lampiran 20. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2003 Lampiran 21. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2003 Lampiran 22. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2003 Lampiran 23. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2004 Lampiran 24. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2004 Lampiran 25. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2004 Lampiran 26. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2004 Lampiran 27. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2004
Lampiran 28. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2008 (November 2008)
Lampiran 29. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2008 (November 2008)
Lampiran 30. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2008 (November 2008)
Lampiran 31. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2008 (November 2008)
Lampiran 32. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2008 (November 2008)
Lampiran 33. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2008 (November 2008)
(16)
Lampiran 34. Kualitas Air Sungai Ciketing pada Titik Hulu pada Tahun 1999 Lampiran 35. Kualitas Air Sungai Ciketing pada Titik Hilir Pada Tahun 1999 Lampiran 36. Kualitas Air Sungai Ciketing pada Titik Hulu pada Tahun 2000 Lampiran 37. Kualitas Air Sungai Ciketing pada Hilir Pada periode Tahun 2000 Lampiran 38. Kualitas Air Sungai Ciketing pada Titik Hulu dan Hilir pada
Oktober 2001
Lampiran 39. Kualitas Air Sungai Ciketing pada Titik Hulu pada Oktober 2001 Lampiran 40. Kualitas Air Sungai Ciketing pada Titik Hilir pada Oktober 2001 Lampiran 41. Kualitas Air Sungai Ciketing pada titik Hulu dan Hilir pada
Oktober 2002
Lampiran 42. Kualitas Air Sungai Ciketing pada Titik Hulu dan Hilir pada Oktober 2002
Lampiran 43. Kualitas Air Sungai Ciketing pada Titik Hulu dan Hilir pada Oktober 2002
Lampiran 44. Kualitas Sungai Ciketing pada Titik Hulu (22 Oktober 2002) Lampiran 45. Kualitas Sungai Ciketing pada Titik Hilir (22 Oktober 2002) Lampiran 46. Kualitas Air Sungai Ciketing Sebelum dan Sesudah TPST Tahun
2004
Lampiran 47. Kualitas Air Sungai di TPST Bantargebang Tahun 2007 Lampiran 48. Kualitas Air Sungai di TPST Bantargebang Tahun 2007 Lampiran 49. Kualitas Air Sungai di TPST Bantargebang Tahun 2007 Lampiran 50. Hasil Uji Laboratorium Sungai di Ciketing Udik Hulu,TPST
Bantargebang Tahun 2008
Lampiran 51. Hasil uji laboratorium Sungai di Ciketing Udik Hilir,TPST Bantargebang Tahun 2008
Lampiran 52. Hasil Uji Laboratorium Sungai di Cimuning Hulu,TPST Bantargebang Tahun 2008
Lampiran 53. Hasil Uji Laboratorium Sungai di Cimuning Hilir,TPST Bantargebang Tahun 2008
Lampiran 54. Hasil Uji Laboratorium Sungai di Kali Asem Udik Hilir,TPST Bantargebang Tahun 2008
Lampiran 55. Hasil Uji Laboratorium Sungai di Pangkalan 3,TPST Bantargebang Tahun 2008
Lampiran 56. Kualitas Inlet dan Outlet pada IPAS I Tahun 2007 Lampiran 57. Kualitas Inlet dan Outlet pada IPAS II Tahun 2007 Lampiran 58. Kualitas Inlet dan Outlet pada IPAS III Tahun 2007 Lampiran 59. Kualitas Inlet dan Outlet pada IPAS IV Tahun 2007 Lampiran 60. Hasil Uji Laboratorium Air Lindi di Outlet IPAS 1, TPST
Bantargebang Tahun 2008
Lampiran 61. Hasil Uji Laboratorium Air Lindi di Inlet IPAS 1, TPST Bantargebang Tahun 2008
Lampiran 62. Hasil Uji Laboratorium Air Lindi di Outlet IPAS 2, TPST Bantargebang Tahun 2008
Lampiran 63. Hasil Uji Laboratorium Air Lindi di Inlet IPAS 2,TPST Bantargebang Tahun 2008
Lampiran 64. Hasil uji laboratorium Air Lindi di Outlet IPAS 3, TPST Bantargebang Tahun 2008
(17)
Lampiran 65. Hasil Uji Laboratorium Air Lindi di Intlet IPAS 3 ,TPST Bantargebang Tahun 2008
Lampiran 66. Hasil Uji Laboratorium Air Lindi di Outlet IPAS 4,TPST Bantargebang Tahun 2008
Lampiran 67. Hasil Uji Laboratorium Air Lindi di Intlet IPAS 4,TPST Bantargebang Tahun 2008
Lampiran 68. Kualitas Udara di TPST dan Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2008
Lampiran 69. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Cikiwul 1) Tahun 2008 Lampiran 70. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Cikiwul 2) Tahun 2008 Lampiran 71. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Sumur Batu Utara) Tahun
2008
Lampiran 72. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Sumur Batu Selatan) Tahun 2008
Lampiran 73. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Ciketing Udik Timur) Tahun 2008
Lampiran 74. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Ciketing Udik Barat) Tahun 2008
(18)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan suatu kota dapat menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan. Salah satu efek negatif tersebut adalah masalah lingkungan hidup yang disebabkan sampah. Kuantitas sampah yang terus meningkat diiringi meningkatnya kepadatan penduduk dan meningkatnya kawasan pemukiman kumuh di kota-kota besar semakin menyulitkan upaya pengelolaan sampah dari waktu ke waktu. Tanpa diimbangi dengan pengelolaan yang memadai, sampah bisa menjadi beban terhadap lingkungan dan berdampak negatif, seperti menimbulkan pencemaran air, tanah dan udara (KLH, 2005).
Kota Jakarta adalah salah satu kota metropolitan di Indonesia yang mengalami efek negatif tersebut. Jakarta dengan luas 661.52 km2, jumlah penduduk 9,041 juta jiwa (Bappeda Jakarta, 2009), menghasilkan sampah 29,364 m3 perhari atau setara dengan 6,250 ton perhari (Kompas, 2009). Berdasarkan hasil kajian WJEMP DKI 3-11 tahun 2005 komposisi sampah rata-rata Jakarta terdiri dari 55.37% sampah organik dan 44.63% sampah nonorganik ( Dinas Kebersihan DKI, 2005 ). Sampah yang terangkut, kurang lebih 70% dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, 16.5% ke lokasi-lokasi informal, dan 13% tidak terkelola, tercecer di dalam kota, di jalan, atau dibuang ke sembarang tempat. (Dinas Kebersihan DKI, 2001).
Sampah yang dikirim ke TPST ini akan menimbulkan masalah apabila tidak dikelola dengan baik, karena sampah ini merupakan penyumbang gas rumah kaca dalam bentuk CH4 dan CO2. Fakta menunjukkan bahwa CH4 mempunyai
kekuatan merusak 20-30 kali lipat dari CO2 dan pada konsentrasi 15% di udara
gas metan berpotensi menimbulkan ledakan dengan sendirinya (KLH, 2007). Selain mencemari udara, berdasarkan penelitian yang dilakukan di lingkungan TPST pada tahun 1999 oleh Dinas Kesehatan dan Dinas L. H. Kota Bekasi disimpulkan bahwa sebanyak 40% pH air sudah diambang batas, 95% ditemukan bakteri E. Coli di air tanah, dan 35% tercemar salmonella. Dan, ditemukan bahwa 34% hasil foto rontgen ditemukan penduduk posistif menderita
(19)
TBC, 99% mengalami ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas), dan 8% penduduk mengalami tukak lambung (Tri Bangun dan Suyoto, 2008).
Dampak TPST terhadap lingkungan ini semakin meningkat ketika krisis ekonomi tahun 1997 terjadi. Krisis tersebut menyebabkan terjadinya PHK, pengangguran, dan tingginya harga bahan pokok. Hasilnya, sampah dijadikan sumber penghasilan bagi pengangguran dan warga sekitar TPST. Dampak sosial yang timbul diantaranya adalah terjadinya pencurian ratusan pipa ventilasi pada
sanitary landfill yang berfungsi untuk membuang gas metan, sehingga menyebabkan saluran gas metan mengalami kebuntuan. Akibatnya timbul kebakaran di beberapa zona TPST sehingga menimbulkan asap dan pencemaran. Di samping itu timbul pula bau hingga mencapai kawasan Kemang Pratama, Kranji, Pekayon, dan wilayah yang berjarak 10 km dari TPST (Armandho, 2009).
