Tidak dilaksanakannya sosialisasi oleh para implementor menunjukkan ketidaktaatan mereka terhadap peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah.
Keterangan lain yang semakin menunjukkan ketidaktaatan implementor tersebut adalah kartu peserta yang hingga saat ini tidak dibagikan kepada masyarakat,
sehingga masyarakat hingga saat ini belum bisa menikmati program pemerintah di bidang kesehatan tersebut.
Ketika melakukan analisa terhadap transmisi telah penulis uraikan data mengenai ketidaktaatan implementor terhadap peraturan yang telah ada
sebelumnya yakni pelaksanaan program yang dimulai dari bulan Desember 2008 dan berakhir pada bulan Februari 2009. Keterlambatan tersebut berlanjut hingga
proses pendistribusian kartu peserta dan sampai ketika penulis menyelesaikan penelitian di puskesmas kartu tersebut belum juga dibagikan kepada masyarakat.
Ketidaktaatan puskesmas terhadap peraturan pemerintah semakin mereka tunjukkan dengan menyatakan bahwa masa berakhir program ini jatuh pada
bulan November 2009. Berikut kutipan wawancaranya: “...Di puskesmas ini saja, program ini masih berjalan dan akan
langsung di sambung dengan JPK-MS tahun 2009 yang kemungkinan akan dimulai November 2009”.
c. Wewenang
Wewenang ini akan berbeda-beda dari suatu program ke program lain serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda. Wewenang yang penulis ingin
lihat disini adalah dalam menyegerakan suatu tugas yang seharusnya memang segera dilakukan karena kebutuhan yang mendesak terutama menyangkut
kepentingan umum.
Universitas Sumatera Utara
Keterlambatan pelaksanaan program di puskesmas dikatakan karena perintah pelaksanaan baru ada pada bulan Februari 2009. Alasan lain yang
dikatakan menyangkut kendala peraturan dan pertentangan siapa yang layak menerima program JPK-MS. Padahal di luar itu semua, kebutuhan masyarakat
miskin akan pelayanan kesehatan semakin mendesak. Banyaknya masalah kesehatan yang terjadi pada masyarakat miskin di kota Medan seperti gizi buruk,
Demam Berdarah Dengue DBD yang telah menelan banyak korban jiwa khususnya anak-anak semakin menuntut agar program ini secepatnya
dilaksanakan. Namun penulis tidak melihat kemauan pihak puskesmas untuk segera
melaksanakan program tersebut sebagai upaya memberikan pengobatan preventif kepada masyarakat. Padahal didorong oleh kebutuhan masyarakat
miskin ini puskesmas dapat segera melaksanakan program ini dengan alasan kemanusiaan dan kebutuhan yang mendesak.
d. Fasilitas-Fasilitas
Sumber daya terakhir namun tak kalah penting dalam implementasi JPK- MS ialah fasilitas yang mendukung kelancaran dan kesuksesan kegiatan-
kegiatan JPK-MS. Fasilitas yang dibutuhkan antar lain kantor tempat memusatkan kegiatan implementor.
Berdasarkan hasil pengamatan saya ke sejumlah fasilitas-fasilitas seperti puskesmas, dapat saya simpulkan bahwa fasilitas-fasilitas tersebut sangat
mendukung proses implementasi program JPK-MS ini. Terlebih lagi, puskesmas Kota Matsum berada di daerah yang mudah dijangkau dan strategis
sehingga masyarakat dapat dengan mudah mengunjungi tempat tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Menurut pengakuan informan, fasilitas puskesmas masih layak pakai dan memiliki berbagai peralatan yang sangat mendukung implementasi program
JPK-MS ini. Berikut kutipan wawancaranya: “Fasilitas yang dimiliki puskesmas juga masih dalam kondisi yang
sangat baik, karena dana untuk fasilitas alat-alat kesehatan juga tersedia, tapi dana itu di luar dana operasional JPK-MS…”
Kantor merupakan pusat informasi kegiatan bagi sebuah lembaga dan merupakan hal yang cukup penting bagi keberlangsungan kegiatan. Fasilitas-
fasilitas fisik memang hanya pendukung, namun dari jawaban diatas tersirat bahwa dengan adanya fasilitas pendukung, aparatur puskesmas menjadi
bersemangat dalam beraktivitas di puskesmas Kota Matsum.
5.2.3. DisposisiKecendrungan
JPK-MS merupakan program yang muncul karena sebelumnya telah terjadi penyimpangan pendataan pada program Jamkesmas, sehingga untuk program JPK-
MS pihak puskesmas menjadi pemegang kunci dalam keefektifan implementasi
program. Kecendrungan-kecendrungan implementor dalam melaksanakan
kebijakan bisa menjadi penghambat. Kecendrungan yang dimaksud disini ialah watak dan karakteristik implementor, seperti kejujuran, keikhlasan, komitmen,
tanggung jawab dan sikap demokratis. Berdasarkan wawancara dengan beberapa informan kunci didapati bahwa
dalam pelaksanaan program JPK-MS ada suatu ketidakjujuran yang ditunjukkan oleh aparatur puskesmas. Ketidakjujuran ini terlihat jelas ketika penulis
menanyakan perihal kartu peserta yang tidak juga didistribusikan. Selain memberikan jawaban yang berbeda sebagai alasan mengapa tidak mendistribusikan
Universitas Sumatera Utara
kartu secepatnya ternyata aparatur puskesmas juga memberi jawaban yang berbeda kepada masyarakat yakni bahwa kartu peserta belum ada pada mereka. Berikut
jawaban pegawai puskesmas Kota Matsum: “Kami melakukan beberapa pemeriksaan ulang terhadap kartu-kartu
tersebut, takutnya ada yang salah dalam pencetakan nama atau data-data lainnya..”
