Tujuan Penyitaan TINJAUAN UMUM TENTANG PENYITAAN

sehingga tindakan atau perbuatan pemindahan hak atas barang dianggap tidak pernah terjadi never existed. Ini diatur dalam Pasal 215 Rbg. 2. Akibat hukum dari segi pidana Dalam hukum pidana, apabila pihak tergugat yang kena sita melakukan penjualan atau pemindahan hak dan barang-barang menjadi sengketa, diancam sesuai Pasal 231 KUHP, tindakan pidana yang diancam dengan Pasal 231 KUHP ini adalah berupa tindak kejahatan yang dengan sengaja melepas barang yang telah dijatuhi sita menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindak kejahatan ini diancam dengan pidana penjara maksimal 4 tahun. Dengan mengaitkan tujuan penyitaan dengan ketentuan Pasal 215 Rbg dan Pasal 231 KUH Perdata, tujuan penyitaan adalah jaminan perlindungan yang kuat bagi penggugat atas terpenuhinya pelaksanaan putusan pengadilan pada saat eksekusi dijalankan. 2 Namun selain itu ada tujuan lain yang tidak kalah penting dalam penyitaan, yaitu untuk memastikan objek eksekusi atas kemenangan penggugat, atau disimpulkan objek eksekusi sudah pasti. Hal ini menjaga agar kemenangan penggugat tidak ilusioner hampa sehingga kemenangan penggugat ada suatu materinya. Barang yang menjadi objek sitaan dapat langsung menjadi objek eksekusi. Ini dapat kita lihat pada Pasal 214 Rbg yang menegaskan bahwa 2 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 286. setiap barang yang disita dilarang diperjual belikan atau dipindahkan tergugat kepada pihak ketiga atau pihak lain. Dalam hal ini perbuatan jual beli merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam Pasal 214 Rbg, dimana jual beli akan batal demi hukum apabila terlebih dahulu telah didaftarkan dan diumumkan. Dalam kasus seperti itu, sita masih tetap menjangkau pihak ketiga atau pihak lain yang ingin memiliki harta sitaan tersebut, sehingga eksekusi dapat dilaksanakan dan tanpa halangan. 3 Kepastian objek eksekusi atas barang sitaan semakin sempurna sesuai dengan penegasan MA yang menyatakan, bila putusan telah berkekuatan hukum tetap maka barang yang disita demi hukum langsung menjadi sita eksekusi. Penegasan MA memberi kepastian atas objek eksekusi yang apabila telah berketentuan hukum tetap kemenangan atas penggugat dapat langsung dijamin dengan pasti terhadap adanya barang sitaan tersebut. Apabila kita lihat penjelasan di atas, kita bisa memahami tentang tujuan pokok dari penyitaan yaitu : Pertama, untuk melindungi kepentingan penggugat dari itikad buruk tergugat sehingga gugatan menjadi tidak hampa ilusioner, pada saat putusan telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, memberi jaminan kepastian hukum bagi Penggugat terhadap kepastian terhadap objek eksekusi apabila keputusan telah berkekuatan hukum tetap. 4 3 M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Bandung,: Pustaka, 1990, h. 9. 4 Himpunan Tanya Jawab Rakerda, MA RI, 1987-1962, h. 177.