Selain menyebabkan masalah lingkungan udara dan air serta masalah sosial, TPST juga menyebabkan dampak pada hubungan dua pemerintah daerah. Masalah ini diawali sejak perubahan status Kota Administratif Bekasi menjadi Kota Bekasi pada tahun 1996, dengan UU RI No. 9 Tahun 1996 tanggal 18 Desember 1996, yang menyebabkan tidak jelasnya kewenangan instansi pengelola sampah. Selama periode tersebut Pemerintah DKI kurang memperhatikan pengelolaan TPST. Kondisi ini—di mana TPST adalah milik Pemprov DKI sedangkan wilayah teritorial di bawah Pemkot Bekasi—menyebabkan permasalahan pengelolaan TPST menjadi semakin kompleks. Solusi mengatasinya adalah diberikannya dana kompensasi (Community Development) sebesar 20% dari tipping fee yang dibayar dari tonase sampah masuk oleh Pemprov DKI kepada Pemkot Bekasi melalui pengelola TPST.
Sejak tanggal 05 Desember 2008, melalui lelang terbuka yang dilakukan oleh Pemprov DKI, telah ditetapkan PT. Godang Tua Jaya joint operation dengan PT. Navigat Organic Energy Indonesia, sebagai investor baru untuk mengelola TPST Bantargebang. Pengelola baru ini menawarkan konsep baru untuk mengelola TPST, kombinasi antara sistem sanitary landfill dan teknologi modern yang ramah lingkungan, dan menjadikan TPST sebagai pusat industri daur ulang sampah yang akan menghasilkan produk-produk bermanfaat seperti: pupuk kompos, biji plastik dan produk-produk turunannya, serta listrik. Dengan
(20)
berubahnya sistem pembuangan sampah yang dilakukan di TPST Bantargebang, dari open dumping menjadi sanitary landfill yang dikombinasikan dengan pengolahan dengan teknologi modern ini diharapkan dapat meminimalisasi dampak pencemaran yang terjadi, karena sistem ini sudah didisain dengan memperhatikan berbagai faktor lingkungan. Di samping itu, cara ini juga akan menghasilkan produk-produk ekonomi, yang bermanfaat, sehingga dapat mengubah paradigma dari sampah sumber masalah menjadi sampah solusi masalah.
Namun demikian, dampak-dampak negatif yang muncul akibat keberadaan TPST belum sepenuhnya tuntas. Pemulung masih beraktivitas di TPST. Menurut Simanjuntak (2002) kegiatan pemulung adalah sebagai ujung tombak proses pemanfaatan kembali sampah yang telah dibuang oleh masyarakat sekaligus pekerja sektor informal, menjadi salah satu alternatif untuk menyerap tenaga kerja di sektor tersebut sekaligus memberikan pendapatan yang cukup memadai dan memperbaiki kondisi kehidupan di masa mendatang. Sedang menurut Thurgood (1998) aktivitas pemulung menggangu kelancaran operasi landfill karena membahayakan baik pemulung itu sendiri maupun pegawai landfill. Namun, karena tidak dapat dihindarkan, aktivitas pemulung sebaiknya dikendalikan. Jadi untuk mengatasi semua masalah ini diperlukan usaha untuk menjaring masukan dari semua stakeholder untuk mendapatkan solusi bagi pengelolaan lingkungan di TPST yang optimal, terpadu dan berkelanjutan.
Optimasi pengelolaan lingkungan yang terpadu dan berkelanjutan ini meliputi optimasi pemanfaatan sampah dan optimasi pemanfaatan lahan. Dengan skenario ini diharapkan akan dihasilkan satu pengelolaan yang optimal secara ekonomi, sosial, ekologi dengan teknologi yang ramah lingkungan dengan dampak lingkungan yang minimal. Sedangkan pengelolaan sampah secara terpadu dimaksudkan memadukan 3 cara pengolahan sampah, yaitu: composting, recycling, dan combusting atau pyrolysis untuk menghasilkan energi listrik, dengan melibatkan masyarakat, sehingga mampu mereduksi sampah. Pengelolaan sampah yang berkelanjutan ini juga akan menerapkan prinsip-prinsip mekanisme pembangunan bersih atau CDM ( clean development mecahnisme).
(21)
1.2. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran untuk menghasilkan suatu skenario pengelolaan TPST Bantargebang, dimulai dengan melihat dan mengevaluasi kondisi eksisting TPST. Masalah lingkungan, sosial ekonomi, ataupun masalah hukum dan kelembagaan yang muncul akibat keberadaan TPST memerlukan penanganan yang terpadu agar pengelolaan TPST dapat berlangsung optimal dan bermanfaat dari sudut pandang masing-masing stakeholder, yaitu Pemprov DKI sebagai pemilik TPST, Pemkot Bekasi sebagai otoritas yang memerintah di Bantargebang, investor selaku pengelola, pemerhati lingkungan, masyarakat sekitar TPST.
Kondisi eksisting TPST ini dilihat dengan menganalisis kualitas air sumur, air sungai, air lindi, udara, kualitas tanah, dan komponen biologis. Juga dianalisis persepsi masyarakat sekitar dan analisis optimasi terhadap pengelolaan lingkungan TPST yang meliputi optimasi dalam pemanfaatan sampah dan optimasi pemanfaatan lahan pembangunan. Dengan skenario yang dihasilkan ini diharapkan akan dihasilkan satu strategi implementasi pengelolaan yang optimal di mana pengelolaan akan maksimal secara ekonomi, sosial, ekologi dengan teknologi yang ramah lingkungan dengan dampak lingkungan yang minimal.
1.3. Perumusan Masalah
Jakarta sebagai kota metropolitan merupakan pusat kegiatan pendudukan dan ekonomi. Aktivitas penduduk dan perekonomian ini akan menghasilkan
Kondisi Eksisting TPST
Sosial Ekonomi Masyarakat Kualitas Lingkungan
(Air, Udara, dan Tanah)
Pemanfaatan Lahan dan Sampah
Teknologi
Skenario Pengelolaan TPST Bantargebang
Strategi Implementasi Kebijakan Pengelolaan
Lingkungan
Keinginan Masyarakat dan Stakeholder
Gambar 1a. Kerangka Pemikiran Optimasi Pengelolaan Lingkungan Terpadu Berkelanjutan TPST Bantargebang
(22)
sampah. Produksi sampah Jakarta mencapai 6,250 ton perhari yang dikirim ke TPST Bantargebang, kota Bekasi dengan jumlah kurang lebih 5.000 ton perhari.
Pengelolaan sampah Jakarta dilakukan melalui kerjasama antara dua pemerintah yaitu Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi melalu perjanjian bipartit di mana Pemprov DKI Jakarta membayar CD (Community Depelovment)
kepada Pemkot Bekasi sebesar 20% dari tipping fee sampah yang masuk ke TPST. Sampah Jakarta ini diangkut menggunakan armada angkutan sampah, dan ini memberikan keuntungan berupa penyerapan tenaga kerja, tetapi juga menyebabkan dampak lingkungan berupa bau bagi wilayah yang dilalui armada tersebut. Wilayah-wilayah yang dilalui armada tersebut seperti kelima wilayah Jakarta dan melalui Jalan Alternatif Cibubur, Jalan Raya Cileungsi, Jalan Raya Narogong dengan jarak tempuh antara 15-50 km. Masyarakat yang dilalui oleh armada angkutan sampah menyampaikan keluhan terhadap dampak bau tersebut.
Pengelolaan sampah di TPST dilakukan dengan system sanitary landfill
pada lahan seluas 108 ha yang terbagi dalam lima zona. Pengelolaan sampah ini menyerap tenaga kerja sekitar 6,000 orang yang terdiri dari para pemulung, lapak, dan juragan. Namun besarnya tenaga kerja ini menimbulkan persaingan karena tidak adanya peraturan yang diberlakukan dalam area titik buang tersebut. Proses pembuangan sampah atau unloading dari armada ke area zona atau titik buang menggunakan bantuan alat berat (excavator) yang beroperasi selama 24 jam perhari, dan menyebabkan masalah lain seperti terancamnya keselamatan para pemulung dan terganggunya operasional alat berat tersebut.
Pengelolaan dengan sitem sanitary landfill ini ternyata masih menimbulkan percemaran di lokasi TPST dan sekitarnya berupa pencemaran air sumur, sungai, dan air lindi oleh bakteri E-Coli, peningkatan kadar BOD dan COD, dan beberapa logam berat seperti Cd; pencemaran udara berupa bau. Bau ini menimbulkan keluhan dari masyarakat sekitar. Hal ini berarti bahwa sampah harus dimanfaatkan seoptimal mungkin sehingga tidak menimbulkan pencemaran dan mendatangkan keuntungan ekonomi.
Keberadaan TPST telah memberikan dampak ekonomi terhadap masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Masyarakat sekitar mendapatkan manfaat ekonomi dalam bentuk CD, kesempatan kerja dan berusaha. Pengusaha
(23)
dalam bentuk pengelolaan TPST berupa tipping fee yang dibayar oleh Pemprov DKI dari tonase sampah yang masuk. Sedangkan Pemkot Bekasi dalam bentuk PAD dari pajak dan CD yang dibayar pengelola. Permasalahan yang muncul kemudian adalah terjadinya perbedaan persepsi dalam hal pembagian dana CD. Pemerintah menyalurkan dana ini dalam bentuk pembangunan sarana dan prasarana sosial sementara masyarakat menginginkan dalam bentuk tunai.
