gagasan revolusioner. Pengaruh atau gerakan para haji itu sangat dirasa oleh penguasa Hindia-Belanda.
Semangat Keagamaan
Semenjak kecil warga-warga muslim di sekitar Batavia atau yang identitasnya
biasa disebut “Slam”
33
diajarkan untuk menjadi Muslim yang taat dan di sekolahkan di pengajian-pengajian surau di luar jangkauan pemerintahan
pusat Batavia atau di tempa oleh pendidikan non formal lainnya seperti pesantren, ini untuk mereka yang biasanya orang tuanya berprofesi sebagai petani, nelayan
atau pekerja kasar lainnya umumnya perekonomian mereka cukup rendah. Keadaan demikian terjadi pula pada pribumi-pribumi Muslim di daerah Jawa
Barat seperti Banten, Krawang, Cirebon, dan Priangan. Sekolah-sekolah tradisional milik Muslim biasanya ada yang menjadi
cabang-cabang perkembangan Tarekat. Dalam penelitian K.F.Holle selama di Jawa misalnya bahwa manifestasi perkembangan Tarekat ini bisa di lihat dari
tumbuhnya sekolah sekolah tradisional keagamaan Muslim dan meningkatnya jumlah orang yang berangkat ibadah haji. Dan dalam bahasa Sartono Kartodirjo
inilah menjadi tanda semangat keagamaan pribumi Muslim.
34
Dalam agenda perayaan-perayaan keagamaan sangat menarik massa dalam jumlah besar di Batavia. Hari-hari raya Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, Isra
Mi’raj dan Maulid Nabi menarik ribuan muslim untuk ke masjid-masjid besar terutama bila ada penceramah yang menjadi panutan atau favorit warga. Semisal
33
Sebutan untuk orang Islam Betawi .lihat Abdul Aziz. Islam dan Masyarakat Betawi.1998. h.83
34
Sartono Kartodirdjo. The Peasant‟s Revolt of Banten in 1888; it‟s Conditions, Course and
Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia. ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff,
1966.h.141-142
dalam peringatan Isra Mi’raj yang biasanya dalam kalender Islam di selenggarakan pada tanggal 27 Rajab di masjid-masjid ,warga pribumi Batavia
mendatangi Masjid Pekojan untuk mendengar ceramah Isra Mi’raj dari Sayyid Ali bin ‘Abd-al’Rahman al-Habashi. Para jamaahnya banyak berasal dari luar kota
Ommelanden Batavia,Tandjung Priok,Meester Cornelis, dan Tangerang.
35
Dalam ceramah-ceramah tersebut mereka di berikan ketauladanan Nabi Muhammad SAW , keutamaan tanah Suci Mekkah dan Madinah sebagai pusat
”ngelmu” dan pusat informasi umat Muslim serta keutamaan mengunjunginya. Hal ini ditambah motivasi orang-orang yang pernah melaksanakannya, menjadi
penyemangat pribumi untuk menjalankan ibadah haji dan karena niat awal mereka yang besar ,walau tidak didukung perbekalan yang cukup. Dan menurut van
Bruinessen semuanya adalah karena motivasi untuk mencari pahala lebih di tanah Suci.
36
Pemberitaan koran Berita Nahdhatoel Oelama terbitan tahun 1940 menggambarkan kondisi jamaah haji selama masa kolonial:
“….Sesoenggoehnja soedah lama mereka itoe menderita kesoelitan dan kesoekaran dalam perdjalanannja, baik di daratan maoepoen di laoetan, karena
mereka tidak diatoer dengan atoeran jang mengikuti perintah agama Islam dan menghargai derajat kaoem muslimin In
donesia”. oleh karena,
“Kalaoe tidak karena seroean agama jang wadjib ditoenaikan nistjajalah mereka tidak akan melaloei djalan jang sangat sengsara itoe”.
37
Kesulitan-kesulitan yang akan di hadapi jamaah Haji setiap tahun secara historis selalu terjadi, tetapi kemudian bagi jamaah Haji kesulitan
tersebut adalah bagian dari ibadah haji itu sendiri. Dan kesulitan dalam
35
Perayaan Isra Mi’raj kadang tidak hanya di adakan di masjid namun juga di langgar- langgar. G.F.Pijper. Fragmentica Islamica:Studien over het Islamisme in Nederlandsche-Indie.
