Syarat dan Alasan Penyitaan

menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Menurut pendapat ini, hanyalah Pengadilan Negeri yang mempunyai kewenangan atas sita. Di dalam undang-undang tidak ada kewenangan yang diberikan kepada Pengadilan Tinggi PT sebagai instansi tingkat banding. Pendapat kedua, Pengadilan Tinggi PT berwewenang memerintah sita. Menurut pendapat Prof. R. Subekti 6 , Permohonan penyitaan dapat diajukan kepada Pengadilan Tinggi PT selama pokok perkaranya belum diputus oleh pengadilan tingkat banding. Alasan beliau berpijak pada Pasal 261 Rbg yang di dalamnya terdapat kalimat “Sebelum putusan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Di sini Prof. R. Subekti menyimpulkan kalimat tersebut menunjukan bahwa permohonan sita dapat juga ditujukan kepada PT selama pokok perkaranya sebelum diputus dalam tingkat banding. Seperti kita ketahui sebelumnya, permohonan sita hanya boleh dikabulkan dan diletakan terhadap barang-barang yang ditunjuk penggugat. Penunjukan ini diwajibkan terhadap barang yang ditunjuk secara jelas dan pasti, baik mengenai sifat, letak, ukuran yang berkaitan dengan identitas barang. Kewajiban penggugat sehubungan dengan penunjukan barang yang diminta untuk disita harus menjelaskan letak, sifat, dan ukuran barang, mengemukakan surat-surat yang berkenaan dengan identitas barang bukti surat barang, penegasan positif status barang adalah milik tergugat. 6 R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Bina Cipta ,1977, h. 49. Namun di antara beberapa unsur kewajiban di atas, ada yang berpendapat tidak mutlak penggugat harus dapat menunjukan atau mengajukan surat identitas atau surat bukti barang. Menurut praktek yang sudah ada, dianggap cukup bila penggugat telah mampu menjelaskan unsur, sifat, letak dan ukurannya, ditambah dengan unsur penegasan yang positif bahwa barang itu milik tergugat atau setidak- tidaknya dalam kekuasan tergugat. Intinya adalah penggugat tidak boleh menyebutkan barang objek sita secara umum, meskipun Pasal 1311 KUH Perdata menegaskan segala harta kekayaan kreditor menjadi tanggungan untuk membayar utangnya. 7 Pada diri hakim tidak ada kewajiban hukum untuk mencari dan menemukan identitas atau rincian barang yang menjadi objek sita. Hal ini adalah mutlak kewajiban penggugat. Oleh karena itu, sangat mustahil bagi penggugat meminta hakim mencari dan menemukan identitas barang yang hendak disita, karena penyitaan adalah untuk kepentingan penggugat maka dialah yang mesti menyebut identitasnya secara terang dan pasti. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa upaya penyitaan adalah tindakan yang bersifat eksepsional dan merupakan perampasan harta kekayaan tergugat. Jadi permohonan sita atau penyitaan harus berdasarkan alasan yang kuat. Di dalam pengajuan gugatan, penggugat harus dapat menunjukan kepada hakim 7 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 291. tentang adanya relevansi dan urgensi penyitaan dilakukan dalam perkara yang bersangkutan. Ditinjau dari ketentuan Pasal 261 Rbg maupun Pasal 720 Rv, alasan-alasan pokok permintaan sita, yaitu : Pertama, adanya kekhawatiran atau persangkaan bahwa tergugat berusaha mencari akal guna menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, di mana dilakukan selama proses pemeriksaan perkara berlangsung. Kedua, kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan mempunyai sifat yang objektif, yaitu Penggugat harus mampu menunjukan fakta- fakta tentang adanya langkah-langkah tergugat untuk menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, selama proses pemeriksaan perkara berlangsung. Sekurang-kurangnya, penggugat dapat menunjukan adanya indikasi objektif tentang adanya upaya untuk menghilangkan atau mengasingkan barang-barangnya guna menghindari isi gugatan penggugat. Sesuai dengan pendapat Prof. Supomo yang menjelaskan bahwa dalam peradilan perdata tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum perdata. Hakim harus mampu melihat bahwa seandainya sita tidak diajukan akan menimbulkan kerugian dari pihak penggugat. 8 Kesimpulannya, penggugat tidak dibenarkan mendasarkan kekhawatiran dan persangkaan secara pribadi saja terhadap tergugat untuk mengajukan sita. Berdasarkan Pasal 261 Rbg atau Pasal 720 Rv, alasan dapat dikatakan objektif apabila dilengkapi dengan fakta-fakta atau petunjuk-petunjuk yang nyata. Hal ini diharuskan karena hakim dapat menolak permohonan sita apabila alasan sita tidak 8 K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBGHIR, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, h. 9. kuat. Karena menurut undang-undang, yang berhak menilai alasan sita adalah hakim. 9

C. Macam-macam penyitaan Beslag

Secara garis besar penyitaan bisa dikategorikan ke dalam dua bentuk. Yaitu penyitaan yang melalui proses peradilan dan penyitaan yang tidak melalui proses peradilan, berikut penulis paparkan kedua bentuk penyitaan tersebut.