Dari sisi masyarakat, sebagian menganggap keberadaan TPST memberikan keuntungan dan sebagian yang lain menganggap sebagai sumber masalah. Masyarakat yang menganggap TPST menguntungkan adalah yang dapat memanfaatkan keberadaan TPST sebagai sumber ekonomi, sedangkan yang menganggap sebagai sumber masalah adalah yang tidak merasakan manfaat tetapi hanya mendapatkan dampak pencemaran. Pemerintah menganggap TPST sebagai sesuatau yang harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulakan permasalaha, tetapi mendatangkan keuntungan berupa CD.
Keterbatasan lahan TPST merupakan permasalahan yang perlu mendapat perhatian karena sampah yang sudah menggunung selama 20 tahun mencapai deposit lebih kurang 10 juta m3 dan apabila sampah yang masuk tidak dikelola dengan teknologi modern yang ramah lingkunagn maka usia pakainya akan segera berakhir. Sementara itu lahan yang tersedia di sekitar TPST sangat terbatas.
Dari uraian tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana skenario pengelolaan TPST yang optimal, terpadu dan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan partisipatif, yang digambarkan dalam bentuk diagram alir perumusan masalah sebagai berikut:
Gambar 1b. Diagram Alir Perumusan Masalah Kualitas Lingkungan
TPST
Persepsi Masyarakat dan
Stakeholder
Skenario Pengelolaan Lingkungan TPST yang
(24)
Berdasarkan uraian permasalahn tersebut dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana kualitas lingkungan sekitar TPST Bantargebang dan sekitarnya? 2. Bagaimana persepsi masyarakat dan stakeholder terkait keberadaan TPST
Bantargebang?
3. Bagaimana pengelolaan lingkungan TPST Bantargebang yang optimal?
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah untuk menghasilkan suatu skenario pengelolaan TPST yang optimal, terpadu, dan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan dimensi sosial, ekologi, ekonomi, dan teknologi. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, penelitian ini dibagi menjadi 3 subtujuan, sebagai berikut: 4. Menganalisis kualitas lingkungan TPST Bantargebang dan sekitarnya. 5. Menganalisis persepsi masyarakat dan stakeholder terkait keberadaan TPST. 6. Menganalisis pengelolaan lingkungan TPST Bantargebang yang optimal.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1. Memberikan kontribusi bagi para stakeholder yang terkait dengan pengelolaan TPST Bantargebang.
2. Sebagai bahan informasi bagi pengelola TPST dan Instansi Pemerintah yang berwenang dalam melakukan pengelolaan lingkungan TPST.
3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang meneliti pengelolaan lingkungan TPST.
(25)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Sampah
Pengertian sampah yang umum digunakan di Indonesia mengikuti konsep dari Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (2003) yakni sampah merupakan limbah padat atau setengah padat yang berasal dari kegiatan manusia yang terdiri dari bahan organik dan anorganik, dapat dibakar dan tidak dapat dibakar, yang tidak termasuk kotoran manusia. Sedangkan Tchobanoglous (1997) menyatakan bahwa sampah intinya adalah benda sisa yang tidak dipakai dan harus dibuang. Arconin 2007, mendefinisikan sampah sebagai limbah padat yang terdiri dari zat organik dan anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan.
Pembahasan sampah selalu dikaitkan dengan sumber, komposisi, dan karakteristiknya. Hal ini penting karena berkaitan dengan teknis operasional pengelolaan dan pengolahan sampah di suatu wilayah, khususnya dalam menentukan sistem yang tepat dan fasilitas yang diperlukan. Dilihat dari sumbernya, Peavy, Rowe, dan Tchobanoglous (1986) membagi menjadi 4 kelompok: sampah yang berasal dari pemukiman, sampah komersial, sampah industri, dan sampah alami. Sampah pemukiman merupakan jumlah terbesar dari total timbulan sampah di kota-kota besar.
Jumlah dan kepadatan sampah sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis, iklim, jumlah penduduk, jumlah fasilitas komersial dan industri, status sosial masyarakat dan pola konsumsi. Menurut Peavy et al (1985) status sosial dan keragaman aktivitas masyarakat juga mempengaruhi karakteristik timbulan sampah. Masyarakat dengan status sosial yang tinggi cenderung menghasilkan sampah yang lebih besar daripada masyarakat yang status sosialnya lebih rendah.
2.2. Pengelolaan Sampah dan Permasalahannya
Pengelolaan sampah adalah serangkaian kegiatan yang melaksanakan pewadahan sampah, pengumpulan sampah, pemindahan sampah, pengangkutan sampah, pengolahan sampah, serta pembuangan akhir sampah. Tujuan
(26)
pengelolaan sampah adalah untuk mengubah sampah menjadi bentuk yang tidak mengganggu dan menekan volume, sehingga mudah diatur.
Menurut Clark (1977) banyak cara yang dapat ditempuh dalam pengelolaan sampah di antaranya yang dianggap terbaik hingga sekarang adalah sistem penimbunan dan pemadatan secara berlapis (sanitary landfill) untuk mencegah sampah tidak terekspos lebih dari 24 jam. Apabila air permukaan terserap ke dalam lapisan tanah, melalui lapisan sampah, maka akan terbentuk cairan yang disebut lindi (leachete) yang mengandung padatan terlarut dan zat lain sebagai hasil perombakan bahan organik oleh mikroorganisme tanah. Air lindi tersebut meresap ke lapisan tanah atas dan akhirnya masuk ke dalam air tanah.
Menurut Slamet (1994), pengelolaan sampah dapat dilihat mulai dari sumbernya sampai pada tempat pembuangan akhir. Usaha pertama adalah mengurangi sumber sampah dari segi kuantitas maupun kualitasnya dengan meningkatkan pemeliharaan dan kualitas barang, meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, dan meningkatkan penggunaan bahan yang dapat terurai secara alami. Semua usaha ini memerlukan kesadaran dan peran masyarakat.
Selain itu, Notoatmojo (1997) menambahkan bahwa cara-cara pengelolaan sampah yang baik, bukan saja untuk kepentingan kesehatan saja, melainkan juga untuk keindahan lingkungan, antara lain dengan:
1. Pengumpulan dan pengangkutan sampah.
Pengumpulan sampah menjadi tanggung jawab masing-masing rumah tangga atau institusi yang menghasilkan sampah. Oleh sebab itu, mereka harus membangun tempat khusus untuk mengumpulkan sampah. Kemudian dari tempat pengumpulan, sampah diangkut ke TPS dan selanjutnya ke TPA. 2. Pemusnahan dan pengolahan sampah.
Pemusnahan dan atau pengolahan sampah padat ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain sebagai berikut:
a. Ditanam (landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang di tanah, kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah.
b. Dibakar (incenerator), yaitu pemusnahan sampah dengan jalan membakar di dalam tungku pembakaran (incenerator).
(27)
c. Diolah menjadi pupuk kompos (composting), yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk kompos, khususnya untuk sampah organik.
Sistem pengelolaan sampah yang banyak dilakukan saat ini adalah sistem
sanitary landfill. Sistem ini didukung berbagai kegiatan yang memperhatikan aspek kesehatan lingkungan seperti pemasangan geomembran dan geotekstile sebagai dasar konstruksi, drainase air lindi, ventilasi, cover soil, dan lain lain.
Sistem ini memang dapat meminimalkan timbulnya bau, penyakit, dan kerusakan lingkungan, tetapi memiliki risiko yang tidak dapat dihindarkan seperti terbentuknya gas metan, H2S, NH3, dan air lindi (leachete). Perpindahan gas dan
air lindi dari landfill ke lingkungan sekitarnya akan menyebabkan dampak yang serius pada lingkungan, misalnya timbulnya ledakan-ledakan akibat konsentrasi gas metan yang tinggi di udara, kerusakan pada tanaman akibat gas H2S dan NH3
yang merusak sistem pernafasan tanaman, bau yang tidak sedap, pencemaran air dan tanah dan efek pemanasan global (Ibnu Umar, 2009).
2.3. Kebijakan Pengolahan Sampah di Provinsi DKI Jakarta
Institusi atau lembaga pengelola yang menangani kebersihan di Provinsi DKI saat ini dilaksanakan oleh tiga institusi, yaitu instansi pemerintah, masyarakat, dan swasta. Pihak yang berpartisipasi dalam tahap pengumpulan, pengangkutan, pengolahan sampai pembuangan akhir adalah pihak swasta.
Pengelolaan TPST dilaksanakan oleh Dinas Kebersihan Provinsi DKI melalui Unit Pelaksana Teknis TPST, yang terdiri dari (1) seksi operasional; (2) seksi sarana dan prasarana; (3) seksi STA; (4) seksi keamanan dan ketertiban; (5) Kasubag tata usaha.