Leiden:E.J.Brill,1934.h.133
36
Martin van Bruinessen. Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci:Orang Nusantara Naik Haji.
Jakarta:Jurnal Ulumul Qur’an, No.5 Vol II, 1990
37
Berita Nahdhatoel Oelama, No.8, Tahun ke-10, November 1940
perjalanan ibadah haji itu bagi jamaah adalah peluang untuk mendapat pahala dan haji mabrur.
2. Pengaruh-Pengaruh Politik
a. Keadaan Politik Dalam Negeri
Pemerintah penjajah sejak masa VOC menganggap bahwa para jamaah haji membahayakan kekuasaan mereka dan mengganggu terpeliharanya rust en
orde. Secara historis, memang banyak orang-orang yang telah berhaji yang
memimpin perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Di zaman prakolonial, kedudukan istimewa secara kultural ini membuat seorang haji dapat memupuk
kekuatan.
38
Kenyataannya seperti pemberontakan kaum Padri di Sumatra tahun 1803, pemberontakan Diponegoro di Jawa Tengah tahun 1825-1830, Jihad di
Aceh tahun 1873, dan Jihad Petani di Cilegon Banten tahun 1888, perlawanan terhadap penjajah yang banyak menguras kas Hindia-Belanda.
39
Dan kalau kita lebih melihat pemberontakan fisik tersebut merupakan gerakan yang ditunjukkan
kaum Muslimin di motori oleh para haji dan Ulama.
40
Pada tahun 1825 Residen Batavia telah melaporkan, bahwa setiap tahun jumlah orang yang pergi haji terus meningkat dan para haji ini tidak mau bekerja
lagi, sedangkan orang pribumi percaya bahwa para haji itu mempunyai kekuatan gaib.
41
Oleh karena Resolutie tahun 1825, secara umum, dalam konteks politik ialah agar para jama’ah Haji dapat dikendalikan kolonial. Sebagai upaya untuk
38
Muhammad Hisyam. Kebijakan Haji Masa Kolonial Kumpulan artikel ilmiah Sejarah dan Dialog Peradaban: Persembahan 70 Tahun Prof.Dr.Taufik Abdullah
. Jakarta:LIPI Press,2005. h.335
39
Karel A Steenbrink. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.h.25-27
40
Departemen Pendidikan Nasional, Peranan Elit Agama Pada Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional, 2000, hal.15
41
Karel A.Steenbrink. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke- 19.
Jakarta:Bulan Bintang, 1984.h.236
mencegah “gerakan” orang-orang yang telah melaksanakan haji yang biasa
menumbuhkan fanatisme beragama.
42
Dalam laporan kolonial jumlah pribumi Muslim Batavia yang berpengaruh hingga akhir tahun 1887 di hitung dari jumlah
jawara mencapai 22906 orang, 3886 jumlah yang sudah berhaji, dan 1134 guru agama. Bila di representasikan dari jumlah populasi di Karesidenan Batavia saat
itu yang mencapai 937.289 orang, artinya ada 0,53 orang yang berpengaruh.
43
Akibat terjadinya perlawanan oleh para Ulama kepada Kolonial, akhirnya pemerintah Hindia Belanda berusaha membatasi perjalanan haji ke Mekkah.
Kepercayaan masyarakat yang terlalu fanatik terhadap para haji di takutkan Belanda dapat membawa pengaruh negatif bagi eksistensi pemerintah Kolonial.
Menurut Aqib Suminto dasar inilah yang membuat pemerintah Belanda mengeluarkan berbagai peraturan yang bertujuan untuk mempersulit Umat Islam
ke Mekkah, lalu dikeluarkanlah ordonansi yang antara lain, berisi larangan bagi umat Islam Jawa untuk pergi ke Mekkah tanpa disertai surat pas jalan.
