cm HASIL DAN PEMBAHASAN

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 4.17 Pola Kromatogram GCMS Senyawa B Data analisis spektrum IR dan GCMS dikonfirmasi kembali dengan menggunakan analisis yang terakhir yaitu H-NMR dan C- NMR. Interpretasi analisis NMR berupa nilai pergeseran kimia δ dalam satuan ppm Pavia et al., 2008. Gambar 4. 18 Spektrum H-NMR Senyawa B Analisis data NMR senyawa B dibandingkan dengan data NMR senyawa esterifikasi yang telah dilakukan oleh Indriyani 2015, yang melakukan esterifikasi dengan menggunakan etanol terhadap senyawa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hasil nitrasi APMS Senyawa A dengan metode reaksi yang sama sehingga menghasilkan senyawa etil 4-metoksi 6-nitrosinamat. Data perbandingan keduanya ditunjukkan pada tabel dengan panduan gambar berikut. Gambar 4.19 Struktur Senyawa B dan Etil 4-metoksi 6-nitrosinamat Tabel 4.2 Data Pergeseran Kimia δ Spektrum 1 H-NMR Senyawa Hasil Esterifikasi CDCL 3 , 500MHz No Pergeseran Kimia δ, ppm Senyawa Hasil Esterifikasi Po- sisi Etil 4-metoksi 6-nitrosinamat Indriyani, 2015 13 C-NMR 1 H-NMR 13 C-NMR 1 H-NMR 17 13,9028 0,95 t, 3H, J = 7,1 - - - 16 19,3396 1,42 quintet, 2H, J = 7,1 - - - 15 30,8810 1,68 sextet, 2H, J = 7,1 15 14,453 1,32 t, 3H, J = 7,15 11 56,9206 3,99 s, 3H 11 56,928 3,98 s, 3H 14 64,8184 4,20 q, 2H, J = 7,1 14 60,886 4,25 q, 2H, J = 7,15 6 114,0075 8,01 d, 1H, J = 9,1 6 114,053 7,99 d, 1H, J = 1,95 8 119,1296 7,69 d,d, 1H, J=9,1 8 114,053 7,67 d,d, 1H, J=9,1;1,95 2 125,1101 6,40 d, 1H, J = 16,3 2 119,146 6,37 d, 1H, J = 15,55 9 127,3612 7,11 d, 1H, J=9,1 9 125,089 7,11 d, 1H, J=9,1 4 133,6564 - 4 127,387 - 5 139,9517 - 5 133,616 - 3 141,6400 7,60 d, 1H, J = 16,3 3 141,666 7,59 d, 1H, J = 15,6 7 154,1352 - 7 154,142 - 1 166,7449 - 1 166,618 - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Interpretasi NMR senyawa B dibandingkan dengan hasil interpretasi NMR pada senyawa etil 4-metoksi 6-nitrosinamat pada penelitian Putri 2015. Spektrum 1 H-NMR memberikan sinyal pada pergeseran kimia 0,95 ppm 3H berbentuk triplet, 1,42 ppm 2H berbentuk quintet, 1,68 ppm 2H berbentuk sextet, dan pada 4,20 ppm 2H berbentuk quartet. Pada sinyal ini, terbentuk lebih downfield hal ini dikarenaan adanya ikatan dengan oksigen. Spektrum 1 H-NMR memberikan sinyal pada pergeseran kimia 3,99 ppm 3H dan muncul dengan bentuk singlet. Sinyal ini lebih ke arah downfield karena berikatan dengan oksigen -OCH3, metoksi. Pergeseran kimia 6,40 ppm 1H berbentuk doublet memiliki hubungan dengan puncak pada pergeseran kimia 7,60 ppm 1H yang berbentuk doublet, dengan rentang nilai konstanta kopling J = 16,3 Hz. Sinyal pergeseran kimia pada 8,01 ppm 1H dan 7,60 ppm 1H merupakan proton-proton dari benzen yang tersubstitusi. Pola sinyal pada pergeseran kimia 7,69 ppm menunjukkan bahwa 1 proton terkopling secara ortho dengan 1 proton pada sinyal 7,11 ppm dengan nilai konstanta kopling yaitu 9,1 Hz dan terkopling secara metha dengan 1 proton pada sinyal 8,01 ppm dengan nilai konstanta kopling yaitu 9,1 Hz. Dari data interpretasi IR, GCMS, 1 H-NMR, dan 13 C-NMR, senyawa hasil esterifikasi hasil nitrasi asam p-metoksisinamat adalah Butil 4-metoksi 6-nitrosinamat. 