Pola umum penanganan sampah Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta didasarkan pada:
1. Master Plan Penanganan Kebersihan Provinsi DKI Jakarta 1989 - 2005 Pola umum penanganan sampah adalah kumpul – angkut – buang (musnahkan melalui sistem sanitary landfill).
2. Review Master Plan yang dituangkan dalam action plan 2005-2015.
Berdasarkan Review Master Plan yang dituangkan dalam action plan terdapat satu sub sistem yang disebut Intermediate Treatment Fasility (ITF) yang akan
(28)
dibangun di setiap daerah pelayanan. Fungsi ITF ini adalah untuk mereduksi jumlah sampah sebelum residunya dibuang ke TPST.
2.4. Aspek Hukum
Pelaksanaan pembuangan sampah ke TPST Bantargebang dilakukan atas dasar kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi, sebagai penguasa teritori. Dasar hukum yang melandasi kerjasama beroperasinya TPA Bantargebang adalah sebagai berikut:
1. Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi Nomor 96 Tahun 1999 serta Nomor 168 Tahun 1999 Tanggal 31 Desember 1999 tentang Pengolahan Sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi. 2. Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan
Pemerintah Kota Bekasi Nomor 127 Tahun 2000 serta Nomor 227 Tahun 2000 Tanggal 17 Oktober 2000 tentang Addendum Pertama.
3. Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi Nomor 22 Tahun 2002 serta Nomor 41 Tahun 2002 Tanggal 31 Januari 2002 tentang Addendum Kedua Perjanjian Kerjasama Pengolahan Sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi.
4. Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi Tanggal 02 Juli 2004, dalam Perjanjian Tambahan (Addendum) Kedua atas Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi tentang Pemanfaatan Lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang, Kota Bekasi sebagai tempat pembuangan dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) dengan menerapkan teknologi modern yang ramah lingkungan.
5. Perjanjian Tambahan (Addendum) Kedua atas Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi tentang Pemanfaatan Lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang, Kota Bekasi sebagai Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) tanggal 03 Juli 2007.
(29)
6. Perjanjian Kerjasama Pengoperasian TPST Bantargebang antara Pemerintah Kota Bekasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Nomor 07/Tahun 2009 tanggal 03 Juli 2009.
2.5. Aspek Lingkungan
Kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam pengelolaan TPA adalah Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997 dan Undang-undang No. 18 Tahun 2008, yaitu Undang-undang mengenai Persampahan.
Kegiatan TPA menurut dokumen AMDAL diperkirakan akan mempengaruhi komponen fisik-kimia, biologi, sosial ekonomi, dan kesehatan masyarakat. Namun dengan pemantauan yang dilakukan secara berkala, permasalahan tersebut bisa ditekan. Berikut ini adalah uraian dampak dari kegiatan operasional TPA Bantargebang.
1. Penurunan kualitas udara akibat meningkatnya kandungan debu yang disebabkan oleh pengangkutan, pembongkaran, dan penumpukan sampah. Dampak ini dapat dikelola dengan melakukan penyiraman berkala di jalan penghubung, pengaturan kecepatan kendaraan, penghijauan, dan melengkapi operator alat berat dengan APD.
2. Peningkatan kebisingan yang disebabkan oleh pengangkutan, pembongkaran dan penumpukan sampah. Dampak ini dapat dikelola dengan memelihara alat berat sehingga kondisi baik dan tidak bising, membuat daerah penyangga, sabuk hijau, dan taman, dan melengkapi operator dengan APD.
3. Penurunan kualitas air permukaan (Sungai Ciketing & Sungai Sumur Batu). 4. Penurunan kualitas air tanah yang disebabkan oleh leachete. Dampak ini dapat
dikelola dengan melapisi dinding landfill dengan geotekstil, membangun sistem perpipaan di dasar landfill untuk menampung leachete, melakukan
cover soil, dan membangun Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS).
5. Gangguan pada habitat biota air yang disebabkan oleh pencemaran air oleh
leachete. Dampak ini dikelola dengan cara-cara seperti yang duraikan pada nomor 4.
(30)
6. Meningkatnya peluang usaha dan kesempatan kerja dengan adanya akivitas pembongkaran sampah di TPA khususnya bagi pemulung. Dampak ini dikelola dengan memberikan kesempatan kerja kepada para pemulung, melakukan pengaturan terhadap para pemulung, bekerjasama dengan Kanwil Depkop dan PKK untuk membentuk koperasi pemulung di TPA.
7. Penurunan kesehatan masyarakat di sekitar lokasi TPA yang disebabkan oleh tumpukan sampah yang menjadi wadah vektor penyakit berkembang biak. Dampak ini dikelola dengan menyemprotkan desifektan secara berkala, melakukan cover soil, melengkapi pekerja TPA dengan APD, dan melakukan kerjasama dengan Kanwil dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta dalam mengevaluasi kesehatan.
8. Timbulnya keresahan dan konflik sosial terutama masyarakat pemulung yang disebabkan oleh persaingan dan perebutan lahan kerja antar kelompok pemulung. Dampak ini dapat dikelola dengan memberikan kesempatan yang sama kepada kelompok-kelompok pemulung yang bekerja di TPA, membina mereka untuk saling bekerja sama, melembagakan peraturan kerja untuk menertibkan pemulung.
9. Peningkatan kepadatan lalu lintas dan kemacetan akibat kegiatan pengangkutan sampah ke TPA. Dampak ini dapat dikelola dengan membuat jalan penghubung alternatif ke TPA, melengkapi rambu-rambu lalu lintas, meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja guna menghindari antrean armada yang panjang, melakukan perbaikan, pemeliharaan, dan penggantian alat berat yang sudah tua, dan menambah karyawan TPA.
10.Peningkatan peluang terjadinya kecelakaan kerja akibat aktivitas pemulung di TPA. Dampak ini dapat dikelola dengan menerapkan aturan yang ketat terhadap pemulung untuk bekerja dengan tertib, membuat tanda-tanda larangan bekerja bagi pemulung pada titik-titik yang berbahaya, menentukan titik-titik tertentu pembongkaran sampah, sehingga para pemulung dan operator alat berat tidak saling terganggu.
11.Berkurangnya nilai estetika akibat aktivitas pemulung sampah yang membangun gubuk-gubuk dan penumpukan sampah di lahan pemukiman mereka dan di sepanjang jalan masuk ke TPA. Dampak ini dapat dikelola
(31)
dengan menata lokasi penumpukan sampah para pemulung dan membuat tanda-tanda larangan menumpuk sampah dan membangun gubuk pada lokasi tertentu terutama di pinggir jalan penghubung.
12.Timbulnya persepsi positif masyarakat terhadap keberadaan dan aktivitas TPA Bantargebang akibat tersedianya peluang usaha dan lapangan kerja. Dampak ini dapat dikelola dengan melaksanakan upaya-upaya pengelolaan lingkungan dari berbagai aspek dengan baik dan konsisten.
13.Penuhnya TPA Bantargebang sebelum habis usia operasionalnya akibat jumlah sampah yang masuk melebihi kapasitas. Dampak ini dapat dikelola dengan mempercepat pembangunan TPA Sampah Ciangir Tangerang, mengkonversi sampah menjadi kompos, melakukan diversifikasi sampah yang dimanfaatkan oleh pemulung dan sortasi (pemilahan) sampah. (Sumber: Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan TPA Bantargebang, 1997. Lihat juga Lampiran 1, 2, dan 3)
2.6. Sanitary Landfill
Terminologi sanitary landfill kali pertama digunakan pada tahun 1930-an, yang berarti memapatkan sampah padat dengan menggunakan alat berat dan kemudian melapisinya dengan tanah. Praktik ini bahkan sudah digunakan di dalam kebudayaan Yunani 2.000 tahun yang lalu, hanya tanpa pemapatan. Saat ini metode ini merupakan pilihan yang paling populer, dibandingkan dengan daur ulang, insinerasi, dan pengomposan, karena kesederhanaan dan versatilitasnya. Sebagai contoh, metode ini tidak sensitif terhadap bentuk, ukuran, ataupun berat suatu materi sampah; jauh berbeda dengan pengomposon dan insinerasi yang membutuhkan sampah dalam bentuk seragam atau memiliki kandungan kimia yang seragam.
Ada tiga prosedur dasar dalam pelaksanaan sanitary landfill, yaitu menyebarkan sampah padat secara berlapis; memapatkannya semaksimal mungkin; dan menutupnya dengan tanah pada sore hari. Metode ini meminimalkan perkembangbiakan tikus dan serangga di TPST, mengurangi ancaman kebakaran tak terduga, mengurangi bau, mencegah perkembangan vektor penyakit seperti lalat, dan media untuk pertumbuhan vegetasi.
