4.1 Sejarah Kekuasaan Kabupaten Karo
Tanah Karo terbentuk sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II setelah melalui proses yang sangat panjang dan dalam perjalanan sejarahnya Kabupaten
ini telah mengalami perubahan mulai dari zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang hingga zaman kemerdekaan. Sebelum kedatangan penjajahan
Belanda diawal abad XX di daerah dataran tinggi Karo, di kawasan itu hanya
terdapat kampung Kuta, yang terdiri dari satu atau lebih “kesain” bagian dari kampung. Tiap-tiap kesain diperintah oleh seorang “Pengulu”. Menurut P.
Tambun dalam bukunya “Adat Istiadat Karo”, Balai Pustaka 1952, arti dari pengulu adalah seseorang dari marga tertentu dibantu oleh 2 orang anggotanya
dari kelompok “Anak Beru” dan “Senina”. Mereka ini disebut dengan istilah “Telu si Dalanen” atau tiga sejalanan menjadi satu badan
administrasipemerintahan dalam lingkungannya. Anggota ini secara turun
menurun dianggap sebagai “pembentuk kesain”, sedang kekuasaan mereka adalah pemerintahan kaum keluarga.
Di atas kekuasaan penghulu kesain, diakui pula kekuasaan kepala
kampung asli Perbapaan yang menjadi kepala dari sekumpulan kampung yang asalnya dari kampung asli itu. Kumpulan kampung itu dinamai Urung.
Pimpinannya disebut dengan Bapa Urung atau biasa juga disebut Raja Urung.
Urung artinya satu kelompok kampung dimana semua pendirinya masih dalam
satu marga atau dalam satu garis keturunan.
Menurut P. Tambun seperti di atas ada beberapa sistem atau cara penggantian perbapaan atau Raja Urung atau juga Pengulu di zaman itu, yaitu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dengan memperhatikan hasil keputusan “runggunpermusyawaratan” kaum kerabat berdasarkan kepada 2 dua dasarpokok yakni:
9. Dasar Adat “Sintua-Singuda” yang dicalonkan. Yang pertama-tama
berhak menjadi Perbapaan adalah anak tertua. Namun kalau ia berhalanagan atau karena sebab yang lain, yang paling berhak di antara
saudara-saudaranya adalah jatuh kepada anak yang termuda. Dari semua calon Perbapaan maka siapa yang terkemuka atau siapa yang kuat
mendapatkan dukungan, misalnya siapa yang mempunyai banyak Anak Beru dan Senina, besar kemungkinan jabatan PerbapaanRaja Urung atau
Pengulu, akan jatuh kepadanya. Jadi dengan demikian, kedudukan Perbapaan, yang disebutkan di atas harus jatuh kepada yang tertua atau
yang termuda, tidaklah sepenuhnya dijalankan secara baik waktu itu. Banyak contoh terjadi dalam hal pergantian Perbapaan seperti itu, antara
lain ke daerah Perbapaan Lima Senina. Lebih-lebih kejadian seperti itu terjadi setelah di daerah itu berkuasa kaum penjajah Belanda di permulaan
abad XX 1907. Belanda melakukan “intervensi” dalam hal penentuan siapa yang diangap pantas sebagai Perbapaan dari kalangan keluarga yang
memerintah, walaupun ada juga selalu berdasarkan adat. b. Dasar “Bere-bere”, yakni menurut keturunan dari pihak Ibu. Hanya dari
keturunan ibukemberahen tertentu saja yang pertama-tama berhak menjadi Perbapaan. Namun setelah kedatangan perjajahan Belanda sistem atau dasar
“Bere-bere” ini dihapuskan. Mengangkat dan mengganti Perbapaan dilakukan oleh “Kerunggun” Anak
Beru-Senina dan Kalimbubu. Namun setelah jaman Belanda cara seperti itu diper-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
modern, dengan cara kekuasaannya dikurangi, malah akhirnya diambil alih oleh kerapatan Balai Raja Berempat. Demikian pula, dasar pengangkatan “Pengulu”
dan Perbapaan. Kekuasaan Raja Urung yang tadinya cukup luas, dipersempit dengan keluarnya Besluit Zelfbestuur No. 421926, dimana antara lain yang
pertama-tama berhak untuk mewarisi jabatan Perbapaan Urung atau Pengulu ialah anak tertua, kalau dia berhalangan, maka yang paling berhak adalah anak yang
termudabungsu. Sesudah kedua golongan yang berhak tadi itu, yang berhak adalah anak nomor dua yang tertua, kemudian anak nomor dua yang termuda.
