Bentuk Jaminan Objek Jaminan
Keterangan
Hak Tanggungan Tanah yang berstatus hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
utang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor- kreditor lain preferen.
Hipotek barang-barang tak bergerak yang dapat
diperdagangkan beserta
semua yang
termasuk bagiannya, sejauh hal yang tersebut terakhir ini dianggap sebagai
barang tak bergerak; hak pakai barang- barang itu dengan segala sesuatu yang
termasuk bagiannya; hak numpang karang dan hak usaha; bunga tanah yang terutang
baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk hasil tanah; hak sepersepuluh;
bazar atau pecan raya yang diakui oleh pemerintah beserta hak istimewanya yang
melekat
suatu hak kebendaan atas benda-benda tak
bergerak, untuk
mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan
bagi suatu perikatan
Gadai Benda bergerak baik berwujud maupun
tidak berwujud suatu
hak yang
diperoleh seorang
berpiutang atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya
oleh seseorang berutang atau seorang lain
atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu
untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut
secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya.
Fidusia Benda bergerak; baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud, Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak
dapat dibebani hak tanggungan. pengalihan hak kepemilikan suatu benda
atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa bendayang hak kepemilikannya
dialihkan
tersebut tetap
dalam penguasaan pemilik benda.
32
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENYITAAN
Dalam hukum jaminan tindakan penyitaan merupakan suatu hal yang sangat umum dilakukan. Tindakan penyitaan biasanya dilakukan ketika seorang debitor
tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran hutang sebagaimana telah disepakati dalam perjanjiannya dengan kreditor, mengenai
perjanjian diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek pasal 1338 menyatakan : “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam jaminan fidusia, tindakan penyitaan merupakan suatu hal yang biasa
dilakukan karena seorang pemberi fidusia tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran hutang. Proses penyitaan dalam hukum jaminan
fidusia diatur dalam pasal 29 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
A. Tujuan Penyitaan
Penyitaan berasal dari terminologi Beslag Belanda, namun istilah bakunya ialah kata sita atau penyitaan. Sita merupakan tindakan hukum yang diambil
pengadilan mendahului pemeriksaan pokok perkara atau mendahului putusan. Sering sita itu dilakukan pada saat proses pemeriksaan perkara sedang berjalan.
Tujuan utama dari penyitaan adalah agar tergugat tidak memindahkan atau membebankan harta kekayaan kepada pihak ke tiga. Inilah yang menjadi salah satu
tujuan sita jaminan yaitu untuk menjaga keutuhan keberadaan harta atau harta kekayaan tergugat selama proses pemeriksaan perkara berlangsung sampai perkara
memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.
1
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sita jaminan merupakan upaya agar tercipta keutuhan dan keberadaan harta yang disita sampai keputusan dapat di
eksekusi, hal ini menjaga agar gugatan pada saat proses eksekusi tiba tidak hampa Pasal 213 Rbg. Sedangkan perbuatan seorang tergugat yang memindah tangankan
benda yang menjadi objek sitaan diatur dalam Pasal 215 Rbg yaitu :
“Demi hukum melarang tergugat untuk menjual, memindahkan barang sitaan kepada siapa pun”.
Pelanggaran atas itu menimbulkan dua akibat hukum, yaitu :
1. Akibat hukum dari segi perdata
Apabila barang menjadi objek sengketa dilakukan tindakan jual beli atau penindasan hak atau barang tersebut maka tindakan atau perbuatan tersebut batal
demi hukum. Akibat dari batalnya demi perbuatan tindakan tersebut, secara hukum, status barang tersebut kembali menjadi dalam keadaan semula sebagai barang sitaan,
1
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti , 2000, h. 57.
sehingga tindakan atau perbuatan pemindahan hak atas barang dianggap tidak pernah terjadi never existed. Ini diatur dalam Pasal 215 Rbg.
2. Akibat hukum dari segi pidana
Dalam hukum pidana, apabila pihak tergugat yang kena sita melakukan penjualan atau pemindahan hak dan barang-barang menjadi sengketa, diancam sesuai
Pasal 231 KUHP, tindakan pidana yang diancam dengan Pasal 231 KUHP ini adalah berupa tindak kejahatan yang dengan sengaja melepas barang yang telah dijatuhi sita
menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindak kejahatan ini diancam dengan pidana penjara maksimal 4 tahun.
Dengan mengaitkan tujuan penyitaan dengan ketentuan Pasal 215 Rbg dan Pasal 231 KUH Perdata, tujuan penyitaan adalah jaminan perlindungan yang
kuat bagi penggugat atas terpenuhinya pelaksanaan putusan pengadilan pada saat eksekusi dijalankan.
2
Namun selain itu ada tujuan lain yang tidak kalah penting dalam penyitaan, yaitu untuk memastikan objek eksekusi atas kemenangan
penggugat, atau disimpulkan objek eksekusi sudah pasti. Hal ini menjaga agar kemenangan penggugat tidak ilusioner hampa sehingga kemenangan penggugat
ada suatu materinya. Barang yang menjadi objek sitaan dapat langsung menjadi objek eksekusi. Ini dapat kita lihat pada Pasal 214 Rbg yang menegaskan bahwa
2
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 286.