(32)
Ada tiga tahapan dekomposisi di dalam sebuah landfill. Pertama fase aerobik. Sampah padat yang dapat diuraikan secara biologis bereaksi dengan O2
dan membentuk CO2 dan H2O. Temperatur pada tahap ini meningkat 16.7 oC
lebih tinggi dari lingkungan. Asam lemah terbentuk di dalam air dan berbagai mineral terlarut di dalamnya. Tahap selanjutnya adalah fase aerobik, di dalamnya mikroorganisme yang tidak membutuhkan oksigen menguraikan sampah menjadi hidrogen, amonia, karbondioksida, dan asam anorganik. Pada tahap ketiga, dengan didukung oleh jumlah air yang cukup dan suhu yang hangat, akan dihasilkan gas metan. Perbandingan kasar gas CO2 dan metana yang dihasilkan
tahap ini adalah 50:50. Gas CO2 memiliki berat jenis lebih besar dari udara
sehingga cenderung tinggal di dasar landfill, sedangkan gas metan yanh berat jenisnya lebih ringan cenderung naik ke permukaan landfill, dan bisa terbakar bila tidak dikendalikan.
Sistem pengendalian produksi gas metan berlangsung pasif maupun aktif. Pada sistem pasif, gas metan dilepaskan ke udara secara alami dengan membuat lubang ventilasi. Pada sistem aktif, diterapkan sebuah mekanisme yang dapat berupa sumur recovery, pipa pengumpul gas, pembakar gas, atau penampung gas. Menurut El-fadel et al. (1997) dan Samorn et al. (2002) hendaknya TPA dioperasikan dengan sistem sanitary landfill yang dilengkapi dengan instalasi
recovery gas, sistem pengolahan dan pengumpulan gas, penghalang hidrolik seperti ekstraksi dan sumur pantauan, sumur relief dan parit drainase sebagai sistem pengumpulan air lindi, yang akan mempercepat proses pembusukan.
Tempat Pemusnahan Akhir (TPA) Sampah Bantargebang dengan luas 110.3 Ha (efektif untuk pembuangan sampah 89.3 Ha) sudah menggunakan metode sanitary landfill , tetapi sejak 5 Desember 2009 pengelolanya yang baru, yaitu PT. Godang Tua Jaya joint operation dengan PT. Navigat Organic Energy Indonesia, menawarkan konsep baru, yaitu kombinasi antara sistem sanitary landfill dan teknologi modern yang ramah lingkungan. Kombinasi ini diharapkan menjadikan TPST Bantargebang sebagi pusat industri daur ulang sampah yang akan menghasilkan produk-produk bermanfaat seperti: pupuk kompos, biji plastik dan produk-produk turunannya, serta listrik. (Lihat mekanisme pemusnahan sampah di TPST Bantargebang pada halaman selanjutnya.)
(33)
MEKANISME PEMUSNAHAN SAMPAH
DI TPA SANITARY LANDFILL BANTAR GEBANG
RUMAH TI NGGAL
PASAR TEMPORER
PD. Pasar JAYA KOMER SI AL I NDUSTRI JALAN
T
T
P
P
S
S
DI PERGU NAKAN KEMBALI
DI OLAH SENDI RI
P P L I
PENUTUPAN AKHI R
I NSTALASI PENGOLAHAN AI R SAMPAH ( I PAS) PROSES PEMUSNAHAN SAMPAH DI TPA
STASI UN TRANSFER
PENI M - BANGAN
MEMPERO- LEH DATA BERAT. SAMPAH YG DI ANGKUT, DARI SUM- BERNYA
PENURUNAN SAMPAH ANTARA LAI N MENGGUNA- KAN EXCA- VATOR PERATAAN SAMPAH DGN BULDOZER DAN PEMADATAN DENGAN COMPACTOR PENUTUPAN SAMPAH DNG TANAH, KETEBALAN RATA-RATA 15 cm DENGAN TA- NAH, SETE- LAH MEN - CAPAI KE - TI NGGI AN YG DI REN - CANAKAN
PENYALURAN AI R SAMPAH PENGENDALI AN
GAS METAN
TPA
TPA
S
SUUMMBBEERR S
SAAMMPPAAHH
PEMBONG - KARAN PENYEBAR AN/ PEMADATAN PENUTUPAN HARI AN/ BERKALA B3
(34)
Prosedur sanitary landfill di TPAmeliputi pekerjaan konstruksi, drainase, operasional penutupan sampah dengan tanah merah (cover soil), pembuatan jalan precast, penghijauan, pembuatan ventilasi dan pengelolaan air bersih.
Konstruksi sanitary landfill, terdiri dari:
a. Pembentukan muka tanah, yaitu untuk mengalirkan air lindi maupun air hujan menuju saluran yang direncanakan, maka pada permukaan tanahnya dibentuk kemiringan 5%.
b. Pelapisan kedap air, yaitu untuk mencegah masuknya air lindi ke dalam tanah, maka dasar timbunan sampah diberi lapisan impermeable seperti
geotextile atau geomembrane.
c. Pengumpulan dan pengolahan air lindi.
2.7. Pengelolaan Sampah Secara Terpadu
Pengelolaan sampah secara terpadu pada intinya adalah memadukan 3 cara pengolahan sampah, yaitu: pengomposan (composting), mendaur ulang (recycling), dan melakukan pembakaran (combusting), dengan melibatkan masyarakat (Tchobanoglous, 1993). Proses pengomposan dilakukan terhadap sampah organik biasanya dilakukan dengan bantuan mikroorganisme, baik dalam keadaan aerob maupun anaerob. Sedangkan daur ulang (recycling) dilakukan terhadap sampah anorganik seperti plastik, kertas, dan logam. Sampah sisa dari kedua proses ini dibakar melalui incenerator. Pengelolaan sampah secara terpadu ini dapat mereduksi sampah sampai 96%. Sisa pembakaran berupa residu hanya tinggal 4%, dan residu yang berbentuk abu ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Keberhasilan pengelolaan sampah secara terpadu tergantung dari partisipasi masyarakat, sebagai penghasil utama sampah. Partisipasi masyarakat ini dapat berupa pemilahan antara sampah organik dan anorganik dalam proses pewadahan di sumber sampah, atau melalui pembuatan kompos dalam skala individu dan mengurangi penggunaan barang (material), Bebasari, 2001.
Menurut Kholil (2005), untuk menghindari ketergantungan pada lahan, penanganan sampah kota harus dilakukan pada upaya pengurangan di sumber dengan pendekatan 3 R ( reduce, reuse, dan recycle ), dan pengolahan di TPS secara terpadu berbasis zero waste dengan sistem 3 R + 1 (reduce, reuse, recycle
(35)
dan inceneration). Hasil simulasi model yang dilakukan menunjukkan bahwa dengan sistem penanganan terpadu berbasis zero waste di TPS dapat mereduksi volume sampah sampai 96 % – 98 %, dan mereduksi biaya operasional sampai 65.9 %.
2.8. PRA dan FGD
2.8.1. PRA ( ParticipatoryRural Appraisal )
PRA adalah suatu metode pendekatan yang digunakan dalam melakukan pengkajian/penilaian/penelitian untuk memahami keadaan desa/wilayah/lokalitas tertentu dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Melalui PRA tim peneliti bersama masyarakat bisa secara cepat dan sistematis mengumpulkan informasi untuk: (a) analisis umum tentang topik khusus yang perlu penilaian; (b) studi kelayakan; (c) mengidentifikasi dan memprioritaskan proyek tertentu; dan (d) mengevaluasi proyek/program yang dilaksanakan di pedesaan (Bhandori, 2003).
Menurut Robert Chambers , orang yang mengembangkan metode PRA, metode dan teknik dalam PRA terus berkembang, sehingga sangat sulit untuk memberikan definisi final tentang PRA. Menurutnya PRA merupakan metode dan pendekatan pembelajaran mengenai kondisi dan kehidupan desa/wilayah/lokalitas dari, dengan dan oleh masyarakat sendiri dengan catatan: (1) pengertian belajar, meliputi kegiatan menganalisis, merancang dan bertindak; (2) PRA lebih cocok disebut metode-metode atau pendekatan-pendekatan (bersifat jamak) daripada metode dan pendekatan (bersifat tunggal); dan (3) PRA memiliki beberapa teknik yang bisa kita pilih, sifatnya selalu terbuka untuk menerima cara-cara dan metode-metode baru yang dianggap cocok.
Teknik-teknik yang banyak dipakai meliputi: mengkaji data sekunder, observasi langsung, wawancara semi-struktur, FGD (focus group discussions), metode social rating, analysis group discussion (AGD), innovation assessment, mapping, transects, seasonal calendar, profil historis, analisis kehidupan sosial, pengamatan terlibat, membuat diagram-diagram, dan mengumpulkan kategori-kategori lokal, istilah lokal dan sebagainya. Sedangkan perangkat yang digunakan meliputi: triangulasi, tim multidisiplin, belajar bersama masyarakat, analisis on the spot, dan menjaga bias selama studi berlangsung. Melalui PRA para peneliti
(36)
dapat merasakan dampak serta memperkuat kemampuan teknis dari penilaian yang sudah dilakukan oleh masyarakat sendiri.