4.3 Pengujian Aktivitas Antiinflamasi dan Hubungan Struktur Aktivitas Senyawa Hasil Modifikasi Uji aktivitas antiinflamasi hasil modifikasi senyawa dilakukan secara in vitro dengan menggunakan metode inhibisi denaturasi protein Bovine Serum Albumin BSA. Pengujian ini dipilih karena mudah, hanya menggunakan sampel dalam jumlah sedikit, memiliki waktu analisis yang cepat dan merupakan uji pendahuluan yang dilakukan sebagai skrining awal aktivitas antiinflamasi Mufidah, 2014. Selain itu, uji in vitro lebih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menguntungkan dari uji in vivo karena menurut Chatterjee et al. 2012 banyak sekali masalah yang terjadi berkaitan dengan penggunaan hewan percobaan pada peneitian dalam bidang farmakologi, yaitu seperti masalah kode etik dan kurang rasional penggunaan metode tersebut apabila terdapat metode lain yang dapat digunakan Mufidah, 2014. Pada penelitian ini, uji aktivitas antiinflamasi in vitro dengan prinsip penghambatan denaturasi protein BSA Williams et al., 2008 dipilih untuk melakukan skrining awal aktivitas antiinflamasi pada senyawa hasil modifikasi. Penghambatan denaturasi protein, yang merupakan mekanisme utama AINS sebagaimana dinyatakan oleh Mizhushima 1964 sebelum ditemukannya efek inhibisi pada siklooksigenase oleh Vane 1971, mempunyai peran penting sebagai antirematik oleh AINS Umapathy et al., 2010. Tabel 4.3 Hasil Uji Aktivitas Antiinflamasi No Sampel Konsentrasi ppm Inhibisi 1 Natrium Diklofenak 0,1 1,59 1 2,99 10 24,93 100 97,43 2 Etil p-metoksisinamat 0,1 32,56 1 40,13 10 42,73 100 54,01 3 Asam p-metoksisinamat 0,1 -0,41 1 -0,31 10 -0,28 100 0,43 4 Butil 4-metoksi 6-nitrosinamat 0,1 32,065 1 28,960 10 25,260 100 -17,28 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 4.15 Grafik Persen Inhibisi Denaturasi Protein BSA Keterangan: NAD: Natrium diklofenak, EPMS: Etil p-metoksisinamat, APMS: Asam p- metoksisinamat, B4M6N: Butil 4-metoksi 6-nitrosinamat Suatu senyawa dianggap memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi jika pada uji inhibisi denaturasi BSA dengan rentang konsentrasi uji 50-0,035 ppm dapat memberikan persen inhibisi 20 William et al., 2008. Natrium diklofenak, sebagai kontrol positif, aktif dalam memberikan aktivitas sebagai antiinflamasi dimulai dari konsentrasi 10 ppm dengan persen inhibisi 24,930 dan pada konsentrasi 100 ppm dapat menghambat denaturasi protein sebesar 97,430 Indriyani, 2015. Sedangkan pada konsentrasi 0,1-1 ppm, natrium diklofenak tidak aktif sebagai agen antiinflamasi. Berbeda dengan senyawa EPMS yang mampu menghambat denturasi protein dengan baik, meskipun pada konsentrasi 0,1; 1; dan 10 ppm dengan persen inhibisi sebesar 32, 56; 40,13; dan 42,74. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa EPMS memiliki aktivitas antiinflamasi lebih baik dibandingkan dengan natrium diklofenak pada konsentrasi 0,1 – 10 ppm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa butil 4-metoksi 6- nitrosinamat memiliki aktivitas antiinflamasi pada konsentrasi rendah 0,1- 10 ppm dan tidak memiliki aktivitas pada konsentrasi tinggi 100 ppm. -40 -20 20 40 60 80 100 120 -20 20 40 60 80 100 120 NAD EPMS APMS B4M6N UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Berbeda dengan EPMS yang aktif sebagai agen antiinflamasi pada konsentrasi 0,1-100 ppm. Selain itu, persen inhibisi denaturasi protein senyawa butil 4-metoksi 6-nitrosinamat tidak lebih besar dibandingkan dengan senyawa EPMS. Sedangkan senyawa APMS tidak memiliki aktivitas antiinflamasi sama sekali. Hal ini dikarenakan hasil pengujian antidenaturasi protein BSA terhadap senyawa APMS memiliki nilai persen inhibisi di bawah 20 untuk semua konsentrasi yang diuji lihat Tabel 4.3. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa senyawa EPMS memiliki aktivitas antiinflamasi yang lebih baik dibandingkan dengan senyawa butil 4-metoksi 6-nitrosinamat dan APMS. Hal menarik yang dapat dibahas adalah adanya pengaruh gugus ester pada senyawa butil 4-metoksi 6-nitrosinamat dan EPMS terhadap aktivitas antiinflamasinya. Pada penelitian Mufidah 2014, modifikasi senyawa EPMS melalui reaksi transesterifikasi, yang menghasilkan senyawa metil p- metoksisinamat, dapat menghilangkan aktivitas antiinflamasinya. Selain itu, menghilangkan gugus ester dan menggantinya dengan gugus karboksilat juga dapat menghilangkan aktivitas antiinflamasi, seperti yang terjadi pada senyawa APMS. Sehingga dapat disimpulkan bahwa gugus ester pada turunan senyawa EPMS memiliki peran penting terhadap aktivitas antiinflamasi. SA Serum Albumin menunjukkan aktivitas seperti enzim esterase yang dapat digunakan untuk mengaktivasi prodrug seperti omesartan medoxomil menjadi obat aktif. Dengan kata lain, serum albumin mampu berikatan dengan baik dengan senyawa yang memiliki gugus ester dikarenakan sifatnya yang mirip seperti enzim esterase. Aktivitas SA terhadap gugus ester sangat dipengaruhi oleh kekuatan ikatan antara suatu molekul senyawa dengan asam amino spesifik yang terdapat pada SA Varshney et al, ; Sakurai et al, 2004. Hal ini semakin menguatkan pernyataan bahwa gugus ester pada senyawa butil 4-metoksi 6-nitrosinamat dan etil p-metoksisinamat berperan penting terhadap aktivitas antidenaturasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta protein. Berbeda dengan asam p-metoksisinamat yang tidak memiliki aktivitas antidenaturasi dan tidak juga memiliki gugus ester. Menurut Halen et al. 2009, modifikasi struktur AINS dengan penambahan gugus donor NO memiliki tujuan untuk mengurangi efek samping dari AINS dengan mempertahankan aliran darah mukosa lambung dan mencegah kepatuhan leukosit pada endotel vaskular sirkulasi splanknikus salah satu peristiwa paling awal setelah pemberian AINS sehingga dapat melawan efek merugikan dari COX-1 dan cedera mukosa tidak terjadi. Meskipun menurut Indriyani 2015 gugus NO 2 tidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas antiinflamasi senyawa modifikasi, namun ada kemungkinan penambahan gugus nitro pada senyawa hasil modifikasi EPMS mampu menurunkan efek sampingnya. Maka dari itu perlu dilakukan uji in vivo pada penelitian selanjutnya untuk mengetahui kemungkinan penurunan efek samping pada senyawa hasil modifikasi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

a. Senyawa etil p-metoksisinamat telah berhasil dimodifikasi melalui proses nitrasi-esterifikasi dengan 1-butanol menjadi butil 4-metoksi 6-nitrosinamat dengan rendemen sebesar 10,7241. b. Senyawa butil 4-metoksi 6-nitrosinamat aktif sebagai agen antiinflamasi pada konsentrasi 0,1-10 ppm, namun senyawa butil 4- metoksi 6-nitrosinamat tidak memiliki aktivitas antiinflamasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa etil p-metoksisinamat. c. Hubungan struktur aktivitas antiinflamasi terhadap senyawa hasil modifikasi menunjukkan bahwa gugus ester pada turunan senyawa EPMS memiliki peran penting terhadap aktivitas antiinflamasi.