Orang yang berhak dan dianggap sanggup menjadi Perbapaan Urung tetapi karena sesuatu sebab menolaknya, maka dengan sendirinya hilang haknya dan berhak
keturunannya yang menjadi PerbapaanRaja Urung. Hal ini juga menurut P. Tambun dalam bukunya merupakan adat baru. Maksudnya adalah untuk menjaga
supaya pemangkuan Perbapaan yang dilaksanakan oleh orang lain hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa.
Sementara itu orang yang berhak menurut adat menjadi PerbapaanRaja, tetapi masih dalam keadaan di bawah umur ataupun belum kawin, maka jabatan
itu boleh dipangkudiwakili kepada orang lain menunggu orang yang berhak itu sudah mencukupi. Peraturan tetap tentang memilih siapa sebagai pemangku itu
tidak ada. Yang sering dilakukan ialah orang yang paling cakap diantara kaum sanak keluarga terdekat, termasuk juga Anak Beru dan marga yang seharusnya
memerintah sebagai Perbapaan Raja. Adapun jabatan pemangku itu dipilih dari kalangan Anak Beru dari lain
marga dari PerbapaanRaja. Jadi mustahillah sipemangku itu tadi berhak atas kerajaan yang dipangkunya untuk selama-lamanya, pasti disatu waktu akan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dikembalikan kepada yang berhak. Sedangkan kalau jabatan sebagai PerbapaanRaja dipegang oleh kaum keluarga dari sipemangku yang berhak,
misalnya saudara satu ayah lain ibu, ada kemungkinan akan mendakwa dan mempertahankan jabatan itu di kemudian hari, terlebih kalau dia sudah bertahun-
tahun sudah memangku jabatan itu, sehingga merasa segan malah menolak menyerahkannya kembali kepada yang berhak. Keadaan seperti ini juga pernah
terjadi, malah menimbulkan perselisihan berkepanjangan antar kerabat yang seketurunan.
Dalam pemangkuan sementara itu, diadatkan sehingga merupakan kewajiban bagi si pemangku yaitu menyerahkan 13 dari semua pendapatan
kerajaan kepada orang yang seharusnya memangku jabatan tersebut. Seperti diuraikan di atas, baik Perbapaan UrungRaja Urung ataupun Pengulu yang
dibantu oleh “Anak Beru-Senina”, yang merupakan “Telu Sidalanen”, maka
jabatan dari “Anak Beru-Senina” itupun juga bersifat turun temurun. Dengan
sistem ini Pemerintah Tradisional Karo telah berjalan hampir ratusan tahun. Sistem itu mengalami sedikit perubahan pada abad ke 18 ketika Karo berada
dibawah pengaruh Aceh yang membentuk raja berempat di Tanah Karo. Seiring dengan masuknya pengaruh kekuasaan Belanda ke daerah
Sumatera Timur melalui Kerajaan Siak Riau maka terjadi pula perubahan penting di dareah ini karena Belanda juga ingin menguasai seluruh Tanah Karo. Di Deli
waktu itu sudah mulai berkembang Perkebunan tembakau yang diusahai oleh pengusaha-pengusaha Belanda. Namun tidak selamanya kekuasaan Belanda
tertanam dengan mudah di daerah Sumatera Utara terlebih-lebih di daerah dataran tinggi Karo. Dan bagi orang Karo di masa lampau, kedatangan Belanda identik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dengan pengambilan tanah rakyat untuk perkebunan. Banyak penduduk di Deli dan Langkat yang kehilangan tanahnya karena Sultan memberikan tanah secara
tak semena-mena untuk jangka waktu 99 tahun kemudian konsensi 75 tahun kepada perkebunan tanpa menghiraukan kepentingan rakyat. Kegetiran dan
penderitaan penduduk melahirkan perang sunggal yang berkepanjangan 1872- 1895 yang juga dikenal sebagai perang Tanduk Benua atau Batakoorlog. Dalam
perang tersebut orang Melayu dan orang Karo bahu-membahu menentang Belanda, antara lain dengan membakari bangsal-bangsal tembakau.
Pada masa zaman Belanda , terdapat 5 pemerintahan swapraja pribumi tingkat kerajaanLandschaap yang dipimpin oleh Sibayak dan 18 Kerajaan Urung
yang dipimpin oleh Raja Urung yang merupakan pemerintahan pribumi bawahan atau bagian dari KerajaanLandschaap Ke-Sibayaken.
Adapun kelima pemerintahan Swaja Pribumi atau Landschaap yang dipimpin oleh Sibayak itu adalah:
1. Landschaap Lingga yang berkedudukan di Kabanjahe yang membawahi enam urung yaitu Urung XII Kuta di Kabanjahe, Urung Telu Kuru di Lingga,
Urung Lima Senina di Batu Karang, Urung Tiga Pancur di Tiga Pancur, Urung IV Teran di Naman dan Urung Tiganderket di Tiganderket.