Prinsip-prinsip dasar Participatory Rural Appraisal (PRA) terdiri dari: 1. Prinsip mengutamakan yang terabaikan (keberpihakan)
Prinsip ini mengutamakan masyarakat yang terabaikan agar memperoleh kesempatan untuk memiliki peran dan mendapat manfaat dari program pembangunan. Keberpihakan ini lebih pada upaya untuk mencapai keseimbangan perlakuan terhadap berbagai golongan yang terdapat di suatu masyarakat, mengutamakan golongan paling miskin agar kehidupannya meningkat.
2. Prinsip pemberdayaan (penguatan) masyarakat
Pendekatan PRA bermuatan peningkatan kemampuan masyarakat, kemampuan itu ditingkatkan dalam proses pengkajian keadaan, pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan, sampai pada pemberian penilaian dan koreksi kepada kegiatan yang berlangsung.
3. Prinsip masyarakat sebagai pelaku dan orang luar sebagai fasilitator
PRA menempatkan masyarakat sebagai pusat dari kegiatan pembangunan. Orang luar juga harus menyadari perannya sebagai fasilitator. Fasilitator perlu memiliki sikap rendah hati serta kesedian untuk belajar dari masyarakat dan menempatkan mereka sebagai narasumber utama dalam memahami keadaan masyarakat itu. Pada tahap awal peran orang luar lebih besar, namun seiring dengan berjalannya waktu diusahakan peran itu bisa berkurang dengan mengalihkan prakarsa kegiatan PRA pada masyarakat itu sendiri.
4. Prinsip saling belajar dan menghargai perbedaan
Salah satu prinsip dasarnya adalah pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat. Hal ini bukan berarti bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah. Pengalaman dan pengetahuan masyarakat serta pengetahuan orang luar harusnya saling melengkapi dan sama nilainya, dan proses PRA sebaiknya dipandang sebagai ajang komunikasi antara kedua sistem pengetahuan itu agar melahirkan sesuatu yang lebih baik.
5. Prinsip santai dan informal
Kegiatan PRA diselenggarakan dalam suasana yang bersifat luwes, terbuka, tidak memaksa dan informal. Situasi ini akan menimbulkan hubungan
(37)
akrab, karena orang luar akan berproses masuk sebagai anggota masyarakat, bukan sebagai tamu asing yang oleh masyarakat harus disambut secara resmi. 6. Prinsip triangulasi
Salah satu kegiatan PRA adalah usaha mengumpulkan dan menganalisis data atau informasi secara sistematis bersama masyarakat. Untuk mendapatkan informasi yang kedalamannya bisa diandalkan kita dapat menggunakan triangulasi yang merupakan bentuk pemeriksaan dan pemeriksaan ulang (check and recheck) informasi. Triangulasi dilakukan melalui penganekaragaman keanggotaan tim (keragaman disiplin ilmu atau pengalaman), penganekaragaman sumber informasi (keragaman latar belakang golongan masyarakat, keragaman tempat, jenis kelamin) dan penganekeragaman teknik.
7. Prinsip mengoptimalkan hasil
Prinsip mengoptimalkan atau memperoleh hasil informasi yang tepat guna menurut metode PRA adalah:
a. Lebih baik kita "tidak tahu apa yang tidak perlu kita ketahui" (ketahui secukupnya saja)
b. Lebih baik kita "tidak tahu apakah informasi itu bisa disebut benar seratus persen, tetapi diperkirakan bahwa informasi itu cenderung mendekati kebenaran" (daripada kita tahu sama sekali)
8. Prinsip orientasi praktis
PRA berorientasi praktis, yaitu pengembangan kegiatan. Oleh karena itu dibutuhkan informasi yang sesuai dan memadai agar program yang dikembangkan bisa memecahkan masalah dan meningkatkan kehidupan masyarakat. Perlu diketahui bahwa PRA hanyalah sebagai alat atau metode yang dimanfaatkan untuk mengoptimalkan program-program yang dikembangkan bersama masyarakat.
9. Prinsip keberlanjutan dan selang waktu
Metode PRA bukanlah kegiatan paket yang selesai setelah kegiatan penggalian informasi dianggap cukup dan orang luar yang memfasilitasi kegiatan keluar dari desa. PRA merupakan metode yang harus dijiwai dan dihayati oleh lembaga dan para pelaksana lapangan agar problem yang mereka akan
(38)
kembangkan secara terus menerus berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar PRA yang mencoba menggerakkan potensi masyarakat.
10.Prinsip belajar dari kesalahan
Terjadinya kesalahan dalam kegiatan PRA adalah suatu yang wajar, yang terpenting bukanlah kesempurnaan dalam penerapan, melainkan penerapan yang sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan yang ada. Kita belajar dari kekurangan-kekurangan atau kesalahan yang terjadi, agar pada kegiatan berikutnya menjadi lebih baik.
11. Prinsip terbuka
Prinsip terbuka menganggap PRA sebagai metode dan perangkat teknik yang belum selesai, sempurna, dan pasti benar. Diharapkan bahwa teknik tersebut senantiasa bisa dikembangkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Sumbangan dari mereka yang menerapkan dan menjalankannya di lapangan untuk memperbaiki konsep, pemikiran maupun merancang teknik baru yang akan sangat berguna dalam mengembangkan metode PRA.
2.8.2. FGD ( Focus Group Discussion )
Focus Group Discussion (FGD) merupakan metode khusus untuk mengorganisasi diskusi atau serangkaian diskusi. Pada FGD, diskusi difokuskan pada pertanyaan-pertanyaan spesifik. Topik FGD dapat berupa isu lingkungan, pengembangan teknologi, akseptabilitas program atau produk, atau cara mengembangkan pelayanan masyarakat (Kreuger, 1988; Stewart & Shamdasani, 1992).
FGD bentuk penelitian kualitatif di mana kelompok masyarakat menyampaikan sikap, komsep, gagasan, atau solusi dari topik yang didiskusikan. FGD merupakan alat untuk mengumpulkan data kualitatif melalui forum diskusi. Topik dibahas dalam bentuk kelompok interaktif di mana setiap peserta bebas menyampaikan gagasan. Moderator harus dapat mengumpulkan informasi in-depth tentang topik yang dibahas dari peserta (Budiharsono et al., 2006).
Manfaat FGD adalah untuk memperoleh informasi tentang masyarakat, penduduk, organisasi, produk, atau jasa. Informasi tersebut mencakup: kebutuhan, sejarah, concerns, reaksi, persepsi, perlilaku, dan/atau masalah. FGD juga
(39)
digunakan untuk: 1) pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam merespons suatu program, metode, kebijakan, produk, dan jasa; 2) identifikasi masalah, kendala, biaya, atau manfaat. stimulasi creative thinking
seperti solusi optimal, peluang, keterkaitan atau identifikasi dampak potensial; 3) menentukan prioritas atau batasan masalah; 4) memperoleh informasi yang lebih mendalam; 5) memperoleh gambaran budaya atau kelompok sosial yang lebih akurat; 6) melibatkan audiens baru; dan 7) memperoleh feedback lebih cepat (Morgan, 1997).
Keunggulan FGD antara lain: 1) FGD memberikan penjelasan lebih, bukana hanya pada apa yang peserta pikirkan, melainkan juga mengapa mereka berpikir seperti itu; 2) Dapat mengungkapkan konsensus atau keragaman kebutuhan peserta, pengalaman, keinginan, dan asumsi; 3) Memungkinkan interaksi kelompok sehingga peserta dapat membangun konsep atau pandangan yang komprehensif lebih mendalam dari setiap ide, bukan hanya dari pandangan individual; 4) Komentar yang tidak terduga dan perspektif baru dapat ditelusuri dengan mudah; 5) Moderator dan peserta dapat mengekspresikan perasaannya secara langsung.
Kelemahan FGD antara lain: 1) sampel yang sedikit sehingga memungkinkan tidak representatif; 2) semua peserta harus hadir di tempat dan waktu yang sama, hal ini sulit jika peserta berada pada cakupan wilayah yang berjauhan; 3) dapat memperoleh data kualitatif yang sangat banyak sehingga menyulitkan untuk analisis data; 4) informasi yang dikumpulkan lebih bias karena interpretasi subjektif dibanding metode kuantitatif; 5) individu yang banyak bicara dapat mendominasi diskusi. Pandangan dari peserta yang asertif kadang sulit diperoleh; dan 6) kualitas diskusi dan manfaat informasi yang diperoleh sangat bergantung pada kemampuan moderator.
