b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat 2, obyek Hak Tanggungan
dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak
Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya”. Pada Pasal 20 ayat 1 huruf a di atas, dinyatakan bahwa apabila kreditor
cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-
undang Hak Tanggungan.
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.
Secara substansial unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 6 tersebut menunjukkan adanya dua hal penting manakala kreditor wanprestasi, yaitu peralihan
hak dan pelaksanaan hak bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama. Dalam pasal tersebut, hak kreditor dalam hal kreditor cidera janji, untuk menjual obyek Hak
Tanggungan melalui lelang sudah diberikan oleh undang-undang sendiri kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan yang pertama.
Dalam praktiknya saat ini, Parate Eksekusi Hak Tanggungan merupakan alternatif penyelesaian kredit bermasalah yang banyak digunakan oleh lembaga
keuangan di Indonesia, khususnya oleh perbankan. Alternatif penyelesaian kredit
bermasalah menggunakan Parate Eksekusi Hak Tanggungan ini lebih disukai oleh perbankan karena proses penyelesaiannya relatif lebih sederhana dan cepat, serta
biaya yang dikeluarkan relatif kecil.
26
Sedangkan dalam UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia parate eksekusi disebut dalam pasal 15 ayat 2 dan 3 yang berbunyi sebagai berikut :
2 Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 3 Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak menjual
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri. Dalam penjelasan UU ini yang dimaksud dengan kekuatan eksekutorial adalah
langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
26
Ibid, h. 63-64.
54
BAB IV ANALISIS HUKUM KEKUATAN EKSEKUTORIAL
SERTIPIKAT JAMINAN FIDUSIA
A. Sertipikat Jaminan Fidusia Menurut UU Jaminan Fidusia
Sertipikat Jaminan Fidusia yang dipegang oleh penerima fidusia sebagai tanda bukti adanya hak hukum yang dimiliki oleh penerima fidusia tidak serta merta ada
setelah perjanjian kedua belah pihak lahir. Adanya Sertipikat Jaminan Fidusia harus melalui proses sebagaimana diatur oleh undang-undang.
1. Proses Lahirnya Sertipikat Jaminan Fidusia
Proses lahirnya Sertipikat Jaminan Fidusia harus melalui tiga tahap, adapun tahap-tahap itu adalah sebagai berikut :
Tahap pertama adalah lahirnya perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang perjanjian kredit yang disepakati oleh pihak kreditor selaku orang yang
mempunyai piutang dan pihak debitor selaku orang yang mempunyai hutang. Seperti yang telah penulis jelaskan dalam bab satu bahwa untuk menjamin debitor agar
membayar utangnya, maka kreditor membutuhkan benda yang bisa dijadikan jaminan, sehingga apabila debitor cedera janji kreditor mempunyai kepastian hukum
agar uang yang dipinjamkan kepada debitor mampu terlunasi.
Tahap kedua adalah lahirnya Akta Jaminan Fidusia, Pasal 5 UU No. 42 Tahun 1999 menyatakan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia harus dibuat
dalam akta notaris. Adapun bunyi dari pasal tersebut adalah sebagai berikut :
“Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam Bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia”.
Berdasarkan bunyi pasal di atas, maka benda yang akan dijadikan objek jaminan fidusia wajib dituangkan dalam akta notaris berbahasa Indonesia. Dengan
begitu akta jaminan fidusia itu wajib adanya karena merupakan perintah dari undang- undang. Adapun isi dari akta jaminan fidusia tersebut sekurang-kurangnya memuat
hal-hal sebagai berikut : a. Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia;
b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; c. Uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia;
d. Nilai penjaminan; e. Nilai Benda yang menjadi objek jaminan Fidusia.
Lihat pasal 6 UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Tahap ketiga adalah tahap pendaftaran, setelah para pihak kreditor dan debitor melakukan kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian kredit, kemudian
membuat akta jaminan fidusia ke notaris, hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan pendaftaran. Pasal 11 ayat 1 UU No. 42 Tahun 1999 menyatakan :
“Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan”.
Berdasarkan pasal 11 dan 12 UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan pasal 2-4 Peraturan Pemerintah No. 86 tahun 2000 Tentang Tata Cara
Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, Pendaftaran benda yang menjadi objek jaminan fidusia harus dilakukan oleh
penerima fidusia, kuasa atau wakilnya. Pendaftaran itu sendiri dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia kemudian ditujukan kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia. Proses pendaftarannya adalah sebagai berikut :
a. Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia diajukan kepada Menteri Hukum dan HAM oleh Penerima Fidusia.
b. Permohonan pendaftaran diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia melalui Kantor Pendaftaran Fidusia dengan melampirkan pernyataan
pendaftaran Jaminan Fidusia. c. Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia;
d. Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia sebagaimana dilengkapi dengan : 1 Salinan akta notaris tentang pembebanan Jaminan Fidusia;
2 Surat kuasa atau surat pendelegasian wewenang untuk melakukan pendaftaran Jaminan Fidusia jika diwakilkan;
3 Bukti pembayaran biaya pendaftaran Jaminan Fidusia; 4 Mengisi formulir Pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia yang bentuk
dan isinya telah ditetapkan.