Cemaran fisik Pemantauan Terhadap Proses Pemasakan

dikonsumsi. Jasad renik pembusuk yang terdapat di dalam pangan, termasuk bakteri, kapang maupun khamir, dalam jumlah tinggi dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada pangan misalnya menimbulkan bau basibusuk, bau tengik, bau dan rasa asam, pelendiran, perubahan wama, atau menimbulkan gasbusa. Pangan siap saji sebenanarnya bukan merupakan pangan yang steril karena tidak dikemas secara rapat, oleh karena itu tidak pernah bebas dari pencemaran oleh jasad renik pembusuk. Tabel 2 menyajikan jumlah minimal setiap bakteri patogen untuk menimbulkan gejala sakit atau keracunan, dan jumlah yang diperbolehkan di dalam bahan mentah sebelum pemasakan. Tabel 2. Jumlah minimal beberapa bakteri yang dapat menyebabkan sakit atau keracunan Penyebab Makanan yang sering tercemar Jumlah minimal yang menyebabkan sakit pada orang dewasa sehat sel Jumlah yang diperbolehkan pada bahan mentah sebelum dimasak b selg Salmonella Telur, daging unggas 10 5 10 Staphylococcus Makanan berprotein 10 6 100 Clostridium perfringens Makanan berprotein 10 6 100 Bacillus cereus Berasnasi 10 6 100 Vibrio parahaemolyticus Makanan hasil laut 10 5 - 10 7 100 Vibrio cholera Air, makanan mentah 10 5 10 Shigefla Air, makanan mentah 10 1 – 10 2 1 Listeria monocytogenos Susu, daging 10 5 1 Eschrichia coli Air, makanan mentah 10 6 10 b 1-10 sel untuk bayi dan manula. Sumber : Fardiaz, S 1994 Meskipun pangan siap saji biasanya telah mengalami proses pemanasan atau pemasakan sehingga jumlah jasad renik patogen telah berkurang sampai pada jumlah yang sangat kecil, tetapi jika kondisi penyimpanan makanan tersebut, terutama suhu dan kelembaban, menyebabkan jasad renik dapat berkembang biak dengan cepat, maka memungkinkan terjadinya kebusukan sebelum pangan sampai ke tangan konsumen, atau menyebabkan keracunan jika kebetulan terdapat bakteri patogen yang dapat berkembang biak dengan baik. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, maka Food and Drug Administration FDA menganjurkan bahwa untuk menjamin suatu pangan siap saji tidak busuk dan aman untuk dikonsumsi, maka sebaiknya pangan disimpan pada suhu lemari es yaitu maksimal 5 o C untuk pangan yang dikonsumsi dalam keadaan dingin seperti berbagai macam salad dan minuman dingin, atau pada suhu di atas 60 o C untuk pangan yang dikonsumsi dalam keadaan panashangat. Suhu di antara 5°C dan 60°C merupakan suhu kritis danger zone karena jasad renik dapat berkembang biak dengan cepat dan menyebabkan kebusukan atau keracunan pangan. Di Indonesia, pangan siap saji yang disajikan dalam keadaan hangat hotfood belum mendapat pengawasan khusus mengenai suhu yang diterapkannya, sehingga kemungkinan risiko bahwa penyimpanan hangat justru menjadi inkubator bagi pertumbuhan jasad renik dapat terjadi. Jika jumlah jasad renik pembusuk dan patogen di dalam pangan cukup kecil dan dipertahankan supaya tidak berkembang biak selama penyimpanan maka pangan tersebut masih dapat diterima dan aman untuk dikonsumsi. Dengan kata lain pangan tidak mengalami perubahan yang menyimpang atau menyebabkan keracunan atau penyakit karena jumlah bakteri patogen masih di bawah jumlah minimmal yang dapat menimbulkan penyakit. Berbeda dengan industri pangan olahan dalam kemasan pada umumnya, industri jasa boga yang menyediakan pangan siap saji merupakan suatu sistem yang sangat kompleks karena menyangkut bahan baku yang bermacam-macam dalam usaha penyediaannya. Oleh karena itu sampai sekarang belum ada standar yang diterapkan untuk pangan semacam ini. Sebagai pegangan untuk menghasilkan pangan yang bermutu dan aman terutama perlu diperhatikan segi kebersihan dan sanitasi dalam pengolahan dan penyajiannya, serta tetap mengikuti peraturan-peraturan yang ada mengenai penggunaan bahan tambahan yang diijinkan di dalam makanan.