(40)
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di TPST Sampah Bantargebang, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat, yang meliputi tiga kelurahan, yaitu: Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Sumur Batu, dan Kelurahan Cikiwul. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2008 sampai dengan Juni 2009.
3.2. Tahapan Penelitian
Tahapan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tahapan pertama: mendeskripsikan kualitas lingkungan dan kondisi sosial masyarakat berdasarkan publikasi dan penelitian mengenai TPST Bantargebang. Kualitas lingkungan yang disajikan berupa kualitas air, kualitas tanah, kualitas udara, dan kualitas komponen biologi.
Tahapan kedua: menganalisis kualitas air, tanah, udara, dan komponen biologis di dalam dan di sekitar lokasi TPST Bantargebang. Kualitas air yang dianalisis mencakup kualitas air sumur, air sungai, dan air IPAS. Kualitas tanah dinalisis di sekitar lokasi TPST Bantargebang yaitu di Cikiwul, di Sumur Batu, dan di Ciketing Udik. Pengujian kualitas udara dilakukan di semua zona pembuangan sampah, di luar zona, di Sumur Batu, di Perumahan Limus Pratama, dan di Duku Zamrud. Data komponen biologi dilakukan dengan penghitungan populasi lalat di TPST.
Tahapan ketiga: melakukan PRA di tingkat masyarakat dan FGD di tingkat stakeholder Kota Bekasi dan DKI Jakarta. Aspek yang dikaji pada PRA adalah persepsi masyarakat terkait keberadaan TPST Bantargebang, kebutuhan masyarakat dalam pengembangan usaha, dan solusi yang diharapkan untuk memnuhi kebutuhan masyarakat. FGD dilakukan untuk mendapatkan pendapat para stakeholder mengenai berbagai masalah terkait TPST Bantargebang dan solusinya.
Tahapan keempat: menyusun skenario pengelolaan TPST Bantargebang yang optimal. Optimalisasi difokuskan pada tiga aspek yakni optimasi penggunaan lahan, optimalisasi pemanfaatan sampah, dan peningkatan
(41)
pendapatan. Pendekatan yang digunakan mempertimbangkan dimensi sosial, ekologi, ekonomi, dan teknologi. Secara skematis, tahapan penelitian disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Tahapan penelitian
3.3. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini meliputi metode pengumpulan data, parameter yang diteliti, dan metode analisis data untuk kualitas lingkungan, persepsi masyarakat, dan skenario optimasi pengelolaan lingkungan TPST.
3.3.1. Kualitas Lingkungan
3.3.1.1. Metode Pengumpulan Data
a. Kualitas Air Sumur, Air Sungai, dan Air IPAS
Lokasi pengambilan sampel air sumur adalah lokasi yang mewakili daerah atas dan daerah bawah yang diperkirakan mewakili aliran air tanah (base flow). Lokasi pengambilan sampel air sumur di sekitar TPST dilakukan di 6 (enam)
(42)
sumur yang berbeda, yaitu: sumur I (sumur gali penduduk di Cikiwul Barat), sumur II (sumur pantek milik penduduk dekat pintu gerbang TPST), sumur III (sumur gali penduduk di Kelurahan Sumur Bat—bagian selatan), sumur IV (sumur artesis di Desa Sumur Batu—bagian utara), sumur V (sumur artesis di Kelurahan Ciketing Udik—bagian timur), dan sumur VI (sumur gali penduduk di kelurahan Ciketing Udik—bagian barat).
Terhadap kualitas air sungai di dekitar TPST pengujian dilakukan dengan mengambil sampel di 4 lokasi sungai yaitu: Ciketing Udik hulu dan hilir, Cimuning hulu dan hilir, Kali Asem, dan Kali Pangkalan Tiga—sampel air ini di ambil dari lokasi sebelum TPST dan sesudah TPST. Dan, untuk sampel air lindi diambil dari IPAS I, II, III dan IPAS IV.
b. Kualitas Tanah
Analisis kualitas tanah dilakukan di sekitar lokasi TPST Bantargebang yaitu dua titik di Cikiwul, dua titik di Sumur Batu (Sumur Batu Utara dan Selatan), dua titik di Ciketing Udik (Ciketing Udik Timur dan Barat).
c. Kualitas Udara
Pengujian kualitas udara dilakukan di semua zona pembuangan sampah (zona IA, IIB, IIIB, IVC, VC), di luar zona sebelah timur di Pangkalan Lima, sebelah barat di Sumur Batu, sebelah utara di Perumahan Limus Pratama, dan sebelah selatan di Duku Zamrud.
d. Kualitas Komponen Biologi
Data komponen biologi dilakukan dengan penghitungan populasi lalat di TPST diambil dengan metode grill net per satuan waktu umpan pada jarak tertentu dari pusat TPST. Jarak pengambilan sampel adalah 100 meter sampai 1,000 meter dari TPST. Waktu pengukuran dan pengamatan distribusi pada jam 09.30 – 15.00 dengan asumsi pada jam tersebut lalat sedang beraktivitas.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan grill ukuran 1 x 1 m2 selanjutnya lalat yang hinggap dihitung jumlahnya. Titik-titik pengukuran dimulai dari zona yang masih aktif, selanjutnya semakin jauh dengan jarak 50 m searah angin yang dominan atau mengarah ke perkampungan.
(43)
3.3.1.2. Parameter
a. Kualitas Air Sumur, Air Sungai, dan Air IPAS
Parameter air sumur: NO2, NH3, SO2, H2S, CO, CH4, partikel, suhu, dan
kelembaban (lihat lampiran 5-33), sedangkan untuk air sungai parameternya adalah: BOD, COD, Nitrat dan Nitrit (lihat lampiran 34-55). Untuk air limbah IPAS (leachete) parameternya BOD dan COD (lihat lampiran 56-67).
b. Kualitas Tanah
Parameter yang diukur 11 (sebelas) bahan logam berat seperti: Hg, Cd, Cr, Cu, Pb, Se, Zn, Ni, Co, dan senyawa NO2 (Nitrit) dan NO3 (Nitrat).
c. Kualitas Udara
Parameter kualitas udara yang akan dikumpulkan adalah NO2, NH3, SO2,
H2S, CO, CH4, partikel, suhu, dan kelembaban (lihat lampiran 68-71).
d. Kualitas Komponen Biologi
Menghitung jumlah lalat yang hinggap pada grill ukuran 1 x 1 m2.
3.3.1.3. Metode Analisis Data
a. Kualitas Air Sumur, Air Sungai, dan Air IPAS
Baku mutu yang digunakan untuk air tanah (air sumur) adalah SK Gubernur Jabar 6/99, PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990. Sedangkan baku mutu untuk air sungai (air permukaan) mempergunakan baku mutu PERPEM No.81 Tahun 2001 dan SK Gubernur Jawa Barat NO. 38 Tahun 1991. Dan baku mutu untuk air limbah adalah SK Gubernur Jawa Barat 6/99 dan KEP.51/MENLH/10/1995.
(44)
Tabel 1. Metode dan Analisis Kualitas Air
No Parameter Metode Analisis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Suhu pH
Zat padat terlarut Zat padat tersuspensi Amoniak Bebas (NH3-N)
Nitrat (NO2N)
Nitrit Fluorida Sianida Sulfida Klor Bebas MBAS Fenol
Minyak dan Lemak BOD5
COD
Besi terlarut (Fe) Mangaan terlarut (Mn) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Krom (Cr) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Nikel (Ni) Arsen (As)
Krom Heksavalen (Cr6+) Kobal (Co)
Barium (Ba) Stanum (Sn) Air Raksa (Hg)
SNI-M-03-1989-F butir 3.1 SNI-M-03-1989-F butir 3 SNI-M-03-1989-F butir 3.7 SNI-M-03-1989-F butir 3.6 SNI-M-48-1990-03
SNI-M-49-1990-03 SNI-M-53-1990-03
SNI-01-3551-1994 butir 14 SNI-01-3551-1994 butir 15 Titrasi
SII-2459-1990 butir 21 SNI-M-45-1990-03 SNI-M-38-1990-F SNI-M-68-1990-F SNI-M-69-1990-F Titrasi SNI-M-89-1990-03 SNI-M-63-1990-03 SNI-M-80-1990-03 SNI-M-73-1990-03 SNI-M-77-1990-03 SNI-M-35-1990-03 SNI-M-83-1990-03 SNI-M-86-1990-03 SNI-M-32-1990-03 AAS AAS AAS AAS AAS
b. Kualitas Tanah
Baku mutu yang dipergunakan untuk analisa tanah adalah Peraturan Pemerintah RI No. 85/Tahun 1999
c. Kualitas Udara
Baku mutu menurut Peraturan Pemerintah RI No. 41/Tahun 1999 dan SK Gubernur Provinsi Jawa Barat No. 660.31/SK/694-BKPMD/1982.