2. Landschaap Kuta Buluh yang berkedudukan di Kuta Buluh membawahi dua urung yaitu Urung Namohaji di Kuta Buluh dan Urung Liang Melas di Sampe
Raya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Landschaap Sarinembah yang berkedudukan di Sarinembah membawahi empat urung yaitu urung XVII Kuta di Sarinembah, Urung Perbesi di Perbesi,
Urung Juhar di Juhar dan Urung Kuta Bangun di Kuta Bangun.
4. Landschaap Suka membawahi empat urung yaitu urung Suka di Suka, Urung Suka Piring di Seberaya, Urung Ajinembah di Ajinembah dan Urung Tongging di
Tongging.
5. Landschaap Barusjahe membawahi dua urung yaitu Urung Sipitu Kuta di Barusjahe dan Urung Sienam Kuta di Sukanalu.
Selain Belanda yang ingin menguasai Tanah Karo, Jepang juga memiliki keinginan yang sama. Pada masa penjajahan Jepang ini susunan pemerintahan di
Tanah Karo adalah sama dengan masa penjajahan Belanda, dengan pergantian orang-orangnya yakni yang setia kepada penjajah Jepang.
Seiring berjalannya waktu, maka RI merdeka sehaingga membawa dampak besar bagi seluruh wilayah Indonesia khususnya wilayah Tanah Karo.
Pada masa Kemerdekaan RI pemerintahan di Tanah Karo dikepalai oleh Sibayak Ngerajai Milala. Salah satu keputusan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
itu adalah Kabupaten Karo terdiri dari dua kewedanan yang masing-masing membawahi lima kecamatan dengan susunan sebagai berikut:
Wedana Karo Utara Kendal Keliat membawahi lima camat yaitu:
1. Camat Kabanjahe
: Nahar Purba 2.
Camat Barusjahe : Babo Sitepu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Camat Tiga Panah
: Djamin Karo Sekali 4.
Camat Simpang Empat: Nahar Purba 5.
Camat Payung : Nitipi Payung
Wedana Karo Selatan Matang Sitepu membawahi lima camat:
1. Camat Tiga Binanga : Pulung Tarigan
2. Camat Juhar
: Tandil Tarigan 3.
Camat Munthe : Pangkat Sembiring Meliala
4. Camat Kuta Buluh : Masa Sinulingga
5. Camat Mardinding : Tuahta Barus
Dengan demikian setelah terbentuknya NKRI, daerah Karo Jahe Deli Hulu dan Silima Kuta Cingkes yang sejak revolusi sosial Maret 1946
masuk dari bagian Kabupaten Karo ‘dipaksa’ berpisah. Deli Hulu yang tadinya menjadi satu kewedanan dimasukkan ke dalam bagian Deli
Serdang, sedangkan Kecamatan Silima Kuta dimasukkan kedalam wilayah Kabupaten Simalungun.
Adapun Ibu Negeri atau tempat berkantor kepala Pemerintahan Karo Kabupaten Karo sejak Indonesia merdeka 1945 hingga sekarang adalah:
1. Kabanjahe, 1945 – 31 Juli 1947
2. Tigabinanga, 31 Juli 1947 – 25 Nopember 1947
3. Lau Baleng, 25 Nopember 1947 – 7 Pebruari 1948
4. Kutacane, 7 Pebruari 1947 – 14 Agustus 1949
5. Tiganderket, 14 Agustus 1949 – 17 Agustus 1950
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6. Kabanjahe, 17 Agustus 1950 hingga sekarang
Setelah Kabupaten Karo merdeka maka susunan pemerintahan Kabupaten Karo diatur menurut UU No. 22 Tahun 1999 bahwa di daerah dibentuk DPRD
sebagai Badan Legeslatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah. Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati, dan dalam melaksanakan tugas
dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati dibantu oleh seorang Wakil Bupati.
Sejak terbentuknya Kabupaten Karo hingga saat ini tercatat yang memimpin Kabupaten Karo adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1
Nama PemimpinKabupaten Karo
No Nama Bupati
Masa Bakti 1
Ngerajai Milala 1946
2 Rakutta Sembiring Milala 1946-1955
3 Abdulah Eteng
4 Baja Purba
5 Mayor Matang Sitepu
6 Baharudin Sembiring
7 Kol. Tampak Sebayang,
SH 1970-1981
8 Drs. Rukun Sembiring
1981-1986
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9 Ir. Menet Ginting
1986-1991 10
Drs. Rupai Perangin- angin
1991-1995
11 Kol. Drs. D.D.
Sinulinnga 1995-2000
12. Sinar Perangin-angin
2000-2005 13
Kol. Drs. D.D. Sinulinnga
2005-2010
14 DR HC Kena Ukur
Karo Jambi Surbakti 2010-2015
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo 2010
4.2 Gambaran Umum Kabupaten Karo