Kutipan jawaban dari humas puskesmas Kota Matsum: “Agak mandeg ya, nggak tau kenapa. Kata teman saya sih karna terlalu
banyak masyarakat yang mendaftar untuk mendapatkan program ini sehingga Dinas Kesehatan kewalahan mencetak kartunya”.
Kutipan jawaban dari salah satu masyarakat: “..Gak ada satu pun dari kami yang udah dapat kartu peserta JPK-MS itu,
pernah ada yang nanya ke puskesmas trus orang puskesmas bilang kartunya belum ada sama mereka.
Selain ketidakjujuran, terlihat pula bahwa aparatur puskesmas belum memiliki komitmen dan tanggung jawab dalam melaksanakan program JPK-MS di
puskesmas Kota Matsum. Karena dari awal program ini dijalankan sudah memiliki masalah yakni adanya keterlambatan pelaksanaan program, kemudian masalah
pendataan yang dikatakan masyarakat tidak baik karena menurut mereka ada masyarakat yang mampu dan sangat mampu mendaftar sebagai peserta program ini
tabel 13, kemudian masalah kartu yang belum ada diberikan kepada masyarakat sehingga menyebabkan masyarakat sampai saat ini belum dapat menikmati fasilitas
berobat gratis ke puskesmas. Dan hal ini membuat komitmen dan tanggung jawab dari pihak puskesmas patut dipertanyakan.
Universitas Sumatera Utara
5.2.4. Struktur Birokrasi a. Standard Operating Procedurs SOP
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu
dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur organisasi yang standar Standard Operating Procedurs atau SOP. Dan SOP ini
menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Standar operasional dan prosedur dalam implementasi JPK-MS ialah
kejelasan petunjuk pelaksanaan, terkait dengan bagaimana mengimplementasikan kebijakan tersebut. Dari hasil wawancara kami dengan
pihak puskesmas, untuk mengimplementasikan JPK-MS mereka diatur oleh buku pedoman dan juknis serta juklak JPK-MS. Menurut mereka, segala
langkah yang dilakukan berdasarkan buku tersebut. Mulai dari sosialisasi JPK- MS, pendataan warga, proses distribusi kartu dan pemberian pelayanan
kesehatan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh kepala puskesmas Kota Matsum berikut:
“Sudah, sesuai dengan petunjuk pelaksanan dan petunjuk teknis. Tugas kami adalah melakukan sosialisasi program dan pendataan kemudian
mendistribusikan kartu JPK-MS. Sedangkan tugas kami yang utama yakni memberikan pelayanan kesehatan belum dapat kami lakukan karena hingga
saat ini pendistribusian kartu belum dapat kami lakukan karena kartu peserta JPK-MS belum lengkap, sedangkan pelayanan akan kesehatan dapat
dilakukan apabila pasien dapat menunjukkan bukti kepesertaannya yakni berupa kartu JPK-MS tersebut.”
Namun yang menjadi salah satu masalah dalam implementasi JPK-MS ini selain berbagai masalah yang telah diungkapkan sebelumnya adalah aparatur
puskesmas yang tidak tahu mengenai kriteria keluarga miskin karena tidak terdapat dalam buku pedoman ataupun juknis. Program JPK-MS ini mereka
Universitas Sumatera Utara
berikan saja kepada setiap warga yang datang ke puskesmas untuk mendaftar tanpa dilihat dulu apakah warga tersebut termasuk keluarga miskin atau tidak.
b. Fragmentasi
Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Fragmentasi mengakibatkan
pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Dalam implementasi JPK-MS di puskesmas Kota Matsum, penulis menemukan
pandangan yang sempit ini pada aparatur puskesmas. Program JPK-MS yang seharusnya dilaksanakan puskesmas bekerja sama dengan kecamatan atau
kelurahan dianggap puskesmas sebagai tugas mereka saja. Seperti yang diungkapkan oleh kepala puskesmas Kota Matsum berikut ini:
“Tidak ada, program JPK-MS ini kami yang menanganinya. Seluruh kegiatan dalam pelaksanaan JPK-MS menjadi tanggung jawab puskesmas.
Kecamatan dan kelurahan tidak terlibat dalam program JPK-MS ini.”
Sementara itu, didalam buku pedoman JPK-MS penulis menemukan bahwa dalam hal proses sosialisasi dan pendataan masyarakat menjadi tanggung
jawab pihak puskesmas bekerja sama dengan kelurahan. Fragmentasi dari pihak puskesmas ini pada akhirnya menyebabkan terhambatnya koordinasi di antara
pelaksana kebijakan sehingga puskesmas dan kelurahan tidak dapat menjadi mitra dalam mengimplementasikan JPK-MS
Kerumitan prosedur yang dirasakan masyarakat pun terjadi karena kurangnya koordinasi serta komunikasi antara puskesmas dan Dinas Kesehatan
yang menyediakan kartu peserta JPK-MS. Komunikasi yang tidak dilakukan secara intensif antara puskesmas dan Dinas Kesehatan menyebabkan terjadinya
masalah ketidaklengkapan kartu peserta JPK-MS
Universitas Sumatera Utara
5.3. Hambatan-Hambatan dalam Mengimplementasikan JPK-MS di Puskesmas Kota Matsum