(45)
d. Kualitas Komponen Biologi
Menurut Keputusan Dirjen P2MPLP Departemen Kesehatan RI Nomor 28-1/II/PD.03.04.LP tanggal 30 Oktober 1989 baku mutu jumlah keberadaan lalat adalah 20 ekor per grill.
3.3.2 Persepsi Masyarakat
3.3.2.1. Metode Pengumpulan Data
Data persepsi masyarakat dan para stakeholder dikumpulkan melalui wawancara mendalam, PRA dan FGD. Responden dalam penelitian ini adalah kelompok masyarakat di sekitar TPST Bantargebang. Penentuan responden untuk wawancara mendalam dilakukan secara purposive yakni memilih responden yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang pengelolaan TPST Bantargebang dan telah lama berdomisili atau bekerja di sekitar TPST Bantargebang. Jumlah responden wawancara mendalam adalah 12 orang.
Penentuan responden untuk PRA dilakukan secara cluster random sampling yakni memilih responden berdasarkan cluster pekerjaan di sekitar TPST Bantargebang. Pekerjaan responden terdiri atas pemulung, juragan lapak, operator alat berat, pemilik warung, karyawan pencuci plastik, satpam, ketua RT, masyarakat umum, tokoh pemuda. Jumlah responden PRA adalah 24 orang.
Penentuan responden untuk FGD dilakukan secara purposive yakni memilih responden yang memiliki pekerjaan yang terkait dengan pengelolaan TPST Bantargebang. Responden FGD terdiri atas Walikota Bekasi, Dinas kebersihan Jakarta, Dinas Kebersihan Kota Bekasi, BPLHD Provinsi DKI Jakarta, Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi, Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi, Dinas Perekonomian Rakyat dan Koperasi Kota Bekasi, PLN, WALHI, PERTANI, Direktur Lembaga Kuangan Mikro, Pakar peneliti, Pengusaha Angkutan Sampah, ECU. Jumlah peserta FGD adalah 23 orang.
3.3.2.2. Parameter
Parameter yang diamati adalah pendapat dan aspirasi masyarakat tentang keberadaan TPST dan alternatif pengelolaan yang diharapkan di masa mendatang. Hasil wawancara mendalam dan PRA merupakan bahan diskusi pada FGD.
(46)
Kesepakatan yang diperoleh pada FGD diharapkan menjadi arahan dalam penyusunan skenario pengelolaan TPST Bantargebang di masa mendatang
3.3.2.3. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil wawancara, dan PRA akan dikelompokkan sesuai dengan persepsi masyarakat dan keinginan warga tentang keberadaan TPST dan kondisi kesejahteraan masyarakat.
3.3.3. Optimasi Pengelolaan Lingkungan TPST 3.3.3.1. Metode Pengumpulan Data
Data sekunder yang didapatkan adalah data jumlah sampah yang masuk ke TPST Bantargebang, dan luas lahan TPST serta peruntukannya.
3.3.3.2. Parameter
Parameter yang diamati adalah kombinasi jumlah sampah yang diolah pada setiap teknologi pengolahan yang digunakan, serta luas lahan (ruang) yang optimal untuk setiap unit pengolahan sampah.
3.3.3.3.Metode Analisis Data
Data sekunder yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, sehingga setiap jenis sampah yang masuk ke TPST dapat diolah pada setiap unit teknologi pengolahan.
(1)
Lampiran 69. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Cikiwul 1) Tahun 2008
Keterangan:
*) diluar ruang lingkup akreditasi
**) PP 85/1999
N/A : not available
M
: Memenuhi
TM
: Tidak memenuhi
Lampiran 70. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Cikiwul 2) Tahun 2008
Keterangan:
*) diluar ruang lingkup akreditasi
**) PP 85/1999
N/A : not available
M
: Memenuhi
TM
: Tidak memenuhi
No
Parameter*
Unit
Baku mutu**)
Hasil Uji
Keterangan
1
Mercury, Hg
Ppm
0.20
<0.0002
M
2
Cadmium, Cd
Ppm
1.0
<0.001
M
3
Chromium, Cr
Ppm
5.0
<0.01
M
4
Copper, Cu
Ppm
10.0
0.06
M
5
Lead, Pb
Ppm
5.0
<0.01
M
6
Selenium, Se
Ppm
1.0
<0.002
M
7
Zinc, Zn
Ppm
50.0
0.47
M
8
Nickel, Ni
Ppm
N/A
<0.05
9
Cobalt, Co
Ppm
N/A
<0.05
10
Nitrite, NO
2Ppm
100.0
<0.01
M
11
Nitrate, NO
3Ppm
100.0
0.8
M
No Parameter* Unit Baku mutu**) Hasil Uji Keterangan
1 Mercury, Hg Ppm 0.20 <0.0002 M
2 Cadmium, Cd Ppm 1.0 <0.001 M
3 Chromium, Cr Ppm 5.0 <0.01 M
4 Copper, Cu Ppm 10.0 0.04 M
5 Lead, Pb Ppm 5.0 <0.01 M
6 Selenium, Se Ppm 1.0 <0.002 M
7 Zinc, Zn Ppm 50.0 0.48 M
8 Nickel, Ni Ppm N/A <0.05
9 Cobalt, Co Ppm N/A <0.05
10 Nitrite, NO2 Ppm 100.0 <0.01 M
(2)
Lampiran 71. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Sumur Batu Utara) Tahun
2008
Keterangan:
*) diluar ruang lingkup akreditasi
**) PP 85/1999
N/A : not available
M
: Memenuhi
TM
: Tidak memenu
No Parameter* Unit Baku mutu**) Hasil Uji Keterangan
1 Mercury, Hg ppm 0.20 <0.0002 M
2 Cadmium, Cd ppm 1.0 <0.001 M
3 Chromium, Cr ppm 5.0 0.04 M
4 Copper, Cu ppm 10.0 0.09 M
5 Lead, Pb ppm 5.0 0.02 M
6 Selenium, Se ppm 1.0 <0.002 M
7 Zinc, Zn ppm 50.0 1.13 M
8 Nickel, Ni ppm N/A <0.05
9 Cobalt, Co ppm N/A <0.05
10 Nitrite, NO2 ppm 100.0 <0.01 M
(3)
Lampiran 72. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Sumur Batu Selatan)
Tahun 2008
Keterangan:
*) diluar ruang lingkup akreditasi
**) PP 85/1999
N/A : not available
M
: Memenuhi
TM
: Tidak memenu
No Parameter* Unit Baku mutu**) Hasil Uji Keterangan
1 Mercury, Hg ppm 0.20 <0.0002 M
2 Cadmium, Cd ppm 1.0 <0.001 M
3 Chromium, Cr ppm 5.0 <0.01 M
4 Copper, Cu ppm 10.0 0.05 M
5 Lead, Pb ppm 5.0 <0.01 M
6 Selenium, Se ppm 1.0 <0.002 M
7 Zinc, Zn ppm 50.0 0.07 M
8 Nickel, Ni ppm N/A <0.05
9 Cobalt, Co ppm N/A <0.05
10 Nitrite, NO2 ppm 100.0 <0.01 M
(4)
Lampiran 73. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Ciketing Udik Timur)
Tahun 2008
Keterangan:
*) diluar ruang lingkup akreditasi
**) PP 85/1999
N/A : not available
M
: Memenuhi
TM
: Tidak memenu
No Parameter* Unit Baku mutu**) Hasil Uji Keterangan
1 Mercury, Hg ppm 0.20 <0.0002 M
2 Cadmium, Cd ppm 1.0 <0.001 M
3 Chromium, Cr ppm 5.0 0.01 M
4 Copper, Cu ppm 10.0 0.07 M
5 Lead, Pb ppm 5.0 <0.01 M
6 Selenium, Se ppm 1.0 <0.002 M
7 Zinc, Zn ppm 50.0 0.73 M
8 Nickel, Ni ppm N/A <0.05
9 Cobalt, Co ppm N/A <0.05
10 Nitrite, NO2 ppm 100.0 <0.01 M
(5)
Lampiran 74. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Ciketing Udik Barat)
Tahun 2008
Keterangan:
*) diluar ruang lingkup akreditasi
**) PP 85/1999
N/A : not available
M
: Memenuhi
TM
: Tidak memenu
.
No Parameter* Unit Baku mutu**) Hasil Uji Keterangan
1 Mercury, Hg ppm 0.20 <0.0002 M
2 Cadmium, Cd ppm 1.0 <0.001 M
3 Chromium, Cr ppm 5.0 <0.01 M
4 Copper, Cu ppm 10.0 0.05 M
5 Lead, Pb ppm 5.0 0.03 M
6 Selenium, Se ppm 1.0 <0.002 M
7 Zinc, Zn ppm 50.0 0.49 M
8 Nickel, Ni ppm N/A <0.05
9 Cobalt, Co ppm N/A <0.05
10 Nitrite, NO2 ppm 100.0 <0.01 M
(6)