4
1.2. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran untuk menghasilkan suatu skenario pengelolaan TPST Bantargebang, dimulai dengan melihat dan mengevaluasi kondisi eksisting
TPST. Masalah lingkungan, sosial ekonomi, ataupun masalah hukum dan kelembagaan yang muncul akibat keberadaan TPST memerlukan penanganan
yang terpadu agar pengelolaan TPST dapat berlangsung optimal dan bermanfaat dari sudut pandang masing-masing stakeholder, yaitu Pemprov DKI sebagai
pemilik TPST, Pemkot Bekasi sebagai otoritas yang memerintah di Bantargebang, investor selaku pengelola, pemerhati lingkungan, masyarakat sekitar TPST.
Kondisi eksisting TPST ini dilihat dengan menganalisis kualitas air sumur, air sungai, air lindi, udara, kualitas tanah, dan komponen biologis. Juga dianalisis
persepsi masyarakat sekitar dan analisis optimasi terhadap pengelolaan lingkungan TPST yang meliputi optimasi dalam pemanfaatan sampah dan
optimasi pemanfaatan lahan pembangunan. Dengan skenario yang dihasilkan ini diharapkan akan dihasilkan satu strategi implementasi pengelolaan yang optimal
di mana pengelolaan akan maksimal secara ekonomi, sosial, ekologi dengan teknologi yang ramah lingkungan dengan dampak lingkungan yang minimal.
1.3. Perumusan Masalah
Jakarta sebagai kota metropolitan merupakan pusat kegiatan pendudukan dan ekonomi. Aktivitas penduduk dan perekonomian ini akan menghasilkan
Kondisi Eksisting TPST
Sosial Ekonomi Masyarakat
Kualitas Lingkungan Air, Udara, dan Tanah
Pemanfaatan Lahan dan Sampah
Teknologi
Skenario Pengelolaan TPST Bantargebang
Strategi Implementasi Kebijakan Pengelolaan
Lingkungan Keinginan Masyarakat
dan Stakeholder
Gambar 1a. Kerangka Pemikiran Optimasi Pengelolaan Lingkungan Terpadu Berkelanjutan TPST Bantargebang
5
sampah. Produksi sampah Jakarta mencapai 6,250 ton perhari yang dikirim ke TPST Bantargebang, kota Bekasi dengan jumlah kurang lebih 5.000 ton perhari.
Pengelolaan sampah Jakarta dilakukan melalui kerjasama antara dua pemerintah yaitu Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi melalu perjanjian
bipartit di mana Pemprov DKI Jakarta membayar CD Community Depelovment kepada Pemkot Bekasi sebesar 20 dari tipping fee sampah yang masuk ke
TPST. Sampah Jakarta ini diangkut menggunakan armada angkutan sampah, dan ini memberikan keuntungan berupa penyerapan tenaga kerja, tetapi juga
menyebabkan dampak lingkungan berupa bau bagi wilayah yang dilalui armada tersebut. Wilayah-wilayah yang dilalui armada tersebut seperti kelima wilayah
Jakarta dan melalui Jalan Alternatif Cibubur, Jalan Raya Cileungsi, Jalan Raya Narogong dengan jarak tempuh antara 15-50 km. Masyarakat yang dilalui oleh
armada angkutan sampah menyampaikan keluhan terhadap dampak bau tersebut. Pengelolaan sampah di TPST dilakukan dengan system sanitary landfill
pada lahan seluas 108 ha yang terbagi dalam lima zona. Pengelolaan sampah ini menyerap tenaga kerja sekitar 6,000 orang yang terdiri dari para pemulung, lapak,
dan juragan. Namun besarnya tenaga kerja ini menimbulkan persaingan karena tidak adanya peraturan yang diberlakukan dalam area titik buang tersebut. Proses
pembuangan sampah atau unloading dari armada ke area zona atau titik buang menggunakan bantuan alat berat excavator yang beroperasi selama 24 jam
perhari, dan menyebabkan masalah lain seperti terancamnya keselamatan para pemulung dan terganggunya operasional alat berat tersebut.
Pengelolaan dengan sitem sanitary landfill ini ternyata masih menimbulkan percemaran di lokasi TPST dan sekitarnya berupa pencemaran air
sumur, sungai, dan air lindi oleh bakteri E-Coli, peningkatan kadar BOD dan COD, dan beberapa logam berat seperti Cd; pencemaran udara berupa bau. Bau
ini menimbulkan keluhan dari masyarakat sekitar. Hal ini berarti bahwa sampah harus dimanfaatkan seoptimal mungkin sehingga tidak menimbulkan pencemaran
dan mendatangkan keuntungan ekonomi. Keberadaan TPST telah memberikan dampak ekonomi terhadap
masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Masyarakat sekitar mendapatkan manfaat ekonomi dalam bentuk CD, kesempatan kerja dan berusaha. Pengusaha
6
dalam bentuk pengelolaan TPST berupa tipping fee yang dibayar oleh Pemprov DKI dari tonase sampah yang masuk. Sedangkan Pemkot Bekasi dalam bentuk
PAD dari pajak dan CD yang dibayar pengelola. Permasalahan yang muncul kemudian adalah terjadinya perbedaan persepsi dalam hal pembagian dana CD.
Pemerintah menyalurkan dana ini dalam bentuk pembangunan sarana dan prasarana sosial sementara masyarakat menginginkan dalam bentuk tunai.
Dari sisi masyarakat, sebagian menganggap keberadaan TPST memberikan keuntungan dan sebagian yang lain menganggap sebagai sumber
masalah. Masyarakat yang menganggap TPST menguntungkan adalah yang dapat memanfaatkan keberadaan TPST sebagai sumber ekonomi, sedangkan yang
menganggap sebagai sumber masalah adalah yang tidak merasakan manfaat tetapi hanya mendapatkan dampak pencemaran. Pemerintah menganggap TPST sebagai
sesuatau yang harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulakan permasalaha, tetapi mendatangkan keuntungan berupa CD.
Keterbatasan lahan TPST merupakan permasalahan yang perlu mendapat perhatian karena sampah yang sudah menggunung selama 20 tahun mencapai
deposit lebih kurang 10 juta m
3
dan apabila sampah yang masuk tidak dikelola dengan teknologi modern yang ramah lingkunagn maka usia pakainya akan segera
berakhir. Sementara itu lahan yang tersedia di sekitar TPST sangat terbatas. Dari uraian tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana skenario pengelolaan TPST yang optimal, terpadu dan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan partisipatif, yang digambarkan dalam bentuk
diagram alir perumusan masalah sebagai berikut:
Gambar 1b. Diagram Alir Perumusan Masalah Kualitas Lingkungan
TPST Persepsi Masyarakat dan
Stakeholder Skenario Pengelolaan
Lingkungan TPST yang Optimal
7
Berdasarkan uraian permasalahn tersebut dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana kualitas lingkungan sekitar TPST Bantargebang dan sekitarnya? 2. Bagaimana persepsi masyarakat dan stakeholder terkait keberadaan TPST
Bantargebang? 3. Bagaimana pengelolaan lingkungan TPST Bantargebang yang optimal?
1.4. Tujuan Penelitian