2.2.2. Permasalahan Keamanan Pangan Pada Industri Jasa Boga

Katering Perkembangan industri yang bergerak dalam pengolahan dan penyajian makanan siap santap yang disebut industri jasa boga atau katering telah berkembang dengan pesat pada saat ini. Industri semacam ini banyak dimanfaatkan untuk penyediaan makanan di berbagai tempat dan untuk berbagai keperluan, seperti penyajian makanan-makanan di suatu pesta, seminar, atau untuk karyawan pabrik dan perkantoran. Data sampai tahun 2004, di Bali saja tercatat ada 326 usaha jasa katering, 1498 usaha restoran atau rumah makan, dan 145 hotel berbintang yang menyediakan jasa boga Antara, 2005. Menjamurnya usaha jasa boga ini terjadi karena kebutuhan akan makanan yang praktis dan siap dikonsumsi oleh konsumen yang serba sibuk, sehingga konsumen tidak perlu membuang waktu terlalu lama hanya untuk mempersiapkan dan menyajikan pangan. Namun demikian, usaha jasa boga yang menyediakan pangan siap saji mempunyai resiko kemunginan dapat terjadinya penyakit yang ditularkan melalui pangan foodborne disease apabila tidak dilakukan penanganan yang baik. Dari laporan-laporan di berbagai media massa diketahui bahwa pangan yang berasal dari katering sering menimbulkan masalah keracunan yang meminta korban cukup banyak. Kasus keracunan pangan yang dilaporkan di media massa umumnya yang menyerang sekelompok orang dalam jumlah besar, misalnya yang menyerang karyawan-karyawan di suatu pabrik yang mengkonsumsi pangan yang dipesan dari pengusaha jasa boga atau katering. Terdapat pula kasus keracunan pangan tetapi tidak dilaporkan, biasanya terjadi pada kelompok kecil konsumen atau yang konsumennya menyebar. Dalam sepuluh tahun terakhir, kasus keracunan pangan 31 berasal dari produk pangan katering, 20 dari produk olahan pangan, dan 13 lainnya berasal dari jajanan. Berdasarkan data Badan Perlindungan Konsumen BPKN bidang pangan, Kejadian Luar Biasa KLB kasus keracunan pangan setiap tahunnya selalu meningkat baik dari jumlah korban maupun yang sakit. Tahun 2005 terjadi 184 KLB, dimana dari 23.864 orang yang mengkonsumsi pangan tercatat 8.949 orang jatuh sakit dan 49 orang di antaranya meninggal. Sementara tahun 2006, dalam kurun waktu 8 bulan terjadi 62 KLB. Dari 11.745 orang yang mengkonsumsi pangan, 4.235 di antaranya jatuh sakit dan 10 di antaranya meninggal dunia BPKN, 2011. Kejadian Luar Biasa KLB menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 adalah adanya 2 orang penderita atau lebih dengan gejala-gejala yang sama atau hampir sama setelah mengkonsumsi pangan dan adanya dugaan pangan sebagai sumber keracunan yang dibuktikan secara epidemilogis menunjukkan hubungan sebab akibat. Hasil penelitian Sparingga 2011 menunjukkan bahwa dugaan penyebab KLB keracunan pangan paling banyak disebabkan oleh mikroba yaitu sebesar 21 persen, sedangkan bahan kimia 13 persen dan sisanya tidak ada sampel. Sedangkan kasus-kasus keracunan pangan penyebab kejadian luar biasa diperoleh data karena beberapa hal yaitu : 1 pangan rumah tangga 562 kasus; 2 pangan olahan 205 kasus; 3 pangan jasa boga atau jasa katering 271 kasus; 4 pangan jajanan 186 kasus; 5 lain-lain 15 kasus; 6 tidak dilaporkan 25 kasus. Menurut Fardiaz 1994 dari Bryan 1988 yang dilaporkan oleh Ganowiak 1992, di negara Amerika Serikat, sebanyak 11 kasus keracunan pangan yang terjadi disebabkan oleh pangan yang dipersiapkan oleh industri jasa boga katering dan restoran, 20 kasus disebabkan oleh pangan yang dimasak di rumah, dan hanya 3 kasus disebabkan oleh makanan yang diproduksi oleh industi pangan. Hal ini menunjukkan bahwa di negara-negara yang sudah majupun pangan jasa boga atau katering memegang peranan penting sebagai penyebab keracunan pangan. Dengan kata lain, pangan siap saji merupakan pangan berisiko tinggi dari segi keamanannya jika tidak dipersiapkan dengan baik. Menurut data Center for Disease Control and Prevention, faktor-faktor penyebab keracunan pangan di negara Amerika Serikat ternyata yang terbanyak 37 disebabkan oleh suhu penyimpangan yang tidak tepat seperti praktek pendinginan yang tidak tepat. Hal ini disebabkan di negara-negara tersebut banyak pangan yang disajikan dan dikonsumsi dalam keadaan dingin, misalnya berbagai salad, baik yang berasal dari bahan nabati maupun hewani. Selain suhu pendinginan, penyimpanan hangat yang tidak tepat juga menjadi faktor.