5.2. Saran

a. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang pengujian aktivitas antiinflamasi senyawa butil 4-metoksi 6-nitrosinamat secara in vivo untuk melihat bagaimana efek penambahan gugus butil ester dan nitro terhadap efek samping senyawa antiinflamasi. b. Sebaiknya dilakukan identifikasi lebih lanjut dengan menggunakan HSQC dan HMBC untuk mengetahui letak gugus nitro yang lebih spesifik pada senyawa hasil modifikasi. 63 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR PUSTAKA Armando, R. 2009. Memproduksi Minyak Atsiri Berkualitas. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal. 51 Atta-ur-Rahman. 1986. Nuclear Magnetic Resonance. New York: Springer- Verlag. Aulia, Nova Sari. 2015. Modifikasi Struktur Etil p-metoksisinamat Melalui Proses Nitrasi dengan Metode Cold Microwave Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi. Program Studi Farmasi - Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi. Backer, C. A. R. C. B. Van den Briak. 1986. Flora of Java. Vol 2. Walters Noordhoff.N.V.Groningen.P. 33 Belinda, Putri. 2011. Studi Reaksi Esterifikasi Antara Asam Galat dan Gliserol dengan Menggunakan Gelombang Mikro. FMIPA Universitas Indonesia. Skripsi. Billenstein, S dan Baschke, D. 1984. Industrial Production of Fatty Amines and Their Derivates. J. Am. Oil Chem Soc., 612, 354. Bose, Ajay K; Subhendeu N. Ganguly; Maghar S. Manhas; Jeffrey Speck; William He. 2006. Cold Microwave Chemistry: Synthesis Using Pre-cooled Reagents. Tetrahedron Letters 47 3213-3215 available at www.sciencedirect.com BSA Bovine Serum Albumine. Product Information by Sigma. www.sigma- aldrich.com . Diakses pada tanggal 18 Februari 2015. Brahmana, H. R. et al. 1998. Pemanfaatan Asam Lemak Bebas Minyak Kelapa Sawit dan Inti Sawit Dalam Pembuatan Nilon 9,9 dan Ester Sorbitol Asam Lemak. Laporan Riset dan Teknologi, Dewan Riset Nasional. Chandra, Sangita. 2012. Evaluation of In Vitro Anti-Inflammatory Activity of Coffee Against The Denaturation of Protein. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine S178-S180. Chatterjee, Priyanka; Sangita Chandra; Protapditya Dey; Sanjib Bhattacharya. 2012. Evaluation of Anti-Inflammatory Effects of Green Tean and Black Tea: A Comparative In Vitro Study. J. Adv. Pharm Technol Res Vol 3 2 136-138. Chem-team .. “Microwave Chemistry”. 2004. Diakses pada 5 Februari 2015. http:unc.edudeptsmtcgrouplitmeetingsmicrowaves.pdf Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta. 64