44
Pembatasan ibadah haji ini merupakan suatu keinginan dasar kompeni. Menurut kesimpulan Vradenbergt bahwa jelas adanya hubungan antara seringnya
pribumi beribadah haji dan kasus pemberontakan terhadap penguasa kolonial.
45
Sedangkan menurut Snouck Hurgronje soal usaha pemerintah dalam pembatasan calon jama’ah haji mungkin akan sangat sia-sia. Dalam menanggapi surat kiriman
rahasia dari Residen Banten tertanggal 11 Maret 1890 No.47 soal usaha pembendungan calon jama’ah Haji, menurutnya:
42
M.Dien Madjid. Berhaji Di Masa Kolonial. Jakarta:CV Sejahtera, 2008 .h.82-83
43
Sartono Kartodirdjo dalam The Peasant‟s Revolt of Banten in 1888; it‟s Conditions, Course
and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia. ,1966:332
44
Aqib Suminto. Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta:LP3ES, 1996.h.10
45
Jacob Vradenbergt.Ibadah Haji:Beberapa Ciri dan Fungsi di Indonesia.Dalam Kumpulan Tulisan Dick Douwes Nico Kaptein.Indonesia dan Haji.Jakarta:INIS,1997.h.7
“Pembendungan tersebut pastilah jauh lebih sulit sekarang daripada dulu, mengingat sarana komunikasi yang sudah lebih mudah. Didaerah-daerah yang
sudah lama Haji merupakan tujuan cita-cita yang disukai banyak orang, sebaliknya saya menganggap bahwa pada umumnya semua perlawanan
terhadap penambahan jumlah haji akan sia-sia, bahkan lebih dari itu, tak pantas
dianjurkan.”
46
Cara terpenting untuk itu adalah seharusnya pengawasan terus-menerus terhadap ilmu-ilmu Islam yang berkembang sekitaran penduduk.
47
Atau cara lain dengan mengalirkan semangat pribumi ke arah lain, maksudnya seperti
mengayunkan pribumi menuju kebudayaan Belanda, untuk menjauhkan keinginan untuk berhaji.
48
Karena persoalan ini, dalam penanggulangannya menurut Hurgronje
dalam tulisannya tentang “politik Haji” tahun 1899 ,pemerintah juga harus membuat peraturan secara hati-hati terhadap jabatan
penghulu ,anggota dewan ulama, guru pesantren dan seterusnya, mekanismenya harus sebagai berikut:
“Setiap guru pesantren atau langgar, untuk dapat menempati kedudukan itu.harus terlebih dahulu mendapat izin bupatinya, dan izin ini akan diberikan
sesudah memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai kelayakan bekerja, prilaku, dari kepala distrik dan pihak berwajib lainnya. Jika kelak ternyata ia
telah berbuat hal yang tidak baik atau memberikan ajaran yang membahayakan,maka izin tersebut akan dicabut, atau diambil tindakan yang
lebih keras terhadap orang yang telah membuat pelanggaran. Sewaktu-waktu sang guru harus melaporkan kitab-kitab apa yang dipergunakan untuk memberi
pelajaran, berapa banyak jumlah muridnya dan dari mana asal mereka.”
49
Pengamatan ini merunut secara kronologis akibat dari pemberontakan pribumi Muslim yang dalam perspektif kolonial dari gerakan Tarekat namun juga
dikaitkan dengan perkembangan haji di Nusantara. Di wilayah Batavia sendiri,
46
Surat Snouck Hurgronje kepada Sekretariat Umum di Batavia, 26 Maret 1890 . Gobee,E dan C,Adriaanse. Nasihat-Nasihat C.Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada
Pemerintah Hindia Belanda;1889-1936. Jakarta: INIS, 1993. Seri Khusus INIS Jilid VIII.h.1411
47
C.Adrianse E Gobee…Nasihat-Nasihat C.Snouck Hurgronje…Jilid X h.1413
48
Tulisan Snouck dalam Nederland en de Islam, dikutip oleh M.Aqib Suminto.Politik Islam Hindia Belanda:Het Kantoor voor Inlandsche Zaken.
Jakarta:LP3ES,1985.h.96
49
C.Snouck Hurgronje.Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje.Jakarta:INIS,1993, Jilid VIII. h.112