B. Syarat dan Alasan Penyitaan

Penyitaan tidaklah mungkin dapat dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat yang telah ada dan berlaku sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun kecukupan syarat-syarat tidaklah cukup dan sempurna apabila tidak dibarengi dengan adanya alasan-alasan penyitaan. Syarat penyitaan harus melalui adanya permohonan sita kepada hakim. Hakim tentunya akan mempelajari permohonan sita tersebut sesuai dengan tata cara pengajuan permohonan yang berlaku. Syarat penyitaan berdasarkan permohonan sita merupakan hal yang mendasar, sebab hakim tidaklah akan menjatuhkan sita apabila tidak ada inisiatif dari pengugat yang mengajukan permohonan sita. Biasanya dalam suatu permohonan sita diajukan bersama-sama dalam surat gugatan. Bentuk dan tata cara pengguna permohonan sita jaminan yang seperti ini lazim dijumpai. Penggugat mengajukan permohonan sita secara tertulis dalam bentuk surat gugatan, sekaligus bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok. Pengajuan permohonan sita dalam bentuk ini tidak dapat dipisahkan dari dalil gugatan pokok. Namun ada kalanya permohonan sita diajukan terpisah dari pokok perkara, pada bentuk permohonan ini penggugat membuatnya atau menyiapkannya dalam bentuk tersendiri yang terpisah dari gugatan pokok perkara. Disamping gugatan perkara, penggugat dapat mengajukan permohonan sita dalam surat yang lain, bahkan dimungkinkan dan dibolehkan pengajuan permohonan sita tersendiri secara lisan. Namun didalam prakteknya, bentuk permohonan sita tersendiri secara lisan jarang terjadi. Tetapi pada hakekatnya, kelangkaan praktek itu bukan berarti dapat melenyapkan hak penggugat untuk mengajukan permohonan sita secara lisan. 5 Sedangkan penentuan tenggang waktu pengajuan permohonan sita diatur dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg. Yang mana tenggang waktu untuk mengajukan permohonan sita jaminan adalah selama putusan belum dijatuhkan atau selama belum ada berkekuatan hukum tetap. Jadi selama putusan perkara belum diputus oleh hakim atau selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, masih terbuka hak dan kesempatan untuk mengajukan permohonan sita. Permohonan sita yang telah dimohonkan tadi selayaknya disempurnakan dengan adanya alasan sita. Sangat mustahil sekali hakim mau mengabulkan sita apabila tidak dibarengi dengan suatu alasan sita yang kuat. Mengingat sangat eksepsionalnya sifat sita atau penyitaan, maka hakim harus benar-benar mengamati, memperhatikan, serta menimbang alasan sita tersebut dengan teliti. Jangan sampai permohonan sita itu dikabulkan tanpa mengkaji alasan yang dibenarkan oleh hukum. Dalam permasalahan kewenangan memerintahkan pelaksanaan sita, masih terdapat perbedaan pendapat diantara praktisi hukum. Pendapat pertama, mutlak 5 M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, h. 25. menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Menurut pendapat ini, hanyalah Pengadilan Negeri yang mempunyai kewenangan atas sita. Di dalam undang-undang tidak ada kewenangan yang diberikan kepada Pengadilan Tinggi PT sebagai instansi tingkat banding. Pendapat kedua, Pengadilan Tinggi PT berwewenang memerintah sita. Menurut pendapat Prof. R. Subekti 6 , Permohonan penyitaan dapat diajukan kepada Pengadilan Tinggi PT selama pokok perkaranya belum diputus oleh pengadilan tingkat banding. Alasan beliau berpijak pada Pasal 261 Rbg yang di dalamnya terdapat kalimat “Sebelum putusan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Di sini Prof. R. Subekti menyimpulkan kalimat tersebut menunjukan bahwa permohonan sita dapat juga ditujukan kepada PT selama pokok perkaranya sebelum diputus dalam tingkat banding. Seperti kita ketahui sebelumnya, permohonan sita hanya boleh dikabulkan dan diletakan terhadap barang-barang yang ditunjuk penggugat. Penunjukan ini diwajibkan terhadap barang yang ditunjuk secara jelas dan pasti, baik mengenai sifat, letak, ukuran yang berkaitan dengan identitas barang. Kewajiban penggugat sehubungan dengan penunjukan barang yang diminta untuk disita harus menjelaskan letak, sifat, dan ukuran barang, mengemukakan surat-surat yang berkenaan dengan identitas barang bukti surat barang, penegasan positif status barang adalah milik tergugat. 6 R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Bina Cipta ,1977, h. 49.

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan (Studi Pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM Sumatera Utara)

3 60 89

Perlindungan Hak Kreditor Dengan Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

0 10 149

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA YANG DILAKUKAN OLEH LEMBAGA LEASING BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

3 58 18

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Eksekusi Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No. 09/Pdt./2014/PT.TK).

0 3 16

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Eksekusi Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No. 09/Pdt./2014/PT.TK).

0 2 12

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR DENGAN JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA.

0 0 88

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR DENGAN JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA.

0 1 88

UPAYA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

0 0 18

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR DENGAN JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA SKRIPSI

0 0 62

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR DENGAN JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA SKRIPSI

0 0 62