1. Judicial Execution

Judicial execution merupakan eksekusi atau penyitaan yang dalam proses pelaksanannya harus melalui jalur peradilan. Dalam prakteknya terdapat beberapa macam bentuk penyitaan yang dilakukan melalui proses peradilan, berikut penulis paparkan macam-macam bentuknya.

a. Sita Revindikasi Revindikatoir Beslag

Permintaan untuk mengajukan permohonan sita revindikasi dapat diajukan secara lisan maupun tertulis kepada ketua Pengadilan Negeri PN, dimana tempat orang yang memegang barang tersebut tinggal. Hal ini agar penyitaan atas barang sitaan jauh lebih mudah. Menurut Pasal 1977 ayat 2 KUH Perdata dan Pasal 1751 KUH Perdata disebutkan bahwa hanyalah pemilik benda yang bergerak yang 9 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 2010 h. 89. barangnya dikuasai orang lain yang dapat mengajukan sita revindikasi. Hal ini juga berlaku kepada hak reklame, yaitu hak daripada penjual barang bergerak untuk meminta kembali barangnya apabila harga barang tidak dibayar. Pemilik barang tersebut juga dapat mengajukan sita revindikasi Pasal 1145 KUH Perdata dan Pasal 232 KUH Dagang. Tuntutan revindikasi ini dapat dikabulkan langsung terhadap orang yang menguasai barang sengketa tanpa meminta pembatalan lebih dahulu tentang jual beli dan barang yang dilakukan oleh orang tersebut dengan pihak lain. 10 Ada beberapa ciri khas dari bentuk sita revindikasi yaitu antara lain benda yang menjadi objek sengketa tersebut telah dikuasai atau berada di tangan tergugat secara tidak sah atau dengan cara melawan hukum atau dengan mana tergugat tidak berhak atasnya. Ciri khas lainnya pada bentuk sita revindikasi adalah, sita revindikasi hanya terbatas pada benda bergerak saja, sehingga tidak mungkin diajukan dan dikabulkan terhadap benda tidak bergerak, walaupun dalil gugatan berdasarkan hak milik. Menurut Pasal 505 KUH Perdata barang bergerak ini dapat dibagi atas benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan. 11 10 R. Subekti, Kumpulan Putusan MA, Jakarta : Gunung Agung, 1965, h. 243. 11 P. N. H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2009, h. 206.

b. Sita marital Maritale beslag

Sita Marital adalah sita yang didasarkan pada sengketa yang timbul antara suami istri, seperti pada perkara perceraian, pada perkara pembagian harta bersama atau pada perbuatan yang membahayakan harta bersama. Apabila kita mengaitkan Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan PP No .9 Tahun 1975, ada isyarat hak bagi istri atau suami yang mengajukan permintaan sita terhadap harta perkawinan selama proses pemeriksaan perkara perceraian berlangsung. Penerapan sita marital meliputi seluruh harta perkawinan terutama apabila terjadi perceraian huwelijksantbinding yang diartikan bagi seluruh harta kekayaan bersama harta gono-gini baik yang ada pada suami maupun yang ada pada istri. Jadi, maritale beslag tidak meliputi harta bawaan atau harta pribadi suami atau istri. Tentang penjualan harta bersama yang telah disita adalah atas izin hakim berdasarkan putusan. 12 Mengenai permohonan izin penjualan harta bersama, izin penjualan tersebut bersifat voluntair bukan bersifat contentiosa atau bersifat partai. 13 Ini diajukan guna mempermudah proses beracara dalam permohonan izin untuk penjualan barang sitaan oleh pengadilan. 12 M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, h. 149. 13 Ibid, h. 150.

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan (Studi Pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM Sumatera Utara)

3 60 89

Perlindungan Hak Kreditor Dengan Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

0 10 149

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA YANG DILAKUKAN OLEH LEMBAGA LEASING BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

3 58 18

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Eksekusi Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No. 09/Pdt./2014/PT.TK).

0 3 16

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Eksekusi Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No. 09/Pdt./2014/PT.TK).

0 2 12

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR DENGAN JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA.

0 0 88

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR DENGAN JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA.

0 1 88

UPAYA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

0 0 18

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR DENGAN JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA SKRIPSI

0 0 62

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR DENGAN JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA SKRIPSI

0 0 62